BAB II PENELAAHAN PUSTAKA
C. Kanker
2. Proses terjadinya kanker
Sel normal berubah menjadi sel kanker karena satu atau lebih mutasi pada
DNA-nya baik secara diturunkan, bukan kanker itu sendiri yang diturunkan
melainkan gen yang telah termutasi dan mudah berkembang menjadi kanker
maupun dengan cara didapat dari luar sel akibat pemaparan zat kimia,
ko-karsinogen, dan lain-lain. Perkembangan kanker merupakan proses yang rumit,
melibatkan tidak hanya satu perubahan genetik tetapi juga yang lain, seperti
faktor-faktor epigenetik (aksi hormonal, ko-karsinogen dan efek pemacu tumor)
yang tidak hanya menghasilkan kanker itu sendiri melainkan dengan
meningkatkan kemungkinan mutasi genetik yang akan menimbulkan kanker
(Rang dkk, 2003).
Sel kanker mempunyai antigen pada permukan sel yang dapat dikenali dan
bereaksi dengan sistem imun inang sehingga mampu mencegah pertumbuhan
tumor yang tak terkendali. Teori ini dikenal sebagai immunosurveillance (pemantauan imun). Teori ini bermula dari percobaan yang dilakukan oleh Paul
Ehrlich yang mengamati bahwa hewan dengan pertumbuhan tumor bervirulensi
rendah mengalami penurunan pertumbuhan tumor setelah dilakukan inokulasi sel
yang dapat dikenali sebagai sesuatu yang abnormal oleh inang. Penelitian
dilanjutkan oleh Lewis Thomas yang memberikan teori penolakan allograft menggambarkan mekanisme utama dalam pertahanan alami terhadap neoplasia.
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, Macfarlane Burnet memberikan teori
immunosurveillance yang berpusat adanya antigen yang tergabung pada sel tumor (Schwartz, 1991; Dasgupta, 1992).
Teori tersebut menyatakan bahwa sel efektor pada sistem imun secara aktif
beredar di dalam tubuh untuk mengenali dan membasmi sel-sel tumor yang mulai
terbentuk. Penelitian pada tahun 1970 mampu menemukan dan mengidentifikasi
adanya sel T, sel ini menjadi sel efektor yang diduga memperantarai dalam
immunosurveillance. Lebih dari dua dekade terakhir, data-data memunculkan pendapat bahwa konstituen sistem imun seperti sel natural killer (NK) dan jaringan cytokine mampu memberi pertahanan terhadap kanker (Ichim, 2005).
Aktivitas sel NK menjadi tanda penunjuk pada beberapa tipe tumor.
Sel-sel NK terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pemantauan
kemunculan tumor dan mikrometastasis. Teori ini kemudian dibuktikan dengan
data yang menunjukkan bahwa onkogen tertransfeksi fibroblas dapat lisis secara
selektif oleh sel NK bila dibandingkan dengan kontrol yang tidak tertransfeksi.
Mekanisme secara tepat sel NK dalam immunosurveillance belum diketahui secara pasti. Berkaitan dengan efek sitotoksik secara langsungnya, kemungkinan
sel NK mengaktifkan sel lain dalam sistem imun dengan cara memperlengkapinya
dengan bantuan cytokine. Sel NK yang mature tidak menghasilkan cytokine T-helper 2(Th2), tetapi lebih pada cytokine T-helper 1(Th1), tumor necrosis factor
(TNF)-α, interferon (IFN)- dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Pada kenyataanya, sekresi IFN- oleh sel NK dapat mempengaruhi pembentukan respon imun tipe Th1 terhadap agen patogen
maupun tumor terinduksi 3-methylcholanthrene (MCA) (Ichim, 2005).
Langkah awal respon imun memerlukan cytokine yang dihasilkan oleh
sel-sel T-helper. Perbedaan cytokine yang dihasilkan oleh sel-sel menentukan tipe respon
imun. Respon imun yang diperantarai sel membutuhkan cytokine Th1, sedangkan
respon imun yang diperantarai antibodi membutuhkan cytokine Th2. Sel T-helper
yang terdiferensiasi menjadi sel Th1 mensekresikan IFN- dan sedikit interleukin (IL)-2 dan IL-12, sedangkan sel Th2 mensekresikan IL-10, IL-4, dan sedikit IL-5.
Namun, tumor memiliki beberapa cara baik spesifik maupun non-spesifik untuk
menghindari respon Th1. Tumor mensekresikan sejumlah agen, termasuk
transforming growth factor (TGF)- , IL-10 dan prostaglandin E-2, yang menunjukkan meningkatkan respon imun Th2 ketika menekan respon imun Th1.
Hal ini telah ditunjukkan bahwa jaringan cytokine dari beberapa pasien kanker
cenderung mengarah ke Th2. Pasien-pasien tersebut menunjukkan peningkatan
cytokine Th2 atau penurunan cytokine Th1 baik tumor sistemik maupun lokal.
Penelitian mengenai tumor yang mengembangkan beberapa cara untuk
menghindari respon Th1 sesuai dengan pengertian immunosurveillance. Fakta bahwa malignan memiliki banyak cara dalam menghindari respon Th1
menunjukkan bahwa kemampuan untuk menghindari respon ini memberikan
keuntungan pertahanan pada sel malignan, yang selanjutnya menunjukkan bahwa
Cytokine Th1 IFN- berfungsi sebagai antitumor baik secara langsung
maupun tidak langsung. Serangkaian penelitian menunjukkan arti penting IFN-
dalam membasmi tumor awal dengan adanya peningkatan keberhasilan
karsinogenesis saat tidak ada IFN- . IFN- menghambat pertumbuhan tumor
dengan mempengaruhi proliferasi, apoptosis dan angiogenesis. IFN- juga
mempunyai efek antitumor tidak langsung dengan memacu respon imun
antitumor yang efektif. Sebagai tambahan dalam mempengaruhi keseimbangan
cytokine Th1-Th2, IFN- mampu mengaktifkan makrofag sitotoksik, sel-sel NK
dan sel-sel T NK (Ichim, 2005).
Bukti dari prinsip tipe respon imun yang tidak tepat akan meningkatkan
pertumbuhan tumor telah dibuktikan pada awal 1907 oleh Flexner dan Jobling,
yang menunjukkan bahwa injeksi sel tumor autologous mati meningkatkan pertumbuhan tumor yang ada lebih dulu. Secara umum, Th2 membawa respon
antibodi ke tumor yang tidak terlindungi dan mendukung perkembangan tumor
dengan menghambat respon imun yang diperantarai sel Th1. Namun, paham
bahwa respon imun yang diperantarai antibodi dapat merugikan pada kanker telah
diusulkan lama sebelum Mossman dan Coffman menunjukkan paradigma
Th1-Th2 pada tahun 1986. Pada tahun 1950-an Kaliss mempopulerkan istilah
”immunological enhancement” untuk menggambarkan peningkatan pertumbuhan tumor oleh antibodi non-sitotoksik. Teori ini menyebutkan bahwa antibodi
berikatan dengan sel tumor, melapisi atau menutup epitop sel tumor dan kemudian
dengan imun dan tetap bisa tumbuh dan berkembang, meskipun hal ini belum
pernah dibuktikan dengan percobaan (Ichim, 2005).
Ada dua kategori utama perubahan genetik yang dapat mengakibatkan
munculnya kanker, yaitu:
Aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen
Proto-onkogen adalah gen yang secara normal mengendalikan pembelahan sel,
apoptosis, dan diferensiasi tetapi dapat berubah menjadi onkogen oleh adanya aksi
virus atau karsinogen.
Inaktivasi gen penekan tumor
Sel normal mengandung gen yang mempunyai kemampuan untuk menekan
perubahan malignan yang disebut gen penekan tumor (anti-onkogen) dan
sekarang terdapat bukti bahwa mutasi terhadap gen ini terlibat dalam
pembentukan kanker yang berbeda-beda. Kehilangan fungsi dari gen penekan
tumor dapat menjadi peristiwa penting dalam karsinogenesis (Rang dkk, 2003).
Kanker akan muncul bila DNA sel normal mengalami kerusakan sehingga
menyebabkan mutasi genetik. Kalau ini tidak segera dikoreksi, perbanyakan sel
yang DNA-nya rusak tersebut potensial menghasilkan sel kanker. Padahal
perbanyakan sel dimaksudkan untuk pemulihan sel-sel yang aus atau rusak
(Hartono, 1999).
Tingkatan perubahan sel pada pertumbuhan kanker adalah sebagai berikut:
a. hiperplasi yaitu pembengkakan organ tubuh akibat pertumbuhan sel-sel baru yang abnormal karena hilangnya kontrol pertumbuhan.
b. metaplasi yaitu perubahan epitel suatu jenis jaringan dewasa menjadi jaringan lain yang juga dewasa.
c. displasi yaitu perubahan sel dewasa ke arah kemunduran dalam hal bentuk, besar dan orientasinya. Masih bersifat reversibel.
d. anaplasi yaitu perubahan serupa displasi yang menyimpang lebih jauh dari normal. Merupakan suatu ciri tumor ganas yang sangat ireversibel.
e. karsinoma insitu yaitu gambaran sel menjadi sangat atipik namun belum terdapat pertumbuhan infiltratif.
f. invasi yaitu sel kanker telah menembus lapisan basal jaringan (Kuswibawati, 2000).