• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses terbentuknya wirausaha

Dalam dokumen BAB II LANDASAN TEORI (Halaman 27-39)

Menurut Lupiyoadi (2004, pp. 23 - 31), ada sejumlah teori mengenai proses pembentukan kewirausahaan. Teori tersebut antara lain: teori perubahan arah hidup (Life Path Change), perilaku yang dimotivasi oleh tujuan (Goal Directed Behaviour), pengambilan keputusan dan hasil yang diharapkan (Outcome Expectancy).

1. Teori perubahan arah hidup (Life Path Change)

Menurut Shapero dan sokol (1982) dalam sundjaja (1990) sebagaimana dikutip oleh Lupiyoadi(2004, p. 25), tidak semua wirausaha lahir dan berkembang mengikuti jalur yang sistematis dan terencana. Banyak orang yang menjadi wirausaha justru tidak melalui proses yang direncanakan, yaitu antara lain disebabkan oleh:

a. Pemindahan negatif (Negatif Displacement)

Seseorang bisa saja menjadi wirausaha karena adanya faktor pemecatan dari tempat kerja, merasa tertekan atau bahkan mengalami kebosanan selama bekerja, dipaksa atau terpaksa pindah dari daerah asal. Atau bisa juga karena seseorang sudah memasuki usia pensiun. Dalam hal ini, pilihan berwirausaha diambil karena selain untuk menjaga kelangsungan hidup diri dan keluarganya, menjadi wirausaha dalam kondisi seperti ini adalah pilihan terbaik karena sifatnya yang bebas dan tidak bergantung pada birokrasi yang diskriminatif.

b. Berada ditengah dua dunia yang berbeda (Being Between Things)

Orang-orang yang baru keluar dari ketentaraan, sekolah atau bahkan penjara, terkadang merasa seperti memasuki dunia baru yang belum mereka mengerti dan kuasai. Keadaan ini membuat mereka seakan berada ditengah-tengah (Being Between Things) dari dua dunia yang berbeda,namun mereka harus tetap berjuang menjaga kelangsungan hidupnya. Di sinilah biasanya pilihan menjadi wirausaha muncul karena

dengan menjadi wirausaha mereka bekerja dengan mengandalkan diri mereka sendiri.

c. Memiliki tarikan yang positif (Having Positive Pull)

Terdapat juga orang-orang yang mendapat dukungan membuat usaha dari mitra kerja, investor, pelanggan atau mentor. Dukungan memudahkan mereka dalam mengantisipasi peluang usaha, selain itu juga menciptakan rasa aman dari risiko usaha. Serang mantan manajer disebuah perusahaan otomotif, misalnya dengan bahan baku ban bekas, seperti

stopper back door, engine mounting, atau perusahaan otomotif tersebut

memberi dukungan dengan menampung produk mantan manajernya tersebut.

2. Teori perilaku yang dimotivasi tujuan (Goal Directed Behavior)

Menurut Wolman (1973) sebagaimana dikutip oleh Lupiyoadi (2004, p. 270), seseorang dapat saja menjadi wirausaha karena termotivasi untuk mencapai tujuan tertentu. Teori ini disebut dengan perilaku yang dimotivasi tujuan (Goal Directed Behaviour). Teori ini hendak menggambarkan bagaimana seorang tergerak menjadi wirausaha, motivasinya dapat terlihat dari langkah-langkahnya dalam mencapai tujuan

(Goal Directed Behaviour). Diawali dari adanya dorongan kebutuhan,

kemudian munculnya perilaku yang dimotivasi tujuan, hingga tercapai tujuan.

Seseorang terjun dalam dunia wirausaha diawali dengan adanya kebutuhan - kebutuhan, ini mendorong kegiatan - kegiatan tertentu, yang ditunjukan pada pencapaian tujuan. Dari kacamata teori kebutuhan dan motivasi tingkah laku, seperti menemukan kesempatan berusaha, sampai mendirikan dan melembagakan usahanya merupakan perilaku yang dimotivasi tujuan (Goal Directed Behaviour). Sedangkan tujuannya adalah mempertahankan dan memperbaiki kelangsungan hidup wirausaha.

3. Teori pengambilan keputusan

Moore (1964) dalam Lupiyoadi (2004, p. 27) mengatakan bahwa pengambilan keputusan adalah perpaduan dari kegiatan berpikir, memilih dan bertindak. Faktor - faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan dapat berasal dari situasi keputusan itu sendiri serta dari diri si pengambilan keputusan itu sendiri.

A. Faktor-faktor dari situasi lingkungan itu sendiri (Decision Environent)

Suatu lingkungan keputusan biasa berstruktur baik dan buruk, tergantung dari seberapa jauh si pengambilan keputusan mengenal keadaannya pada masa sekarang (Initial State), tujuan-tujuan yang akan datang (Terminal State) dan transformasi yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan yang diinginkannya. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:

A B

Di mana:

A= Keadaan sekarang dari si pengambil keputusan (Initial State atau

Existing State).

B= Target atau tujuan yang dicoba dicapai oleh si pengambil keputusan

(Terminal State atau Desired State).

=Proses atau langkah dimana si pengambil langkah dapat bergerak dari kondisi sekarang ke kondisi yang dituju (Transformation atau

Decision Alternatives)

Apabila si pengambil keputusan cukup mengenal ketiga hal di atas dengan baik,maka dia diharapkan pada lingkungan keputusan (Decision

Environment) yang berstruktur baik (Well Structured). Sebaliknya bila si

pengambil keputusan tidak cukup mengenal ketiga hal di atas, maka dia akan dihadapkan pada lingkungan keputusan yang berstruktur buruk (Ill

structured).

Ada tiga kondisi lingkungan keputusan yang berstruktur buruk yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan:

a. Lingkungan keputusan yang tidak pasti,dalam keadaan ini si pengambilan keputusan dihadapkan pada situasi dimana: si pengambil keputusan tidak mengetahui peristiwa-peristiwa yang akan mempengaruhi hasil keputusannya, si pengambil keputusan tidak

mengetahui hubungan kausal yang terjadi dalam lingkungan keputusan, si pengambil keputusan mempunyai kontrol yang sedikit terhadap lingkungan keputusan, atau tidak stabilnya lingkungan keputusan.

b. Lingkungan keputusan yang kompleks. Disini pengambilan keputusan dihadapkan pada situasi-situasi dimana lingkungannya sangat luas, heterogen, abstrak, dan saling berhubungan.

c. Lingkungan keputusan yang merupakan situasi konflik. Disini pengambilan keputusan diharapkan pada situasi-situasi yang melibatkan banyak interaksi dengan banyak orang, tetapi mempunyai tujuan dan sumber penentu yang berbeda.

B. Faktor-faktor dari dalam diri si pengambil keputusan sendiri

Menurut Taylor dan Dunnete (1976) sebagaimana dikutip oleh Lupiyoadi (2004, p. 29), ada empat atribut psikologis yang mempengaruhi strategi-strategi keputusan, yaitu:

a. Kemampuan perseptual yaitu persepsi pengambilan keputusan terhadap suatu masalah yang dihadapi akan menentukan derajat ketidak pastian, kompleksitas maupun yang diidentifikasi dari problem tersebut.

b. Kapasitas informasi yaitu merupakan kemampuan untuk mengelolah informasi dalam hubungan dengan strategi pengambilan keputusan dimana pengambilan pengambilan keputusan dapat menggunakan

strategi-strategi di dalam kondisi lingkungan yang tidak pasti,kompleks dan penuh pertentangan.

c. Kecenderungan untuk mengambil risiko yaitu merupakan kecenderungan yang mempengaruhi strategi keputusan yang digunakan untuk menahan karakteristik - karakteristik lingkungan yang mempunyai range yang luas. Dalam situasi pengambilan keputusan yang penuh risiko, merasa tidak pasti mengenai hasil dan kemungkinan - kemungkinan kerugian yang terjadi. Kecenderungan ini mengakibatkan perbedaan-perbedaan tingkah laku orang-orang yang mengambil keputusan dalam melakukan aktivitasnya.

d. Tingkat aspirasi. Tingkat aspirasi dari pengambilan keputusan mempengaruhi keefektivitasannya dalam menggunakan strategi-strategi keputusan dibawah lingkungan yang bervariasi. Tingkat aspirasi juga mempengaruhi efektivitas dalam mengidentifikasi masalah, mengevaluasi alternatif-alternatif yang akan dipilih dan menentukan tawaran-tawaran pemilihan.

4.Teori hasil yang diharapkan (Outcome Expectancy)

Bandura (1986) sebagaimana dikutip oleh Lupiyoadi (2004,p.30), menyatakan bahwa hasil yang diharapkan (Outcome Expectancy) bukan suatu perilaku tetapi keyakinan tentang kensekuensi yang diterima setelah seseorang melakukan tindakan tertentu.

Dari definisi diatas, hasil yang diharapkan (Outcome Expectancy) dapat diartikan sebagai keyakinan seseorang mengenai hasil yang akan diperolehnya jika ia melaksanakan suatu perilaku tertentu, yaitu perilaku yang menunjukkan keberhasilan. Seseorang memperkirakan bahwa keberhasilannya dalam melakukan tugas tertentu akan mendatangkan imbalan dengan nilai tertentu juga. Imbalan ini berupa juga insentif kerja yang dapat diperoleh dengan segera atau dalam jangka panjang. Karenanya jika seseorang menganggap profesi wirausaha akan memberikan insentif yang sesuai dengan keingginannya, maka dia akan berusaha memenuhi keingginannya dengan menjadi wirausaha.

Adanya berbagai jenis insentif sebagai imbalan kerja yang diharapkan individu dan setiap jenis memiliki keunikan tersendiri. Jenis insentif tersebut yaitu:

a. Insentif primer yaitu merupakan imbalan yang berhubungan dengan kebutuhan fisiologis kita sepertinya makan, minum, kontak fisik dan sebagainya.

b. Insentif sensoris. Beberapa kegiatan manusia ditunjukan untuk memperoleh umpan balik sensoris yang terdapat dilingkungannya. Misalnya anak kecil melakukan berbagai kegiatan untuk mendapatkan insentif sensoris berupa bunyi - bunyian baru atau berupa stimulus baru untuk dilihat atau orang dewasa yang bermain musik untuk memperoleh umpan balik sensoris berupa bunyi alat musik yang dimainkannya.

c. Insentif sosial. Manusia akan melakukan sesuatu untuk mendapatkan penghargaan dan penerimaan dari lingkungan sosial akan lebih berfungsi secara efektif sebagai imbalan atau hukuman daripada reaksi yang berasal dari satu individu.

d. Insentif yang berupa token ekonomi. Token ekonomi adalah imbalan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi, seperti upah, kenaikan pangkat, penambahan tunjangan dan sebagainya. Hampir seluruh masyarakat menggunakan uang sebagai insentif. Hal ini disebabkan karena dengan uang, individu dapat memperoleh hampir semua hal yang diinginkannya,mulai dari pelayanan jasa, hingga pemenuhan kebutuhan fisik, kesehatan dan lain-lain.

e. Insentif yang berupa aktivitas. Beberapa aktivitas atau kegiatan fisik ternyata dapat memberikan nilai insentif tersendiri bagi individu.

f. Insentif status dan pengaruh.Kedudukan kerap kali dikaitkan dengan status kekuasaan. Dengan memiliki kedudukan yang tinggi, seseorang dapat menikmati imbalan materi, penghargaan sosial, kepatuhan dan lain-lain. Keuntungan yang khas ini membawa individu berusaha keras untuk mencapai posisi yang memberikan kekuasaan.

g. Insentif berupa terpenuhinya standar internal. Insentif ini berasal dari tingkat kepuasan diri yang diperoleh individu dari pekerjaannya dan berasal dari dalam diri seseorang. Bentuk imbalan internal yaitu reaksi diri berupa rasa puas dan senang. Misalnya seseorang berwirausaha

karena adanya imbalan rasa puas karena segenap potensinya dapat tersalurkan ketimbang bila ia menjadi karyawan biasa.

Jadi dapat disimpulkan bahwa ada insentif-insentif tertentu yang umumnya diharapkan seseorang dengan menjadi wirausaha.

Teori-teori diatas telah menjelaskan proses pembentukan seseorang menjadi wirausaha. Dengan memedukan teori diatas, maka kita dapat menyimpulkan model tahapan pembentukan yang sifatnya lebih komprehensif (Lupiyoadi,2004, pp. 32 - 33):

1. Kurangnya keseimbangan (Deficit Equilibrium)

Dalam hal ini seseorang merasa ada kekurangan dalam dirinya dan berusaha untuk mengatasinya. Kekurangan tersebut dapat muncul dalam berbagai bentuk, tidak hanya berupa materi, namun dapat berupa ketidak puasan terhadap diri sendiri (baik motivasi, standar internal maupun hal lainnya). Selain itu, kondisi ini juga dapat terjadi karena berubahnya jalur hidup, seperti misalnya jika seseorang mengalami tekanan atau hinaan, ataupun mendapat dukungan orang lain.

2. Pengambilan keputusan menjadi wirausaha

Perasaan kekurangan akan mendorong seseorang untuk mencari pemecahannya. Untuk itu, ia akan mengevaluasi alternatif pemecahan yang dimiliki. Dalam hal ini kemampuan perseptual, kapasitas informasi yang diterima, keberanian mengambil risiko dan tingkat aspirasinya terhadap

suatu alternatif keputusan memiliki peran yang sangat besar dalam usahanya mengambil keputusan. Jika pada akhirnya ia menganggap bahwa masalah kekurangannya dapat dipecahkan dengan menjadi wirausaha, maka ia akan mengambil keputusan untuk menjadi wirausaha.

3. Perilaku yang dimotivasi oleh tujuan (Goal Directed Behaviour)

Keputusan menjadi wirausaha diambil dengan tujuan memecahkan masalah kekurangan yang ia miliki. Disini masalah kekurangan diidentifikasi dengan adanya harapan sebagai pemecahan. Harapan-harapan tersebut berupa insentif yang akan ia dapat jika melakukan tindakan tertentu.Insentif ini menjadi rangsangan atau tujuan (Goal) sehingga mendorong tindakan dan perilakunya sebagai seorang wirausaha.

4. Pencapaian tujuan

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, tujuan (Goal) sangat penting untuk pengambilan keputusan menjadi wirausaha. Tujuan ini berupa insentif yang diyakini akan dinikmati jika seseorang melakukan kegiatan tertentu. Jenis-jenis insentif yang diharapkan menjadi wirausaha, antara lain:

a. Insentif primer

Seseorang menjadi wirausaha karena dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (pangan, sandang, papan). Insentif ini sangat mendasar karena merupakan kebutuhan seseorang untuk bertahan hidup.

b. Insentif token ekonomi

Insentif ini paling dapat dilihat bentunya: banyak orang menjadi wirausaha karena dapat memeperbaiki kesejahteraan hidupnya, atau dengan kata lain menjadi kaya.

c. Insentif aktivitas

Adanya sejumlah orang yang tidak suka bekerja pada orang lain karena merasa terkekang, Dengan menjadi wirausaha, maka ia dapat bebas beraktivitas tampa perlu ada tekanan dari atasan.

d. Insentif sosial, status dan pengaruh

Jika seseorang berhasil menjadi wirausaha sukses, maka ia akan mendapat perhatian dari lingkungan sekitarnya. Pemberian status dari masyarakat secara langsung juga membuat ia memiliki pengaruh terhadap orang lain.

e. Insentif terpenuhinya standar internal

Pada orang-orang tertentu, memiliki kebutuhan berprestasi sangat cocok dengan kriteria wirausaha. Mereka memiliki standar internal sendiri yang harus dipuaskan dengan menjadi wirausaha, karena profesi lain tidak memuaskan mereka.

Tahap-tahapan diatas telah menggambarkan proses menjadi wirausaha, namun faktor keadaan lingkungan dan budaya seseorang juga memiliki pengaruh besar dalam mendorong seseorang menjadi wirausaha.

Dalam dokumen BAB II LANDASAN TEORI (Halaman 27-39)

Dokumen terkait