BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1.1 Komunikasi Interpersonal
2.1.2.4 Proses Persepsi
Dalam proses persepsi terdapat tiga komponen, yaitu : a. Seleksi
Seleksi adalah proses penyaringan oleh indera terhadap rangsangan dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit.
b. Interpretasi
Interpretasi yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pengalaman masa lalu, motivasi dan lain – lain. Interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengkategorian informasi yang diterimanya.
c. Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi.
Tahap terakhir dari konsep perceptual ialah bertindak sehubungan dengan apa yang telah dipersepsi. Lingkaran persepsi belum sempurna sebelum menimbulkan suatu tindakan. Tindakan itu bisa tersembunyi dan bisa pula terbuka. Tindakan tersembunyi bisa berupa pembentukan pendapat atau sikap, sedangkan tindakan yang terbuka berupa tindakan nyata sehubungan dengan persepsi itu ( Sobur, 2003 : 464 ).
Jadi proses persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi, dan pembulatan terhadap informasi yang sampai ( Sobur, 2003 : 447 ).
2.1.2.5 Kekeliruan dan Kegagalan Persepsi
Persepsi sering tidak cermat, sehingga salah satu penyebabnya adalah asumsi atau pengharapan kita. Kita mempersepsi sesuatu atau seseorang sesuai dengan pengharapan kita. Beberapa bentuk kekeliruan dan kegagalan persepsi tersebut adalah sebagai berikut : (Deddy Mulyana, 2001 : 211-230)
1. Kesalahan atribusi
Atribusi adalah proses internal dalam diri kita untuk memahami penyebab perilaku orang lain. Dalam usaha mengetahui orang lain, kita menggunakan beberapa sumber informasi. Kesalahan atribusi bisa terjadi ketika kita salah menaksir makna pesan atau maksud perilaku si pembicara. Atribusi kita juga keliru bila kita menyangka bahwa perilaku seseorang disebabkan oleh faktor internal, padahal justru faktor eksternal yang menyebabkannya atau sebaliknya kita menduga faktor ekternal yang menggerakkan seseorang, padahal faktor internal yang membangkitkan perilakunya. Salah satu sumber kesalahan atribusi lainnya adalah pesan yang dipersepsi tidak utuh atau tidak lengkap, sehingga kita berusaha menafsirkan pesan tersebut dengan menafsirkan sendiri kekurangannya atau “mengisi” kesenjangan dan mempersepsi rangsangan atau pola yang tidak lengkap itu sebagai lengkap.
2. Efek Halo
Kesalahan persepsi yang di sebut efek halo merujuk pada fakta bahwa begitu kita membentuk suatu kesan menyeluruh mengenai seseorang, kesan yang menyeluruh ini cenderung menimbulkan efek yang kuat atas penilaian kita akan sifat – sifatnya yang spesifik. Efek halo memang lazim dan berpengaruh kuat sekali pada diri kita dalam menilai orang – orang yang bersangkutan. Dalam kehidupan sehari – hari, kita mungkin menemukan suatu sifat positif yang sangat menonjol pada seseorang, misalnya bahwa seseorang itu jujur, atau periang, atau murah hati.
3. Stereotip
Kesulitan komunikasi akan muncul dari penstereotipan, yakni menggeneralisasikan orang – orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai merek berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Penstereotipan adalah proses menempatkan orang – orang dan objek – objek ke dalam kategori – kategori yang mapan, atau penilaian mengenai orang – orang atau objek – objek berdasarkan kategori – kategori yang di anggap sesuai, alih – alih berdasarkan karakteristik individual mereka.
Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter mendefinisikan stereotip sebagai persepsi atau kepercayaan yang kita anut mengenai kelompok – kelompok atau individu – individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dulu terbentuk. Menurut Robert A. Baron dan Paul B. Paulus, stereotip adalah kepercayaan hampir selalu salah bahwa semua anggota suatu kelompok tertentu memiliki ciri – ciri tertentu atau menunjukkan perilaku – perilaku tertentu.
Ringkasnya, stereotip adalah kategorisasi atas suatu kelompok secara serampangan dengan mengabaikan perbedaan – perbedaan individual.
Mengapa terdapat stereotip? Menurtu Baron dan Paulus, beberapa faktor tampaknya berperan. Pertama, sebagai manusia kita cenderung membagi dunia ini ke dalam dua kategori : kita dan mereka. Orang – orang yang kita persepsi sebagai di luar kelompok kita dipandang sebagai lebih mirip satu sama lain daripada orang – orang dalam kelompok kita sendiri. Karena kita kekurangan informasi mengenai mereka, kita cenderung menyamaratakan mereka semua, dan menganggap mereka sebagai homogen. Kedua, stereotip tampaknya bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja kognitif sesedikit mungkin, dalam berpikir mengenai orang lain. Dengan memasukkan orang kedalam kelompok, kita dapat mengasumsikan bahwa kita mengetahui banyak tentang mereka, dan menghemat tugas kita yang menjemukan untuk memahami mereka sebagai individu. Pada umumnya stereotip bersifat negatif. Stereotip ini tidaklah berbahaya sejauh kita simpan dalam kepala kita. Akan tetapi bahayanya sangat nyata bila stereotip ini di aktifkan dalam hubungan manusia.
4. Prasangka
Suatu kekeliruan persepsi terhadap orang yang berbeda adalah prasangka, suatu konsep yang sangat dekat dengan stereotip. Beberapa pakar cenderung menganggap bahwa stereotip itu identik dengan prasangka, seperti Donald Edgar dan Joe R. Fagin, dapat dikatakan bahwa stereotip merupakan komponen kognitif ( kepercayaan ) dari prasangka, sedangkan prasangka juga berdimensi perilaku. Jadi prasangka ini konsekuensi dari stereotif, dan lebih teramati daripada
stereotip. Menggunakan kata – kata Ian Robertson, “ Pikiran berprasangka selalu menggunakan citra mental yang kaku yang meringkas apapun yang dipercayai sebagai khas suatu kelompok.
Menurut Richard W. Brislin mendefinisikan prasangka sebagai suatu sikap tidak adil, menyimpang atau tidak toleran terhadap sekelompok orang. Seperti juga stereotip, meskipun dapat positif atau negatif, prasangka umumnya bersifat negatif. Brislin menyatakan bahwa prasangka mencakup hal – hal berikut : memandang kelompok lain lebih rendah; sifat memusihi kelompok lain; bersikap ramah terhadap kelompok lain pada saat tertentu, namun menjaga jarak pada saat lain; berperilaku yang dibenci kelompok lain seperti datang terlambat, padahal mereka menghargai ketepatan waktu. Wujud prasangka yang nyata dan ekstrem adalah diskriminasi, yakni pembatasan atas peluang atau akses sekelompok orang terhadap sumber daya semata – mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut seperti ras, suku, gender, pekerjaan dan sebagainya.
5. Gegar budaya
Lundstedt mengatakan bahwa gegar budaya adalah suatu bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang merupakan suatu reaksi terhadap upaya sementara yang gagal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang – orang baru. Menurut P. Harris dan R. Moran, gegar budaya adalah suatu trauma umum yang dialami seseorang dalam suatu budaya yang baru dan berbeda karena harus belajar dan mengatasi begitu banyak nilai budaya dan pengharapan baru, sementara nila budaya dan pengharapan budaya lama tidak lagi sesuai. Gegar budaya ini dalam berbagai bentuknya adalah fenomena yang alamiah saja.
Intensitasnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang pada dasarnya terbagi dua : yakni faktor internal dan faktor eksternal.
2.1.3 Perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang. Perkawinan adalah penerimaan status baru, dengan sederetan hak dan kewajiban yang baru, serta pengakuan akan status baru oleh orang lain. Perkawinan merupakan persatuan dari dua atau lebih individu yang berlainan jenis seks dengan persetujuan masyarakat. Menurut Horton dan Hunt, perkawinan adalah pola sosial yang disetujui dengan cara mana dua orang atau lebih membentuk keluarga ( Narwoko – Bagong, 2004 : 229 ).
Perkawinan dalam pandangan Islam adalah akad yang sangat kuat yang dilakukan secara sadar oleh seorang laki – laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak. Karena itu, perkawinan bukanlah ibadah dalam arti kewajiban melainkan hubungan sosial kemanusiaan semata. Perkawinan akan bernilai ibadah, jika diniatkan untuk mencari ridlo Allah SWT.
2.1.3.1 Prinsip Perkawinan
Berdasarkan kajian terhadap Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad, Khoiruddin Nasution menyimpulkan lima prinsip perkawinan ( Ridwan, 2006 : 130-139 ) :
1. Prinsip Musyawarah dan Demokrasi
Prinsip musyawarah dan demokrasi dalam kehidupan rumah tangga berarti segala aspek kehidupan dalam rumah tangga harus diputuskan dan diselesaikan berdasarkan hasil musyawarah minimal antara suami dan isteri. Sedangkan yang dimaksud demokratis adalah antara suami dan isteri haruslah terbuka untuk menerima pandangan dan pendapat pasangannya. Makna mu’asyarah bi al-ma’ruf adalah suatu pergaulan atau pertemanan, persahabatan atau hubungan kekeluargaan yang dibangun secara bersama – sama dengan cara yang baik yang sesuai dengan tradisi dan situasi masyarakatnya masing – masing tetapi tidak bertentangan dengan norma – norma agama, akal sehat, maupun fitrah manusia. Atas prinsip mu’asyarah bi al-ma’ruf ini, maka relasi suami isteri dalam konteks
pengambilan keputusan keluarga haruslah diambil secara bersama – sama dengan kedudukan yang seimbang dan setara.
2. Prinsip Menciptakan Rasa Aman dan Tenteram Dalam Keluarga
Prinsip menciptakan rasa aman dan tenteram dalam keluarga berarti kehidupan rumah tangga harus tercipta suasana merasa saling kasih, saling asih, saling cinta, saling melindungi, dan saling sayang dan setiap anggota keluarga berkewajiban untuk menciptakan prinsip ini. Rasa aman dan tenteram bagi anggota keluarga adalah aman dan tenteram secara kejiwaan (psikis) maupun jasmani (fisik). Prinsip kenyamanan dan ketentraman kehidupan rumah tangga ini didasarkan pada ketentuan Al-Qur’an surat ar-Rum ayat 21 yaitu terciptanya keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.
3. Prinsip Menghindari Adanya Kekerasan
Prinsip menghindari adanya kekerasan (violence) baik kekerasan fisik maupun psikis adalah jangan sampai ada pihak dalam kehidupan rumah tangga yang merasa berhak memukul atau melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk apapun dengan dalih atau alasan apapun, termasuk alasan agama, baik kepada atau antar pasangan ( suami – isteri ) atau antara pasangan dengan anak.
4. Prinsip Hubungan Suami dan Isteri Sebagai Hubungan Partner
Prinsip suami dan isteri adalah pasangan yang mempunyai hubungan bermitra, patner dan sejajar (equal). Dasar bagi perumusan prinsip ini adalah ketentuan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187.
5. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan berarti menempatkan sesuatu pada posisi yang semestinya (proporsional). Prinsip keadilan disini antara lain bahwa kalau ada di antara pasangan atau anggota keluarga (anak – anak) yang mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri harus didukung tanpa memandang dan membedakan berdasarkan jenis kelamin. Dengan prinsip keadilan, maka masing – masing anggota keluarga sadar bahwa dirinya adalah bagian dari keluarga dengan hak dan kewajiban serta tugas dan fungsi yang berbeda untuk secara bersama – sama dilaksanakan secara konsekuen dan proporsional.
Relasi suami – isteri bukanlah relasi kepemilikan ataupun relasi “atasan” dengan “bawahan”. Kedua pasangan suami – isteri adalah pribadi yang utuh yang memiliki relasi seimbang, sejajar dalam menunaikan hak dan kewajiban. Membangun fondasi kehidupan rumah tangga yang berkeadilan dan bermartabat secara tidak langsung merupakan sebuah upaya untuk memberdayakan dan mengelola seluruh potensi keluarga untuk kesejahteraan keluarga yang bersangkutan.
Dalam kaitannya upaya membangun keluarga yang harmonis dan diliput kasih sayang menuju keluarga yang berkeadilan dan bermartabat, terdapat tiga kata kunci yang harus dipegangi dalam a long life struggle kehidupan berkeluarga: yaitu Mawaddah, Rahmah, dan Sakinah.
a. Mawaddah ( to love each other ), saling mencintai / menyayangi antara satu dengan lainnya. Mawaddah bukanlah sekedar cinta terhadap lawan jenis dengan keinginan selalu ingin berdekatan dengan cinta penuh gelora dan
menjadikannya terlena dan layu sebelum berkembang, karena melampaui batas kewajaran yang ditentukan oleh agama. Mawaddah adalah saling mencintai dengan cinta plus, karena cintanya penuh dengan kelapangan terhadap keburukan dan kekurangan orang yang dicintainya. Di sini diperlukan kemampuan pendekatan psikologis dan management konflik yang tinggi, seperti prose adaptasi, kompromi – kompromi dan belajar menahan diri.
b. Rahmah ( relieve from suffering through sympathy, to show human
understanding from one another, love and respect one another ), saling simpati, menghormati, dan menghargai antara yang satu dengan lainnya. Sikap Rahmah ini termanifestasikan dalam bentuk perasaan saling simpati, menghormati dan saling mengagumi antara kedua belah pihak sehingga akan muncul kesadaran saling memiliki dan keinginan untuk melakukan yang terbaik bagi pasangannya sebagaimana dirinya ingin diperlakukan.
c. Sakinah ( to be or become tranquil; peaceful; God-inspired peace and mind ), kedamaian dan ketentraman. Sakinah merupakan kesadaran perlunya kedamaian, ketentraman, keharmonisan, kejujuran, dan keterbukaan yang diinspirasikan dan berlandaskan pada spiritualitas ketuhanan.
Kehidupan keluarga merupakan miniatur kecil dari potret kehidupan bangsa pada umumnya, sehingga melihat potret kehidupan sebuah bangsa bisa dilihat dari kehidupan unit terkecil dari masyarakatnya yaitu kehidupan rumah tangga. Dengan demikian membangun karakter dan moralitas bangsa harusnya dimulai
dari kehidupan rumah tangga sebagai unit terkecil dari masyarakat bangsa pada umumnya.
2.1.3.2 Hikmah Kawin
Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin sebagaimana tersebut karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia ( Sabiq, 1980 : 18-22 ) :
1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dank eras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami goncang dan kacau serta menerobos jalan yang jahat.
Dan kawinlah jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluriah seks ini. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang halal.
2. Kawin, jalan terbaik untuk membuat anak – anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan. Banyaklah jumlah keturunan mempunyai kebaikan umum dan khusus, sehingga beberapa bangsa ada yang berkeinginan keras untuk memperbanyak jumlah rakyatnya dengan memberikan perangsang perangsang melalui pemberian upah bagi orang – orang yang anaknya banyak.
3. Selanjutnya, naluri kebapak’an dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak – anak dan akan tumbuh pula perasaan – perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat – sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak – anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh – sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja, karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi. Juga dapat mendorong usaha mengekploitasi kekayaan alam yang dikaruniakan Allah bagi kepentingan hidup manusia. 5. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga,
sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas – batas tangung jawab antara suami – istri dalam menangani tugas – tugasnya. Dengan pembagian adil, masing – masing pasangan menunaikan tugasnya yang alami sesuai dengan keridloan Ilahi, dihormati oleh umat manusia dan membuahkan hasil yang menguntungkan.
6. Dengan perkawinan di antaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh Islam direstui, ditopang, dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyayangi akan merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia.
7. Dalam salah satu pernyataan PBB yang disiarkan oleh harian Nasional terbitan Sabtu 6/6 1959 mengatakan :
“Bahwa orang yang bersuami istri umurnya lebih panjang daripada orang – orang yang tidak besuami istri, baik karena menjanda, tercerai atau sengaja membujang”. Pernyataan itu selanjutnya mengatakan : “Dalam banyak negeri orang – orang kawin pada umur yang masih sangat muda, akan tetapi bagaimanapun juga umur orang – orang yang bersuami istri umumnya lebih panjang”.
2.1.3.3 Hukum Kawin
Hukum perkawinan ( Sabiq, 1980 : 22-26 ) yaitu : 1. Wajib
Bagi yang sudah mampu kawin, nafsunya telah mendesak dan takut terjerumus dalam perzinaan wajiblah dia kawin. Karena menjauhkan diri dari yang haram adalah wajib, sedangkan untuk itu tidak dapat dilakukan dengan baik kecuali dengan jalan kawin.
Kata Qurthuby :
Orang bujangan yang sudah mampu kawin dan takut dirinya dan agamanya jadi rusak, sedang tak ada jalan untuk menyelamatkan diri kecuali dengan kawin, maka tak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya ia kawin.
Jika nafsunya telah mendesaknya, sedangkan ia tak mampu membelanjai istrinya, maka Allah nanti akan melapangkan rizkinya.
2. Sunnah
Adapun bagi orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi masih dapat menahan dirinya dari berbuat zina, maka sunnahlah dia kawin. Kawin baginya lebih utama dari bertekun diri dalam ibadah, karena menjalani hidup sebagai pendeta sedikitpun tidak dibenarkan Islam.
3. Haram
Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi bafkah batin dan lahirnya kepada istrinya serta nafsunya pun tidak mendesak, haramlah ia kawin.
Qurthuby berkata : “Bila seorang laki – laki sadar tidak mampu membelanjai istrinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak – hak istrinya, maka tidaklah boleh ia kawin, sebelum ia dengan terus terang menjelaskan keadaannya kepadanya, atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak – hak istrinya. Begitu pula kalau ia karena sesuatu hal menjadi lemah, tak mampu menggauli istrinya, maka wajiblah ia menerangkan dengan terus terang agar perempuannya tidak tertipu olehnya”.
4. Makruh
Makruh kawin bagi seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu member belanja istrinya, walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga bertambah makruh hukumnya jika karena lemah syahwat itu ia berenti dari melakukan sesuatu ibadah atau menuntut sesuatu ilmu.
5. Mubah
Dan bagi laki – laki yang tidak terdesak oleh alasan – alasan yang mewajibkan segera kawin atau karena alasan – alasan yang mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah.
2.1.4 Poligami
Poligami adalah seorang laki – laki mempunyai dua orang atau lebih istri dimana istri – istri tersebut ada yang dinikahkan secara resmi menurut agama dan Negara maupun yang hanya dinikahkan secara siri dan dengan terjadinya perkawinan poligami tersebut akan menyebabkan rumah tangga itu terbentuk dari dua atau lebih keluarga inti dimana lelaki yang sama menjadi suami bagi beberapa perempuan.
Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat). Poligami mempunyai arti suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan lebih dari seorang wanita.
Poligami menurut agama Islam yang tercantum dalam surat An – Nisa’ ayat 3, yaitu Allah SWT membolehkan beristeri lebih dari satu, tapi dibatasi sebanyak – banyaknya empat orang dengan ketentuan mampu berlaku adil antara semua istri itu, baik dalam hal makan, minum, perumahan, giliran dan sebagainya yang bersifat materi ( Adz – Dzikraa juz 1-5 : 312 ). Sehingga Dalil poligami tersebut berbunyi :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. an- Nisaa`:3).
2.1.4.1 Sejarah Poligami
Sistem poligami sudah meluas berlaku pada banyak bangsa sebelum Islam sendiri datang. Di antara bangsa – bangsa yang menjalankan poligami, yaitu : Ibrani, Arab Jahiliyah dan Cisilia, yang kemudian melahirkan sebagian besar penduduk yang menghuni Negara – Negara : Rusia, Lithuania, Polandia, Cekoslavia, dan Yugoslavia, dan sebagian dari orang – orang Jerman dan Saxon yang melahirkan sebagian besar penduduk yang menghuni Negara – Negara : Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Inggris.
Tidak benar jika dikatakan bahwa Islamiyah yang mula – mula membawa sistem poligami. Sebenarnya sistem poligami ini hingga dewasa ini masih tetap tersebar pada beberapa bangsa yang tidak beragama Islam, seperti : orang – orang asli Afrika, Hindu, India, Cina dan Jepang. Tidak benar juga jika dikatakan bahwa sistem ini hanya beredar di kalangan bangsa – bangsa yang beragama Islam saja.
Agama Kristen sebenarnya tidak melarang poligami, sebab di dalam Injil tidak ada satu ayat pun dengan tegas melarang hal ini. Jika para pemeluk Kristen bangsa Eropa pertama dulu telah beradat istiadat dengan kawin satu perempuan saja, ini tidak lain disebabkan oleh karena sebagian terbesar bangsa Eropa penyembah berhala yang didatangi oleh agama Kristen pertama kalinya adalah
terdiri dari orang Yunani dan Romawi yang lebih dulu sudah punya kebiasaan yang melarang poligami.
Setelah mereka memeluk agama Kristen, kebiasaan dan adat moyang mereka ini tetap mereka ini tetap mereka pertahankan dalam agama baru ini. Jadi, sistem monogami yang mereka jalankan ini bukanlah berasal dari agama Kristen yang mereka anut, akan tetapi telah merupakan warisan paganism (agama berhala) dahulu kala. Dari sinilah kemudian gereja mengadakan bid’ah dengan menetapkan larangan poligami dan lalu digolongkan larangan tersebut sebagai aturan agama.
Padahal Kitab Injil sendiri tidak menerangkan sedikit pun tentang sesuatu