• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PERKARA PERDATA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN RI DI PENGADILAN NEGERI LUBUK PAKAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PERKARA PERDATA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN RI DI PENGADILAN NEGERI LUBUK PAKAM"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PERKARA PERDATA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG

KEJAKSAAN RI DI PENGADILAN NEGERI LUBUK PAKAM

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

YUANA PUTRI REGIN NIM: 140200480

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada hadirat Allah SWT yang mana atas rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis untuk dapat mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini sehingga dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Juga tidak lupa shalawat beriringan salam penulis hadiahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang selalu menjadi suri tauladan dan yang syafa’atnya selalu diharapkan seluruh umatnya.

Pada skripsi ini, penulis mengangkat judul mengenai “Peran Jaksa Pengacara Dalam Perkara Perdata Berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI Di Pengadilan Lubuk Pakam”. Dimana skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan program studi sarjana hukum di Fakultas Hukum USU.

Judul ini diangkat karena ketertarikan penulis mengenai peran Jaksa Pengacara Negara dalam perkara perdata menurut undang-undang No. 16 tahun 2004, dalam skripsi ini penulis mencoba untuk membahas peran Jaksa Pengacara Negara dalam perkara perdata Citizen Lawsuit.

Dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak, dan dalam kesempatan ini izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

(4)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Prof. Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum. selaku Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum. selaku Ketua Dapartemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Dapartemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

8. Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., MS. selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

9. Bapak M. Husni, S.H., M.Hum. selaku Dosen pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

10. Seluruh dosen pengajar serta pegawai administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan dan telah membantu Penulis selama menjalani perkuliahan.

(5)

11. Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam yang telah memberikan kesempatan dan waktunya untuk memberikan data yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12. Teristimewa kepada Ayahanda Zulkifli Siregar, S.H., M.H., dan Ibunda tersayang Gelora Br Ginting yang mendoakan serta selalu memberi semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

13. Teuku Muhammad Fadel Azwar yang selalu mendoakan serta memberikan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

14. Sahabat Seperjuangan Skripsi Rika Rudani yang meluangkan waktunya menemani penulis untuk mengerjakan skripsi ini.

15. Mebakers yang selalu memberi semangat serta dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Demikianlah dengan skripsi ini sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karenanya, penulis dengan kerendahan hati mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi perbaikan menuju yang lebih baik dan bermanfaat bagi kita semua, terutama para mahasiswa/i dan kalangan praktisi dibidang hukum.

Medan, September 2018

Yuana Putri Regin

140200480

(6)

ABSTRAK Yuana Putri Regin*

Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., MS.**

M. Husni, S.H., M.Hum.***

Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang bertugas sebagai penegak hukum yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penututan, juga mengemban tugas lain termasuk dalam perkara perdata, dimana Jaksa Pengacara Negara dalam kedudukannya selaku kuasa hukum negara atau pemerintah. Peran kejaksaan dibidang Perdata dan Tata Usaha Negara jelas dan kokoh, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam pasal 30 ayat (2). Penulisan ini bertujuan untuk membahas peran Jaksa Pengacara Negara dalam perkara perdata menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Adapun metode penulisan pada penulisan ini adalah metode normatif yakni dengan mengkaji studi dokumen seperti peraturan perundang-undangan, putusan hakim, teori hukum dan pendapat sarjana yang berhubungan dengan Jaksa Pengacara Negara.

Eksistensi Jaksa Pengacara Negara dalam penyelesaian perkara dapat dilihat di peraturan mengenai JPN itu sendiri, dengan adanya peraturan itu menyiratkan bahwa adanya eksistensi jaksa sebagai pengacara negara. Perkara perdata yang diangkat dalam penulisan ini membahas mengenai Citizen Lawsuit dimana Para Penggugat mengajukan gugatan dikarenakan lalainya penyelenggara negara dalam memenuhi hak asasi warga negaranya yang tentunya menimbulkan kerugian. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam yang memeriksa dan mengadili perkara a quo memutuskan putusan menolak gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya dan menghukum untuk membayar biaya perkara yang timbul.

Jaksa Pengacara Negara memiliki peran penting dalam penyelesaian perkara perdata mengenai Citizen Lawsuit ini. JPN dapat menjalankan tugas, fungsi, wewenangnya seperti menjamin tegaknya hukum, menyelamatkan kekayaan negara, menjaga kewibawaan pemerintah, dan melindungi kepentingan masyarakat.

Kata Kunci: Jaksa Pengacara Negara, Perkara Perdata, Citizen Lawsuit.

* Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Metode Penelitian... 8

F. Sistematika Penulisan... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA A. Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia ... 14

B. Pengertian Jaksa Penuntut Umum dan Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Republik Indonesia ... 28

C. Kedudukan Jaksa Pengacara Negara dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 ... 30

D. Tugas, Fungsi, dan Wewenang Jaksa Pengacara Negara ... 32

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERADILAN PERDATA A. Pengertian Perkara Perdata ... 45

B. Jaksa Sebagai Pengacara Dalam Mempertahankan Kasus-Kasus Perdata ... 46

C. Proses Penyelesaian Sengketa Perdata di Peradilan Perdata ... 49

(8)

D. Struktur Putusan Perkara Perdata ... 59

BAB IV PERAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PERKARA PERDATA

A. Pengaturan Hukum Jaksa Pengacara Negara dalam Perkara

Perdata ... 66 B. Studi Terhadap Kasus Perkara Perdata No.24/PDT.G/2017/

PN.LBP Perkara Perdata Kasus Citizen Lawsuit ... 68 C. Peran Jaksa Pengacara dalam Perkara Perdata No.

24/PDT.G/2017/PN.LBP di Pengadilan Negeri Lubuk

Pakam Perkara Perdata Kasus Citizen Lawsuit ... 75

BAB V KESIMPULAN & SARAN

A. Kesimpulan ... 83 B. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan serta memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat. Keanekaragaman hubungan manusia di muka bumi ini adalah salah satu alasan mengapa hukum tercipta dan wajib untuk dipatuhi. Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap pihak yang merugikannya.1

Indonesia adalah negara hukum modern yang meletakkan sendi-sendi hukum di atas segala-galanya. Bukan hanya setiap warga negara harus tunduk, akan tetapi juga kekuasaan dan penyelenggaraan negara pun harus didasarkan dan dibatasi oleh hukum.2

Kejaksaan merupakan salah satu lembaga dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kejaksaan Republik Indonesia adalah badan yang memeliki kewenangan dalam penegakan hukum serta keadilan selain itu lembaga ini juga melaksanakan kekuasaan negara, khususnya dalam bidang penuntutan. Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara

1 C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1989) hlm. 42.

2 Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur- unsurnya,

(10)

dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.

Jika di telusuri ke belakang jaksa memang bagian dari pemerintahan.

Mr.Tirtaamidjaya menulis, jaksa berbeda dari hakim, karena jaksa tunduk pada executive power. Awal-awal kemerdekaan, kejaksaan berada di bawah Kementerian Kehakiman yang sebelumnya di bawah Kementerian Dalam Negeri.

Kejaksaan itu adalah suatu alat pemerintah yang bertindak sebagai penuntut dalam suatu perkara pidana terhadap si pelanggar hukum pidana.3

Selain berperan dalam perkara Pidana Kejaksaan juga berwenang menyelesaikan perkara Perdata dan Tata Usaha Negara. Tugas dan fungsi Kejaksaan di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara memiliki landasan hukum yang jelas dan kokoh, sebagaimana tertuang didalam Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 30 menyebutkan bahwa tugas dan wewenang kejaksaan berada dibidang Pidana, Perdata dan Tata Usaha Negara dan dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum. Pada tugas dan wewenang kejaksaan di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara disebutkan dalam Pasal 30 ayat (2) bahwa :

“Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.”

Berdasarkan Pasal 30 ayat (2) tersebut dapat disimpulkan bahwa kejaksaan dapat bertindak untuk dan atas nama negara baik diluar maupun didalam

3 M.H. Tirtaadmijaya, Kedudukan Hakim dan Jaksa, (Jakarta : Fasco, 1995) hlm. 15.

(11)

pengadilan di bidang perdata maupun tata usaha negara berdasarkan adanya suatu surat kuasa khusus.

Seorang jaksa yang mewakili negara dan pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara di sebut Jaksa Pengacara negara. Istilah Pengacara Negara berasal dari landsadvocaten yang dikenal dalam Staatblad 1922 No. 522 tentang Vettegenwoordige (keterwakilan) van den Lande in Rechten.4

Tidak semua jaksa otomatis menjadi Jaksa Pengacara Negara karena penyebutan ini hanya kepada jaksa-jaksa yang secara struktural dan fungsional melaksanakan tugas-tugas Perdata dan Tata Usaha Negara, istilah ini di bentuk secara struktural di Kejaksaan Agung pada 1992, Pasal 2 Stb 1922 No. 522 disebutkan:

“Dalam suatu proses (atau sengketa) yang diadili dengan prosedur perdata, bertindak untuk Pemerintah Indonesia sebagai penanggung jawab negara di Pengadilan adalah opsir justitusi atau jaksa.”

Bahkan di negeri Belanda, para Jaksa Agung Muda disebut Advocaten General baik di Kejaksaan di Hoge Road maupun di Gerechtshoven, sebagai Konsekuensi penugasannya untuk membela kepentingan negara dan publik, baik dalam proses pidana maupun masalah perdata dan ekstra yudisial lainnya.5

Selain di dalam undang-undang kejaksaan bahwa kewenangan jaksa di bidang perdata dan tata usaha negara di pertegas lagi dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 pada Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2) yang menyatakan:

4 http://m.hukum-online.com/berita/baca/it553670c63bfe50/bahasa-hukum--jaksa- pengacara-negara diakses tanggal 20 April pukul 18:00.

5 Martin Basiang, mantan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, “Landasan Hukum Jaksa Pengacara Negara”, Suara Pembaruan Daily, 2011, hlm. 25.

(12)

1. Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan tugas dan wewenang kejaksaan di bidang perdata dan tata usaha negara;

2. Lingkup bidang perdata dan tata usaha negara mencakup penegakan hukum, pertimbangan hukum, dan tindakan hukum lainnya kepada negara atau pemerintah, meliputi lembaga/badan negara, lembaga/instansi pemerintah pusat dan daerah, BUMN, BUMD di bidang perdata dan tata usaha negara untuk menyelamatkan, memulihkan kekayaan negara, menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta memberikan pelayan hukum kepada masyarakat.

Apabila dikaitkan mengenai ketentuan dari Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 pada Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2) dengan ketentuan pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 bahwa definisi negara atau pemerintah meliputi Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.

Pemerintah/lembaga negara lazimnya menjadi tergugat dala kasus Perdata dan Tata Usaha Negara, dan acapkali diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara melalui surat kuasa khusus. Aturan tentang Standar Operasional Prosedur Jaksa Pengacara Negara kini di terangkan dalam Peraturan Jaksa Agung No. 040/JA.A/12/2010.

Dalam putusan No. 24/Pdt.G/2017/PN.LBP merupakan kasus antara Umi Asih, DKK melalui kuasa hukumnya Juhari, S.H., M.H., DKK Advocates dan Legal Consultan pada Kantor Lembaga Pos Hukum Sansekerta sebagai Para Penggugat melawan Presiden Republik Indonesia sebagai Tergugat I, Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Republik Indonesia sebagai Tergugat II, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Republik

(13)

Indonesia sebagai Tergugat III, Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia/Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai Tergugat IV, Kementerian Perhubungan Republik Indonesia sebagai Tergugat V, Satuan Kerja (SATKER) Pelaksanaan Jalan Bebas Hambatan Medan-Bandara Kualanamu-Tebing Tinggi sebagai Tergugat VI, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengadaan Tanah Jalan Bebas Hambatan Medan-Bandara Kualanamu-Tebing Tinggi sebagai Tergugat VII, Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara sebagai Turut Tergugat I, Gubernur Sumatera Utara sebagai Turut Tergugat II, Pemerintah Kabupaten Deli Serdang sebagai Turut Tergugat III. Jaksa Pengacara Negara di berikan Surat Kuasa Subtitusi oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara untuk mewakili Presiden Republik Indonesia selaku Tergugat I dan Kementrian PU dan Perumahan Rakyat Direkorat Jenderal Bina Marga Direktorat Jalan Bebas Hambatan, Perkotaan dan Fasilitas Jalan Daerah Satuan Kerja Inventarisasi dan Pengadaan Lahan Pengadaan Tanah Jalan Tol Medan-Bandara Kualanamu-Tebing Tinggi selaku Tergugat VII.

Dalam pokok perkara Para Penggugat yaitu pihak Umi Asih, DKK mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia terhadap setiap orang yang tanahnya dibebaskan demi kepentingan umum untuk Proyek Nasional khususnya pembangunan Jalan Bebas Hambatan (Tol) di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menggunakan mekanisme gugatan warga negara terhadap penyelenggara negara (Citizen Lawsuit).

Bertitik tolak dengan masalah di atas, terjadi berbenturan peraturan yang ada yang berakibat terhadap kedudukan Jaksa Pengacara Negara sebagai kuasa hukum

(14)

dalam mewakili Pemerintah sehingga penulisan hukum ini diberi judul “Peran Jaksa Pengacara Negara Dalam Perkara Perdata Berdasarkan Undang- Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI Di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai Jaksa Pengacara Negara dalam perkara perdata berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Kejaksaan Republik Indonesia?

2. Bagaimana tinjauan kasus terhadap perkara perdata No.24/PDT.G/2017/PN.LBP di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam perkara perdata kasus Citizen Lawsuit?

3. Bagaimana peran Jaksa Pengacara Negara dalam perkara Perdata No.24/PDT.G/2017/PN.LBP di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam perkara perdata kasus Citizen Lawsuit?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah diatas, adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk menjelaskan pengaturan hukum mengenai Jaksa Pengacara Negara dalam Perkara Perdata berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

(15)

b. Untuk mengetahui tinjauan kasus terhadap perkara perdata No.24/PDT.G/2017/PN.LBP di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam perkara perdata kasus Citizen Lawsuit

c. Untuk mengetahui peran Jaksa Pengacara Negara dalam perkara Perdata No.24/PDT.G/2017/PN.LBP di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam perkara perdata kasus Citizen Lawsuit

D. Manfaat Penulisan

Sementara hal yang diharapkan menjadi manfaat dari adanya penulisan skripsi ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk berbagai konsep ilmiah serta dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam penelitian hukum mengenai peran Jaksa Pengacara Negara dalam perkara perdata menurut undang-undang nomor 16 tahun 2004.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Penulis

Penulis dapat menambah wawasan mengenai peran Jaksa Pengacara Negara dalam perkara perdata menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 serta mendalami ilmu hukum terutama dalam bidang Perdata.

b. Bagi Pemerintah

(16)

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan bahan pengetahuan dan masukan agar mengedepankan pelayanan baik agar tercipta Good Governance.

c. Bagi Masyarakat

Penulis berharap bahwa tulisan ini dapat bermanfaat sebagai pengetahuan dan menambah wawasan mengenai Jaksa Pengacara Negara dalam perkara perdata menurut undang-undang nomor 16 tahun 2004.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Menurut Peter Muhammad Marzuki penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, Prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian ini menggunakan metode normatif yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana. Penelitian jenis normatif ini menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data-data yang ada dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka- angka.6

2. Pendekatan Penelitian

6 Peter Muhammad marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2009) hlm. 35.

(17)

Pendekatan dalam penulisan ini menggunakan pendekatan Perundang-undangan (Statue Approch). Metode pendekatan perundang- undangan penulis perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. 7 Pendekatan selanjutnya dalam penulisan ini adalah menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approch). Pendekatan konseptual dilakukan penulis manakala penulis beranjak dari aturan yang ada.8 Menggunakan pendekatan konseptual, penulis merujuk pada prinsip-prinsip hukum. Prinsip-prinsip dapat dikemukakan dalam pandangan sarjana hukum atau doktrin. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga dikemukakan dalam undang-undang.9

3. Sumber Penelitian

Data dan sumber data yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum Primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari peraturan perundang-undangan, antara lain meliputi:

1) Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2010 (yang telah diperbaharui dengan Nomor 29 Tahun

7 Ibid, hlm. 95

8 Peter marzuki, Op Cit, hlm. 137.

9

(18)

2016) tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.

3) Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:

040/A/J.A/12/2010 tentang Standar Operating Prosedur (SOP) Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Wewenang Perdata dan Tata Usaha Negara.

4) Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:

025/A/JA/11/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penegakan Hukum, Bantuan Hukum, Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum Lain dan Pelayanan Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer:

1) Hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku mengenai hukum

2) Pendapat para sarjana yang berhubungan dengan pembahasan mengenai Jaksa Pengacara Negara dan Citizen Lawsuit

3) Jurnal-jurnal ilmiah

4) Koran dan Internet terkait permasalahan Jaksa Pengacara Negara dan Citizen Lawsuit

(19)

c. Bahan Hukum Tersier

Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder10, yaitu:

1) Kamus Bahasa Inggris-Indonesia 2) Kamus Hukum

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik penelusuran bahan hukum dilakukan dengan metode studi dokumen atau penelitian-penelitian kepustakaan (library reasearch), Sehubung dengan jenis penelitian normatif, untuk memperoleh informasi yang mendukung kegiatan penelusuran bahan hukum, maka digunakan metode pengumpulan (dokumentasi) bahan hukum primer dan sekunder.

5. Teknik Analisis

Analisa bahan hukum di gunakan untuk menyusun secara sistematis bahan yang telah diperoleh. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer terlebih dahulu dengan menggunakan analisis yang ada pada kajian pustaka. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang berasal dari literatur baik cetak seperti buku, jurnal penelitian dan situs internet yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Seluruh bahan hukum yang berhasil dikumpulkan, selanjutnya di inventarisasi, diklasifikasi, kemudian diolah dan dianalisis agar dapat dideskripsikan.

10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penulisan Hukum Normatif Suatu Tinjauan

(20)

Selanjutnya penulis memilih mana yang penting dan yang akan di pelajari, dan membuat kesimpulan agar dapat dipahami.

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini, diuraikan latar belakang penulis skripsi ini, rumusan masalah yang menjadi bahasan dalam penulisan skripsi ini, tujuan penulisan, manfaat penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian yang digunakan dalam rangka pencarian data untuk penulisan skripsi ini serta bagaimana sistematika penulisan skripsi ini.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

Dalam bab ini, diuraikan permasalahan terkait dengan Kejaksaan Republik Indonesia. Bab ini terdiri atas 4 (empat) subbab, yaitu subbab mengenai Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia, Pengertian Jaksa Penuntut Umum dan Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Republik Indonesia, Kedudukan Jaksa Pengacara Negara dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, serta subbab mengenai Tugas, Fungsi, dan Wewenang Jaksa Pengacara Negara.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERADILAN PERDATA

Dalam bab ini, diuraikan permasalahan terkait dengan Peradilan Perdata. Bab ini terdiri atas 4 (empat) subbab, yaitu subbab mengenai Pengertian Perkara Perdata, Jaksa Sebagai Pengacara Perdata Dalam Mempertahankan Kasus-

(21)

Kasus Perdata, Proses Penyelesaian Sengketa Perdata di Peradilan Perdata, serta subbab mengenai Struktur Putusan Perkara Perdata.

BAB IV PERAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PERKARA PERDATA

Dalam bab ini, diuraikan permasalahan terkait dengan Peran Jaksa Pengacara Negara Dalam Perkara Perdata. Bab ini terdiri atas 3 (tiga) subbab, yaitu subbab mengenai Pengaturan Hukum Jaksa Pengacara Negara dalam Perkara Perdata, Studi Terhadap Kasus Perkara Perdata No.

24/PDT.G/2017/PN.LBP Perkara Perdata Kasus Citizen Lawsuit, serta subbab mengenai Peran Jaksa Pengacara dalam Perkara Perdata No.

24/PDT.G/2017/PN.LBP di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Perkara Perdata Kasus Citizen Lawsuit.

BAB V KESIMPULAN & SARAN

Dalam bab ini, penulis mencoba memberikan kesimpulan dari apa yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Kemudian penulis juga memberikan saran bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

(22)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG JAKSA PENGACARA NEGARA PADA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

A. Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia 1. Kejaksaan Periode Sebelum Kemerdekaan

Dalam perjalanannya, institusi Korps Adhyaksa yang telah ada sebelum Indonesia merdeka sampai sekarang memang tidak dapat dipisahkan dari riwayat kekuasaan yang ada di negeri ini. Kontruksi Kejaksaan baik sebagai bagian dari pengadilan, lembaga negara yang berdiri sendiri, maupun dalam bentuknya sebagai lembaga pemerintahan yang berada di bawah kekuasaan Eksekutif, erat kaitannya dengan bagaimana pemerintahan saat itu hendak memposisikan Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan yang ada, hal ini dapat terjadi karena tidak terdapat landasan yang jelas mengenai kedudukan Kejaksaan dalam konstitusi di Indonesia.11

Sebelum dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 suku-suku bangsa yang ada di Republik Indonesia pernah merasakan atmosfer kemerdekaan. Wilayah Nusantara yang terdiri atas tiga belas ribu pulau dengan sumber daya alamnya yang baik menjadikan negara Indonesia jembatan lalu lintas perdagangan yang menghubungkan Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan bangsa-bangsa lain. Hal ini menimbulkan banyaknya ragam budaya yang datang ke negara Indonesia.

11 Dr. Jan s Maringka, Reformasi Kejaksaan dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : PT Sinar Grafika, 2017) hlm. 21.

(23)

Berdasarkan sejarah tanah air Indonesia pada zaman itu, suku-suku bangsa masing-masing memiliki seseorang yang menegakkan hukum adat dimana mereka juga bertindak sebagai Jaksa seperti yang kita kenal pada saat ini.

a. Masa di beberapa kerajaan bersejarah12

Pada masa kerajaan Majapahit, yaitu pada zaman kerajaan Hindu Jawa di Jawa Timur, sudah terdapat beberapa yang dinamakan dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa. Jabatan-jabatan tersebut berasal dari bahasa Jawa Kuno, dari kata-kata yang sama dalam bahasa Sansekerta.

Menurut W. F. Stutterheim, dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Majapahit, di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389).

Dhyaksa diberi tugas untuk menangani masalah-masalah peradilan dengan kapasitas kedudukannya seperti itu untuk Majapahit Gajah Mada. Dalam kedudukannya itu, menurut Krom dan Van Vollenhoven, Gajah Mada adalah sebagai adhyaksa. Dari keterangan tersebut tersimpul bahwa yang dimaksud dengan dhyaksa adalah hakim pengadilan, sedangkan adhyaksa adalah hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi dhyaksa mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (opperechter).

Tugas Gajah Mada dalam urusan penegakan hukum bukan sekadar sebagai adhyaksa melainkan juga sebagai pelaksana segala peraturan raja (Shitinarendran) dan melaporkan perkara-perkara sulit ke pengadilan. Tugas yang disebut belakangan itu mirip benar dengan tugas Jaksa selaku penyerah pada dewasa ini. Tugas Gajah Mada itu sejalan dengan latar belakang ajaran rechtstaat, yaitu kekuasaan raja yang utama adalah membuat peraturan

12 Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,

(24)

melalui keputusan-keputusannya, yang didelegasikan kepada pejabat-pejabat pemerintah (administrasi negara), dan ajaran the rule of law, yaitu kekuasaan raja yang utama adalah mengadili, sehingga hakim-hakim mendapat delegasi dari raja untuk mengadili perkara di pengadilan.

Para dhyaksa itu dan adhyaksa dituntut kemahiran dan keahliannya dalam hukum Hindu Kuno, yakni hukum yang sudah diakui oleh huku, adat dan sesuai dengan perasaan atau pendapat para rohaniawan serta para cendikiawan yang mendampingi para dhyaksa tadi. Dalam hubungan ini, L.

Mardiwarsito dalam kamus Jawa Kuno Indonesia, mengartikan dhyaksa sebagai seorang yang mahir dan ahli. Sedangkan, adhyaksa dikatannya sebagai saksi, pengawas, dan kadi.

Baik pada zaman kerajaan Majapahit maupun kerajaan Singasari di abad XIII Sang Prabu didampingi oleh dharmadhyaksa, masing-masing seorang untuk agama Syiwa dan agama Buddha. Menurut Juynboll, dharmadhyaksa mempunyai tiga arti, yaitu:

1) Pengawas tertinggi (superintendent) daro kekayaan suci;

2) Pengawas tertinggi dalam urusan kepercayaan (religie);

3) Ketua pengadilan

Muhammad Yamin mengemukakan bahwa dharmadhyaksa hanyalah sebagai pengemban tugas urusan agama Syiwa dan Buddha, yang masing- masing disebut Dharmadhyaksa Ring Kecewaan dan Dharmadhyaksa Ring Kasongatan.

Stutterheim memberikan pengertian yang agak berbeda terhadap kata Adhyaksa, yaitu identik dengan dharmadhyaksa. Dikemukakan bahwa,

(25)

semua lembaga keagamaan (godsdienstige instelligen) yang tersebar di seluruh wilayah pengaruh Majapahit ada di bawah para pengawas, yaitu para adhyaska dari aliran (gezindte) Syiwa dan Buddha.

Dalam kitab Suci agama Syiwa dan Buddha terdapat banyak peraturan hukum dan norma kemasyarakatan lainnya yang mengikat, selain mengenai ajaran-ajaran dan kepercayaan yang harus diikuti demi kesempurnaan hidup manusia. Dengan demikian, dapat kita pahami kalau para rohaniawan dalam peristiwa-peristiwa tertentu, bertindak sebagai hakim atau pengawas tertinggi dari paham hakim (adhyaksa).

Majapahit Gajah Mada sangat cemerlang dalam urusan politik, pengelolaan pemerintahan, dan ahli, dan ahli siasat adhyaksa. Dialah penyusun semua piagam huku, yang terkenal dengan Kitab Hukum Gajah Mada. Walaupun urusan pengadilan ditangani oleh para dhyaksa dengan didampingi para cendikiawan dan para rohaniawan di bawah pimpinan dan pengawasan tertinggi Gajah Mada selaku adhyaksa, namun sudah barang tentu semuanya sudah ada di bawah perintah sang Prabu Hayam Wuruk menunjuk kemenakannya sendiri, yaitu Wirakramawardhana selaku wakil raja dalam urusan peradilan (crinarendradipha).

Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 dalam masa pemerintahan Bre Kertabhumi setelah dirundung berbagai permasalahan internal yang tidak dapat diatasinya sehingga tidak mampu menghadapi serangan Demak.

Walaupun demikian, peranan dhyaksa sebagaimana yang berlaku di zaman Majapahit, tidak lenyap begitu saja. Bahkan kerajaan Mataram abad XVII, yang menganut agama Islam, pengaruhnya masih terasa sebagaimana tampak

(26)

dalam sistem peradilan Pradata dan Padu yang berlaku di kerajaan. Sejalan dengan berputarnya roda sejarah, terminologi dhyaksa berubah menjadi jeksa dalam bahasa Jawa, dan Jaksa dalam bahasa Sunda dan Indonesia. Tugas serta wewenang jaksa secara evolusioner berubah sesuai dengan struktur kenegaraan dan sistem pemerintahan yang berlaku dari masa ke masa hingga akhirnya seperti yang kita temui dewasa ini.

Mengingat bahwa di zaman Majapahit telah ada dhyaksa, dapat diperkirakan bahwa pada zaman itu ada suatu tempat tertentu di mana dhyaksa melakukan fungsinya, walaupun organisasinya masih dalam ukuran atau dimensi yang sederhana sesuai dengan zamannya.

b. Masa Penjajahan Belanda

Pada masa awal penjajahan tahun 1602, Verenigde Oost Indische Compagni (VOC) atau Kompeni membentuk berbagai peraturan hukum, mengangkat para pejabat yang akan menjaga kepentingannya dan membentuk badan-badan peradilannya sendiri (schepenenbank) yang petugas-petugasnya diberi kekuasaan sebagai penuntut umum, yaitu Officer Van Justitie. Oleh karena tekanan keadan ketika itu, politik hukum tadi diubah dengan menerapkan hukum adat kepada penduduk pribumi, sepanjang hal-hal tertentu tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan Kompeni sendiri.13

Sejak masa penjajahan VOC istilah penuntut umum atau Officer Van Juctitie telah di akui keberadaannya sebagai badan pengadilan sendiri dan sudah pasti mempunyai tugas fungsi sebagai badan peradilan dalam penegakan hukum.

13 Ibid, hlm. 58.

(27)

Ketika Daerah Priangan masih dalam kekuasaan Mataram, para terdakwa dengan perkara yang dapat diancam dengan pidana siksaan dan pidana mati harus dikirim ke Mataram untuk diperiksa dan diputuskan perkaranya.

Namun, dalam Pengadilan Perdata, perkara-perkara yang tidak diancam dengan pidana mati atau siksaan diputuskan oleh Jaksa di pengadilan Padu Setempat. Setelah Priangan diambil alih oleh Kompeni dari kekuasaan Mataram, perkara-perkara berkaitan dengan orang-orang Bumiputera yang tadinya dilakukan oleh Pengadilan di Mataram selanjutnya dilakukan oleh pengadilan yang dibentuk Kompeni. Namun, untuk perkara ringan jaksalah yang melakukan peradilan, untuk dan atas nama Bupati setempat. Sama halnya, setelah Semarang dikuasai Kompeni, pengadilan Semarang menggunakan hukum adat seperti halnya di Priangan dalam melakukan peradilan terhadap orang-orang Bumiputra. Pengadilan ini hanya mengadili perkara-perkara besar. Di sini Jaksa bertindak sebagai penuntut keadilan dengan Gubernur Belanda sebagai ketuanya dan bupati terkemuka sebagai anggotanya. Sedangkan dalam perkara-perkara kecil, jaksa yang mengadili yang bertindak sebagai hakim atas nama bupati setempat.14

c. Masa Pemerintahan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang sejak tanggal 8 Maret 1942 sampai 16 Agustus 1945 ditetapkan jenis-jenis badan peradilan umum di Jawa dan Madura, yaitu:15

1) Saiko Hooin (Pengadilan Agung atau Mahkamah Agung) 2) Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi)

14 Ibid, hlm. 60.

15

(28)

3) Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) 4) Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten) 5) Gun Hooin (Pengadilan Kawedanan)

Pada Saikoo Hooin, Kooto Hooin, dan Tihoo Hooin ada kantor kejaksaan (Kensatsu Kyoku), masing-masing Saikoo Kensatsu Kyoku (Kejaksaan Pengadilan Agung), Kooto Kyoku (Kejaksaan Pengadilan Negeri). Badan peradilan tersebut merupakan pengadilan bagi semua golongan penduduk (Indonesia, Timur Asing, dan Eropa), kecuali bangsa Jepang. Thoo Hooin merupakan pengadilan sehari-hari, Kooto Hooin sebagai pengadilan banding, dan Saikoo Hooin sebagai pengadilan tertinggi yang menangani perkara- perkara kasasi.

Pada masa pemerintahan Jepang digariskan bahwa kejaksaan diberi kekuasaan (ditugaskan) untuk:

1) Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran.

2) Menutut perkara.

3) Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.

4) Mengurus pekerjaan lain-lain yang wajib dilakukan menurut hukum.

Dengan demikian penyidikan menjadi salah satu tugas umum kejaksaan sejak dari Tihoo Kensatsu hingga Kootob Kensatsu dan Saiko Kensatsu Kyoku.

Selain melakukan perubahan dalam jenis badan peradilan, pihak Jepang juga mengubah alat penuntut umumnya. Magistraat dan Officier van Justitie ditiadakan. Tugas dan wewenang mereka dibebankan kepada penuntut umum

(29)

bumiputera (jaksa) di bawah pengawasan Kepala Kantor Kejaksaan bersangkutan, seorang jaksa Jepang. Dengan demikian, jaksa menjadi satu- satunya penuntut umum. Seluruh kejaksaan mula-mula ada di bawah perintah dan koordinasi Sihoobuco (Direktur Dapartemen Kehakiman) dan kemudian Cianbucco (Direktur Keamanan) yang untuk tingkat pusat ada di Gunseikanbu dan untuk tingkat daerah di kantor-kantor keresidenan (Syuu).

Dengan demikian, jaksa di daerah-daerah tidak lagi di bawah perintah langsung Residen/Asisten Residen, tetapi melalui para Kepala Kejaksaan Pengadilan setempat yang bertanggung jawab kepada Cianbucoo. Pekerjaan Ketua Saikoo Kensatsu Kyoku (Jaksa Agung) dilaksanakan oleh Gunseikanbu Sihhobucoo (Pejabat Kehakiman) pada kantor pemerintah balatentara Jepang yang mengkoordinasikan kejaksaan dan kepolisian.16

Kejaksaan di masa pemerintahan Jepang tidak berbeda dari pemerintahan Hindia Belanda, dimana pada masa itu kejaksaan lebih terlihat sebagai perpanjangan tangan penguasa penjajah negeri ini pada saat itu.

2. Kejaksaan Periode Setelah Kemerdekaan

Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia dalam sistem ketatanageraan dapat dilihat sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan negara Indonesia melalui beberapa fase. Pada masa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggan 19 Agustus 1945, Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan mengenai kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia dalam lingkungan Dapartemen

16

(30)

Kehakiman. Secara Yuridis formal Kejaksaan Republik Indonesia sudah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.

Kedudukan Kejaksaan dalam struktur kenegaraan Negara Republik Indonesia adalah selaku alat kekuasaan eksekutif dalam bidang yustisial yang sudah berakar sejak zaman Kerajaan Majapahit, Mataram, Cirebon, serta zaman penjajahan. Istilah Kejaksaan dipergunakan secara resmi oleh Undang- undang Balantentara Pendudukan Jepang No. 1 Tahun 1942, No. 2 Tahun 1944, dalam Negara Republik Indonesia Proklamasi berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 1945. Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 jo PP No. 2 Tahun 1945, ketentuan yang digariskan oleh Osamu Seirei No. 3 Tahun 1942 menegaskan bahwa Jaksa yang menjadi satu-satunya pejabat penuntut umum tetap berlaku di Negara Republik Indonesia Proklamasi.17

3. Kejaksaan di Zaman Orde Baru sampai dengan Zaman Orde Reformasi

Situasi dan kondisi nasional pada umumnya dan bidang penegakan hukum pada khususnya telah banyak mengalami perubahan setelah diundangkannya Undang-Undang Pokok Kejaksaan tanggal 30 Juni 1961, terutama setelah kelahiran Orde Baru pada tanggal 11 Maret 1966 dan khususnya setelah Sidang Umum IV MPRS, yang kemudian disusul dengan tersusunnya DPR pada tahun 1972, 1977, dan 1982 serta MPR pada tahun 1973, 1978, dan 1983.18

Pada hari itu, dengan jelas ada sebanyak 5 kali kata Kejaksaan diucapkan, yaitu tiga kali oleh Mr. Subardjo dan masing-masing satu kali oleh Bung Karno dan

17 ibid, hlm. 66.

18 Evy Lusia Ekawati, Peranan Jaksa Pengacara Negara Dalam Penanganan Perkara Perdata, (Yogyakarta : Genta Press, 2013) hlm. 45.

(31)

Prof. Supomo. Lalu diputuskan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia dimasukkan ke dalam lingkungan Departemen.19

Dalam perkembangannya, berdasarkan pada keputusan sidang Kabinet Kerja I pada tanggal 22 Juli 1960 yang kemudian diperkuat dengan Kep. Pres Nomor 204 Tahun 1960 tanggal 15 Agustus 1960 yang berlaku surut terhitung mulai tanggal 22 Juli 1960, status Kejaksaan Republik Indonesia berubah dari lembaga non departemen di bawah Departemen Kehakiman menjadi lembaga yang berdiri sendiri.20

Kemudian baru pada tanggal 30 Juni 1961 muncul undang-undang organik Kejaksaan yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan Pokok Kejaksaan, yang kemudian dalam perkembangannya untuk menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut UUD 1945, hingga kini telah terjadi 2 kali pergantian undang-undang organik Kejaksaan, di mana pada tanggal 22 Juli 1991 diundangkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 diganti dengan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kemudian pada tanggal 26 Juli 2004 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 diganti dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.21

Pada periode Reformasi telah banyak mengalami perubahan, status kejaksaan perlahan berubah dari lembaga non dapartemen di bawah Dapartemen Kehakiman menjadi lembaga yang berdiri sendiri. Begitupun dengan peraturan-peraturan baru

19 Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid Pertama, 1959, hlm. 453-456.

20 Suhadibroto, Profil Jaksa Agung Muda Tata Usaha Negara, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1994, hlm. 148.

21

(32)

yang dikeluarkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan hukum masyarakat Indonesia serta ketatanageraan menurut UUD 1945.

4. Sejarah Kompetensi Kejaksaan Republik Indonesia di Bidang Perdata Terkait dengan tugas wewenang kejaksaan di bidang perdata sebenarnya bukan lagi merupakan hal yang baru, karena secara formal dan material, diketahui telah ada sejak zaman penjajahan Hindia Belanda. Lembaga Kejaksaan yang pada masa Hindia Belanda dikenal dengan nama Openbaar Ministerie (O.M.), di mana ketentuan perihal O.M. diatur berdasarkan Pasal 55 R.O., H.I.R. dan Reglement op de Stafvordering (Sv) dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, mempunyai tugas-tugas sebagai berikut:22

Mempertahankan ketentuan undang-undang;

a. Melakukan penyidikan dan penyidikan lanjutan;

b. Melakukan penuntutan tindak-tindak pidana pelanggaran dan kejahatan;

c. Melaksanaan putusan-putusan Pengadilan Pidana.

Selain dalam penegakan hukum pidana O.M. juga mempunyai sejumlah kekuasaan dalam bidang hukum perdata antara lain:23

a. O.M. dapat mewakili negara dalam perkara perdata baik selaku penggugat maupun tergugat berdasarkan S.1922/522 tentang Vertegenwoordiging van den Laande inn Rechten (Wakil negara dalam hukum);

b. Karena jabatannya O.M. berwenang meminta kepada hakim untuk menempatkan seseorang di suatu tempat tertentu, rumah sakit atau sesuatu tempat lain yang layak, karena secara terus menerus berkelakuan buruk,

22 Ibid, hlm. 53.

23 Suhadibroto, Op. Cit, hlm. 26-27.

(33)

yang tidak mampu untuk mengurus dirinya sendiri atau membahayakan orang lain ( Pasal 134, 135, 137, dan 137a R.0.);

c. O.M. berwenang untuk meminta kepada Hakim agar sesuatu badan hukum dibubarkan karena melakukan penyimpagan dari anggaran dasarnya yang sah (Pasal 1 butir 6 R.O.);

d. Demi kepentingan umum O.M. berwenang untuk mengajukan permintaan kepada Hakim supaya seseorang atau badan hukum dinyatakan pailit (Pasal 1 (2) Undang-Undang Failisemen);

e. O.M. didengar pendapatannya dalam hal seseorang akan merubah atau menambah nama depannya (Pasal 13 dan 14 B.W.);

f. O.M. wajib menuntut pembatalan kepada Hakim atau sesuatu perkawinan sebagaimana termaksud dalam Pasal 27 hingga 34 B.W. (Lihat juga Pasal 86 B.W.);

g. O.M. dapat menuntut kepada Hakim agar seseorang bapak atau ibu dibebaskan dari kekuasaannya sebagai orang tua atau ouderlijkemachtnya (Pasal 139 B.W.);

h. O.M. berwenang untuk melakukan penuntutan kepada pengadilan supaya seseorang dipecat sebagai wali dari anak yang belum dewasa (Pasal 381 B.M.);

i. O.M. dapat memerintahkan Balai Harta Peninggalan untuk mengurus harta benda seseorang (Pasal 463 dan 468 B.W.);

j. O.M. berwenang untuk mengajukan usul bagi pengangkatan pengurus warisan bilamana pengurus yang telah diangkat meninggal dunia, dan sebagainya (Pasal 983, 985 dll B.W.);

(34)

k. O.M. berwenang mengajukan kasasi demi kepentingan hukum dalam perkara perdata (Pasal 170 butir I R.O.).

Beberapa kewenangan tersebut sampai pada masa setelah Kemerdekaan Negara Republik Indonesia masih dimiliki oleh kejaksaan karena ketentuan hukum positif yang mengatur kewenangan tersebut masih berlaku berdasarkan ketetuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945.

Kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia di bidang perdata secara tegas pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan republik Indonesia Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa:

"Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah."

Keputusan Presiden Nomor 86 Tahun 1999 tanggal 30 Juli 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yang menetapkan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM DATUN) sebagai institusi dalam lingkungan organisasi Kejaksaan Agung dan juga sebagai salah satu pembantu Jaksa Agung.

Cikal bakal atau "embrio" dari JAM DATUN, khususnya dibidang perdata sebenarnya telah ada berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 86 Tahun 1982, di mana kegiatan bidang ini dilaksanakan oleh Direktorat Perdata dan Bantuan Hukum yang merupakan salah satu direktorat dalam lingkungan JAM PIDUM dan pelaksanaan tugas wewenangnya berdasarkan S. 1992 Nmor 522 dan berbagai peraturan perundang-undangan yang tersebar dan berjumlah tidak kurang dari 23

(35)

buah. Selain itu di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 Pasal 2 ayat (4) dinyatakan bahwa kejaksaan mempunyai tugas khusus lain yang diberikan oleh suatu peraturan negara dimuat lagi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, yaitu pada Pasal 27 ayat (2), merupakan upaya dari kekuasaan legislatif dalam rangka memantapkan kedudukan dan peranan kejaksaan agar lebih mampu dan berwibawa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam negara hukum yang berdasarkan Pancasila, sebagai negara yang sedang membangun.24

Di dalam negara hukum yang menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat, akan banyak ditemukan keterlibatan dan kepentingan hukum dari negara dan pemerintah di bidang perdata dan tata usaha negara, baik dalam kedudukan sebagai tergugat maupun penggugat atau sebagai pihak yang mempunyai kepentingan hukum di luar pengadilan yang dapat diwakilkan kepada kejaksaan. Inilah pandangan antisipatif dari kekuasaan legislatif yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991.

Dalam perkembangannya kewenangan kejaksaaan untuk dan atas nama negara atau pemeritah sebagai penggugat atau tergugat dalam bidang perdata, dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah saja tetapi juga membela dan melindungi kepentingan rakyat.25

24 Ibid, hlm. 67.

25

(36)

B. Pengertian Jaksa Penuntun Umum dan Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Republik Indonesia

1. Jaksa Penuntut Umum

Jaksa atau Penuntut Umum adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum terhadap pelanggar hukum pidana dimuka pengadilan serta melaksanakan putusan pengadilan (eksekusi) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.26

Pengertian Jaksa menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, mengatakan bahwa:

“Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”.

Menurut Pasal 1 butir 6 (b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan bahwa:

“Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”

Bambang waluyo dalam bukunya mengenai Pidana dan Pemidanaan mengatakan bahwa:27

“Jaksa adalah pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung. Dalam melakukan tugas penuntutan, Jaksa bertindak untuk dan atas nama negara, dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah serta demi keadilan dan

26 Marbun BN, Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004) hlm. 88

27 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta : PT Sinar Grafika, 2004) hlm. 56

(37)

kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

2. Jaksa Pengacara Negara

Jaksa Pengacara Negara adalah Jaksa dengan kuasa khusus, bertindak untuk dan atas nama negara atau pemerintah dalam kasus atau perkara perdata atau tata usaha negara.28

Pasal 30 ayat (2) Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menjelaskan bahwa:

“Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”.

Jaksa pengacara negara diberikan wewenang untuk menjalankan tugas dan fungsinya dengan menggunakan surat kuasa khusus oleh pihak yang terkait, seperti instansi-instansi pusat maupun daerah, badan usaha milik negara/daerah, pejabat negara, serta masyarakat demi kepentingan umum. Sebutan jaksa pengacara negara secara eksplisit tidak tercantum dalam Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia, namun makna “kuasa khusus” dalam bidang keperdataan dengan sendirinya identik dengan “pengacara”.

28 Himpunan petunjuk Jaksa Agung Muda Perdata Dan Tata Usaha Negara (JAM

(38)

Pengacara atau Advokat sendiri dalam arti umum adalah orang yang mewakili kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang diberikan untuk pembelaan atau penuntutan pada acara persidangan di Pengadilan atau beracara di Pengadilan (litigator).29

Maka dari itu jaksa sebagai penerima surat kuasa khusus mewakili negara berperkara Perdata di pengadilan, dapat di istilahkan atau disebut sebagai pengacara atau advokat.

C. Kedudukan Jaksa Pengacara Negara dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak memberi penjelasan mengenai pengertian dari Jaksa Pengacara Negara (JPN). Hanya ada definisi Jaksa, yaitu pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.30

Jika ditelusuri lebih jauh dari peraturan berikut mengenai kedudukan Jaksa Pengacara Negara, adalah:

1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

- Pasal 30 ayat (2)

29 Ibnu Hajar, Pengawan Advokat: Upaya Menuju Profesionalisme, (Al-Mawarid Edisi XII Tahun 2004, hlm. 62.

30 Satria Agung Wicaksana, Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Volume 5 Nomor 4 Tshun 2016, hlm. 10.

(39)

“Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan dengan Kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.”

Dari ketentuan pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 telah tercermin bahwa kejaksaan telah mengikatkan diri kepada badan keperdataan.

Tentu saja, ada kalanya seorang warga atau badan hukum perdata tidak menyenangi dan enggan menaati suatu peraturan atau keputusan yang mengikat padanya, tetapi ia tetap dituntut untuk menghormati dan menaati ketentuan peraturan atau keputusan itu bahkan jika perlu, pelaksanaanya bisa dipaksakan melalui campur tangan petugas (aparat) penegak hukum.31

Oleh karena kejaksaan bekerja sebagai pelaku hukum keperdataan (civil actor), maka perbuatan hukum yang dilakukan kejaksaan tersebut tidak diatur berdasarkan hukum publik, tetapi didasarkan pada peraturan perundang-undangan hukum perdata (privaatrecht) sebagaimana lazimnya peraturan perundangan- undangan yang mendasari hukum keperdataan yang dilakukan seseorang warga dan badan hukum perdata.32

Kejaksaan sebagai badan hukum publik yang ikut serta dalam hubungan hukum keperdataan, maka dia tidak bertindak sebagai penguasa, sebagai organisasi kekuasaan tetapi dia menggunakan hak-hak kepada kedudukan yang sama dengan rakyat, sehingga kejaksaan harus tunduk kepada pengadilan biasa, sebagai kuasa hukum yang mewakili kepentingan negara atau pemerintah di

31 Phillipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, ( Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1933) hlm. 166.

32

(40)

depan pengadilan, maka kejaksaan mempunyai kedudukan yang sama atau sederajat dengan pihak lawan.33

Dalam kaitannya dengan posisi jaksa mewakili kepentingan negara sebagai tergugat dan posisi jaksa mewakili kepentingan negara sebagai penggugat, maka dapat disampaikan bahwa posisi negara sebagai tergugat ini berhubungan erat dengan kedudukan Negara sebagai lembaga publik.

D. Tugas, Fungsi, dan Wewenang Jaksa Pengacara Negara

Komperansi pengaturan mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia secara normatif dapat dilihat dalam beberapa ketentuan undang-undang mengenai Kejaksaan, sebagaimana yang hendak diketengahkan di bawah ini.

Ditegaskan dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2004, pasal 30 ayat (2):34

“Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara dan pemerintah.”

Selain Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tugas, fungsi dan wewenang Jaksa Pengacara Negara juga mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2010 telah mengalami perubahan dengan Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksan RI.

Dasar hukum tugas fungsi dan wewenang Kejaksaan dalam bidang perdata dan tata usaha negara dijabarkan dalam peraturan di bawah ini:

1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I.

33 Rusdianto, Op. Cit, hlm. 106.

34 Dr. Marwan Effendy, Op. Cit, hlm. 126.

(41)

- Pasal 30 ayat (2) : Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau Pemerintah.

- Pasal 34 (2) : Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada pemerintah lainnya.

1. Peraturan Presiden RI Nomor 38 Tahun 2010 telah mengalami perubahan dengan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI.

- Pasal 24 (1) : Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan tugas dan kewenangan Kejaksaan di bidang perdata dan tata usaha negara.

- Pasal 24 (2) : Lingkup bidang perdata dan tata usaha negara sebagaimana ayat 1 meliputi penegakan hukum, bantuan hukum, pertimbangan hukum, dan tindakan hukum lain kepada negara atau pemerintah meliputi lembaga/ badan negara, lembaga/instansi pemerintah pusat dan daerah, badan usaha milik negara/daerah dibidang perdata dan tata usaha negara untuk menyelamatkan, memulihkan kekayaan/keuangan negara, menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta memebrikan pelayanan hukum kepada masyarakat.

2. Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: 009/A/JA/01/2011 telah mengalami perubahan dengan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: 006/A/JA/03/2014

(42)

tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia Pengaturannya terdapat di dalam Pasal 292, 293 dan 294.35

- Pasal 292

(1) Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang perdata dan tata usaha Negara, bertanggung jawab kepada Jaksa Agung;

(2) Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara

- Pasal 293

(1) Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan tugas dan wewenang kejaksaan di bidang perdata dan tata usaha negara;

(2) Lingkup bidang perdata dan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penegakan hukum, bantuan hukum, pertimbangan hukum dan tindakan hukum lain kepada negara atau pemerintah, meliputi lembaga/badan negara, lembaga/instansi pemerintah pusat dan daerah, Badan Usaha Milik Negara/Daerah di bidang perdata dan tata usaha negara untuk menyelamatkan, memulihkan kekayaan negara, menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat.

35 Bambang Setyo Wahyudi, Indonesia Mencegah Upaya Pencegahan Korupsi Oleh Kejaksaan Bidang Perdata dan TUN, (Bhuana Ilmu Populer, 2017), hlm. 251.

(43)

- Pasal 294

Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 293, Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara menyelenggarakan fungsi:

a) Perumusan kebijakan di bidang peradata dan tata usaha negara;

b) Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara;

c) Koordinasi dan sinkronisasi pelaksaan kebijakan di bidang perdata dan tata usaha negara;

d) Pelaksanaan hubungan kerja dengan instansi/lembaga baik di dalam negeri maupun di luar negeri;

e) Pemantauan, analisis, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kegiatan di bidang perdata dan tata usaha negara;

f) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Jaksa Agung.

a. Tugas dan Wewenang Jaksa Pengacara Negara 1) Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah tugas berat kejaksaan yang diberikan oleh undang-undang tidak hanya kejaksaan, tetapi keseluruhan pemerintah menanggung tugas sebagai penegak keadilan, kejaksaan sebagai aparatur negara secara spesifik adalah aparatur penegak hukum, juga harus mampu terlihat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut terciptanya kondisi dan prasarana yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

(44)

seperti cita-cita bangsa indonesia, serta peran kejaksaan untuk menjaga kewibawaan pemerintah sekaligus melindungi kepentingan rakyat.36

Di dalam pasal 30 ayat (2) UU no 16 tahun 2004 menjelaskan tentang tugas dan fungsi jaksa pengacara negara yang bersifat umum, namun untuk kewenangan secara khusus demi terciptanya keadilan bagi masyarakat, undang-undang kejaksaan menerangkan lebih lanjut dalam pasal 35 huruf b UU no 16 tahun 2004 memberikan wewenang khusus untuk mengefektifkan proses penegakan hukum yang di berikan undang-undang lain, dengan kata lain jaksa pengacara negara demi melaksanakan tugasnya diberikan hak khusus (previlage) oleh undang-undang kejaksaan.

Maka dari itu dapat disimpulkan tindakan hukum adalah tindakan yang dilakukan oleh Kejaksaan di bidang Datun sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan atau berdasarkan putusan pengadilan dalam rangka menyelamatkan kekayaan atau keuangan Negara serta melindungi hak-hak keperdataan masyarakat.

2) Bantuan Hukum

Bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum kepada Instansi Pemerintah atau Lembaga Negara atau BUMN/BUMD atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam perkara Perdata maupun Tata Usaha Negara baik berkedudukan sebagai penggugat maupun

36 www.kejaksaan.go.id/uplimg/DATUN.ppt diakses pada 13 Mei 2018 pukul 15:00.

(45)

tergugat baik melalui penyelesaian dipengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non litigasi) dengan surat kuasa khusus.

Bantuan hukum merupakan salah satu perwujudan dari jaminan dan perlindungan hak asasi manusia khususnya pencari keadilan untuk mendapatkan perlakuan secara layak dari penegak hukum sesuai dengan harkat dan martabat sebagai manusia yaitu dalam bentuk pembelaan terhadap perkara oleh penasehat hukumnya.37

Disamping bantuan hukum tersebut diberikan pada setiap masyarakat yang membutuhkan, negara juga memerlukan adanya bantuan hukum. Sebagai negara hukum yang menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat, akan banyak ditemukan keterkaitan dan kepentingan hukum dari negara hukum atau pemerintah dibidang perdata dan tata usaha negara, baik dalam kedudukan sebagai tergugat maupun penggugat.

Dalam hal ini bantuan hukum tersebut dapat diwakilkan kepada kejaksaan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 30 ayat (2) Undang-undang No. 16 tahun 2004 di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus bertindak didalam maupun diluar pengadilan dan atas nama negara atau pemerintah. Menurut peraturan jaksa agung RI no.

40/A/JA/12/2010 tentang standar operasi prosedur (SOP) tugas, fungsi dan wewenang perdata dan tata usaha negara pasal 3

37 Prakoso Djoko, Eksistensi jaksa ditengah-tengah masyarakat, (Jakarta : Ghalia,1985)

(46)

huruf (a) “Bantuan hukum adalah tugas jaksa pengacara negara dalam perkara perdata maupun tata usaha negara untuk mewakili lembaga negara, instansi pemerintah pusat/daerah, BUMN/BUMD, berdasarkan surat kuasa khusus, baik sebagai penggugat maupun terguggat yang dilakukan secara litigasi maupun nonlitigasi.”

3) Pertimbangan Hukum

Pertimbangan hukum adalah Pemberian Pendapat Hukum kepada Instansi Pemerintah/BUMN/BUMD dalam masalah Perdata dan Tata Usaha Negara dalam bentuk Pendapat Hukum (Legal Opinion) dan pemberian Pendampingan Hukum (Legal Assistance) kepada instansi pemerintah/BUMN/BUMD serta Legal Audit yang diminta oleh Instansi Pemerintah/BUMN/BUMD kepada Kejaksaan.

Pertimbangan hukum sebenarnya merupakan bagian dari bantuan hukum, sebagaimana yang pernyataan sebelumnya, tugas kejaksaan dibidang perdata dan tata usaha negara dalam pemberian pertimbangan hukum adalah pemberian jasa hukum kepada instansi pemerintah atau lembaga negara atau badan usaha milik negara maupun daerah, atau pejabat tata usaha negara di bidang perdata, yang disampaikan melalui forum koordinasi yang ada atau mediasi diluar pengadilan. Untuk terjamin suksesnya dalam memberikan pertimbangan hukum, harus dipersiapkan personil yang memiliki pengetahuan dan keterampilan hukum yang

(47)

memadai serta dukungan bahan kepustakaan yang lengkap, karena pemberian pertimbangan hukum harus dilandasi dasar hukum dan argumentasi yang kuat.

4) Pelayanan Hukum

Pelayanan hukum adalah pemberian jasa hukum kepada masyarakat untuk penyelesaian masalah Perdata maupun Tata Usaha Negara diluar proses pengadilan dalam bentuk konsultasi, advis, saran dan pendapat.

Pelayanan hukum merupakan bentuk dari bantuan hukum, dimana tugas kejaksaan dalam pelayanan hanya dalam bidang perdata dan tata usaha negara, karena pelayanan hukum hanya sebagai masukan bagi para pihak yang berperkara, yang sifatanya non-litigasi. Pelayanan hukum oleh jaksa adalah salah satu bentuk bantuan hukum dan fasilitas dari kejaksaan untuk masyarakat agar masyarakat menjadi masyarakat yang peka terhadap hukum, berbeda dengan pertimbangan hukum adalah terletak pada subyek yang akan di berikan pelayanan, karena secara garis besar untuk menjalankan fungsi “melindungi kepentingan masayarakat” adalah salah satu cara kejaksaan untuk melindungi kepentingan masyarakat dengan cara non-litigasi.

5) Tindakan Lain

Tugas kejaksaan dibidang perdata dan tata usaha negara dalam tindakan hukum lainya adalah pemberian jasa hukum dibidang perdata dan tata usaha negara diluar penegakan hukum,

Referensi

Dokumen terkait

Oleh sebab itu, diwajibkan bagi orang yang beriman untuk membersihkan diri dari perilaku syirik dan tradisi khurafat (Ridha, VII, 1947, p. Alhasil dari beberapa

Selanjutnya berdasarkan hasil pengujian sampel air dapat diketahui kondisi perairan Sungai Belawan sudah tercemar logam berat, terutama unsur Hg, Cd, dan Pb.Disarankan

(kalau aturan di Berkah Lestari itu beda dengan aturan pada umumnya mbak, ya tidak ketat seperti di perusahaan, pokoknya enak tidak memberatkan. Misalnya tidak bisa

Berdasarkan nilai resistivitas dapat dilakukan penelitian untuk mengetahui penyebaran lindi yang dipengaruhi hidrogeologi di sekitar TPA Gampong Jawa dengan memanfaatkan

Untuk mengatasi hal itu, maka sungai-sungai tersebut akan dievaluasi kapasitasnya dengan debit rencana periode ulang 25 tahunan (Q25) yang disertai kondisi pasang. Analisis

[r]

Variabel sosial juga berperan sebagai variabel moderator yang memperkuat pengaruh variabel produk dan kualitas pelayanan masing-masing terhadap keputusan nasabah BPR

Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang Makassar Somba Opu. 2)Untuk mengetahui strategi Relationship Marketing mana yang memiliki pengaruh dominan terhadap