• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Biogas

2.6.2. Proses Produksi Biogas

Beberapa hal yang menarik pada teknologi biogas adalah kemampuannya untuk membentuk biogas dari limbah organik yang jumlahnya berlimpah dan tersedia secara bebas. Variasi dari sifat – sifat biokimia menyebabkan produksi biogas juga bervariasi. Sejumlah bahan organik dapat digunakan bersama – sama dengan beberapa persyaratan produksi gas atau pertumbuhan normal

38

bakteri metan yang sesuai. Beberapa sifat bahan organik tersebut mempunyai dampak yang nyata pada tingkat produksi gas.

Di dalam proses produksi biogas, terjadi dua tahap yaitu penyiapan bahan baku dan proses penguraian anaerobik oleh mikroorganisme untuk menghasilkan gas metan.

a. Bahan Baku

Biogas berasal dari proses fermentasi bahan – bahan organik, diantaranya yaitu :

1) Limbah tanaman : tebu, rumput - rumputan, jagung, gandum, dan lain-lain.

2) Limbah dari hasil produksi : minyak, penggilingan padi, limbah sagu. 3) Hasil samping industri : tembakau, limbah pengolahan buah – buahan

dan sayuran, dedak, kain dari tekstil, ampas tebu dari industri gula dan tapioka, industri tahu (limbah cair).

4) Limbah perairan : alga laut, tumbuh – tumbuhan air.

5) Limbah peternakan : kotoran sapi, kotoran kerbau, kotoran kambung, kotoran unggas, dan lain – lain.

Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam fermentasi anaerob adalah keberadaan senyawa – senyawa tertentu yang bertindak sebagai inhibitor. Oleh karena itu perlu ditambahkan sesuatu pada bahan baku supaya menghilangkan pengaruh inhibitor yang ada.

Hubungan antara jumlah karbon dan nitrogen yang terdapat pada bahan organik dinyatakan dalam terminologi rasio karbon / nitrogen (C/N). Apabila rasio C/N sangat tinggi, nitrogen akan dikonsumsi sangat cepat oleh bakteri metan sampai batas persyaratan protein dan tak lama bereaksi ke arah kiri pada kandungan karbon pada bahan. Sebagai akibatnya, produksi metan akan menjadi rendah. Sebaliknya, apabila rasio C/N sangat rendah, nitrogen akan bebas dan berakumulasi dalam bentuk amoniak (NH4). NH4 akan meningkatkan derajat pH bahan dalam digester. pH lebih tinggi dari 8,5 akan mulai menunjukkan akibat

39

racun pada populasi bakteri metan. Rasio ideal C/N untuk proses dekomposisi

anaerob untuk menghasilkan metan adalah 30. Oleh karena itu, pada proses

pencampuran bahan baku diusahakan memenuhi rasio ideal. dalam tabel 2.3 berikut dapat dilihat perbandingan C/N berbagai bahan organik.

Tabel 2.3. Perbandingan C/N untuk Beragai Bahan Organik ( Sufyandi. A, 2001)

Bahan Organik Perbandingan C/N Total N pada Keadaan Kering (%) Kotoran Hewan: a. Ayam b. Kuda c. Sapi Lumpur Aktif Rumput Kering Rumput Kering Alfafa Jerami Serbuk Gergaji 15 25 18 6 12 17 150 200 – 500 6,3 2,8 1,7 5 4 2,8 0,5 0,1

Penggunaan limbah sebagai bahan baku biogas memerlukan metode pengumpulan, penyiapan, penanganan dan penyimpanan yang memadai. Pemilihan metode didasarkan pada sifat dan jumlah bahan baku yang bervariasi. Sifat alami bahan baku adalah padatan, semi padatan, atau cairan. Sejalan dengan itu sistem penanganannya harus sesuai dengan kondisi setempat.

b. Proses Anaerob

Proses penguraian oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan – bahan organik terjadi secara anaerob. Pada prinsipnya proses anaerob adalah proses biologi yang berlangsung pada kondisi tanpa oksigen oleh mikroorganisme tertentu yang mampu mengubah senyawa organik menjadi metana (biogas). Proses ini banyak dikembangkan untuk mengolah kotoran hewan dan manusia atau air limbah yang kandungan bahan organiknya tinggi. Sisa pengolahan bahan organik dalam bentuk padat digunakan untuk kompos.Secara umum, proses

anaerob terdiri dari tiga tahap yaitu : hidrolisis, pembentukan asam, dan

pembentukan metana. Proses anaerob dikendalikan oleh dua golongan mikroorganisme (hidrolitik dan metanogen). Bakteri hidrolitik terdapat dalam

40

jumlah yang besar dalam kotoran unggas karena reproduksinya sangat cepat. Organisme ini memecah senyawa organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana. Senyawa sederhana diuraikan oleh bakteri penghasil asam ( acid

forming bacteria ) menjadi asam lemak dengan berat molekul rendah seperti asam

asetat dan asam butirat. Selanjutnya bakteri metanogenik mengubah asam – asam tersebut menjadi metana.

Proses pembentukan biogas dapat dibagi menjadi 3 tahap sebagai berikut :

1) Tahap Hidrolisis

Tahap pertama dari penguraian anaerob adalah hidrolisis yaitu

depolimerisasi atau pelarutan makromolekul substrat menjadi molekul yang lebih

sederhana. Reaksi hidrolisis dilakukan oleh enzim ekstraseluler yaitu enzim hidrolase. Pada proses ini enzim hidrolase dapat menguraikan karbohidrat, protein, dan lemak menjadi senyawa – senyawa sederhana seperti monomer gula, asam amino, dan asam lemak rantai panjang. Bakteri yang berperan dalam proses hidrolisis diantaranya Clostridium acidiuric dan Clostridium cylindrosporum.

Proses hidrolisis merupakan proses perubahan senyawa organik tidak terlarut menjadi senyawa organik terlarut. Mikroorganisme yang berperan dalam proses hidrolisis merupakan senyawa yang paling dominan selama proses

anaerobic.

Hidrolisis merupakan tahap reaksi paling lambat untuk substrat padat sehingga merupakan tahap penentu dari reaksi anaerob. Penguraian senyawa ini dilakukan oleh kelompaok bakteri hidrolisa seperti steptococci, bacteriodes, dan beberapa jenis enterobactericeae

2) Tahap Pembentukan Asam

Tahap pembentukan asam (acidogenesis) adalah proses pengubahan senyawa organik sederhana dari hasil hidrolisis dan fermetasi menjadi asam. Hasil hidrolisis dimanfaatkan oleh bakteri pembentuk asam menjadi asam – asam organik. Bakteri jenis ini tumbuh cepat (waktu regenerasi 30 menit) pada temperature 35oC. Asam asetat sebagai produk utama yang diubah dari glukosa

41

menghasilkan energi terbesar bagi bakteri pembentuk asam untuk pertumbuhannya. Contoh bakteri pembentuk asam adalah Clostridium

propionicum, Clostridium histolitycum, Clostridium acetobutylicum, dan Clostridium butylicum.

Bakteri pembentuk asam mengubah senyawa organik sederhana menjadi asam organik seperti asam asetat, asam propionat, asam butirat dan senyawa lain (hidrogen, karbondioksida dan air). Bakteri asetogenik mengubah asam propionat dan butirat menjadi asam, hidrogen dan karbondioksida.

3) Tahap Pembentukan Metana

Metanogenesis merupakan tahapan terakhir dan sekaligus yang paling menentukan, yakni melakukan penguraian produk dan sintetis tahap sebelumnya untuk menghasilkan gas metana (CH4).Metana dibentuk dari dua jalur yaitu jalur asam asetat, jalur CO2 dan H2. Bakteri yang terlibat adalah bakteri asetoklastik (asetoclastic methane bacteria) yang bersimbiosis dengan bakteri pembentuk asam, dengan cara mengubah asam asetat sehingga pH sistem dapat dikontrol. Bakteri pengkonsumsi hidrogen (hydrogen utilysing bacteria) membentuk metana dari CO2 dan H2.

Proses pembentukan biogas dapat dilihat dari gambar 2.6 sebagai berikut :

42

Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme

anaerob yaitu:

1. Temperatur

Gabungan bakteri anaerob bekerja dibawah tiga kelompok temperatur utama. Gas metana dapat diproduksi pada tiga tipe range temperatur sesuai dengan bakteri yang hadir. Bakteri psyhrophilic 0 0C – 7 0C, bakteri mesophilic pada temperatur 13 0C – 40 0C sedangkan thermophilic pada temperatur 55 0C – 60 0C.

Temperatur yang optimal untuk digester adalah temperatur 30 0C – 35 0C, kisaran temperatur ini mengkombinasikan kondisi terbaik untuk pertumbuhan bakteri dan produksi metan di dalam digester dengan lama proses yang pendek. Temperatur yang tinggi/range thermophilic jarang digunakan karena sebagian besar bahan sudah dicerna dengan baik pada range temperatur mesophilic, selain itu bakteri thermophilic mudah mati karena perubahan temperatur, keluaran/sludge memiliki kualitas yang rendah untuk pupuk, berbau dan tidak ekonomis untuk mempertahankan pada temperatur yang tinggi, khususnya pada iklim dingin.

Bakteri mesophilic adalah bakteri yang mudah dipertahankan pada kondisi buffer yang mantap (well buffered) dan dapat tetap aktif pada perubahan temperatur yang kecil, khususnya bila perubahan berjalan perlahan. Pada temperatur yang rendah 15 0C laju aktivitas bakteri sekitar setengahnya dari laju aktivitas pada temperatur 35 0C. Pada temperatur 10 0C – 7 0C dan di bawah temperatur aktivitas, bakteri akan berhenti beraktifitas dan pada range ini bakteri fermentasi menjadi dorman sampai termperatur naik kembali hingga batas aktivasi. Apabila bakteri bekerja pada temperatur 40 0C produksi gas akan berjalan dengan cepat hanya beberapa jam tetapi untuk sisa hari itu hanya akan diproduksi gas yang sedikit. Seperti halnya proses secara biologi tingkat produksi metana berlipat untuk tiap peningkatan temperatur sebesar 10 0C – 15 0C. Jumlah total dari gas yang diproduksi pada jumlah bahan yang tetap, meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur.

43

Lebih lanjut, yang harus diperhatikan pada proses biometananisasi adalah perubahan temperatur, karena proses tersebut sangat sensitif terhadap perubahan temperatur. Perubahan temperatur tidak boleh melebihi batas temperatur yang diijinkan. Untuk bakteri psychrophilic selang perubahan temperatur berkisar antara 2 0C/jam, bakteri mesophilic 1 0C/jam dan bakteri thermophilic 0,50C/jam. Walaupun demikian perubahan temperatur antara siang dan malam tidak menjadi masalah besar untuk aktifitas metabolisme. Sangat penting untuk menjaga temperatur tetap stabil apabila temperatur tersebut telah dicapai. Panas sangat penting untuk meningkatkan temperatur bahan yang masuk ke dalam biodigester dan untuk mengganti kehilangan panas dari permukaan biodigester. Kehilangan panas pada biodigester dapat diatasi dengan meminimalkan kehilangan panas dari bahan.

2. Nilai pH

Derajat keasaman memiliki efek terhadap aktivasi biologi dan mempertahankan pH agar stabil penting untuk semua kehidupan. Kebanyakan dari proses kehidupan memiliki kisaran pH antara 5 – 9. Nilai pH yang dibutuhkan untuk digester antara 7 – 8.5. Bila proses tidak dimulai dengan membibitkan bakteri metan, seperti memasukkan kotoran hewan ke dalam kolam, kondisi buffer tidak akan tercipta dan perubahan yang terjadi adalah : selama tahap awal dari proses sekitar 2 minggu, pH akan turun hingga 6, atau lebih rendah, ketika sejumlah CO2 diberikan. Hal ini akan terjadi selama 3 bulan dengan penurunan keasaman yang lambat (6 bulan pada cuaca yang dingin) selama waktu itu ikatan asam volatile terbentuk. Seperti pada pencernaan, karbondioksida dan metana diproduksi dan pH perlahan meningkat hingga 7. Ketika campuran menjadi berkurang keasamannya maka fermentasi metanlah yang mengambil alih proses pencernaan. Sehingga nilai pH meningkat di atas netral hingga 7.5 – 8.5. Setelah itu campuran menjadi buffer yang mantap (well buffered), dimana bila dimasukkan asam/basa dalam jumlah yang banyak, campuran akan stabil dengan sendirinya pada pH 7.5 – 8.5. Pertumbuhan bakteri penghasil gas metana akan baik bila pH bahannya pada keadaan alkali (basa). Bila proses fermentasi berlangsung dalam keadaan normal dan anaerobik, maka pH akan secara otomatis

44

berkisar antara 7 – 8.5. Bila derajat keasaman lebih kecil atau lebih besar dari batas, maka bahan tersebut akan mempunyai sifat toksik terhadap bakteri metanogenik.

3. Nutrisi

Bakteri anaerobik membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi yang mengandung nitrogen, fosfor, magnesium, natrium, mangan, kalsium dan kobalt. Level nutrisi harus sekurangnya lebih dari konsentrasi optimum yang dibutuhkan oleh bakteri metanogenik, karena apabila terjadi kekurangan nutrisi akan menjadi penghambat bagi pertumbuhan bakteri. Penambahan nutrisi dengan bahan yang sederhana seperti glukosa, buangan industri dan sisa – sisa tanaman terkadang diberikan dengan tujuan menambah pertumbuhan di dalam digester. Walaupun demikian kekurangan bukan merupakan masalah bagi mayoritas bahan, karena biasanya bahan memberikan jumlah nutrisi yang mencukupi. Nutrisi yang penting bagi pertumbuhan bakteri, dapat bersifat toksik apabila konsentrasi di dalam bahan terlalu banyak. Pada kasus nitrogen berlebihan, sangat penting untuk mempertahankan pada level yang optimal untuk mencapai digester yang baik tanpa adanya efek toksik.

4. Ion Kuat dan Salinitas

Salinitas (kandungan garam) NaCl 0.2M dilaporkan memiliki pengaruh

yang minimal terhadap populasi metanogenik, namun salinitas yang lebih besar dapat bersifat inhibitor.

5. Keracunan dan Hambatan

Keracunan (toxicity) dan hambatan (inhibition) proses anaerob dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya produk antara asam lemak mudah menguap (volatile) yang dapat mempengaruhi pH. Pertumbuhan mikroba metanogenik terbatas jika jumlah asam lemaknya berlebihan. Amonia, hidrogen sulfida dan asam lemak volatil berasal dari reduksi nitrat oleh bakteri yang juga dapat membentuk asam lemah dan basa lemah pada sistem penyangga (buffer).

45

Zat- zat penghambat lain terhadap aktivitas mikroorganisme pada proses anaerob diantaranya kandungan logan berat sianida.

6. Faktor Konsentrasi Padatan dan Pencampuran Substrat

Konsentrasi ideal padatan untuk memproduksi biogas adalah 7 – 9 % kandungan kering. Kondisi ini dapat membuat proses digester anaerob berjalan dengan baik.

Walaupun tidak ada informasi yang pasti, mobilitas bakteri metanogen di dalam bahan secara berangsur – angsur dihalangi oleh peningkatan kandungan padatan yang berakibat terhambatnya pembentukan biogas. Selain itu yang terpenting untuk proses fermentasi yang baik diperlukan pencampuran bahan yang baik akan menjamin proses fermentasi yang stabil di dalam pencerna.

Hal yang paling penting dalam pencampuran bahan adalah :

a) Menghilangkan unsur – unsur hasil metabolisme berupa gas (metabolites) yang dihasilkan oleh bakteri metanogen ;

b) Mencampurkan bahan segar dengan populasi bakteri agar proses fermentasi merata ;

c) Menyeragamkan temperatur di seluruh bagian pencerna ;

d) Menyeragamkan kerapatan sebaran populasi bakteri ;

e) Mencegah ruang kosong pada campuran bahan.

Dokumen terkait