PERSEPSI PEREMPUAN TENTANG POLIGAMI YANG DILAKUKAN PARA TOKOH AGAMA ISLAM ”USTADZ”
(Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Persepsi Perempuan Tentang Poligami Yang Dilakukan Para Tokoh Agama Islam ”Ustadz”)
SKRIPSI
Oleh :
Dhinar Kamesworo NPM. 0743110346
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
Persepsi Perempuan Tentang Poligami Yang Dilakukan Para Tokoh Agama Islam “Ustadz”
(Studi Deskriptif Kualitatif Persepsi Perempuan Tentang Poligami Yang Dilakukan Para Tokoh Agama Islam “Ustadz”)
Oleh:
DHINAR KAMESWORO NPM. 0743110346
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal 13 Juni 2011
Mengetahui, Pembimbing
Dra. Dyva Claretta, Msi NPT. 3 6601 94 00251
Tim Penguji 1. Ketua
2.Sekretaris
Dra. Dyva Claretta, Msi NPT. 3 6601 94 00251
3.
Mengetahui, DEKAN
Persepsi Perempuan Tentang Poligami Yang Dilakukan Para Tokoh Agama Islam “Ustadz”
(Studi Deskriptif Kualitatif Persepsi Perempuan Tentang Poligami Yang Dilakukan Para Tokoh Agama Islam “Ustadz”)
Disusun Oleh:
DHINAR KAMESWORO NPM. 0743110346
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui,
Pembimbing Utama
Dra. Dyva Claretta, Msi NPT. 3 6601 94 00251
Mengetahui,
DEKAN
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya kepada penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan
skripsi dengan judul ”Persepsi Perempuan Tentang Poligami Yang Dilakukan
Para Tokoh Agama Islam ”Ustadz” ”.
Penelitian ini disusun sebagai persyaratan dalam memperoleh gelar
Sarjana Strata (S1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, jurusan Ilmu
Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jatim.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada Dra. Dyva Claretta M.si, selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk mengoreksi serta memberikan petunjuk dan
bimbingannya yang sangat bermanfaat guna penyusunan skripsi ini. Peneliti juga
berusaha memberi sebaik mungkin namun demikian, penulis menyadari akan
kemampuan dan keterbatasan pengetahuan serta pengalaman penulis. Sehingga
masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, maka dari itu dengan
segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna kesempurnaan proposal ini. Skripsi ini tidak akan terselesaikan
tanpa adanya bantuan serta dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Allah SWT yang selalu melimpahkan Rahmat dan HidayahNYA sehingga
2. Dra. Hj. Suparwati, Msi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Pembangunan Nasional ”VETERAN” Jawa Timur,
Surabaya.
3. Dra. Sumardjijati, M.Si, selaku Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional ”VETERAN” Jawa
Timur, Surabaya.
4. Bapak. Juwito, S.Sos, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ilmu
Komunikasi, Universitas Pembangunan Nasional ” VETERAN” Jawa
Timur, Surabaya.
5. Kedua Orang Tua yang tercinta penulis Drs. H. Suwarno dan Hj. Rudy
Juliastuti, yang telah memberikan limpahan cinta, kasih sayang, perhatian,
do’a, dan bimbingannya kepada penulis.
6. Kakakku tercinta Ardha Yudhoagiono, S.E yang juga turut memberikan
do’a dan semangat demi kelancaran penyusunan skripsi ini.
7. Ibu. Syafrida Nurrahmi F, S.Sos, selaku dosen wali yang senantiasa
memberikan dorongan dan sarannya kepada penulis untuk kelancaran studi
penulis.
8. Sahabat – sahabat penulis Silania Utami, Firdausi Anidah, Samuel
Sulistyo Hadi, Galuh Oke P, yang selalu bimbingan bersama, Marlin
Christina NN, Yuliana Dewi, Meta Serilda, Dewi Novita, Uno Fam’s dan
teman-teman lainnya yang senantiasa memberikan do’a, dukungan dan
9. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Pembangunan Nasional ”VETERAN ” Jawa Timur, Surabaya.
10. Semua Orang yang senantiasa memberikan saran dan kritik guna kebaikan
penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Akhirnya segala amal baik yang mereka berikan kepada penulis semoga
mendapat balasan dari Allah SWT. Dan penulis berharap semoga skripsi ini
bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Lembar Persetujuan Skripsi ... ii
Kata Pengantar ... iii
Daftar Isi ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 11
1.3 Tujuan Penelitian ... 11
1.4 Manfaat Penelitian ... 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 12
2.1 Landasan Teori ... 12
2.1.1 Komunikasi Interpersonal ... ... 12
2.1.1.1 Hubungan Interpersonal ... 13
2.1.1.2 Efektivitas Komunikasi Interpersonal ... 15
2.1.2 Persepsi ... 18
2.1.2.1 Jenis Persepsi ... 20
2.1.2.2 Ciri – ciri Umum Dunia Persepsi ... 22
2.1.2.3 Faktor – faktor yang Berpengaruh pada Persepsi ... 23
2.1.3 Perkawinan ... 29
2.1.3.1 Prinsip Perkawinan ... 31
2.1.3.2 Hikmah kawin ... 34
2.1.3.3 Hukum Kawin ... 37
2.1.4 Poligami ... 38
2.1.4.1 Sejarah Poligami ... 39
2.1.4.2 Ayat – ayat dan Hadist Poligami ... 41
2.1.4.3 Hikmah Poligami ... 45
2.1.4.4 Hukum Poligami ... 47
2.1.4.5 Syarat Poligami ... 48
2.1.4.6 Dampak Poligami... 50
2.1.5 Perempuan Dalam Pengertian Islam ... 50
2.1.6 Tokoh Agama Islam... 57
2.2 Kerangka Berpikir ... 59
BAB III METODE PENELITIAN ... 61
3.1 Metode Penelitian ... 61
3.2 Definisi Konseptual ... 62
3.2.1 Persepsi ... 62
3.2.2 Poligami ... 63
3.2.3 Ustadz ... 63
3.2.4 Perempuan ... 64
3.5 Teknik Pengumpulan Data... 66
3.5 Teknik Analisis Data... 68
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 70
4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian dan Penyajian Data ... 70
4.1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian ... 70
4.1.1.1 Perempuan... 70
4.2 Analisis Data ... 74
4.2.1 Persepsi Perempuan Terhadap Poligami Yang Dilakukan Para Tokoh Agama Islam ”Ustadz” ... 74
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107
5.1 Kesimpulan ... 107
5.2 Saran... 109
ABSTRAKSI
DHINAR KAMESWORO, PERSEPSI PEREMPUAN TENTANG POLIGAMI YANG DILAKUKAN PARA TOKOH AGAMA ISLAM “USTADZ” ( Studi Deskripstif Kualitatif Persepsi Perempuan Tentang Poligami Yang Dilakukan Para Tokoh Agama Islam “Ustadz” )
Penelitian ini didasarkan pada maraknya fenomena para tokoh agama Islam “ustadz” yang melakukan poligami, baik itu secara agama dan hukum Negara maupun secara agama Islam atau secara siri dan dapat menimbulkan persepsi perempuan baik positif maupun negatif. Seperti halnya Aa’ Gym ustadz yang sudah terkenal dengan namanya dan melakukan poligami. Tidak hanya itu saja, namun masih banyak para tokoh agama Islam “ustadz” yang lain melakukan poligami dengan beredarnya informasi melalui media, yang tersebar luas di kalangan masyarakat. Ustadz sebagai panutan masyarakat yang identik dengan memiliki satu orang istri, namun ternyata ustadz yang memiliki istri lebih dari satu juga tidak sedikit.
Persepsi adalah inti komunikasi. Persepsi merupakan proses yang tidak lepas dari kehidupan manusia, sehingga sepanjang hidupnya manusia tidak pernah luput dari kegiatan mempersepsi. Persepsi juga dapat diartikan sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan – hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi atau menafsirkan pesan. Persepsi dikatakan sebagai proses internal dalam diri manusia yang memungkinkan seseorang untuk memilih, mengorganisirkan, dan menafsirkan rangsangan yang diterimanya dari lingkungannya, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku seseorang tersebut. Cara pandang pada penelitian ini akan menentukan bagaimana persepsi perempuan tentang poligami yang dilakukan para tokoh agama Islam “ustadz”.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena sedalam – dalamnya melalui pengumpulan data sedalam – dalamnya. Dan jika data yang dikumpulkan sudah mendalam, dan dapat menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Yang lebih ditekankan dalam penelitian ini adalah persoalan kedalaman ( kualitas ) data, bukannya banyaknya ( kuantitas ) data.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan suasana baik yang menjurus kepada pembangunan
serta ikatan kekeluargaan, memelihara kehormatan dan menjaganya dari segala
keharaman, menikah juga merupakan ketenangan dan tuma'ninah, karena
dengannya bisa didapat kelembutan, kasih sayang serta kecintaan diantara suami
dan istri. Setiap manusia memiliki kebahagiaan keluarga yang selalu bersama
dalam setiap waktu. Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam
kehidupan manusia, tempat belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial
dalam interaksi sosial dengan kelompoknya.
Kebahagiaan keluarga dalam pernikahan yang harmonis merupakan
dambaan setiap pasangan suami - istri. Kehidupan keluarga yang penuh harmonis
akan sangat bergantung dari pertemuan di antara anggota keluarga yang setara dan
berkeadilan dengan menghargai posisi dan peran masing – masing keluarga.
Ketika seorang laki – laki didaulat sebagai suami yang menikahi seorang
perempuan untuk dijadikan istri dan memutuskan untuk membangun rumah
tangga dengan melangsungkan pernikahan.
Salah satu masalah utama yang sering terjadi dalam sebuah hubungan
perkawinan yaitu tidak adanya keseimbangan dari sisi ekonomi / materi,
seksualitas, keotoriteran dalam keluarga, berpoligami dan sebagainya. Hampir
suami – istri. Salah satu bentuk permasalahan yang terjadi adanya seorang suami
yang menjadi tokoh agama Islam “ustadz” yang identik menganut monogami (
memiliki satu istri ), saat ini menganut poligami ( memiliki istri lebih dari satu ).
Dalam kasus poligami ini hubungan perkawinan antara suami untuk menikah lagi
memang sangat sulit diterima oleh istri dengan kemajuan zaman saat ini, bahkan
begitu banyaknya istri untuk menuntut cerai atau berpisah jika suami ingin
menikah lagi.
Saat ini terdapat banyak tokoh agama Islam “ustadz” yang sudah menjadi
panutan masyarakat yaitu Aa’ Gym dan Syekh Puji untuk melakukan poligami.
Masing – masing kedua tokoh agama Islam “ustadz” ini memiliki selera yang
berbeda dalam memilih pasangan untuk dijadikan istri kedua. Aa’ Gym memilih
untuk menikah lagi dan memiliki istri, pasti terdapat berbagai alasan. Maka dari
itu, dengan persetujuan istri pertama Teh Ninih, Aa’ Gym menikah dengan
seorang wanita yang bernama Teh Rini. Pernikahan ini berlangsung hingga Teh
Ninih mampu menerima kehadiran orang kedua dalam kehidupan baru bersama
sang suami. Pernikahan diam – diam Aa’ Gym yang telah menjadi pembicaraan di
kalangan masyarakat, dikarenakan Teh Rini merupakan seorang janda cantik,
tinggi semampai, mantan model. Dengan berjalannya waktu dan pemberitaan
yang selama ini beredar, Teh Ninih memilih bercerai. Aa’ Gym memberikan talak
dua kali dan satu kali rujuk kepada Teh Ninih. Menurut KH Miftah Farid Ketua
MUI Bandung, dengan dua kali talak dan satu kali rujuk, maka jika keduanya
Berbeda dengan Syekh Puji yang telah memilih untuk menikah lagi
dengan bocah yang masih berumur 12 tahun. Pernikahan ini sangat kontroversi di
kalangan masyarakat, dengan alasan Syekh Puji untuk menikah lagi karena atas
dasar agama dan ibadah. Akan tetapi, timbul pertanyaan mengapa harus dengan
bocah berumur 12 tahun?. Namun, menurut pandangan Dosen Psikologi Politik
Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk alasan itu hanya untuk
melindungi dirinya sendiri. Sebab secara psikologi, perilaku Syekh Puji bisa
dikatakan pengidap peadophilia. Paedophilia adalah sifat kejiwaan manusia yang
mempunyai ketertarikan kepada anak di bawah umur. Bahkan beredar berita
bahwa Syekh Puji ingin menikahi anak berumur 9 dan 7 tahun. Rektor UIN
Jakarta, Prof. Azumardi Azra juga berpendapat bahwa agama seharusnya tidak
dijadikan alasan pembenaran oleh Syekh Puji. Secara fiqih memang wanita bisa
dinikahi setelah dewasa, tandanya ya menstruasi. Tapi ada UU Perkawinan yang
mengatur batas umur minimal 17 tahun, kalau di bawah itu ya artinya menikahi
anak-anak.
Dalam sebuah keluarga peranan utama yaitu laki – laki memang sangat
dominan terhadap perempuan, dan perempuan tidak dapat tampil dalam
ruang-ruang publik, tidak boleh keluar rumah untuk memperlihatkan kemampuan dan
keahlian yang tersimpan bagi kalangan masyarakat, bahkan mereka dicegah untuk
mendapatkan hak-hak memperoleh pendidikan yang layak. Yang mengenaskan
justru diperlakukan berbeda lahir karena keyakinan mereka demi menjaga
kesucian perempuan, menjauhkannya dari fitnah, mencegahnya dari perlakuan
Banyak pandangan yang keliru dapat mengakibatkan penyelewengan atas
peran perempuan dalam masyarakat, sehingga perempuan selalu menjadi objek
untuk diskriminasi dan eksploitasi pihak lelaki. Lelaki selalu menjadi penentu
segala hal tanpa harus perlu melibatkan suara-suara perempuan. Namun,
kehadiran kaum perempuan telah memberikan warna tersendiri bagi dinamika
kehidupan itu sendiri kendati sumbangsih mereka lebih sering diklaim tidak
sedahsyat dengan apa yang telah diraih kaum laki-laki.
Kenyataannya untuk menilai poligami dari segi kacamata yang kita pakai
adalah produk modern. Dalam masa modern masih ada pihak ataupun perlakuan
yang menempatkan kaum perempuan hanya sekadar sebagai pelengkap.
Berabad-abad lamanya perempuan hidup tatanan patriarki yang sungguh tidak berpihak
pada asas egaliter sehingga aktivitas yang dilakukan lebih bernuasa pelayan
dalam segala aspek; memenuhi kewajiban sebagai ibu rumah tangga, mengasuh
anak, dan melayani suami sedangkan perkara – perkara yang ada di luar rumah
tangga merupakan wilayah tabu. Poligami dengan berbagai alasan sosial, agama
dan ekonomi, sejatinya telah mengelabui masyarakat dan sangat memarjinalkan
perempuan. Praktek Poligami yang dilakukan lebih merupakan bentuk eksploitasi
seksual daripada penyelamatan perempuan dari kemiskinan dan ketidakadilan.
Dalam sistem sosial, muncul budaya patriarki sebagai bentuk kepercayaan
atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan;
bahwa perempuan harus dikuasai bahkan dianggap sebagai harta milik laki-laki.
Patriarki adalah tata kekeluargaan yang sangat mementingkan garis turunan
anggota keluarganya, harta miliknya, serta sumber-sumber ekonomi dan laki - laki
juga yang membuat semua keputusan penting bagi keluarga.
Dengan kedudukan lebih tinggi inilah laki – laki memiliki rasa untuk
menikahi perempuan lebih dari satu. Akhirnya timbul poligami yang semakin
meluas di kalangan masyarakat, dan dampak buruk muncul menjadi sebuah
perbincangan bahkan menjadikan berbagai persepsi untuk kaum hawa yaitu
perempuan. Namun, adakalanya bahwa istri mengijinkan suami untuk menikah
lagi. Bagi suami, memutuskan menikah lagi suami dilatih untuk bersikap adil
dalam keluarga terhadap masing – masing istrinya.
Perkawinan poligami dapat mengundang reaksi dari pihak lain terutama
keluarga dan masyarakat sekitar. Poligami dapat melahirkan banyak persoalan yang
mengancam keutuhan bangunan mahligai rumah tangga dan belum lagi efek domino
bagi perkembangan psikologi anak yang lahir dari pernikahan poligami. Mereka
merasa kurang diperhatikan, haus kasih sayang dan mereka secara tidak langsung
dididik dalam suasana keluarga yang selalu dihiasi dengan pertengkaran orang
tuanya.
Pada kenyataannya, terdapat pasangan suami yang melakukan poligami
dengan menikahi dua orang perempuan yang satu sama lain dapat menerima. Baik
putra – putri dari istri pertama maupun dari istri kedua, sama – sama untuk menerima
sang ayah sebagai kepala keluarga yang melakukan poligami. Dalam waktu yang
telah dilalui, hubungan perkawinan dengan kedua istrinya tidak menimbulkan
masalah. Hal ini akan menciptakan rasa aman dan tenteram dalam keluarga dan
kehidupan rumah tangga harus tercipta suasan merasa saling kasih, saling asih, saling
Permasalahan poligami dewasa ini semakin bertambah rumit karena
banyak terdapat pertentangan oleh berbagai pihak dalam menyetujui
diperbolehkannya dilakukan poligami yang berupa diperketatnya persyaratan
pelaksanaan poligami. Akan tetapi didalam agama Islam poligami memang
diperbolehkan, sehingga di dalam Al – Qur’an hanya ada satu ayat yang
memperbolehkan poligami tersebut. Dalil poligami ini firman Allah SWT :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. an-Nisaa`:3).
Bahwa Allah SWT membolehkan beristri lebih dari satu (polygami), tapi dibatasi
sebanyak – banyaknya empat orang, dengan ketentuan mampu berlaku adil antara
semua istri itu, baik dalam hal makan, minum, perumahan, giliran, dan sebagainya
yang bersifat materi ( Adz – Dzikraa terjemahan dan tafsir : 312 ).
Komunikasi yang timbul dalam permasalahan poligami ini adalah
komunikasi interpersonal yang terjadi di dalam keluarga. Komunikasi
interpersonal yaitu komunikasi antara orang – orang secara tatap muka, yang
memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung,
baik secara verbal ataupun non verbal ( Deddy Mulyana, 2000 : 73 ). Komunikasi
interpersonal atau antarpribadi juga merupakan komunikasi yang terjadi dalam
keluarga, dimana komunikasi ini berlangsung dalam sebuah interaksi antarpribadi,
yaitu antar suami dan istri, ayah dan anak, ibu dan anak, serta anak dan anak.
apalagi kaum hawa yang berperan sebagai lakon. Persepsi manusia terhadap
objek, seseorang, atau kejadian, atau reaksi mereka terhadap hal – hal tersebut
didasarkan pada pengalaman masa lalu mereka yang berkaitan dengan orang,
objek, atau kejadian serupa ( Riswandi, 2009 : 53 ). Persepsi perempuan sebagai
istri yang ingin memiliki suami seperti tokoh agama Islam “ustadz” kebanyakan,
selalu memiliki kepribadian baik, sholeh, menganut monogami (hanya memiliki
satu istri) dapat menjadi panutan keluarga dan masyarakat, dan sebagainya.
Seorang tokoh agama Islam “ustadz” yang memiliki istri lebih dari satu memang
selalu menimbulkan kontroversi dan pro kontra dikalangan wanita, ada yang
setuju dan ada yang tidak setuju dengan adanya poligami ini. Namun, kebanyakan
istri tidak ingin di poligami oleh suami, walaupun dalam Islam poligami memang
diperbolehkan.
Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih,
mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal.
Dengan kata lain persepsi adalah cara kita mengubah energi – energi fisik
lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna. Menurut Kenneth A Sereno
dan Edward M Bodaken, bahwa persepsi adalah sarana yang memungkinkan kita
memperoleh kesadaran akan sekeliling dan lingkungan kita. Sehingga persepsi
dapat dikatakan bahwa setiap orang memiliki persepsi berbeda – beda sesuai
dengan lingkungan sekitar. Apalagi dengan masalah poligami ini di lingkungan
sekitar kita banyak yang terjadi terhadap tokoh agama Islam “ustadz” untuk
Melakukan poligami suami tidak hanya berdasarkan mampu, adil, akan
tetapi berpoligami memiliki batas sampai empat orang istri. Berpoligami tidak
hanya itu saja yang terjadi, akantetapi banyaknya masalah dan kendala poligami
di antara suami – istri. Masalah dalam berpoligami yaitu ketika seorang suami
menikah lagi dengan wanita lain, dia tidak berbuat adil dalam hal yang dia
mampu, berupa nafkah, mabit, pakaian dan sebagainya. Sebagian suami ada yang
tidak dapat mengatur rumah tangganya dengan baik, sehingga dia terkadang
berterus terang lebih mencintai salah satu istrinya dari pada yang lain, memuji
sebagian istrinya di hadapan istri yang lain dan berbagai kesalahan. Kurangnya
kesabaran para perempuan ditambah cemburu yang melampaui batas sehingga
menimbulkan permusuhan antar istri.
Berdasarkan contoh kasus di atas antara Aa’ Gym dan Syekh Puji sama –
sama memiliki istri lebih dari satu yang telah di setujui oleh istri pertama. Aa’
Gym merupakan panutan masyarakat khususnya ibu – ibu, sehingga kekhawatiran
yang di timbulkan sangat besar walaupun sudah di jelaskan mengenai hukum
poligami dan dalil poligami. Namun, semua itu pudar dan menghilang setelah
masyarakat mengetahui Aa’ Gym melakukan poligami. Poligami yang di lakukan
Aa’ Gym berawal untuk memberikan contoh mengenai poligami, pada akhirnya
belum bisa memberikan contoh bahwa poligami mudah untuk di lakukan. Istri
pertama Aa’ Gym menggugat cerai tanpa di ketahui alasan yang jelas. Di sini
dapat di simpulkan bahwa poligami dengan kasus memiliki istri lagi bukan
lain tapi ternyata semua itu harus di pikirkan baik buruknya, untuk berbuat adil
satu sama lainnya atau tidak bisa berbuat adil.
Begitu pula yang dilakukan Syekh Puji dengan menikahi anak berumur 12
tahun, yang telah mengundang banyak kontroversi di kalangan masyarakat.
Poligami yang di lakukan Syekh Puji memang tidak jauh berbeda dengan Aa’
Gym yang mengatasnamakan agama dan ibadah. Namun, dengan menikahi anak
di bawah umur merupakan penyakit paedophilia dan telah melanggar UU
Perlindungan Anak dengan melakukan hubungan seksual terhadap anak di bawah
umur. Dengan begitu kasus poligami yang dilakukan Syekh Puji ini dapat
melanggar hukum Negara dan tidak sesuai dengan UU pernikahan yang berlaku di
Indonesia. Banyaknya tudingan buruk masyarakat terhadap Syekh Puji untuk
menikahi anak di bawah umur hanya demi kepentingan pribadinya. Padahal anak
berumur 12 tahun bernama Lutfiana Ulfa ini tidak ingin bercerai dari Syekh Puji.
Melihat fenomena yang terjadi, tokoh agama Islam “ustadz” untuk
menikah lagi atau poligami memang bukan hal yang dianggap tidak patut untuk
dibicarakan. Dalam hal ini tokoh agama Islam “ustadz” yang telah menjadi
panutan masyarakat apalagi perempuan, bahwa untuk memiliki lebih dari satu istri
itu dengan alasan agama dan ibadah. Namun, alasan – alasan itu yang akan
memiliki banyaknya pro kontra dan kontroversi dikalangan ibu – ibu atau
perempuan tentang poligami yang terjadi saat ini. Di lain sisi tidak semua yang
terjadi seorang laki – laki u tuk menikah lagi tersebut tidak mampu
mempertahankan rumah tangganya dengan keadaan baik, harmonis dan tidak ada
Dalam penelitian ini yang akan dilakukan penulis yaitu bahwa peranan
seorang suami yang menjadi tokoh agama Islam “ustadz” memiliki istri lebih dari
satu ( poligami ) yang di hadapkan dengan pro kontra dan kontroversi masyarakat
khususnya perempuan yang telah setuju atau tidak setuju dalam poligami. Dari
kasus – kasus yang ada mengenai poligami ini, maka persepsi tentang poligami itu
sendiri akan berdampak baik atau buruk terhadap perempuan. Sehingga persepsi
yang terjadi apakah sesuai dengan apa yang kaum perempuan harapkan atau tidak.
Kebanyakan kegagalan persepsi mengenai poligami ini berdasarkan
prasangka yang dimiliki setiap orang sesuai dengan yang mereka harapkan.
Berprasangka dapat mempengaruhi komunikasi, dan cara terbaik untuk
mengurangi prasangka adalah meningkatkan tatap muka dengan mereka dan
mengenal mereka lebih baik, meskipun tidak selalu baik dan berhasil dalam segala
situasi yang ada.
Dampak buruk mengenai poligami itu sudah menjadi sebuah hal yang
berprasangka selalu buruk seperti apa yang dibayangkan setiap perempuan,
dengan memiliki suami yang juga memiliki istri lebih dari satu. Dapat dikatakan
perempuan atau istri takut bahwa suami akan menikah lagi, dan dengan alasan
takut tidak mau dijadikan yang kedua. Berdasarkan sudut pandang perempuan,
akan dapat diketahui apakah perempuan setuju atau tidak setuju mengenai
poligami tersebut, sehingga dapat diperlihatkan bahwa dampak buruk atau
11
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka rumusan masalah dari
penelitian ini adalah bagaimana persepsi perempuan tentang poligami yang
dilakukan para tokoh agama Islam “ustadz”?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan persepsi perempuan terhadap
poligami yang dilakukan para tokoh agama Islam “ustadz”.
1.4 Manfaat Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis
Secara ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan mampu
memberikan kontribusi yang berkaitan dengan persepsi perempuan
pada komunikasi interpersonal.
2. Kegunaan Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat memberikan pengertian dan penjelasan
mengenai poligami dan persepsi perempuan.
b. Memberikan gambaran bagi pembaca, khususnya masyarakat
umum mengenai persepsi perempuan tentang tokoh agama Islam
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Komunikasi Interpersonal
Menurut Devito (1989), komunikasi interpersonal adalah penyampaian
pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok
kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan
umpan balik segera ( Effendy, 2003 : 30 ).
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara
tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain
secara langsung, baik secara verbal atau nonverbal. Komunikasi interpersonal ini
adalah komunikasi yang hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua
sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya ( Deddy Mulyana, 2000 : 73 ).
Menurut Effendi, pada hakekatnya komunikasi interpersonal adalah
komunikasi antar komunikator dengan komunikan, komunikasi jenis ini dianggap
paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang,
karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Arus balik bersifat langsung,
komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga. Pada saat
komunikasi dilancarkan, komunikator mengetahui secara pasti apakah
komunikasinya positif atau negatif, berhasil atau tidaknya. Jika ia dapat
memberikan kesempatan pada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya (
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang membutuhkan pelaku
atau personal lebih dari satu orang. R Wayne Pace mengatakan bahwa komunikasi
interpersonal adalah Proses komunikasi yang berlangsung antara 2 orang atau
lebih secara tatap muka. Komunikasi Interpersonal menuntut berkomunikasi
dengan orang lain. Komunikasi jenis ini dibagi lagi menjadi komunikasi diadik,
komunikasi publik, dan komunikasi kelompok kecil. Komunikasi Interpersonal
juga berlaku secara kontekstual bergantung kepada keadaan, budaya, dan juga
konteks psikologikal. Cara dan bentuk interaksi antara individu akan tercorak
mengikuti keadaan-keadaan ini.
2.1.1.1 Hubungan Interpersonal
Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang
baik. Kegagalan komunikasi sekunder terjadi, bila isi pesan kita dipahami, tetapi
hubungan di antara komunikan menjadi rusak. Anita Taylor mengatakan
Komunikasi interpersonal yang efektif meliputi banyak unsur, tetapi hubungan
interpersonal barangkali yang paling penting.
Untuk menumbuhkan dan meningkatkan hubungan interpersonal, kita
perlu meningkatkan kualitas komunikasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi
komunikasi interpersonal adalah: ( Rakhmat, 2003 : 129 – 138 ).
1. Percaya (trust)
Bila seseorang punya perasaan bahwa dirinya tidak akan dirugikan, tidak
akan dikhianati, maka orang itu pasti akan lebih mudah membuka dirinya.
a. Karakteristik dan maksud orang lain, artinya orang tersebut memiliki
kemampuan, keterampilan, pengalaman dalam bidang tertentu. Orang itu
memiliki sifat-sifat bisa diduga, diandalkan, jujur dan konsisten.
b. Hubungan kekuasaan, artinya apabila seseorang mempunyai kekuasaan
terhadap orang lain, maka orang itu patuh dan tunduk.
c. Kualitas komunikasi dan sifatnya mengambarkan adanya keterbukaan.
Bila maksud dan tujuan sudah jelas, harapan sudah dinyatakan, maka
sikap percaya akan muncul.
2. Sikap suportif
Sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam
komunikasi. Orang bersikap defensif bila ia tidak menerima, tidak jujur, dan tidak
empatis. Beberapa ciri perilaku suportif yaitu:
a. Evaluasi dan deskripsi: maksudnya, kita tidak perlu memberikan
kecaman atas kelemahan dan kekurangannya.
b. Orientasi maslah: mengkomunikasikan keinginan untuk kerja sama,
mencari pemecahan masalah. Mengajak orang lain bersama-sama
menetapkan tujuan dan menetukan cra mencapai tujuan.
c. Spontanitas: sikap jujur dan dianggap tidak menyelimuti motif yang
pendendam.
d. Empati: menganggap orang lain sebagai persona.
e. Persamaan: tidak mempertegas perbedaan, komunikasi tidak melihat
perbedaan walaupun status berbeda, penghargaan dan rasa hormat
f. Profesionalisme: kesediaan untuk meninjau kembali pendapat sendiri.
3. Sikap terbuka, kemampuan menilai secara obyektif, kemampuan
membedakan dengan mudah, kemampuan melihat nuansa, orientasi ke isi,
pencarian informasi dari berbagai sumber, kesediaan mengubah
keyakinannya, profesional dll.
Komunikasi ini dapat dihalangi oleh gangguan komunikasi dan oleh
kesombongan, sifat malu dll.
2.1.1.2 Efektivitas Komunikasi Interpersonal
Efektivitas Komunikasi Interpersonal dimulai dengan lima kualitas
umum yang dipertimbangkan yaitu Keterbukaan (openness), Empati (empathy),
Sikap mendukung (supportiveness), Sikap positif (positiveness), dan Kesetaraan
(equality).
1. Keterbukaan (Openness)
Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi
interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka
kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang
harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya.memang ini
mungkin menarik, tapi biasanya tidak membantu komunikasi. Sebaliknya,
harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang
biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut. Aspek
keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator untuk
kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan yang
menjemukan. Kita ingin orang bereaksi secara terbuka terhadap apa yang kita
ucapkan. Dan kita berhak mengharapkan hal ini. Tidak ada yang lebih buruk
daripada ketidak acuhan, bahkan ketidaksependapatan jauh lebih
menyenangkan.
2. Empati (empathy)
Henry Backrack (1976) mendefinisikan empati sebagai ”kemampuan
seseorang untuk ‘mengetahui’ apa yang sedang dialami orang lain pada suatu
saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain
itu.” Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan bagi orang lain atau merasa
ikut bersedih. Sedangkan berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang
yang mengalaminya, berada di kapal yang sama dan merasakan perasaan
yang sama dengan cara yang sama. Orang yang empatik mampu memahami
motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta
harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang. Kita dapat
mengkomunikasikan empati baik secara verbal maupun non verbal. Secara
nonverbal, kita dapat mengkomunikasikan empati dengan memperlihatkan (1)
keterlibatan aktif dengan orang itu melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik
yang sesuai; (2) konsentrasi terpusat meliputi kontak mata, postur tubuh yang
penuh perhatian, dan kedekatan fisik; serta (3) sentuhan atau belaian yang
3. Sikap mendukung (supportiveness)
Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap
mendukung (supportiveness). Suatu konsep yang perumusannya dilakukan
berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak
dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Kita
memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan
evaluatif, (2) spontan, bukan strategic, dan (3) provisional, bukan sangat
yakin.
4. Sikap positif (positiveness)
Kita mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal
dengan sedikitnya dua cara: (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara
positif mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sikap positif
mengacu pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama,
komunikasi interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap positif
terhadap diri mereka sendiri. Kedua, perasaan positif untuk situasi
komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif. Tidak
ada yang lebih menyenangkan daripada berkomunikasi dengan orang yang
tidak menikmati interaksi atau tidak bereaksi secara menyenangkan terhadap
situasi atau suasana interaksi.
5. Kesetaraan (Equality)
Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah seorang
mungkin lebih pandai. Lebih kaya, lebih tampan atau cantik, atau lebih atletis
dalam segala hal. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal
akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya,, harus ada pengakuan
secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan
bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk
disumbangkan. Dalam suatu hubungan interpersonal yang ditandai oleh
kesetaraan, ketidak-sependapatan dan konflik lebih dillihat sebagai upaya
untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan
untuk menjatuhkan pihak lain.kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima
dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal pihak lain.
Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau menurut istilah Carl rogers,
kesetaraan meminta kita untuk memberikan ”penghargaan positif tak
bersyarat” kepada orang lain.
2.1.2 Persepsi
Persepsi adalah inti komunikasi, penafsiran adalah inti persepsi, yang
identik dengan penyandian bolak – balik dalam proses komunikasi. Menurut
Ujang (2000 : 112) bahwa persepsi adalah bagaimana cara kita memandang dunia
sekitar kita. Karena cara atau proses tersebut berbeda untuk tiap individu sesuai
keinginan, nilai – nilai, serta harapan masing – masing individu, maka persepsi
mengenai suatu hal tersebut tentunya berbeda untuk setiap individu. Selanjutnya,
masing – masing individu akan cenderung bertindak dan beraksi berdasarkan
Persepsi biasanya digunakan untuk mengungkapkan tentang pengalaman
terhadap sesuatu benda ataupun sesuatu kejadian yang dialami. Persepsi ini
didefinisikan sebagai proses yang menggabungkan dan mengorganisir data – data
indra kita ( pengindraan ) untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga kita
dapat menyadari di sekeliling kita, termasuk sadar akan diri kita sendiri. Definisi
lain menyebutkan, bahwa persepsi adalah kemampuan membeda-bedakan,
mengelompokkan, memfokuskan perhatian terhadap satu objek rangsang. Dalam
proses pengelompokan dan membedakan ini persepsi melibatkan proses
interpretasi berdasarkan pengalaman terhadap satu peristiwa atau objek.
Proses pengelompokan, membedakan, dan mengorganisir informasi pada
dasarnya dapat terjadi pada tingkatan sensasi. Sensasi sendiri adalah sistem yang
mengoordinasi sejumlah peralatan untuk mengamati yang dirancang secara
khusus. Dalam proses kerjanya sistem sensasi ini dikerjakan dalam sebuah proses
mendeteksi sejumlah rangsang sebagai bahan informasi yang diubah menjadi
impuls saraf dan dikirim ke otak melalui benang-benang saraf. Oleh karenanya,
secara sederhana proses sensasi ini diartikan sebagai alat penerima ( receptor )
sejumlah rangsang yang akan diteruskan ke otak yang kemudian akan menyeleksi
rangsang yang diterima tersebut. Hanya saja dalam sensasi tidak terjadi
interpretasi atau pemberian arti terhadap stimulus.
Pada persepsi pemberian arti ini menjadi hal penting dan utama.
Pemberian arti ini dikaitkan dengan isi pengalaman seseorang. Dengan kata lain,
ketertarikannya dengan pengalaman yang dimilikinya. Oleh karenanya, persepsi
juga dapat didefinisikan sebagai interpretasi berdasarkan pengalaman.
2.1.2.1 Jenis Persepsi
Menurut Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar
(2001 : 171) pada dasarnya persepsi manusia terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Persepsi terhadap objek atau lingkungan fisik
Persepsi tiap orang dalam menilai suatu objek atau lingkungan fisik tidak
selalu sama. Terkadang dalam mempersepsi lingkungan fisik, seseorang dapat
melakukan kekeliruan, sebab terkadang indera seseorang menipu diri orang
tersebut, hal tersebut dikarenakan :
a. Kondisi yang mempengaruhi pandangan seseorang, seperti keadaan cuaca
yang membuat orang melihat fatamorgana, pembiasan cahaya seperti
dalam peristiwa ketika seseorang melihat bahwa tongkat yang dimasukkan
ke dalam air terlihat bengkok padahal sebenarnya tongkat tersebut lurus.
Hal inilah yang disebutkan dengan ilusi.
b. Latar belakang pengalaman yang berbeda antara seseorang dengan orang
lain.
c. Budaya yang berbeda.
d. Suasana psikologis yang berbeda juga membuat perbedaan persepsi
seseorang dengan orang lain dalam mempersepsi suatu objek.
Persepsi sosial adalah proses menangkap arti objek-objek sosial dengan
kejadian-kejadian yang dialami oleh seseorang dalam lingkungan orang tersebut.
Persepsi sosial adalah penilaian-penilaian yang terjadi dalam upaya manusia
memahami orang lain. Persepsi sosial merupakan sumber penting dalam pola
interaksi antar manusia, karena persepsi sosial seseorang menentukan hubungan
seseorang dengan orang lain. Hal penting namun bukan tugas yang mudah bahkan
mungkin cenderung sulit dan kompleks.
Persepsi sosial dikatakan lebih sulit dan kompleks disebabkan :
a. Manusia bersifat dinamis, oleh karena itu persepsi terhadap manusia dapat
berubah dari waktu ke waktu, dan lebih cepat dari persepsi terhadap objek.
b. Persepsi sosial tidak hanya menanggapi sifat-sifat yang tampak dari luar
namun juga sifat-sifat atau alasan-alasan internalnya.
c. Persepsi sosial bersifat interaktif karena pada saat seseorang mempersepsi
orang lain, orang lain tersebut tidak diam saja, melainkan ikut
mempersepsi orang tersebut (Mulyana, 2001: 171-176)
Persepsi sosial terdiri atas tiga elemen, yaitu :
1. Pribadi (person) yaitu persepsi sosial yang dilakukan dnegan cepat ketika
melihat penampilan seseorang. Contoh : jenis kelamin, ras, usia, latar
belakang etnik, aspek demografi lainnya.
2. Situasi (situation) yaitu persepsi sosial seseorang mengenai keadaan yang
sedang dialami berdasarkan pengalaman terdahulu. Contoh : seseorang
pernah melewati suatu jalan asing yang dulu pernah ia lewati ketika
3. Perilaku ( behavior ) persepsi sosial yang dibentuk berdasarkan
gejala-gejala perilaku orang lain. Contoh : menilai seseorang berdasarkan sifat
dan tingkah lakunya.
2.1.2.2 Ciri – ciri Umum Dunia Persepsi
Pengindraan terjadi dalam suatu konteks tertentu, konteks ini disebut
sebagai dunia persepsi. Agar dihasilkan suatu pengindraan yang bermakna, ada
ciri-ciri umum tertentu dalam dunia persepsi : (Abdul Rahman Saleh, 2009 : 111)
1. Modalitas : rangsang-rangsang yang diterima harus sesuai dengan modalitas
tiap-tiap indra, yaitu sifat sensori dasar dan masing-masing indra (cahaya
untuk penglihatan; bau untuk penciuman; suhu bagi perasa; bunyi bagi
pendengaran; sifat permukaan bagi peraba dan sebagainya).
2. Dimensi ruang : dunia persepsi mempunyai sifat ruang ( dimensi ruang ); kita
dapat mengatakan atas bawah, tinggi rendah, luas sempit, latar depan latar
belakang, dan lain-lain.
3. Dimensi waktu : dunia persepsi mempunyai dimensi waktu, seperti cepat
lambat, tua muda dan lain-lain.
4. Struktur konteks, keseluruhan yang menyatu : objek-objek atau gejala-gejala
dalam dunia pengamatan mempunyai struktur yang menyatu dengan
konteksnya. Struktur dan konteks ini merupakan keseluruhan yang menyatu.
5. Dunia penuh arti : dunia persepsi adalah dunia penuh arti. Kita cenderung
melakukan melakukan pengamatan atau persepsi pada gejala-gejala yang
2.1.2.3 Faktor – faktor yang Berpengaruh pada Persepsi
Persepsi lebih bersifat pada psikologi daripada merupakan proses
pengindraaan saja maka ada beberapa faktor yang memengaruhi : ( Abdul
Rahman Saleh 2009 : 128-129).
1. Perhatian yang selektif
Dalam kehidupan manusia setiap saat akan menerima banyak sekali rangsang
dari lingkungannya. Meskipun demikian, ia tidak harus menanggapi semua
rangsang yang diterimanya untuk itu, individunya memusatkan perhatiannya pada
rangsang – rangsang tertentu saja. Dengan demikian, objek – objek atau gejala
lain tidak akan tampil ke muka sebagai objek pengalaman.
2. Ciri – ciri rangsang
Rangsang yang bergerak di antara rangsang yang diam akan lebih menarik
perhatian. Demikian juga rangsang yang paling besar di antara yang kecil, yang
kontras dengan latar belakangnya dan intensitas rangsangnya paling kuat.
3. Nilai dan kebutuhan individu
Seorang seniman tentu punya pola dan cita rasa yang berbeda dalam
pengamatannya dibanding seorang bukan seniman. Penelitian juga menunjukkan,
bahwa anak – anak dari golongan ekonomi rendah melihat koin lebih besar
daripada anak – anak orang kaya.
4. Pengalaman dahulu
Pengalaman – pengalaman terdahulu sangat memengaruhi bagaimana
tetapi lain halnya bagi orang – orang mentawai di pedalaman Siberut atau saudara
kita di pedalaman Irian.
2.1.2.4 Proses Persepsi
Dalam proses persepsi terdapat tiga komponen, yaitu :
a. Seleksi
Seleksi adalah proses penyaringan oleh indera terhadap rangsangan dari luar,
intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit.
b. Interpretasi
Interpretasi yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai
arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
pengalaman masa lalu, motivasi dan lain – lain. Interpretasi juga bergantung
pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengkategorian informasi
yang diterimanya.
c. Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku
sebagai reaksi.
Tahap terakhir dari konsep perceptual ialah bertindak sehubungan dengan apa
yang telah dipersepsi. Lingkaran persepsi belum sempurna sebelum
menimbulkan suatu tindakan. Tindakan itu bisa tersembunyi dan bisa pula
terbuka. Tindakan tersembunyi bisa berupa pembentukan pendapat atau
sikap, sedangkan tindakan yang terbuka berupa tindakan nyata sehubungan
Jadi proses persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi, dan pembulatan
terhadap informasi yang sampai ( Sobur, 2003 : 447 ).
2.1.2.5 Kekeliruan dan Kegagalan Persepsi
Persepsi sering tidak cermat, sehingga salah satu penyebabnya adalah
asumsi atau pengharapan kita. Kita mempersepsi sesuatu atau seseorang sesuai
dengan pengharapan kita. Beberapa bentuk kekeliruan dan kegagalan persepsi
tersebut adalah sebagai berikut : (Deddy Mulyana, 2001 : 211-230)
1. Kesalahan atribusi
Atribusi adalah proses internal dalam diri kita untuk memahami penyebab
perilaku orang lain. Dalam usaha mengetahui orang lain, kita menggunakan
beberapa sumber informasi. Kesalahan atribusi bisa terjadi ketika kita salah
menaksir makna pesan atau maksud perilaku si pembicara. Atribusi kita juga
keliru bila kita menyangka bahwa perilaku seseorang disebabkan oleh faktor
internal, padahal justru faktor eksternal yang menyebabkannya atau sebaliknya
kita menduga faktor ekternal yang menggerakkan seseorang, padahal faktor
internal yang membangkitkan perilakunya. Salah satu sumber kesalahan atribusi
lainnya adalah pesan yang dipersepsi tidak utuh atau tidak lengkap, sehingga kita
berusaha menafsirkan pesan tersebut dengan menafsirkan sendiri kekurangannya
atau “mengisi” kesenjangan dan mempersepsi rangsangan atau pola yang tidak
2. Efek Halo
Kesalahan persepsi yang di sebut efek halo merujuk pada fakta bahwa
begitu kita membentuk suatu kesan menyeluruh mengenai seseorang, kesan yang
menyeluruh ini cenderung menimbulkan efek yang kuat atas penilaian kita akan
sifat – sifatnya yang spesifik. Efek halo memang lazim dan berpengaruh kuat
sekali pada diri kita dalam menilai orang – orang yang bersangkutan. Dalam
kehidupan sehari – hari, kita mungkin menemukan suatu sifat positif yang sangat
menonjol pada seseorang, misalnya bahwa seseorang itu jujur, atau periang, atau
murah hati.
3. Stereotip
Kesulitan komunikasi akan muncul dari penstereotipan, yakni
menggeneralisasikan orang – orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk
asumsi mengenai merek berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok.
Penstereotipan adalah proses menempatkan orang – orang dan objek – objek ke
dalam kategori – kategori yang mapan, atau penilaian mengenai orang – orang
atau objek – objek berdasarkan kategori – kategori yang di anggap sesuai, alih –
alih berdasarkan karakteristik individual mereka.
Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter mendefinisikan stereotip
sebagai persepsi atau kepercayaan yang kita anut mengenai kelompok – kelompok
atau individu – individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dulu
terbentuk. Menurut Robert A. Baron dan Paul B. Paulus, stereotip adalah
kepercayaan hampir selalu salah bahwa semua anggota suatu kelompok tertentu
Ringkasnya, stereotip adalah kategorisasi atas suatu kelompok secara
serampangan dengan mengabaikan perbedaan – perbedaan individual.
Mengapa terdapat stereotip? Menurtu Baron dan Paulus, beberapa faktor
tampaknya berperan. Pertama, sebagai manusia kita cenderung membagi dunia
ini ke dalam dua kategori : kita dan mereka. Orang – orang yang kita persepsi
sebagai di luar kelompok kita dipandang sebagai lebih mirip satu sama lain
daripada orang – orang dalam kelompok kita sendiri. Karena kita kekurangan
informasi mengenai mereka, kita cenderung menyamaratakan mereka semua, dan
menganggap mereka sebagai homogen. Kedua, stereotip tampaknya bersumber
dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja kognitif sesedikit mungkin, dalam
berpikir mengenai orang lain. Dengan memasukkan orang kedalam kelompok,
kita dapat mengasumsikan bahwa kita mengetahui banyak tentang mereka, dan
menghemat tugas kita yang menjemukan untuk memahami mereka sebagai
individu. Pada umumnya stereotip bersifat negatif. Stereotip ini tidaklah
berbahaya sejauh kita simpan dalam kepala kita. Akan tetapi bahayanya sangat
nyata bila stereotip ini di aktifkan dalam hubungan manusia.
4. Prasangka
Suatu kekeliruan persepsi terhadap orang yang berbeda adalah prasangka,
suatu konsep yang sangat dekat dengan stereotip. Beberapa pakar cenderung
menganggap bahwa stereotip itu identik dengan prasangka, seperti Donald Edgar
dan Joe R. Fagin, dapat dikatakan bahwa stereotip merupakan komponen kognitif
( kepercayaan ) dari prasangka, sedangkan prasangka juga berdimensi perilaku.
stereotip. Menggunakan kata – kata Ian Robertson, “ Pikiran berprasangka selalu
menggunakan citra mental yang kaku yang meringkas apapun yang dipercayai
sebagai khas suatu kelompok.
Menurut Richard W. Brislin mendefinisikan prasangka sebagai suatu sikap
tidak adil, menyimpang atau tidak toleran terhadap sekelompok orang. Seperti
juga stereotip, meskipun dapat positif atau negatif, prasangka umumnya bersifat
negatif. Brislin menyatakan bahwa prasangka mencakup hal – hal berikut :
memandang kelompok lain lebih rendah; sifat memusihi kelompok lain; bersikap
ramah terhadap kelompok lain pada saat tertentu, namun menjaga jarak pada saat
lain; berperilaku yang dibenci kelompok lain seperti datang terlambat, padahal
mereka menghargai ketepatan waktu. Wujud prasangka yang nyata dan ekstrem
adalah diskriminasi, yakni pembatasan atas peluang atau akses sekelompok orang
terhadap sumber daya semata – mata karena keanggotaan mereka dalam
kelompok tersebut seperti ras, suku, gender, pekerjaan dan sebagainya.
5. Gegar budaya
Lundstedt mengatakan bahwa gegar budaya adalah suatu bentuk
ketidakmampuan menyesuaikan diri yang merupakan suatu reaksi terhadap upaya
sementara yang gagal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang –
orang baru. Menurut P. Harris dan R. Moran, gegar budaya adalah suatu trauma
umum yang dialami seseorang dalam suatu budaya yang baru dan berbeda karena
harus belajar dan mengatasi begitu banyak nilai budaya dan pengharapan baru,
sementara nila budaya dan pengharapan budaya lama tidak lagi sesuai. Gegar
Intensitasnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang pada dasarnya terbagi dua :
yakni faktor internal dan faktor eksternal.
2.1.3 Perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan dianggap sah apabila
dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan
serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang
berlaku.
Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga
oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan
memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin
adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.
Perkawinan adalah penerimaan status baru, dengan sederetan hak dan kewajiban
yang baru, serta pengakuan akan status baru oleh orang lain. Perkawinan
merupakan persatuan dari dua atau lebih individu yang berlainan jenis seks
dengan persetujuan masyarakat. Menurut Horton dan Hunt, perkawinan adalah
pola sosial yang disetujui dengan cara mana dua orang atau lebih membentuk
Perkawinan dalam pandangan Islam adalah akad yang sangat kuat yang
dilakukan secara sadar oleh seorang laki – laki dan seorang perempuan untuk
membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan
kesepakatan kedua belah pihak. Karena itu, perkawinan bukanlah ibadah dalam
arti kewajiban melainkan hubungan sosial kemanusiaan semata. Perkawinan akan
bernilai ibadah, jika diniatkan untuk mencari ridlo Allah SWT.
2.1.3.1 Prinsip Perkawinan
Berdasarkan kajian terhadap Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad,
Khoiruddin Nasution menyimpulkan lima prinsip perkawinan ( Ridwan, 2006 :
130-139 ) :
1. Prinsip Musyawarah dan Demokrasi
Prinsip musyawarah dan demokrasi dalam kehidupan rumah tangga berarti
segala aspek kehidupan dalam rumah tangga harus diputuskan dan diselesaikan
berdasarkan hasil musyawarah minimal antara suami dan isteri. Sedangkan yang
dimaksud demokratis adalah antara suami dan isteri haruslah terbuka untuk
menerima pandangan dan pendapat pasangannya. Makna mu’asyarah bi al-ma’ruf
adalah suatu pergaulan atau pertemanan, persahabatan atau hubungan
kekeluargaan yang dibangun secara bersama – sama dengan cara yang baik yang
sesuai dengan tradisi dan situasi masyarakatnya masing – masing tetapi tidak
bertentangan dengan norma – norma agama, akal sehat, maupun fitrah manusia.
pengambilan keputusan keluarga haruslah diambil secara bersama – sama dengan
kedudukan yang seimbang dan setara.
2. Prinsip Menciptakan Rasa Aman dan Tenteram Dalam Keluarga
Prinsip menciptakan rasa aman dan tenteram dalam keluarga berarti
kehidupan rumah tangga harus tercipta suasana merasa saling kasih, saling asih,
saling cinta, saling melindungi, dan saling sayang dan setiap anggota keluarga
berkewajiban untuk menciptakan prinsip ini. Rasa aman dan tenteram bagi
anggota keluarga adalah aman dan tenteram secara kejiwaan (psikis) maupun
jasmani (fisik). Prinsip kenyamanan dan ketentraman kehidupan rumah tangga ini
didasarkan pada ketentuan Al-Qur’an surat ar-Rum ayat 21 yaitu terciptanya
keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.
3. Prinsip Menghindari Adanya Kekerasan
Prinsip menghindari adanya kekerasan (violence) baik kekerasan fisik
maupun psikis adalah jangan sampai ada pihak dalam kehidupan rumah tangga
yang merasa berhak memukul atau melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk
apapun dengan dalih atau alasan apapun, termasuk alasan agama, baik kepada atau
antar pasangan ( suami – isteri ) atau antara pasangan dengan anak.
4. Prinsip Hubungan Suami dan Isteri Sebagai Hubungan Partner
Prinsip suami dan isteri adalah pasangan yang mempunyai hubungan
bermitra, patner dan sejajar (equal). Dasar bagi perumusan prinsip ini adalah
5. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan berarti menempatkan sesuatu pada posisi yang semestinya
(proporsional). Prinsip keadilan disini antara lain bahwa kalau ada di antara
pasangan atau anggota keluarga (anak – anak) yang mendapat kesempatan untuk
mengembangkan diri harus didukung tanpa memandang dan membedakan
berdasarkan jenis kelamin. Dengan prinsip keadilan, maka masing – masing
anggota keluarga sadar bahwa dirinya adalah bagian dari keluarga dengan hak dan
kewajiban serta tugas dan fungsi yang berbeda untuk secara bersama – sama
dilaksanakan secara konsekuen dan proporsional.
Relasi suami – isteri bukanlah relasi kepemilikan ataupun relasi “atasan”
dengan “bawahan”. Kedua pasangan suami – isteri adalah pribadi yang utuh yang
memiliki relasi seimbang, sejajar dalam menunaikan hak dan kewajiban.
Membangun fondasi kehidupan rumah tangga yang berkeadilan dan bermartabat
secara tidak langsung merupakan sebuah upaya untuk memberdayakan dan
mengelola seluruh potensi keluarga untuk kesejahteraan keluarga yang
bersangkutan.
Dalam kaitannya upaya membangun keluarga yang harmonis dan diliput
kasih sayang menuju keluarga yang berkeadilan dan bermartabat, terdapat tiga
kata kunci yang harus dipegangi dalam a long life struggle kehidupan
berkeluarga: yaitu Mawaddah, Rahmah, dan Sakinah.
a. Mawaddah ( to love each other ), saling mencintai / menyayangi antara satu
dengan lainnya. Mawaddah bukanlah sekedar cinta terhadap lawan jenis
menjadikannya terlena dan layu sebelum berkembang, karena melampaui
batas kewajaran yang ditentukan oleh agama. Mawaddah adalah saling
mencintai dengan cinta plus, karena cintanya penuh dengan kelapangan
terhadap keburukan dan kekurangan orang yang dicintainya. Di sini
diperlukan kemampuan pendekatan psikologis dan management konflik yang
tinggi, seperti prose adaptasi, kompromi – kompromi dan belajar menahan
diri.
b. Rahmah ( relieve from suffering through sympathy, to show human
understanding from one another, love and respect one another ), saling
simpati, menghormati, dan menghargai antara yang satu dengan lainnya.
Sikap Rahmah ini termanifestasikan dalam bentuk perasaan saling simpati,
menghormati dan saling mengagumi antara kedua belah pihak sehingga akan
muncul kesadaran saling memiliki dan keinginan untuk melakukan yang
terbaik bagi pasangannya sebagaimana dirinya ingin diperlakukan.
c. Sakinah ( to be or become tranquil; peaceful; God-inspired peace and mind ),
kedamaian dan ketentraman. Sakinah merupakan kesadaran perlunya
kedamaian, ketentraman, keharmonisan, kejujuran, dan keterbukaan yang
diinspirasikan dan berlandaskan pada spiritualitas ketuhanan.
Kehidupan keluarga merupakan miniatur kecil dari potret kehidupan bangsa
pada umumnya, sehingga melihat potret kehidupan sebuah bangsa bisa dilihat dari
kehidupan unit terkecil dari masyarakatnya yaitu kehidupan rumah tangga.
dari kehidupan rumah tangga sebagai unit terkecil dari masyarakat bangsa pada
umumnya.
2.1.3.2 Hikmah Kawin
Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin sebagaimana tersebut
karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan
seluruh umat manusia ( Sabiq, 1980 : 18-22 ) :
1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dank eras yang
selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat
memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami goncang dan
kacau serta menerobos jalan yang jahat.
Dan kawinlah jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk
menyalurkan dan memuaskan naluriah seks ini. Dengan kawin badan jadi
segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan
perasaan tenang menikmati barang yang halal.
2. Kawin, jalan terbaik untuk membuat anak – anak menjadi mulia,
memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara
nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan. Banyaklah jumlah keturunan
mempunyai kebaikan umum dan khusus, sehingga beberapa bangsa ada yang
berkeinginan keras untuk memperbanyak jumlah rakyatnya dengan
memberikan perangsang perangsang melalui pemberian upah bagi orang –
3. Selanjutnya, naluri kebapak’an dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi
dalam suasana hidup dengan anak – anak dan akan tumbuh pula perasaan –
perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat – sifat baik yang
menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak – anak
menimbulkan sikap rajin dan sungguh – sungguh dalam memperkuat bakat
dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja, karena dorongan
tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia akan banyak bekerja
dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan
memperbanyak produksi. Juga dapat mendorong usaha mengekploitasi
kekayaan alam yang dikaruniakan Allah bagi kepentingan hidup manusia.
5. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga,
sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas – batas tangung
jawab antara suami – istri dalam menangani tugas – tugasnya. Dengan
pembagian adil, masing – masing pasangan menunaikan tugasnya yang alami
sesuai dengan keridloan Ilahi, dihormati oleh umat manusia dan membuahkan
hasil yang menguntungkan.
6. Dengan perkawinan di antaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan,
memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat
hubungan kemasyarakatan yang memang oleh Islam direstui, ditopang, dan
ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyayangi
7. Dalam salah satu pernyataan PBB yang disiarkan oleh harian Nasional
terbitan Sabtu 6/6 1959 mengatakan :
“Bahwa orang yang bersuami istri umurnya lebih panjang daripada orang –
orang yang tidak besuami istri, baik karena menjanda, tercerai atau sengaja
membujang”. Pernyataan itu selanjutnya mengatakan : “Dalam banyak negeri
orang – orang kawin pada umur yang masih sangat muda, akan tetapi
bagaimanapun juga umur orang – orang yang bersuami istri umumnya lebih
panjang”.
2.1.3.3 Hukum Kawin
Hukum perkawinan ( Sabiq, 1980 : 22-26 ) yaitu :
1. Wajib
Bagi yang sudah mampu kawin, nafsunya telah mendesak dan takut
terjerumus dalam perzinaan wajiblah dia kawin. Karena menjauhkan diri dari
yang haram adalah wajib, sedangkan untuk itu tidak dapat dilakukan dengan
baik kecuali dengan jalan kawin.
Kata Qurthuby :
Orang bujangan yang sudah mampu kawin dan takut dirinya dan agamanya
jadi rusak, sedang tak ada jalan untuk menyelamatkan diri kecuali dengan kawin,
maka tak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya ia kawin.
Jika nafsunya telah mendesaknya, sedangkan ia tak mampu membelanjai
2. Sunnah
Adapun bagi orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi
masih dapat menahan dirinya dari berbuat zina, maka sunnahlah dia kawin.
Kawin baginya lebih utama dari bertekun diri dalam ibadah, karena menjalani
hidup sebagai pendeta sedikitpun tidak dibenarkan Islam.
3. Haram
Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi bafkah batin dan lahirnya
kepada istrinya serta nafsunya pun tidak mendesak, haramlah ia kawin.
Qurthuby berkata : “Bila seorang laki – laki sadar tidak mampu membelanjai istrinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak – hak istrinya, maka
tidaklah boleh ia kawin, sebelum ia dengan terus terang menjelaskan
keadaannya kepadanya, atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak
– hak istrinya. Begitu pula kalau ia karena sesuatu hal menjadi lemah, tak
mampu menggauli istrinya, maka wajiblah ia menerangkan dengan terus
terang agar perempuannya tidak tertipu olehnya”.
4. Makruh
Makruh kawin bagi seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu member
belanja istrinya, walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan tidak
mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga bertambah makruh hukumnya
jika karena lemah syahwat itu ia berenti dari melakukan sesuatu ibadah atau
5. Mubah
Dan bagi laki – laki yang tidak terdesak oleh alasan – alasan yang
mewajibkan segera kawin atau karena alasan – alasan yang mengharamkan
untuk kawin, maka hukumnya mubah.
2.1.4 Poligami
Poligami adalah seorang laki – laki mempunyai dua orang atau lebih istri
dimana istri – istri tersebut ada yang dinikahkan secara resmi menurut agama dan
Negara maupun yang hanya dinikahkan secara siri dan dengan terjadinya
perkawinan poligami tersebut akan menyebabkan rumah tangga itu terbentuk dari
dua atau lebih keluarga inti dimana lelaki yang sama menjadi suami bagi beberapa
perempuan.
Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada
lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan)
sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang
memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat). Poligami mempunyai arti
suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan lebih dari seorang wanita.
Poligami menurut agama Islam yang tercantum dalam surat An – Nisa’
ayat 3, yaitu Allah SWT membolehkan beristeri lebih dari satu, tapi dibatasi
sebanyak – banyaknya empat orang dengan ketentuan mampu berlaku adil antara
semua istri itu, baik dalam hal makan, minum, perumahan, giliran dan sebagainya
yang bersifat materi ( Adz – Dzikraa juz 1-5 : 312 ). Sehingga Dalil poligami
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. an-Nisaa`:3).
2.1.4.1 Sejarah Poligami
Sistem poligami sudah meluas berlaku pada banyak bangsa sebelum Islam
sendiri datang. Di antara bangsa – bangsa yang menjalankan poligami, yaitu :
Ibrani, Arab Jahiliyah dan Cisilia, yang kemudian melahirkan sebagian besar
penduduk yang menghuni Negara – Negara : Rusia, Lithuania, Polandia,
Cekoslavia, dan Yugoslavia, dan sebagian dari orang – orang Jerman dan Saxon
yang melahirkan sebagian besar penduduk yang menghuni Negara – Negara :
Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Inggris.
Tidak benar jika dikatakan bahwa Islamiyah yang mula – mula membawa
sistem poligami. Sebenarnya sistem poligami ini hingga dewasa ini masih tetap
tersebar pada beberapa bangsa yang tidak beragama Islam, seperti : orang – orang
asli Afrika, Hindu, India, Cina dan Jepang. Tidak benar juga jika dikatakan bahwa
sistem ini hanya beredar di kalangan bangsa – bangsa yang beragama Islam saja.
Agama Kristen sebenarnya tidak melarang poligami, sebab di dalam Injil
tidak ada satu ayat pun dengan tegas melarang hal ini. Jika para pemeluk Kristen
bangsa Eropa pertama dulu telah beradat istiadat dengan kawin satu perempuan
saja, ini tidak lain disebabkan oleh karena sebagian terbesar bangsa Eropa
terdiri dari orang Yunani dan Romawi yang lebih dulu sudah punya kebiasaan
yang melarang poligami.
Setelah mereka memeluk agama Kristen, kebiasaan dan adat moyang
mereka ini tetap mereka ini tetap mereka pertahankan dalam agama baru ini. Jadi,
sistem monogami yang mereka jalankan ini bukanlah berasal dari agama Kristen
yang mereka anut, akan tetapi telah merupakan warisan paganism (agama berhala)
dahulu kala. Dari sinilah kemudian gereja mengadakan bid’ah dengan menetapkan
larangan poligami dan lalu digolongkan larangan tersebut sebagai aturan agama.
Padahal Kitab Injil sendiri tidak menerangkan sedikit pun tentang sesuatu
ayat yang mengharamkan sistem ini. Sebenarnya, sistem poligami ini tidaklah
berjalan, kecuali di kalangan bangsa – bangsa yang telah maju kebudayaannya,
sedangkan pada bangsa – bangsa yang masih primitif sangat jarang sekali, bahkan
boleh dikatakan tidak ada. Hal ini diakui oleh para sarjana sosiologi dan
kebudayaan, seperti : Westermark, Hobbers, Heler dan Jean Bourge.
Sistem monogami merupakan sistem yang umum berjalan pada bangsa –
bangsa yang kebanyakannya masih primitif, yaitu bangsa – bangsa yang hidup
dengan mata pencaharian berburu, bertani, yang biasanya tabiatnya halus, dan
bangsa – bangsa yang sedang transisi meninggalkan zaman primitifnya, yang pada
zaman modern kini disebut bangsa Agraris. Sistem poligami tidak begitu
menonjol pada bangsa – bangsa yang mengalami jurang kebudayaan, yaitu bangsa
– bangsa yang telah meninggalkan cara hidup berburu yang primitif dan
menginjak kepada zaman beternak dan menggembala dan bagsa – bangsa yang
Kebudayaan sarjana sosiologi dan kebudayaan berpendapat bahwa sistem
poligami ini pasti akan meluas dan akan banyak bangsa – bangsa di dunia ini
menjalankannya, bilamana kemajuan kebudayaan mereka bertambah besar. Jadi,
tidak benar anggapan yang dilontarkan orang bahwa poligami berkaitan dengan
keterbelakangan kebudayaan. Bahkan, sebaliknya bahwa poligami seiring dengan
kemajuan kebudayaan. Dengan demikian, kedudukan sebenarnya sistem poligami
menurut sejarah. Begitu pula sebenarnya pendirian agama Kristen. Dan begitu
pula bahwa meluasnya sistem poligami seiring dengan kemajuan kebudayaan
manusia. ( Sayyid Sabiq, 1980 : 190 – 192 ).
2.1.4.2 Ayat – ayat dan Hadist Poligami
Dengan tibanya Islam, poligami yang tak terbatas ditetapkan menjadi istri
saja dengan persyaratan khusus dan sejumlah ketentuan yang dikenakan padanya.
Hanya ada satu ayat al-Quran menyebutkan masalah poligami sebagai berikut:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut t