• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

TINJAUAN PUSTAKA

C. Proses termal

Proses termal merupakan suatu cara yang sangat lazim digunakan dalam pengawetan pangan. Dengan cara ini, pangan diberi perlakuan panas yang cukup untuk menghancurkan mikroorganisma patogen dan atau pembusuk, zat anti nutrisi, dan enzim yang dapat menyebabkan kerusakan pangan.

Blanching yang lebih cenderung digunakan sebagai perlakuan pemanasan awal lebih bertujuan untuk menghilangkan aktivitas enzim dalam sayuran dan buah-buahan sebelum pengolahan lebih lanjut. Umumnya, metode pemanasan blanching dikombinasi dengan proses lanjutan seperti sterilisasi, pengeringan, dan pembekuan. (Fellows 2000).

Sterilisasi adalah suatu unit operasi yang dilakukan dengan pemanasan pada suhu yang cukup tinggi dan dengan waktu yang cukup untuk menghancurkan mikroba dan menghilangkan aktivitas enzim.

Tinjauan tentang teori dan metode untuk menentukan kecukupan pemanasan telah ditulis oleh Stumbo (1973). Sterilisasi komersial yang dilakukan untuk mendestruksi spora Clostridium botulinum pada makanan kaleng yang dipanaskan dalam retort memerlukan waktu selama 3 – 6 menit pada suhu 250o F (121o C).

Dalam praktek, proses termal yang setara atau lebih besar dari Fo 3 menit dilakukan dalam pemasak atau retort bertekanan di atas tekanan atmosfir (David et al. 1996). Pemanasan pada keju olahan dapat dilakukan dengan menggunakan proses sterilisasi maupun pasteurisasi (Zehren & Nusbaum 2000).

Pasteurisasi adalah perlakuan panas yang relatif ringan, dimana pangan dipanaskan pada suhu di bawah 100 oC. Untuk pangan asam rendah (pH>4,5), pasteurisasi digunakan untuk meminimalkan bahaya kesehatan dari mikroorganisma patogen dan untuk memperpanjang umur simpan pangan hingga beberapa hari. Dalam pangan yang asam (pH<4,5), pasteurisasi digunakan untuk memperpanjang umur simpan hingga beberapa bulan dengan menghancurkan mikroorganisma pembusuk dan menginaktifkan enzim. Pada kedua jenis pangan tersebut, perubahan karakter sensorik dan nilai nutrisinya minimal (Fellows 2000).

Menurut Frazier dan Westhoff (1978) proses pasteurisasi digunakan pada pengolahan pangan dengan kondisi sebagai berikut :

1. Bila pemanasan yang lebih tinggi dapat merusak kualitas produk. 2. Bila tujuannya untuk membunuh patogen.

3. Bila mikroorganisma pembusuk yang utama tidak terlalu tahan panas. 4. Bila mikroorganisma pembusuk yang tahan hidup setelah pasteurisasi akan

dikendalikan dengan metode pengawetan tambahan seperti : pendinginan, mengemas produk dalam wadah tertutup rapat agar tidak dimasuki mikroorganisma, menjaga agar kondisinya tetap anaerob dengan vakum dan wadah tertutup rapat, penambahan gula dengan konsentrasi tinggi, dan dengan adanya atau penambahan bahan pengawet kimiawi.

5. Bila mikroorganisma yang berkompetisi akan dibunuh dengan melakukan fermentasi yang dikehendaki, biasanya dengan menambahkan mikroorganisma starter.

Kebanyakan enzim lipase yang terdapat dalam susu dapat diinaktifasi dengan pemanasan, walaupun beberapa diantaranya, terutama yang berasal dari bakteri psikrotropik tahan terhadap pemanasan tradisional dan tetap aktif setelah pemanasan

yang dapat membunuh bakteri. Akibatnya, kerusakan flavor dapat terjadi dalam produk susu (Bendicho et al. 2001).

Pada pemanasan pasteurisasi 75 ºC selama 20 detik tidak terjadi inaktifasi enzim lipase secara signifikan atau hanya 25 persen penurunan yang terjadi pada suhu 63 ºC selama 30 menit. Untuk menginaktifkan seluruhnya perlu pemanasan 90 ºC selama 5 menit (Bendicho et al. 2001).

Beberapa bakteri patogen yang dapat mengkontaminasi keju setelah dipasteurisasi adalah Lysteria monocytogenes, Salmonella sp., Staphylococcus aureus, dan E. Coli O157:H7 (Glass & Doyle 2005).

Pada keju olahan pasteurisasi, pemanasan minimal yang diwajibkan adalah 150 o

F (65,6 oC) selama tidak kurang dari 30 detik (FDA, 21 CFR, Part 133), sedangkan menurut International Codex Alimentarius Standards pemanasannya harus dilakukan pada suhu 70 oC selama 30 detik atau ekivalen dari kombinasi waktu dan suhu lainnya. Penentuan suhu tersebut dengan menetapkan mikroorganisma yang dapat mengkontaminasi produk setelah pasteurisasi, yaitu Salmonella senftenberg yang mempunyai nilai D pada suhu referensi 65,6 oC sebesar 0,56 menit dan nilai z = 4,4 oC (ICMSF 1996).

Selain untuk keperluan mikrobiologis, ada tiga hal yang menyebabkan perlunya pemanasan dalam keju olahan, yaitu untuk proses kimia-fisik dalam hal pelelehan yang homogen, untuk terjadinya fenomena “creaming” yang menentukan struktur yang dikehendaki, dan untuk memperpanjang umur simpan (Berger et al. 2002).

Menurut Palumbo (1972), suhu pemanasan dapat mempengaruhi kekerasan keju. Keju yang dipanaskan pada suhu 71 oC lebih keras dibandingkan 65 oC. Pemanasan juga menyebabkan bertambahnya air terikat dalam keju olahan.

Pelelehan keju yang homogen hanya dapat terjadi dengan pemanasan pada suhu 70 – 75 oC. Selain pemanasan, pengadukan mekanis dan perubahan kimiawi dalam keju olahan dapat membantu kecenderungan kasein untuk menyerap air dan meleleh. Peristiwa ini disertai dengan terjadinya pemendekan struktur dan pengerasan tekstur yang dikenal sebagai fenomena “creaming” yang semakin meningkat dengan bertambahnya suhu di atas 70 oC hingga 90 oC. Proses ini bisa dikehendaki atau tidak

dikehendaki tergantung hasil yang dibutuhkan. Pada suhu di atas 100 oC, keju yang meleleh menunjukkan penurunan viskositas yang nyata (Berger et al. 2002).

Semua produk-produk keju pada dasarnya adalah emulsi O/W (minyak dalam air), yaitu emulsi yang memiliki butiran minyak yang terdispersi dalam fase air (Shimp 1985; McClements 1999). Suhu dapat mempengaruhi ukuran butiran minyak yang dihasilkan selama homogenisasi. Pemanasan dapat membantu terbentuknya butiran minyak yang kecil.

Keju natural merupakan emulsi yang hampir sempurna, yang distabilkan secara natural oleh protein keju (Ellinger 1972; Scharpf 1970; Webb et al. 1974 diacu Shimp 1985). Dengan suhu pasteurisasi, protein tersebut terdenaturasi dan menyebabkan tekstur yang tidak baik dan atau pemisahan minyak. Untuk menghindari kerusakan protein tersebut, digunakan garam pengemulsi yang dapat meningkatkan fungsi protein.

Keju terdiri atas fase minyak dan fase air. Fase minyak berupa lemak dan substansi larut minyak, sedangkan fase air berupa larutan yang sebagian besar mengandung protein larut air dan mineral. Kedua fase diemulsifikasi oleh protein yang dapat menurunkan tegangan permukaan, yaitu protein yang dapat larut dalam fase minyak dan fase air, yang cenderung berkumpul diantara kedua fase. Protein dalam keju yang berperan penting untuk membentuk struktur dan emulsifikasi adalah kasein dan fragmennya. Pada sebagian besar tipe kasein, salah satu ujung pada bagian protein kasein mengandung kalsium fosfat dan bersifat polar sementara ujung lainnya adalah organik dan nonpolar secara alami. Ujung fosfat bersifat larut air, sedangkan ujung organik bersifat larut minyak sehingga protein ini dapat mempunyai kemampuan emulsifikasi (Shimp 1985).

Pemanasan cenderung merusak protein dan menurunkan kemampuan emulsifikasinya. Untuk mengendalikan emulsifikasi secara efektif dapat digunakan garam-garam pengemulsi. Garam pengemulsi berfungsi untuk menstabilkan produk, agar lemak tidak terpisah, dan meningkatkan kehalusan body dan tekstur. Sitrat dan fosfat memecah ikatan peptida pada protein, atau melarutkan protein, meningkatkan daya emulsi protein dan memperbaiki tekstur keju (Palumbo 1972).

Dokumen terkait