• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan - TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN VERSTEK DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi Kasusdi Pengadilan Agama Cilacap) - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan - TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN VERSTEK DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi Kasusdi Pengadilan Agama Cilacap) - repository perpustakaan"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan sebagaimana dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu, ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagaimana suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa. Kemudian pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan tersebut selanjutnya menegaskan bahwa

perkawinanadalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya (Ridhwan H.M. Indra, 1994: 2).

Pengertian perkawinan yang tercantum dalam Pasal 1

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di atas, apabila diperinci

terdapat 3 (tiga) unsur penting:

a. Perkawinan ialah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri.

b. Ikatan lahir batin itu di tunjukkan untuk membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia kekal dan sejahtera.

c. Ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada

(2)

Dengan ikatan “lahir-batin” dimaksudkan bahwa perkawinan itu

tidak hanya cukup dengan adanya “ikatan lahir” atau “ikatan batin” saja

tetapi harus keduannya. Dalam hal ini suatu “ikatan lahir” adalah ikatan

yang dapat dilihat.Mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara

seorang pria dengan wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.

Sedangkan “ikatan batin” adalah merupakan hubungan ikatanya tidak dapat

dilihat, walapun tidak nyata, tapi ikatan harus ada,karena tanpa adanya

ikatan batin dan ikatan lahir akan menjadi rapuh (Salim HS, 2002: 79-80).

Mengenai pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan Hukum Islam (KHI) tidak ada

perbedaan yang signifikan. Pengertian Perkawinan menurut Hukum Islam

adalah sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal

2, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqon gholiidhon untuk menaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Bahwa setiap

perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) intinya sama yaitu

membentuk rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan warahmah (Indra.

H.M. Ridhwan, 1994: 3).

2. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat

kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka

mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih

(3)

mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Syari’ah (Ali Afandi,

1987: 7).

Rumusan tujuan perkawinan di atas dapat diperinci sebagai berikut:

a) Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat

kemanusiaan.

b) Mewujudkan sesuatu keluarga dengan dasar cinta kasih.

c) Memperoleh keturunan yang sah.

d) Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.

e) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan

yang halal, dan memperbesar rasa tanggungjawab kepada keluarga

(Soemiyati, 1982: 12-13).

3. Kedudukan Hukum Perkawinan dalam Agama Islam

Hukum Perkawinan dalam Agama Islam mempunyai kedudukan

yang sangat penting, oleh karena itu peraturan-peraturan tentang

Perkawinan ini diatur dan diterangkan dengan jelas dan terperinci.Hukum

Perkawinan Islam pada dasarnya tidak hanya mengatur tatacara

pelaksanaan perkawinan saja melainkan juga mengatur segala persoalan

yang erat hubungannya dengan perkawinan.Misalnya, hak-hak dan

kewajiban suami-istri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan,

cara-cara untuk memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan

sesudah putusnya perkawinan dan lain-lain (Helmy Thohir, 2008: 3).

Adapun pentingnya perkawinan bagi kehidupan manusia, khusunya

(4)

a. Dengan melakukan perkawinan yang sah dapat terlaksana pergaulan

hidup manusia, baik secara individual maupun kelompok antara pria

dan wanita secara terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan

manusia sebagai makhluk yang terhormat di antara makhluk-makhluk

tuhan yang lainnya.

b. Dengan melaksanakan perkawinan dapat terbentuk satu rumah tangga

dimana kehidupan dalam rumah tangga dapat terlaksana secara damai

dan tentram serta kekal dengan disertai rasa kasih sayang antara suami

dan istri.

c. Dengan melaksanakan perkawinan yang sah, dapat diharapkan

memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga

kelangsungan hidup dlama keluarga dan keturunannya dapat

berlangsung terus secara jelas dan bersih.

d. Dengan terjadinya perkawinan maka timbullah sebuah keluarga yang

merupakan inti dari pada hidup bermasyarakat, sehingga dapat

diharapkan timbulnya suatu kehidupan masyarakat yang teratur dan

berada dalam suasanana damai.

e. Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang

telah diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, adalah merupakan

salah satu ibadah bagi orang Islam (Nur Muhaimin. 1986: 5-6).

4. Asas-asas dan Prinsip-prinsip Perkawinan

Menurut Soemiyati (1982: 4-5), menyebutkan bahwa dalam ajaran

(5)

a) Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang

mengadakan perkawinan. Caranya ialah diadakan peminangan terlebih

dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk

melaksanakan perkawinan atau tidak.

b) Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria sebab ada

ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang

harus diindahkan.

c) Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi

persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun

yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.

d) Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu

keluarga/rumah tangga yang tentram, damai dan kekal untuk

selama-lamanya.

e) Hak dan kewajiban suami-istri adalah seimbang dalam rumah tangga,

dimana tanggungjawab pimpinan keluarga ada pada suami.

Adapun prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan menurut

Undang-undang Perkawinan, disebutkan di dalam penjelasan umumnya sebagai

berikut:

a) Tujuan perkawinan dalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,

untuk itu suami-istri perlu saling membantu dan melengkapi agar

masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan

(6)

b) Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah

sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan

peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya

kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan,

suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

c) Undang-undang ini mengaut asas monogami, apabila dikehendaki oleh

yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan

mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.

Perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri meskipun hal

itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat

dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan

diputuskan oleh pengadilan.

d) Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-istri itu harus

telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan,

agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa

berakhirnya pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan

sehat.Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon

suami-istri yang masih di bawah umur. Undang-undang ini menentukan batas

umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita, ialah 19 (sembilan

(7)

e) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang

bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut

prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk

memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus

dilakukan di depan sidang pengadilan.

f) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan

masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga

dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-istri

(Soemiyati, 1982: 5-7).

5. Syarat-syarat Perkawinan

Menurut Ali Afandi (1987: 27) menjelaskan bahwa mengenai

syarat-syarat perkawinan, dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7, yang pada pokoknya adalah

sebagai berikut:

1. Harus aja persetujuan dari kedua calon mempelai.

2. Adanya ijin dari kedua orangtua atau wali (Pasal 6 ayat 2) ijin ini hanya

diperlukan bagi calon mempelai yang belum berumur 21 (dua puluh

satu) tahun.

3. Apabila kedua orangtua meninggal duania, maka yang berhak memberi

ijin sesuai dengan ketentuan (Pasal 6 ayat 3, 4 dan 5).

4. Apabila salah seorang dari kedua orangtua dalam keadaan tidak mampu

(8)

a) Karena di bawah kuratele.

b) Sakit ingatan.

c) Tempat tinggalnya tidak diketahui, maka ijin cukup diberikan oleh

salah satu pihak saja yang mampu menyatakan kehendaknya (Pasal

6 ayat 3).

5. Apabila kedua orangtua telah meninggal dunia atau kedua-duanya tidak

mampu menyatakan kehendanya maka, yang berhak memberi ijin

adalah wali atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis

keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup (Pasal 6 ayat 4).

6. Jika ada perbedaan pendapat antara mereka yang disebut dalam ayat 2,

3 dan 4 pasal 6 ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak

ada menyatakan pendapatnya, pengadilan dalam daerah hukum tempat

tinggal orang yang berhak melaksanakan perkawinan yang berhak

memberi ijin.

7. Batas umur untuk melaksanakan perkawinan adalah

sekurang-kurangnya 19 (sebilan belas) tahun bagi calon suami dan 16 (enam

belas) tahun bagi calon isteri (Pasal 7 ayat 1).

6. Larangan Perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

Pasal 8 menyebutkan larangan perkawinan, sebagai berikut:

(9)

b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

saudara, antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang

dengan saudara nenenknya.

c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, ibu/bapak tiri.

d) Berhubungan susuan, yaitu orangtua susuan, anak susuan, dan saudara

susuan dan bibi atau paman susuan.

e) Berhubungan saudara dengan istri atau sebgai bibi atau keponakan dari

istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku dilarang kawin (Soemiyati, 1982: 38).

Menurut Ridwan H.M. Indra (1994: 24-25) menyebutkan bahwa

larangan perkawinan di dalam lingkungan kekeluargaan yang sangat dekat,

terdapat di mana-mana dan di Indonesia larangan tersebut sedikit banyak

mengambil larangan yang terdapat pada Hukum Islam dan Hukum Barat

dari Burgelijk Wetboek. Hal ini menurut Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 22,

23, dan 24 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi orang yang beragama

Islam di larang karena:

1. Pertalian Nasab

a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya

atau keturunannya.

b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu.

(10)

2. Pertalian Kerabat Semenda

a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas

istrinya.

b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya.

c. Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali

putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qobal

aldukhul.

d. Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.

3. Pertalian Sesusuan

a. Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis

lurus ke atas.

b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus

ke bawah.

c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemenakan sesusuan

ke bawah.

d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke

atas.

e. Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

B. Tinjauan Umum tentang Perceraian 1.Pengertian Perceraian

Mengenai pengertian perceraian di dalam perundang-undangan

(11)

ketentuan Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan hanya disebutkan bahwa perceraian merupakan salah satu

penyebab putusnya perkawinan. Alasan dari perceraian ini adanya tujuan

perkawinan sebagaimana tercantum pada Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan mengisyaratkan pula pengertian perceraian.

Perceraian hendaknya menjadi upaya terakhir yang ditempuh jika

upaya-upaya lain yang ditempuh sebelumnya untuk mengusahakan keutuhan

ikatan perkawinan tidak berhasil (Saleh K.Wantjik, 1987: 31).

Putusnya perkawinan menurut pendapat lain dari jurnal

internasional:

Futhermore there are several causes of marital breakdown. That the rise

of divorce was partly prompted by increasing survival rates, which placed

a greater strain on the ability of couples to manage marital stress or

maintain marital contenment (Frank F. Furstenberg, 1994: 30).

Artinya: Selanjutnya ada beberapa penyebab putusnya perkawinan.

Bahwa munculnya perceraian sebagian dipicu oleh, meningkatnya tingkat

kelangsungan hidup, yang menempatkan ketegangan yang lebih besar

pada kemampuan pasangan untuk mengelola mempertahankan perkawinan

atau menekan perkawinan (Frank F. Furstenberg, 1994: 30).

Untuk melakukan perceraian harus cukup alasan, bahwa antara

suami-istri tidak akan hidup rukun sebagai suami-istri. Perceraian hanya

(12)

Undang-undang perkawinan yang harus dilakukan di depan sidang pengadilan

(Hamid Zahri, 1977: 406-415).

2. Alasan-alasan Perceraian

Adanya tujuan perkawinan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

mengisyaratkan pula pengertian perceraian. Kalaupun itu akan ditempuh

maka harus di penuhi syarat-syaratnya sebagaimana disebutkan dalam

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta peraturan

pelaksanaannya. Perceraian hendaknya menjadi upaya terakhir yang di

tempuh jika upaya-upaya lain yang di tempuh sebelumnya untuk

mengusahakan keutuhan ikatan perkawinan tidak berhasil (Soemiyati,

1982: 129).

Untuk melakukan perceraian harus cukup alasan, bahwa antara

suami istri tidak akan hidup rukun sebagai suami istri. Perceraian hnya

mungkin dengan salah satu alasan seperti disebutkan dalam

Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya, yang harus dilakukan

di depan sidang pengadilan.

Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun1974 tentang

Perkawinan Pasal 39 Ayat (2) menyatakan bahwa, “Untuk melakukan

perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan

dapat rukun sebagai suami istri”. Lebih lanjutnya, pada bagian penjelasan

(13)

(2)tersebut dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19

dinyatakan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian

sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, dan

penjudi.

b. Salah satu pihak meninggal dunia atau meninggalkanselama 2 (dua)

tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain tersebut dan tanpa alasan

yang sah atau karena hal di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat, setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang

mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami

atau istri.

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga.

Alasan cerai diatas berlaku secara umum bagi umat Islam dan umat

yang bukan beragama Islam. Sementara itu, khusus bagi umat Islam,

alasan cerai juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 116.

Namun, intinya sama dengan ketentuan yang dinyatakan dalam

(14)

dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 tersebut. Dalam

KHI Pasal 11, terdapatalasan cerai tambahan sebagai berikut:

g. Suami melanggar taklik talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam

rumah tangga (Indra. H.M. Ridhwan, 1994: 111-113).

Selain hal diatas ada beberapa hallagi yang dapat memicu

perceraian, sebagai berikut:

a. Hilangnya kesetiaan oleh kedua pasangan.

b. Kurangnya kepercayaan dalam keluarga.

c. Hubungan seksual yang hambar.

d. Masalah keuangan/perekonomian dalam keluarga, karena dalam

menjalin sebuah keluarga harus membutuhkan biaya yang besar, jadi

jika keuangan yang tidak setabil bisa bikin keluarga itu pecah.

e. Pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, sering sekali pernikahan tidak

dilandasi rasa cinta. Dalam hal ini pernikahan yang dilakukan bisanya

berada di desa karena, kehidupan di desa hanya memikirkan bahwa jika

mempunyai anak perempuan lebih baik dijodohkan. Dengan dijodokan

tersebut cumah memiliki pondasi bahwa menyandang setatus yang sah

sudah lebih dari cukup. Hal ini dapat memicu perceraian.

f. Tidak memiliki keturunan/anak, karena biasanya dalam sebuah keluarga

tidak meliliki/tidak hadirnya seorang anak bisa menjadikan keluarga itu

(15)

karena bisa sebagai hakim disebuah keluarga (Majorang. P. Aditya, dan

Purnamasari. F. Intan, 2015: 108-116).

Menurut pendapat dari jurnal internasional bahwa faktor penyebab

putusnya perkawinan yaitu:

That is the reason the divorce further, all these heave enhance our

curiosity of why couple divorce. Although figures never tell the reason,

form our common sense, we understand that people will not divorce with

out a reason. From numerous foreign literatures concerning marriage and

family, it stated that the top three common factors that influenced divorce:

(1) infidelity, (2) no longer in love, and (3) emotional problem. Others

included drugs problems, sexsual problems, problem with in-law,

communication problems, married too young, job conflict, and so on

(Samuel Chan Hsin Chlen and Mohamed Sarif Mustaffa, 2008: 26).

Artinya: Semua ini telah ditingkatkan rasa ingin tahu kita mengapa

pasangan bercerai. Meskipun angka tidak pernah memberitahu alasannya,

dari akal sehat kita, kita memahami bahwa orang tidak akan menceraikan

tanpa alasan. Dari berbagai literatur asing tentang pernikahan dan

keluarga, itu menyatakan bahwa tiga faktor yang mempengaruhi

perceraian adalah (1) perselingkuhan (2) tidak lagi cinta dan (3) masalah

ekonomi. Lainnya termasuk masalah obat, masalah seksual, masalah

dengan hukum, masalah komunikasi, menikah terlalu muda, konflik

pekerjaan, dan sebagainya (Samuel Chan Hsin Chlen and Mohamed Sarif

(16)

3. Putusnya Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam

Suatu perkawinan tentunya dibangun dengan harapan untuk

mewujudkan keluarga yang bahagia, kekal dan abadi sampai akhir

hayat.Akan tetapi kenyataannya perkawinan tersebut terkadang tidak

selamanya berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Banyak

perkawinan berakhir di tengah jalan, berakhirnya perkawinan biasanya

disebut juga dengan putusanya perkawinan (Helmy Thohir, 2008: 8-9).

Menurut Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan

bahwa suatu perkawinan putus, yaitu:

1. Karena salah satu pihak meninggal dunia.

2. Putusnya perkawinan karena Perceraian.

3. Putusnya perkawinan karena putusan Pengadilan Agama.

Sebab pertama tidak perlu dibahas, karena memang sudah

semestinya semua manusia akan meninggal dunia. Sebab kedua diatur

dalam Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI)bahwasanya putusnya

perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak

atau berdasarkan gugatan perceraian. Sedangkan sebab yang ketiga diatur

dalam Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan bahwa

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama

setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil

(17)

4. Cara Mengajukan Gugatan Perceraian

Pasal 118 H.I.R. menentukan bahwa gugatan harus diajukan dengan

surat permintaan yang ditanda tangani oleh pengugat atau wakilnya.

Pengertian surat gugatan itu sendiri adalah suatu surat yang diajukan oleh

penggugat kepada Ketua Pengadilan yang berkompetensi, yang memuat

tuntutan hak dan sekaligus merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara

dan pembuktian kebenaran suatu hak (Purwosusilo, 2014: 63).

Suatu surat gugatan harus memuat gambaran yang jelas mengenai

duduknya persoalan, dengan kata lain dasar gugatan harus dikemukakan

dengan jelas. Dalam hukum acara perdata bagian dari gugatan ini disebut

Fundamentum Petendi atau Posita, yang terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu

bagian yang memuat alasan-alasan berdasarkan keadaan dan bagian yang

memuat alasan-alasan yang berdasarkan hukum.

Dalam gugatan harus pula dilengkapi dengan petitum, yaitu hal-hal

apa yang diinginkan atau diminta oleh penggugat agar diputuskan,

ditempatkan dan atau diperintahkan oleh hakim. Petitum ini harus lengkap

dan jelas, karena bagian dari surat gugatan ini yang terpenting (Nur

Muhaimin. 1986: 21).

Pada prinsipnya semua gugatan harus dibuat secara tertulis, akan

tetapi bagi penggugat yang tidak dapat membaca dan menulis, maka

gugatan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan. Ketua pengadilan

dapat menyuruh kepada Hakim untuk mencatat segala sesuatu yang

(18)

Ketua/Hakim yang menerimanya itu berdasarkan ketentuan pasal 120 HIR

(Sudikno Mertokusumo. 1988: 34).

Dilihat dari pihak-pihak yang mengajukan perceraian, perceraian

dibagi menjadi 2 (dua), perceraian karena talak dan perceraian karena

gugat. Perceraian karena talak adalah permohonan cerai yang diajukan

oleh suami. Apabila seorang suami hendak menceraikan istrinya, jalur

hukum yang ditempuh dengan cara mengajukan gugatan permohonan cerai

talak ke-Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi kediaman

Termohon (istri). Pengecualian dari hal ini:

a. Gugatan diajukan pada Pengadilan Agama ditempat kediaman pemohon

(suami) dalam hal termohon (istri) sengaja meninggalkan tempat

kediaman bersama tanpa izin suami (pemohon).

b. Gugatan diajukan pada Pengadilan Agama ditempat kediaman pemohon

dalam hal termohon bertempat diluar Negeri.

c. Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama Jakarta pusat atau

Pengadilan Agama ditempat perkawinan dilangsungkan dalam hal

permohonan dan termohon sama-sama bertempat tinggal di luar Negeri

(KansilChristine, 2000: 73-78).

Selanjutnya yaitu perceraian karena gugat yaitu seorang istri

menggugat suaminya didepan pengadilan berdasarkan alasan-alasan yang

diatur dalam Undang-undang yang diajukan di depan pengadilan tempat

tinggalnya dengan permintaan agar memeriksa perkaranya dan

(19)

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang sekarang

dirubah menjadi Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan

Agama menjelaskan bahwa gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan

Agama yang daerah hukumnya meliputi kediaman penggugat (istri).

Pengecualian dari hal ini:

a. Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama tempat kediaman tergugat

(suami) apabila istri (pengugat) pergi meninggalkan tempat kediaman

bersama tanpa izin suami.

b. Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat kediaman

tergugat (suami) dalam hal Istri (pengugat) bertempat tinggal diluar

negeri.

c. Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat apabila

suami istri bertempat tinggal diluar negeri (Pramesti J. A Tri, 2013: 1).

5. Akibat-akibat dari Perceraian

Akibat-akibat dari perceraian adalah bekas suami dan bekas istri itu

kemudian dapat hidup terpisah. Kalau dalam perkawinan itu diperjanjikan,

bahwa satu pihak akan mendapat keuntungan dari pihak yang lain, maka

Pasal 150 dan 151 Kompilasi Hukum Islam (KHI) keuntungan itu tetap

harus diberikan, apabila pihak yang lain itu adalah salah dalam perceraian

tersebut. Sebaliknya keuntungan itu tidak akan diberikan kepada pihak

yang menginginkan keuntungan, apabila pihak yang akan mendapat

(20)

Apabila keuntungan ini tergantung pada meninggalnya pihak yang

lain, maka menurut Pasal 153 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pemberian

keuntungan ini harus ditangguhkan sampai meninggalnya pihak yang lain

itu.Kalau ada tunjangan-tunjangan itu harus dipenuhi dengan tidak

memperdulikan apakah pihak yang harus mendapatkan keuntungan itu

salah atau tidak dalam soal perceraian ini (KansilChristine, 2000: 92).

Menurut Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam (KHI) kalau ada

keuntungan yang dijanjikan untuk anak-anak dari kedua belah pihak atau

menurut hakim harus diberikan kepada anak-anak itu, maka pemberian

keuntungan itu tidak terpengaruh oleh perceraian. Sementara itu anak-anak

hanya diperbolehkan menuntut keuntungan tersebut dengan jalan atau

dalam hal yang sama, seolah-olah tidak ada perceraian.

Menurut Pasal 152 Kompilasi Hukum Islam (KHI) hubungan antara

bekas suami dan istri masih ada, apabila pihak yang minta cerai dan

kemudian dimenangkan oleh hakim, tidak mempunyai cukup penghasilan

yang cukup untuk biaya hidupnya.Dalam hal ini pihak yang dikalahkan

dapat diperintahkan oleh hakim untuk memberikan nafkah kepada pihak

yang menang. Timbul pertanyaan bagaimana halnya, apabila Tergugat

menggugat kembali, yaitu dalam rekopensi, untuk bercerai (tentunya

dengan alasan lain) dan hakim mengabulkan baik gugat dalam konpensi

maupun gugat dalam rekonpensi (Nur Muhaimin, 1986: 26).

Menurut penulis pendapat tentang hal ini, yaitu yang satu

(21)

olehh karena kedua belah pihak adalah salah dalam hal perceraian ini.

Sedangkan pendapat lain menyatakan pemberian nafkah ini masih

dimungkinkan pada keadaan tertentu dan hal ini diserahkan pada

pertimbangan hakim. Menurut Pasal 153 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) kewajiban memberi nafkah ini terhenti

dengan meninggalnya suami atau istri.

Menurut Pasal 156aKompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai

anak-anak yang belum dewasa dari bekas suami dan bekas istri.Pengadilan

harus sekaligus menetapkan kepada siapa dari kedua belah pihak

anak-anak itu harus turut, juga jika orang tua itu dibebaskan atau dipecat dari

kekuasaan orang tua. Apabila pihak yang diserahkan anak itu, tidak

mampu memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, maka menurut

Pasal 156f KHI hakim dapat menentukan sejumlah uang, yang harus

diberikan pihak lain untuk membayar biaya tadi.

Pada akhirnya Pasal 163 KHI menentukan bahwa, apabila bekas

suami dan bekas istri yang bercerai kemudian kawin lagi, maka segala

hubungan hukum antara mereka dikembalikan kepada keadaan

sebagimana sebelum perceraian (Ridhwan H.M Indra, 1994: 129-130).

C. Tinjauan Umum tentang Proses Pemeriksaan Perkara Perceraian

Menurut Tiar Ramon (2013: 2) menjelaskan bahwa proses pemerikaan

perkara gugatan timbul karena adanya gugatan yang diajukan oleh pihak

(22)

pengadilan. Gugatan tersebut diproses dahulu di bagian Panitera yaitu melalui

dengan membayar pajar biaya perkara, penetapan nomer register perkara,

disampaikan ke Ketua Pengadilan, Ketua Pengadilan menetapkan Majelis

Hakim, selanjutnya Majelis Hakim menetapkan hari sidang dan

memerintahkan melalui panitera agar pihak penggugat dan tergugat dipanggil

sesuai dengan hari sidang yang ditetapkan. Selanjutnya ada beberapa proses

lagi, sebagai berikut:

1. Pemanggilan

Setelah surat gugatan yang telah dibuat dan di tandatangani oleh

Penggugat atau kuasanya yang sah, dan telah didaftarkan di Kepaniteraan

Pengadilan serta telah pula dibayarnya panjar biaya perkara, oleh Ketua

Pengadilan ditunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa dan mengadili

perkara tersebut dengan mengeluarkan Penetapan Penunjukan Majelis

Hakim. Selanjutnya Ketua Majelis Hakim yang ditunjuk menetapkan hari

sidang dengan mengeluarkan Penetapan Hari Sidang. Didalam Penetapan

Hari Sidang ini juga diperintahkan kepada jurusita/jurusita pengganti agar

memanggil para pihak yang berpekara (Hensyah H. Syahlani, 1993: 17).

Tata cara pemanggilan menurut aturan umum diatur dalam Pasal

390 jo Pasal 389 dan 122 HIR. Pemanggilan harus dilaksanakan secara

resmi dan patut yaitu:

a. Dilakukan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti yang sah, yakni telah

diangkat dengan Surat Keputusan oleh pejabat yang berwenang dan

(23)

b. Panggilan disampaikan langsung kepada pribadi yang dipanggil di

tempat tinggalnya, namun apabila:

1. Tidak dijumpai di tempat tinggalnya, maka panggilan disampaikan

lewat kepala desa/lurah setempat.

2. Yang dipanggil telah meninggal dunia, maka panggilan

disampaikan kepada ahli waris.

3. Apabila yang dipanggil tidak diketahui tempat tinggalnya atau tak

dikenal, maka panggilan disampaikan lewat Bupati setempat yang

akan mengumumkannya pada papan pengumuman.

4. Yang dipangggil berada di luar negeri, maka panggilan

disampaikan lewat Perwakilan Republik Indonesia setempat

melalui Departemen Luar Negri Republik Indonesia di Jakarta.

c. Jarak antara hari pemanggilan dengan hari persidangan harus

memenuhi tenggang waktu yang patut, yaitu sekurang-kurangnya 3

(tiga) hari kerja (tidak hari libur didalamnya) (Purwosusilo, 2014: 14).

Pasal 118 ayat (1,2,3, dan 4) HIR menyebutkan:

a) Ayat 1 disebutkan bahwa pada dasarnya gugatan di ajukan kepada

Ketua Pegadilan Negeri atau Agama di daerah hukum siapa Tergugat

bertempat kediaman.

b) Ayat 2 dijelaskan bahwa gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan

Negeri atau Agama di tempat tinggal Tergugat yang dipilih oleh

(24)

c) Ayat 3 dijelaskan bahwa surat gugatan itu dimasukkan kepada Ketua

Pengadilan Negeri atau Agama di tempat tinggal Penggugat.

d) Ayat 4 dijelaskan bahwa misal disepakati sebelumnya oleh para pihak

untuk memilih dan menentukan tempat kedudukan pengadilan, maka

Penggugat dapat memasukan surat gugatan itu kepada Ketua

Pengadilan Negeri atau Agama dalam daerah hukum yang dipilih itu.

2. Tata Cara Pemanggilan

Khusus mengenai perkara perceraian, tata cara pemanggilan diatur

tersendiri pada Pasal 26 (dua puluh enam) sampai 29 (dua puluh sembilan)

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu:

a) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa perkara

perceraian, baik suami maupun istri atau kuasanya akan dipanggil

untuk menghadiri sidang tersebut.

b) Pangilan dilakukan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti yang sah.

c) Panggilan disampaikan langsung kepada pribadi yang bersangkutan,

apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan

disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.

d) Panggilan disampaikan secara patut dan harus sudah diterima oleh

suami ataupun istri atau kuasanya selambat-lambatnya 3 (tiga) hari

kerja sebelum sidang dibuka.

(25)

f) Apabila Tergugat tempat kediamannya tidak jelas atau tidak diketahui

atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan

dilakukan dengan cara:

1. Menempelkan gugatan atau surat panggilan pada papan

pengumuman Pengadilan Agama.

2. Mengumumkan melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass

media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.

3. Pengumuman melalui surat kabar atau mass media lain tersebut

dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan

antara pengumuman pertama dan kedua.

4. Tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan

ditetapkan, yaitu sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan (Purwosusilo,

2014: 25).

Mengenai pemanggilan terhadap pihak yang berperkara berada di

wilayah hukum Pengadilan Agama lain, maka Jurusita/Jurusita Pengganti

meminta bantuan kepada Pengadilan Agama lain tersebut agar pihak yang

bersangkutan dipanggil oleh Jurusita/Jurusita Pengganti setempat, yang

kemudian setelah dilakukan pemanggilan selanjutnya mengirimkan relas

panggilan kepada Pengadilan Agama yang meminta bantuan tersebut.

Ketentuan mengenai pemanggilan para pihak harus dilaksanakan secara

resmi dan patut merupakan kewajiban atas pengadilan. Kelalaian

(26)

putusan, meskipun mungkin para pihak hadir dalam persidangan (Moch

Imam, 1998: 45).

3. Proses di dalam Peradilan

Sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 54 Undang-undang

Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama perubahan atas

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan

bahwa hukum acara yang berlaku di Pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada

Pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum, kecuali yang diatur secara

khusus, maka proses pemeriksaan perkara di depan sidang dilakukan

melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata, setelah hakim terlebih

dahulu berusaha dan tidak berhasil mendamaikan para pihak yang

bersangkutan (Hensyah H. Syahlani, 1993: 25).

Tahap-tahappersidangan sebagai berikut meliputi (Purwosusilo,

2014: 28- 40):

1. Pembacaan surat gugatan.

2. Jawaban Tergugat.

3. Replik Penggugat.

4. Duplik Tergugat.

5. Pembuktian.

6. Kesimpulan.

(27)

3.1. Pembacaan Surat Gugatan

Sebelum masuk pada tahap pembacaan gugatan oleh Hakim

Ketua sidang, Ketua harus mebuka dengan kata-kata dibuka dan

dinyatakan tertutup untuk umum. ini berati bahwa setiap orang tidak

boleh mendengarkan jalannya persidangan, yang secara formalitas

Hakim tidak dapat mengadakan kontrol, dan dengan demikian Hakim

tidak dapat memperjuangkan jawaban pemeriksaan yang fair serta

memihak, karena sudah ditentukan dalam persidangan. Setelah sidang

dibuka dan dinyatakan terbuka dan tertutup untuk umum, maka kedua

belah pihak, yaitu penggugat dan tergugat dipanggil masuk ke dalam

ruang sidang (Yahya M. Harahap, 1993: 8).

Apabila pada sidang pertama para pihak yang berperkara atau

salah satu pihak tidak hadir dimuka sidang, maka:

1. Hakim dapat memutus verstek atau digugurkan apabila penggugat

maupun tergugat tidak hadir.

2. Apabila penggugat yang tidak hadir, hakim dapat menggugurkan

perkara yang diajukan oleh penggugat.

3. Apabila tergugat tidak hadir, Hakim dapat memutus verstek

(Sudikno Mertokusumo, 2002: 35).

Namun berdasarkan Pasal 126 HIR, karena kedudukan Hakim

dalam perkara perdata merupakan penengah diantara para pihak yang

berperkara maka Hakim diperbolehkan memanggil yang kedua kali

(28)

sebelum Hakim memutus verstek atau digugurkan. Jika penggugat

dan tergugat harus di persidangan, maka berdasarkan ketentuan Pasal

82 ayat 1 dan 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Peradilan Agama perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun

1989 jo Pasal 130 ayat 1 HIR, Hakim berusaha untuk mendamaikan

kedua belah pihak yang berpekara, dan dapat saja usaha ini dilakukan

selama perkara belum diputuskan (Hensyah H. Syahlani, 1993: 28).

Usaha mendamaikan oleh Hakim tersebut adalah

mengupayakan tidak terjadinya perceraian. Apabila

upayamendamaikan tersebut berhasil, maka gugatan Penggugat

dicabut, dan untuk ini tidak mungkin dibuat suatu ketentuan yang

bermaksud melarang salah satu pihak melakukan perbuatan tertentu,

misalnya dilarang meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin,

dilarang menganiaya dan lain-lain, sebab apabila ketentuan yang telah

dibuat tersebut dilanggar, tentu saja tidak dapat di eksekusi, karena

akibat pelanggaran tersebut tidak mengakibatkan putusnya

perkawinan keduanya, apabila salah satu pihak menghendaki

perceraian maka salah satu jalan adalah dengan mengajukan gugatan

baru (Al-Mizan, 2015: 4).

Selanjutnya apabila tidak tercapai perdamaian, maka Hakim

menyatakan persidangan tertutup untuk umum guna memeriksa

materi pokok perkara, yang dimulai dengan pembacaan surat gugatan

(29)

Penggugat berhak meneliti ulang ulang apakah seluruh materi (dalil

gugatan dan petitum) sudah benar dan lengkap. Hal-hal yang

tercantum dalam surat gugatan itulah yang menjadi acuan (obyek)

pemeriksaan, dan pemeriksaan tidak boleh keluar dari ruang lingkup

yang termuat dalam surat gugatan, apabila memang pihak Penggugat

menyatakan tidak akan melakukan perubahan terhadap surat

gugatannya, maka kepada pihak Tergugat diberi kempatan untuk

mengajukan jawaban atas surat gugatan Penggugat tersebut (Yahya

M. Harahap, 1993: 13-15).

3.2. Jawaban Penggugat

Pada tahap jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk

membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap

Penggugat melalui Hakim.Dapat saja dalam jawabannya tergugat

mengemukakan pengakuan, yaitu membenarkan gugatan Penggugat,

membantah, mengajukan eksepsi, atau dapat pula mengajukan

rekonpensi (gugatan balik) (Purwosusilo, 2014: 29).

Menurut Pasal 121 ayat 2 HIR jo Pasal 132 ayat 1 HIR,

Tergugat dapat mengajukan jawaban secara tertulis atau lisan. Di

dalam mengajukan jawaban tersebut Tergugat harus hadir secara

pribadi dalam sidang atau diwakilkan oleh kuasanya yang sah, apabila

Tergugat atau kuasanya yang sah tidak hadir dalam sidang meskipun

mengirimkan surat jawabannya, tetapi dinilai oleh Hakim tidak hadir

(30)

jawaban yang berupa eksepsi atau tangkisan bahwa pengadilan yang

bersangkutan tidak berwenang mengadili perkaranya itu (Sudikno

Mertokusumo, 2002: 72).

3.3. Replik Penggugat

Pada tahap replik, Penggugat dapat menegaskan kembali

gugatannya yang disangkal oleh Tergugat dan juga mempertahankan

diri atas serangan oleh tergugat.Bahwasanya replik yaitu jawaban

Penggugat dalam hal baik tertulis maupun juga lisan terhadap

jawaban Tergugat atas gugatannya (Purwosusilo, 2014: 30).

Replik diajukan oleh Penggugat untuk meneguhkan gugatanya

tersebut, dengan cara mematahkan berbagai alasan dalam penolakan

yang dikemukakan Tergugat di dalam jawabannya. Replik adalah

lanjutan dari suatu pemeriksaan dalam perkara perdata di dalam

pengadilan Agama atau Pengadilan Negri setelah Tergugat

mengajukan jawabannya.Replik ini berasal dari 2 (dua) kata yakni re

(kembali) dan pliek (menjawab), jadi dapat kita simpulkan bahwa

replik berarti kembali menjawab (Al-Mizan, 2015: 6).

Replik harus disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas dalam

jawaban Tergugat.Oleh sebab itu, replik ialah respons Penggugat atas

suatu jawaban yang diajukan Tergugat.Bahkan juga tidak tertutup

kemungkinan membuka peluang kepada Penggugat agar mengajukan

replik. Replik Penggugat ini bisa berisi pembenaran terhadap suatu

(31)

keterangan dengan maksud untuk memperjelas dalil yang diajukan

Penggugat di dalam gugatannya (Ridhwan H.M Indra, 1994: 154).

Sebagaimana juga halnya jawaban, maka replik itu juga tidak

di atur dalam HIR/RBg, akan tetapi di dalam Pasal 142 reglemen

acara perdata, replik itu biasanya berisi dalil-dalil atau hak-hak

tambahan guna dalam menguatkan dalil-dalil gugatan si Penggugat.

Penggugat di dalam replik ini juga bisa mengemukakan

sumber-sumber pendapat para ahli, kepustakaan, kebiasaan, doktrin, dan

sebagainya.Peranan yurisprudensi sangat penting dalam replik,

mengikat kedudukannya adalah salah satu dari sumber hukum. Untuk

dalam penyusunan replik biasanya cukup sekiranya dengan cara

mengikuti poin-poin jawaban pihak Tergugat (Hensyah H. Syahlani,

1993: 39).

3.4. Duplik Tergugat

Duplik yaitu jawaban Tergugat terhadap suatu replik yang

diajukan oleh Penggugat.Sama juga halnya dengan replik, duplik ini

juga bisa diajukan baik dalam bentuk tertulis maupun dalam bentuk

lisan (Yahya M. Harahap, 1993: 16).

Duplik ini diajukan oleh Tergugat untuk meneguhkan

jawabannya yang pada lazimnya berisi suatu penolakan terhadap

suatu gugatan pihak Penggugat. Apabila dalam acara

jawab-menjawab diantara pihak Penggugat dan pihak Tergugat sudah

(32)

diperiksa sudah jelas keseluruhannya, tahapan pemeriksaan

berikutnya ialah pembuktian (Purwosusilo, 2014: 32).

3.5. Pembuktian

Pada tahap pembuktian, maka Penggugat mengajukan semua

alat bukti untuk mendukung dalil-dalil gugatan. Demikian pula

Tergugat juga mengajukan alat-alat bukti untuk mendukung

jawabannya.Masing-masing pihak berhak menilai alat bukti pihak

lainnya.Pada dasarnya tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan

harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal,

apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan

lagi.

Alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh para pihak yang

berperkara dimuka sidang sebagaimana diatur di dalam pasal 164 HIR

adalah:

a) Bukti surat.

b) Bukti saksi.

c) Persangkaan.

d) Pengakuan.

e) Sumpah (Sudikno Mertokusumo, 2002: 78).

3.6. Kesimpulan

Setelah melalui beberapa tahapan beracara pada peradilan

perdata, mulai dari pembacaan gugatan, jawaban atas gugatan dari

(33)

yang berperkara sampai pada kesimpulan masing-masing atas proses

pemeriksaan perkara di pengadilan, untuk itu baik Penggugat

maupun Tergugat membuat kesimpulan atau diberi kesempatan oleh

hakim untuk mengajukan kesimpulan yang diserhkan kepada majelis

hakim dalam satu persidangan secara bersamaan (Hensyah H.

Syahlani, 1993: 43).

Bagaimana bentuk dan isi kesimpulan biasanya diserahkan

kepada masing-masing pihak yang berperkara.Hakim hanya

memberikan kesempatan kepada para pihak, dan itu pun tidak

wajib.Artinya bisa saja masing-masing pihak tidak membuat

kesimpulan dan menyerahkan kepada hakim, tetapi umumnya

masing-masing pihak berperkara mengajukan kesimpulan (Sudikno

Mertokusumo, 2002: 99).

Setelah tidak ada lagi alat bukti yang diajukan oleh kedua

belah pihak yang berperkara, maka masing-masing pihak (Penggugat

dan Tergugat) diberi kesempatan mengajukan pendapat akhir tentang

hasil pemeriksaan atau kesimpulannya. Tahap berikutnya yaitu

putusan yang dibajakan oleh majelis hakim setelah hasil pemeriksaan

atau kesimpulan oleh Penggugat untuk menentukan pembacaan

putusan (Purwosusilo, 2014: 35).

3.7. Putusan Hakim

Tahap yang paling akhir dalam proses pemeriksaan adalah

(34)

1. Putusan hadir, yaitu: Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim dalam

persidangan dengan dihadiri kedua belah pihak.

2. Putusan di luar hadir, yaitu: Putusan yang dijatuhkan pleh Hakim

dalam persidangan yang tanpa dihadiri oleh kedua belah pihak.

3. Putusan verstek, yaitu Putusan yang tidak dihadiri oleh Pihak

Tergugat atau Termohon.

4. Putusan dicabut, yaitu: Putusan yang dimintakan dicabut oleh

Penggugat atau Pemohon dalam persidangan.

5. Putusan ditolak, yaitu: Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim

dalam persidangan, karena pada pokoknya perkara penggugat

tidak memenuhi perintah dari Hakim dan atau perkara tidak

menguatkan pada dalil-dalil gugatan yang diajukan.

6. Putusan gugur, yaitu: Putusan yang diajukan karena perkara telah

kadaluarsa.

7. Putusan tidak diterima, yaitu: Putusan yang dijatuhkan karena

Penggugat atau pemohon tidak bisa membuktikan dalil-dalil yang

diajukan dalam persidangan (Yahya M. Harahap, 1993: 31)

Dalam tahap ini maka Hakim menyampaikan segala

pendapatnya tentang perkara itu dan menyimpulkan dalam amar

putusan.Putusan Hakim ini untuk mengakhiri sengketa. Dalam

pemeriksaan perkara perceraian terdapat azas umum yang berlaku

(35)

Agama perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, antara lain:

a) Pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim yang terdiri dari 3

(tiga) orang Hakim, salah seorang diantaranya sebagai Ketua

Majelis dan yang lainnya sebagai Hakim Anggota. Pemeriksaan

dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 80 ayat 1).

b) Putusan perkara perceraian diucapkan dalam sidang terbuka

untuk umum. Penyimpangan terhadap azas ini akan berakibat

putusan batal demi hukum (Pasal 59 ayat 1 dan ayat 2).

c) Pemeriksa di sidang pengadilan dihadiri suami isteri atau

wakilnya.

d) Yang mendapat kuasa khusus dari mereka (Pasal 82 ayat 6).

e) Pemeriksaan paling lambat 30 (tiga puluh) hari tanggal

pendaftaran gugatan. (Pasal 80 ayat 1).

f) Upaya mendamaikan kedua belah pihak diusahakan selama

proses pemeriksaan persidangan berlangsung (Sudikno

Mertokusumo, 2002: 83).

D. Tinjauan Umum tentang Putusan Verstek 1.Pengertian Verstek

Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan oleh majelis Hakim

tanpa hadirnya Tergugat, dan ketidakhadirannya itu tanpa alasan yang sah

(36)

Putusanverstek ini merupakan pengecualian dari acara persidangan biasa

atau acara kontradiktur dan prinsip audi et elteram partem sebagai akibat

ketidakhadiran tergugat atas alasan yang tidak sah (Yahya M. Harahap,

1993: 40).

Dalam acara verstek Tergugat dianggap ingkar menghadiri

persidangan tanpa alasan yang sah dan dalam hal ini Tergugat dianggap

mengakui sepenuhnya secara murni dan bulat semua dalil gugatan

Penggugat. Putusan verstek ini hanya dapat dijatuhkan dalam hal Tergugat

atau para Tergugat semuanya tidak hadir pada persidangan. Menurut

SEMA Nomor 9 Tahun 1964 pengertian hari sidang pertama (ten dage

dienende) dapat juga diartikanpada hari sidang kedua dan sebagainya (ten

dage dat de zaak dient). Bahwa pada dasarnya semua hak pada Tergugat

yang tidak di penuhi pada persidangan dan tergugat tidak hadir maka akan

dianggap sah oleh hakim (Purwosusilo, 2014: 113-115).

Menurut Pasal 125 H.I.R. verstek diartikan tidakhadirnya tergugat

pada sidang hari pertama. Pengertian pada hari sidang pertama tersebut

dapat berati tidak saja pada sidang ke 1 (satu), akan tetapi juga hari sidang

ke 2 (dua) dan sebagainya (Salim HS, 2002: 76-78).

2. Syarat-syarat Putusan Vertek

Ketidakhadiran Tergugat dipersidangan bukan merupakan satunya

landasan untuk memutus perkara secara verstek. Berdasarkan Pasal 125

ayat 1 HIR ada beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu:

(37)

2. Tergugat atau kuasanya tidak datang ke persidangan pada hari sidang

yang telah ditentukan.

3. Gugatan Penggugat bersandar hukum dan beralasan.

4. Tergugat tidak mengajukan tangkisan atau eksepsi mengenai

kewenangan relatif.

5. Penggugat hadir di persidangan (Purwosusilo, 2014: 116).

Apabila semua persyaratan terpenuhi kecuali persyaratan angka 3

(tiga) dimana gugatan Penggugat ternyata tidak bersandar hukum dan

tidak beralasan, maka mesklipun di putus verstek tetapi gugatan akan

ditolak. Begitu pula apabila ternyata terdapat kesalahan formil dalam

gugatan, umpamanya diajukan oleh orang yang tidak berhak, kuasa yang

menandatangani surat gugatan ternyata tidak memiliki surat kuasa khusus

dari pihak Penggugat, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterim.

Apabila persyaratan tidak terpenuhi adalah persyaratan angka 5 (lima),

yaitu pihak Penggugat ternyata tidak hadir di persidangan meskipun ia

telah dipanggil secara sah dan sepatutnya, maka gugatan Penggugat

dinyatakan gugur (Al-Mizan, 2015: 15).

Meskipun Tergugat tidak hadir atau tidak mengirimkan kuasanya

yang sah, tetapi apabila ia mengajukan jawaban tertulis berupa tangkisan

tentang tidak berwenang mengadili, maka putusan verstek tidak dapat

dijatuhkan kecuali tangkisan Tergugat ditolak sesudah mendengar

Penggugat, dan pemeriksaan gugatan Penggugat ternyata bersandar hukum

(38)

3. Penerapan Cara Verstek Tidak Imperatif

Undang-undang mendudukan kehadiran Tergugat di persidangan

sebagai hak, bukan kewajiban yang bersifat imperatif.Dalam penerapan

verstek penerapannya itu bersifat fakultatif.Sifat penerapan yang fakultatif

tersebut, diatur dalam Pasal 126 HIR sebagai acuan.

Ketidakhadiran Tergugat pada sidang pertama, Hakim bisa

mengundurkan sidang dan memanggil tergugat sekali lagi.Adapun batasan

pengunduran sidang itu diberikan toleransi minimal 2 (dua) kali dan

maksimal 3 (tiga) kali.Apabila sudah sampai 3 (tiga) kali dipanggil dan

Tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka hakim langsung bisa

menjatuhkan verstek (Al-Mizan, 2015: 17).

4. Penerapan Cara Verstek Apabila Tergugat Lebih Dari Satu

Rujukan penerapan cara verstek apabila tergugat lebih dari satu

bertitik tolak pada Pasal 127 HIR dan Pasal RBG dijelaskan sebagai

berikut:

1. Pada sidang pertama dan sudah dilakukan pemanggilan berulang kali

dengan batas maksimal yaitu 3 (tiga) kali pemanggilan semua

Tergugat tidak hadir, maka hakim bisa menjatuhkan verstek.

2. Salah seorang Tergugat tidak hadir, maka pemeriksaan bisa

diundurkan dan memanggil ulang pihak Tergugat yang tidak hadir,

apabila tetap tidak hadir maka pemeriksaannya itu dilangsungkan

secara kontradiktoir, dan hasil putusan itu berlaku juga untuk pihak

(39)

3. Salah seorang atau semua Tergugat yang hadir pada persidangan

pertama, tidak hadir pada persidangan berikut, tetapi tergugat yang

dahulu tidak hadir, sekarang hadir. Dalam kasus ini hakim dapat

memilih alternatif di bawah ini:

a. Mengundurkan Persidangan.

b. Melangsungkan Persidangan dengan cara/secarakontradiktoir

(Marwan H, 2015: 41).

5. Upaya Hukum Terhadap Putusan Verstek

Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Tergugat terhadapputusan

verstek adalah mengajukan perlawanan (verzet), yaitu dalam waktu 14

(empat belas) hari setelah putusan verstek itu diberitahukan kepada

Tergugat. Dengan adanya verzet maka kedudukan Tergugat adalah

pelawan, dan Penggugat sebagai terlawan.Meskipun demikian, dalam

pemeriksaan verzet yang dipaksa adalah gugatan Penggugat, sehingga

apabila Tergugat membantah gugatan Penggugat maka Penggugat

mempunyai kewajiban untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya.

Sedangkan upaya hukum bagi penggugat yang dikalahkan dalam putusan

verstek maka diajukan banding, dan bagi Tergugat dapat melakukan

bantahan dalam tingkat banding, tanpa menggunakan lembaga perlawanan

(verzet) dalam tingkat pertama (Purwosusilo, 2014: 74-75).

Pada Pasal 129 HIR dan Pasal 153 RBG mengatur berbagai aspek

mengenai upaya hukum terhadap putusan verstek:

(40)

2. Ayat (2) mengenai tenggang waktu.

3. Ayat (3) mengatur cara pengajuan upaya hukum.

4. Ayat (4) mengatur permintaan penundaan eksekusi putusan verstek.

5. Ayat (5) mengatur tentang pengajuan verzet terhadap verstek

(Al-Mizan, 2015: 22).

6. Proses Pemeriksaan Perlawanan

6.1. Perlawanan Diajukan Kepada Pengadilan Agama yang Menjatuhkan

Putusan Verstek

Agar permintaan perlawanan memenuhi syarat formil, maka:

a. Diajukan oleh Tergugat sendiri atau kuasanya.

b. disampaikan kepada Pengadilan Agama yang menjatuhkan

putusan verstek sesuai dengan batas tenggang waktu yang

ditentukan Pasal 129 ayat (2) HIR.

c. Perlawanan dijatuhkan kepada putusan verstek tanpa menarik

pihak lain, selain dari Penggugat.

6.2. Perlawanan Mengakibatkan Putusan Verstek Mentah Kembali

Apabila diajukan verzet terhadap putusan verstek, dengan

sendirinya menurut hukum sebagai berikut:

a. Putusan verstek menjadi mentah kembali.

b. Eksistensinya dianggap tidak pernah ada.

c. Oleh karena itu, jika terhadapnya diajukan perlawanan, putusan

verstek tidak dapat dieksekusi meskipun putusan itu

(41)

6.3. Pemeriksaan Perlawanan (Verzet)

a. Pemeriksaan dengan gugatan semula.

b. Proses pemeriksaan dengan acara biasa. Ketentuan ini diatur

dalam Pasal 129 ayat (3) HIR yang berbunyi “ Surat perlawanan

itu dimaksud dan diperiksa dengan cara yang biasa, yang diatur

untuk perkara perdata”.

c. Surat perlawanan sebagai jawaban Tergugat terhadap dalil

gugatan:

1. Dalam surat perlawanan dapat diajukan eksepsi. Dalam Pasal

129 ayat (1) HIR, dalam surat perlawanan yang sama fungsi

dan kualitasnya dengan surat jawaban, dapat mencantumkan

hal-hal berikut:

a) Beriri eksepsi.

b) Berisi bantahan terhadap pokok perkara.

c) Permintaan penundaan eksekusi putusan verstek.

2. Menegakkan proses replik dan duplik.

3. Membuka tahap proses pembuktian yang dilanjutkan dengan

pengajuan konklusi (Marwan H, 2015: 47).

7. Putusan Perlawanan

7.1. Putusan Verzet Merupakan Produk Kedua

Dalam penyelesaian satu perkara diterapkan acara verstek yang

dibarengi dengan acara verzet terhadap putusan verstek tersebut,

(42)

a) Produk pertama, putusan verstek sesuai dengan acara verstek yang

digariskan Pasal 125 ayat (1) HIR.

b) Produk kedua, putusan verzet berdasarkan acara verzet yang

diatur pada Pasal 129 ayat (1) HIR.

7.2. Bentuk Putusan Verzet

a) Verzet tidak dapat diterima.

b) Menolak verzet atau perlawanan.

c) Mengabulkan perlawanan (Al-Mizan, 2015: 25).

8. Pertimbangan Hakim Sebelum Menjatuhkan Putusan Verstek

Pasal 149 ayat (1, 2, 3 dan 4) HIR menentukan bahwa gugatan dapat

dikabulkan dengan verstek apabila:

a. Tergugat atau para tergugat tidak datang pada hari sidang pertama yang

telah ditentukan atau tidak mengirim jawaban.

b. Tergugat atau para tergugat tersebut tidak mengirim wakil atau

kuasanya yang sah untuk menghadap atau tidak mengirim jawaban.

c. Tergugat atau para tergugat telah dipanggil dengan patut.

d. Gugatan beralasan dan berdasarkan hukum (Ayu Dwi, 2013: 1).

Kalau sudah dipangil dengan sah dan patut tidak hadir, maka

diputus verstek atau diputus tanpa hadirnya Tergugat atau Termohon,

kalau perkara talak namanya termohon kalau cerai gugat namanya

tergugat, setelah dipanggil secara patut ternyata Tergugat tidak hadir maka

akan di jatuhkan dengan putusan verstek. Putusan ini karena tidak hadinya

(43)

hukum Islam itu yang penting Tergugat punya alasan hukum terus

Tergugat di panggil secara sah (Nangim, 30 Juni 2016, 11.00-12.00).

Hakim secara etimologi merupakan kata serapan dari bahasa Arab

yaitu Hakim, yang berarti orang yang memberi putusan atau diistilahkan

juga dengan qadhi. Hakim juga berarti orang yang melaksanakan hukum,

karena hakim itu memang bertugas mencegah seseorang dari kezhaliman.

Kata Hakim dalam pemakaiannya disamakan dengan qadhi yang berarti

orang yang memutus perkara dan menetapkannya.

Hakim Pengadilan Agama mempunyai tugas untuk menegakkan

Hukum Perdata Islam yang menjadi wewenangnya dengan cara-cara yang

diatur dalam Hukum Acara Peradilan Agama. Hal ini di bagi menjadi 2

(dua) tugas hakim, sebgai berikut:

a. Tugas Yustisial

1. Membantu pencarian keadilan dalam perkara perdata, Pengadilan

membantu para pencari keadilan untuk dapat tercapainya peradilan

yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

2. Hakim wajib mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk

tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan baik

yang berupa teknis maupun yuridis.

3. Perdamaian adalah lebih baik dari pada putusan yang dipaksa.

Dalam perkara perceraian, lebih-lebih jika sudah ada anak, maka

(44)

4. Memimpin persidangan berupa menetapkan hari sidang,

memerintahkan memanggil para pihak, mengatur mekanisme

sidang, mengambil prakarsa untuk kelancaran sidang, melakukan

pembuktian, mengakhiri sengketa.

5. Memeriksa an mengadili perkara.

6. Meminutir berkas perkara minutering atau minutasi ialah suatu

tindakan yang menjadikan semua dokumen perkara menjadi

dokumen resmi dan sah. Minutasi dilakukan oleh pejabat

Pengadilan sesuai dengan bidangnya masing-masing, namun cara

keseluruhan menjadi tanggung jawab Hakim yang bersangkutan.

7. Hakim wajib mengawasi pelaksanaan putusan agar putusan dapat

dilaksanakan dengan baik dan lancar serta upaya perikemanusiaan

dan perikeadilan tetap terpelihara.

8. Memberikan pengayoman kepada pencari keadilan.

9. Menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Hakim

sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti

dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

10.Hakim wajib mengawasi penasihat hukum yang berpraktek di

Pengadilan Agama.

b. Tugas Non Yuditsial

1. Tugas pengawasan sebagai Hakim pengawas bidang.

2. Turut melaksanakan hisab, rukyat dan mengadakan kesaksisan

(45)

3. Sebagi rokhaniawan sumpah jabatan.

4. Memberikan penyuluhan hukum.

5. Melayani riset untuk kepentingan Ilmiah.

c. Tugas Hakim dalam Memeriksa dan Mengadili Perkara

1. Kontatiring, yaitu yang dituangkan dalam Berita Acara

Persidangan dan dalam duduknya perkara pada putusan Hakim.

2. Kualifisir, yaitu yang dituangkan dalam pertimbangan hukum

dalam surat putusan.

3. Konstituring, yaitu yang dituangkan dalam amar putusan (dictum)

Referensi

Dokumen terkait

The research paper entitled “ Comparison Analysis of Motorcycle Performance Between Intake Manifold Standard and Intake Manifold Racing on Yamaha Jupiter Z 2005 ”,

Kurangnya penelitian dalam bidang gizi tentang pengimpelementasian proses asuhan gizi terstandar di rumah sakit khususnya di indonesia, sehingga peneliti hanya

Kemampuan psikomotor siswa sebagian besar telah sesuai dengan kriteria penilaian tes praktek serta elemen kompetensi dan KUK untuk produksi susu kedelai, kecuali

Based on the result of data analysis, the research findings are: (1) in general, there is a difference on reading competence between the students who are taught using

He is the award-winning author or coeditor of seven books including Killing with Kindness: Haiti, International Aid, and NGOs (Rutgers University Press), coeditor of Tectonic

Yang menjadi persamaan dalam penelitian sebelumnya sama- sama mengendalikan daya arus listrik namun penelitian sebelumnya hanya mengendalikan perangkat listriknya untuk

Tabel 5.3 Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten Minahasa Menurut Jenis Pendapatan (juta rupiah), 2012-2015. Sumber: Kabupaten Minahasa Dalam Angka

Website Relying Party yang menggunakan HTTP tanpa dilengkapi dengan layer yang aman ( Secure Socket Layer/SSL ) membuat semua paket data yang dikirimkan dan diterima