• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Tinjauan Umum tentang Proses Pemeriksaan Perkara Perceraian

3. Proses di dalam Peradilan

Sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku di Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus, maka proses pemeriksaan perkara di depan sidang dilakukan melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata, setelah hakim terlebih dahulu berusaha dan tidak berhasil mendamaikan para pihak yang bersangkutan (Hensyah H. Syahlani, 1993: 25).

Tahap-tahappersidangan sebagai berikut meliputi (Purwosusilo, 2014: 28- 40):

1. Pembacaan surat gugatan. 2. Jawaban Tergugat. 3. Replik Penggugat. 4. Duplik Tergugat. 5. Pembuktian. 6. Kesimpulan. 7. Putusan Hakim.

3.1. Pembacaan Surat Gugatan

Sebelum masuk pada tahap pembacaan gugatan oleh Hakim Ketua sidang, Ketua harus mebuka dengan kata-kata dibuka dan dinyatakan tertutup untuk umum. ini berati bahwa setiap orang tidak boleh mendengarkan jalannya persidangan, yang secara formalitas Hakim tidak dapat mengadakan kontrol, dan dengan demikian Hakim tidak dapat memperjuangkan jawaban pemeriksaan yang fair serta memihak, karena sudah ditentukan dalam persidangan. Setelah sidang dibuka dan dinyatakan terbuka dan tertutup untuk umum, maka kedua belah pihak, yaitu penggugat dan tergugat dipanggil masuk ke dalam ruang sidang (Yahya M. Harahap, 1993: 8).

Apabila pada sidang pertama para pihak yang berperkara atau salah satu pihak tidak hadir dimuka sidang, maka:

1. Hakim dapat memutus verstek atau digugurkan apabila penggugat maupun tergugat tidak hadir.

2. Apabila penggugat yang tidak hadir, hakim dapat menggugurkan perkara yang diajukan oleh penggugat.

3. Apabila tergugat tidak hadir, Hakim dapat memutus verstek (Sudikno Mertokusumo, 2002: 35).

Namun berdasarkan Pasal 126 HIR, karena kedudukan Hakim dalam perkara perdata merupakan penengah diantara para pihak yang berperkara maka Hakim diperbolehkan memanggil yang kedua kali terhadap pihak-pihak yang tidak hadir di persidangan tersebut,

sebelum Hakim memutus verstek atau digugurkan. Jika penggugat dan tergugat harus di persidangan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat 1 dan 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Pasal 130 ayat 1 HIR, Hakim berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berpekara, dan dapat saja usaha ini dilakukan selama perkara belum diputuskan (Hensyah H. Syahlani, 1993: 28).

Usaha mendamaikan oleh Hakim tersebut adalah

mengupayakan tidak terjadinya perceraian. Apabila

upayamendamaikan tersebut berhasil, maka gugatan Penggugat dicabut, dan untuk ini tidak mungkin dibuat suatu ketentuan yang bermaksud melarang salah satu pihak melakukan perbuatan tertentu, misalnya dilarang meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin, dilarang menganiaya dan lain-lain, sebab apabila ketentuan yang telah dibuat tersebut dilanggar, tentu saja tidak dapat di eksekusi, karena akibat pelanggaran tersebut tidak mengakibatkan putusnya perkawinan keduanya, apabila salah satu pihak menghendaki perceraian maka salah satu jalan adalah dengan mengajukan gugatan baru (Al-Mizan, 2015: 4).

Selanjutnya apabila tidak tercapai perdamaian, maka Hakim menyatakan persidangan tertutup untuk umum guna memeriksa materi pokok perkara, yang dimulai dengan pembacaan surat gugatan Penggugat. Pada tahap pembacaansurat gugatan ini, maka pihak

Penggugat berhak meneliti ulang ulang apakah seluruh materi (dalil gugatan dan petitum) sudah benar dan lengkap. Hal-hal yang tercantum dalam surat gugatan itulah yang menjadi acuan (obyek) pemeriksaan, dan pemeriksaan tidak boleh keluar dari ruang lingkup yang termuat dalam surat gugatan, apabila memang pihak Penggugat menyatakan tidak akan melakukan perubahan terhadap surat gugatannya, maka kepada pihak Tergugat diberi kempatan untuk mengajukan jawaban atas surat gugatan Penggugat tersebut (Yahya M. Harahap, 1993: 13-15).

3.2. Jawaban Penggugat

Pada tahap jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap Penggugat melalui Hakim.Dapat saja dalam jawabannya tergugat mengemukakan pengakuan, yaitu membenarkan gugatan Penggugat, membantah, mengajukan eksepsi, atau dapat pula mengajukan rekonpensi (gugatan balik) (Purwosusilo, 2014: 29).

Menurut Pasal 121 ayat 2 HIR jo Pasal 132 ayat 1 HIR, Tergugat dapat mengajukan jawaban secara tertulis atau lisan. Di dalam mengajukan jawaban tersebut Tergugat harus hadir secara pribadi dalam sidang atau diwakilkan oleh kuasanya yang sah, apabila Tergugat atau kuasanya yang sah tidak hadir dalam sidang meskipun mengirimkan surat jawabannya, tetapi dinilai oleh Hakim tidak hadir dan jawabannya itu tidak perlu diperhatikan, kecuali dalam hal

jawaban yang berupa eksepsi atau tangkisan bahwa pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkaranya itu (Sudikno Mertokusumo, 2002: 72).

3.3. Replik Penggugat

Pada tahap replik, Penggugat dapat menegaskan kembali gugatannya yang disangkal oleh Tergugat dan juga mempertahankan diri atas serangan oleh tergugat.Bahwasanya replik yaitu jawaban Penggugat dalam hal baik tertulis maupun juga lisan terhadap jawaban Tergugat atas gugatannya (Purwosusilo, 2014: 30).

Replik diajukan oleh Penggugat untuk meneguhkan gugatanya tersebut, dengan cara mematahkan berbagai alasan dalam penolakan yang dikemukakan Tergugat di dalam jawabannya. Replik adalah lanjutan dari suatu pemeriksaan dalam perkara perdata di dalam pengadilan Agama atau Pengadilan Negri setelah Tergugat mengajukan jawabannya.Replik ini berasal dari 2 (dua) kata yakni re

(kembali) dan pliek (menjawab), jadi dapat kita simpulkan bahwa replik berarti kembali menjawab (Al-Mizan, 2015: 6).

Replik harus disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas dalam jawaban Tergugat.Oleh sebab itu, replik ialah respons Penggugat atas suatu jawaban yang diajukan Tergugat.Bahkan juga tidak tertutup kemungkinan membuka peluang kepada Penggugat agar mengajukan replik. Replik Penggugat ini bisa berisi pembenaran terhadap suatu jawaban Tergugat atau juga boleh jadi Penggugat menambahkan

keterangan dengan maksud untuk memperjelas dalil yang diajukan Penggugat di dalam gugatannya (Ridhwan H.M Indra, 1994: 154).

Sebagaimana juga halnya jawaban, maka replik itu juga tidak di atur dalam HIR/RBg, akan tetapi di dalam Pasal 142 reglemen acara perdata, replik itu biasanya berisi dalil-dalil atau hak-hak tambahan guna dalam menguatkan dalil-dalil gugatan si Penggugat. Penggugat di dalam replik ini juga bisa mengemukakan sumber-sumber pendapat para ahli, kepustakaan, kebiasaan, doktrin, dan sebagainya.Peranan yurisprudensi sangat penting dalam replik, mengikat kedudukannya adalah salah satu dari sumber hukum. Untuk dalam penyusunan replik biasanya cukup sekiranya dengan cara mengikuti poin-poin jawaban pihak Tergugat (Hensyah H. Syahlani, 1993: 39).

3.4. Duplik Tergugat

Duplik yaitu jawaban Tergugat terhadap suatu replik yang diajukan oleh Penggugat.Sama juga halnya dengan replik, duplik ini juga bisa diajukan baik dalam bentuk tertulis maupun dalam bentuk lisan (Yahya M. Harahap, 1993: 16).

Duplik ini diajukan oleh Tergugat untuk meneguhkan jawabannya yang pada lazimnya berisi suatu penolakan terhadap suatu gugatan pihak Penggugat. Apabila dalam acara jawab-menjawab diantara pihak Penggugat dan pihak Tergugat sudah dinyatakan cukup, dimana dalam duduk perkara perdata yang telah

diperiksa sudah jelas keseluruhannya, tahapan pemeriksaan berikutnya ialah pembuktian (Purwosusilo, 2014: 32).

3.5. Pembuktian

Pada tahap pembuktian, maka Penggugat mengajukan semua alat bukti untuk mendukung dalil-dalil gugatan. Demikian pula Tergugat juga mengajukan alat-alat bukti untuk mendukung jawabannya.Masing-masing pihak berhak menilai alat bukti pihak lainnya.Pada dasarnya tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan lagi.

Alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh para pihak yang berperkara dimuka sidang sebagaimana diatur di dalam pasal 164 HIR adalah:

a) Bukti surat. b) Bukti saksi. c) Persangkaan. d) Pengakuan.

e) Sumpah (Sudikno Mertokusumo, 2002: 78).

3.6. Kesimpulan

Setelah melalui beberapa tahapan beracara pada peradilan perdata, mulai dari pembacaan gugatan, jawaban atas gugatan dari tergugat, replik, duplik, pembuktian, akhirnya masing-masing pihak

yang berperkara sampai pada kesimpulan masing-masing atas proses pemeriksaan perkara di pengadilan, untuk itu baik Penggugat maupun Tergugat membuat kesimpulan atau diberi kesempatan oleh hakim untuk mengajukan kesimpulan yang diserhkan kepada majelis hakim dalam satu persidangan secara bersamaan (Hensyah H. Syahlani, 1993: 43).

Bagaimana bentuk dan isi kesimpulan biasanya diserahkan kepada masing-masing pihak yang berperkara.Hakim hanya memberikan kesempatan kepada para pihak, dan itu pun tidak wajib.Artinya bisa saja masing-masing pihak tidak membuat kesimpulan dan menyerahkan kepada hakim, tetapi umumnya masing-masing pihak berperkara mengajukan kesimpulan (Sudikno Mertokusumo, 2002: 99).

Setelah tidak ada lagi alat bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak yang berperkara, maka masing-masing pihak (Penggugat dan Tergugat) diberi kesempatan mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan atau kesimpulannya. Tahap berikutnya yaitu putusan yang dibajakan oleh majelis hakim setelah hasil pemeriksaan atau kesimpulan oleh Penggugat untuk menentukan pembacaan putusan (Purwosusilo, 2014: 35).

3.7. Putusan Hakim

Tahap yang paling akhir dalam proses pemeriksaan adalah tahap putusan Hakim, yakni:

1. Putusan hadir, yaitu: Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim dalam persidangan dengan dihadiri kedua belah pihak.

2. Putusan di luar hadir, yaitu: Putusan yang dijatuhkan pleh Hakim dalam persidangan yang tanpa dihadiri oleh kedua belah pihak. 3. Putusan verstek, yaitu Putusan yang tidak dihadiri oleh Pihak

Tergugat atau Termohon.

4. Putusan dicabut, yaitu: Putusan yang dimintakan dicabut oleh Penggugat atau Pemohon dalam persidangan.

5. Putusan ditolak, yaitu: Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim dalam persidangan, karena pada pokoknya perkara penggugat tidak memenuhi perintah dari Hakim dan atau perkara tidak menguatkan pada dalil-dalil gugatan yang diajukan.

6. Putusan gugur, yaitu: Putusan yang diajukan karena perkara telah kadaluarsa.

7. Putusan tidak diterima, yaitu: Putusan yang dijatuhkan karena Penggugat atau pemohon tidak bisa membuktikan dalil-dalil yang diajukan dalam persidangan (Yahya M. Harahap, 1993: 31)

Dalam tahap ini maka Hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara itu dan menyimpulkan dalam amar putusan.Putusan Hakim ini untuk mengakhiri sengketa. Dalam pemeriksaan perkara perceraian terdapat azas umum yang berlaku menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan

Agama perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, antara lain:

a) Pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim yang terdiri dari 3 (tiga) orang Hakim, salah seorang diantaranya sebagai Ketua Majelis dan yang lainnya sebagai Hakim Anggota. Pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 80 ayat 1).

b) Putusan perkara perceraian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Penyimpangan terhadap azas ini akan berakibat putusan batal demi hukum (Pasal 59 ayat 1 dan ayat 2).

c) Pemeriksa di sidang pengadilan dihadiri suami isteri atau wakilnya.

d) Yang mendapat kuasa khusus dari mereka (Pasal 82 ayat 6). e) Pemeriksaan paling lambat 30 (tiga puluh) hari tanggal

pendaftaran gugatan. (Pasal 80 ayat 1).

f) Upaya mendamaikan kedua belah pihak diusahakan selama proses pemeriksaan persidangan berlangsung (Sudikno Mertokusumo, 2002: 83).

D. Tinjauan Umum tentang Putusan Verstek

Dokumen terkait