• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosesi Ritual Kaka

Dalam dokumen T2 752015031 BAB III (Halaman 26-35)

3.13.2. Proses Inisiasi Dalam Ritual Kelahiran

3.13.3.1. Prosesi Ritual Kaka

Sanro yang melaksanakan ritual ini bernama Mbo Canni yang berasal dari Mola Utara. Mbo Canni dipanggil oleh keluarga untuk melakukan ritual ini. Dalam pelaksanaannya, Ritual Kaka membutuhkan beberapa bahan-bahan khusus untuk dilaksanakan, dan bahan-bahan ini biasanya yang mempersiapkan adalah keluarga, bahan-bahan yang digunakan adalah tempurung kelapa, nasi sembilan kepal, garam, tiga buah sarung, benang kenur, cangkir, kendi, lilin, kelapa, beras, janur dan sirih pinang atau rokok. Ritual kaka ini dilaksanakan ketika waktu air surut, yang dalam bahasa Bajo disebut meti. Waktu meti adalah sore hari, sekitar jam lima sore biasanya ritual ini dilaksanakan. Dalam prosesinya, sanro datang ke rumah keluarga yang akan melaksanakan ritual, kemudian sanro mempersiapkan bahan-bahan tersebut. Pada awalnya, sanro ini datang dan duduk di atas tikar dalam rumah keluarga. Sedangkan orang yang sakit

Pasien berbaju merah dan didampingi keluarga, dan di depannya adalah sanro yang melaksanakan ritual.

60 didampingi oleh keluarga, serta duduk berhadapan dengan sanro, serta mengikuti setiap proses dari ritual kaka itu, mulai dari persiapan sampai berakhirnya ritual tersebut. Menariknya, dalam mempersiapkan bahan-bahan untuk ritual tersebut, sanro membangun percakapan dengan orang sakit, yang isinya adalah sudah berapa lama ia mengalami sakit tersebut, sudah berobat dimana saja, bagaimana perasaannya saat ini, dan lainnya. Sanro dan orang yang sakit beserta keluarganya membangun interaksi guna membuat suatu kedekatan emosional di antara orang Bajo, apalagi dalam percakapannya menggunakan bahasa Bajo, yang sarat akan makna dan perasaan orang Bajo.

Peneliti mengobservasi bahwa ritual kaka melalui tiga tahap di dalamnya.Tahap pertama, Sanro melipat sarung yang dipersiapkan oleh keluarga, lipatan demi lipatan mempunyai teknik tersendiri.Sanro melanjutkan persiapannya dengan mengambil benang kenur untuk diikatkan pada kendi. Sambil proses ritual itu dipersiapkan, kemudian dupa dibakar, sehingga rumah dipenuhi dengan asap-asap kecil, yang menjadi tanda bahwa ritual kaka sedang dilaksanakan. Setelah itu, sanro mengambil garam dan meletakkannya di dalam tempurung kelapa.Sanro melanjutkan persiapannya dengan mencelupkan tangannya ke dalam air yang berada dalam baskom, hal itu dilakukan agar tangannya basah, sehingga dapat mengepal nasi dengan baik. Sanro membuat Sembilan kepalan-kepalan nasi, yang berbentuk seperti bola tenis meja (pingpong), dan setiap kali sanro mengepal nasi tersebut, sambil doa-doa diucapkan. Setelah sanro mengepal setiap nasi itu, kemudian nasi yang berbentuk bulat tersebut dimasukan ke dalam tempurung kelapa. Kepalan nasi itu dimasukan dengan rapi, agar setiap kepalan nasi yang berjumlah total sembilan kepalan dapat menjadi lapisan yang baik di dalam tempurung kelapa tersebut. Nasi merupakan lapisan kedua, seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa garam

61 sebagai lapisan pertama yang berada di dalam tempurung kelapa. Karena garam diibaratkan sebagai air laut, tempat orang Bajo berasal dan hidup melalui itu.

Lapisan ketiga adalah ikatan dari sirih pinang dan rokok (buatan sendiri dan bisa diperoleh di pasar) yang berjumlah sembilan buah, masing-masing ikatan tersebut dimasukan dalam tempurung kelapa. Berikutnya, dimasukkan potongan-potongan kecil kelapa yang berjumlah sembilan buah, yang melengkapi lapisan yang ada dalam tempurung kelapa tersebut, sehingga tempurung kelapa semakin berisi oleh karena setiap lapisannya. Selanjutnya, sanro mengambil lilin-lilin dan menancapkannya satu persatu di sekeliling tempurung kelapa tersebut. Setelah mempersiapkan bahan-bahan yang telah dimasukan dalam tempurung kelapa, kemudian sanro mengambil satu persatu kain yang telah dilipatnya, dan memasukan beras ke dalam setiap lipatan kain tersebut, jadi ketiga kain tersebut di dalamnya berisi beras yang dimasukan oleh sanro.

Dalam ritual ini, angka sembilan menjadi simbol yang menarik, mulai dari kepalan nasi yang harus berjumlah sembilan, sembilan buah sirih pinang dan rokok yang telah diikat menjadi satu, dan sembilan buah lilin. Sembilan dijadikan simbol kesempurnaan oleh orang Bajo, yang di dalamnya mengandung makna proses mengandung seorang ibu dalam kandungan, yang berjumlah sembilan bulan, dan pada akhirnya lahirlah seorang anak, sehingga menjadi simbol kesempurnaan (lengkapnya) anggota keluarga.

62 Bahan Ritual Kaka yang telah dipersiapkan oleh sanro

(Gambar 8.2: Dokumentasi Peneliti)

Ritual dilanjutkan dengan mengambil sumbu dan dinyalakan oleh sanro menggunakan korek api, dan mengambil satu lilin sebagai alat untuk menyalakan atau membakar sembilan lilin, yang telah dibuat oleh sanro di atas tempurung kelapa.Sekilas, ketika melihat bahan ritual yang telah selesai sama seperti kue ulang tahun, karena berisi lilin-lilin disertai dengan bentuknya yang bundar dan memiliki isi yang padat di dalamnya. Dalam prosesi penyalaan lilin yang dilakukan oleh sanro, keluarga mematikan lampu yang ada dalam rumah, sehingga hanya nyala lilin yang terlihat dalam rumah. Kemudian dimasukan cangkir di dalam tempurung kelapa tersebut atau lapisan teratas, yang berada di antara lilin-lilin. Kemudian, Sanro membakar dupa, dan mengambil tempurung kelapa tersebut untuk diasapi oleh dupa. Proses ritual telah berlangsung, yakni ketika sanro mengambil tempurung kelapa tersebut (berisi bahan ritual), kemudian diangkat di atas dupa yang berasap, dan sambil membaca doa-doa, tempurung kelapa itu diperhadapkan di depan orang sakit, pada waktu yang sama tempurung kelapa tersebut diputar sebanyak tiga kali, yang putarannya berlawanan dengan detak jarum jam. Setelah itu, tempurung kelapa diturunkan kembali di atas tikar dan lilin tetap menyala, kemudian cangkir yang ada dalam tempurung kelapa dikeluarkan oleh sanro. Sekarang giliran dari orang sakit yang

63 bertindak, dan diberi kesempatan memakai jari telunjuknya untuk menusuk kepalan nasi yang ada dalam tempurung kelapa tersebut. Setelah itu, Sanro kembali memasukan cangkir di dalam tempurung kelapa dan dibaca-baca (didoakan) untuk melanjutkan proses ritual kaka.

Tahap kedua, Ritual dilanjutkan dengan mengambil tempurung kelapa itu dan beras yang dipersiapkan oleh keluarga. Selanjutnya, seorang dari anggota keluarga mengangkat tempurung kelapa dan beras itu, dan membantu sanro untuk mengantarkannya ke depan rumah, lebih tepatnya di bawah tangga depan atau belakang rumah yang langsung bersentuhan dengan air laut. Masyarakat Bajo menyatakan bahwa lilin yang ada di sekitar tempurung kelapa itu harus tetap menyala sampai proses penurunannya di laut, tetapi sanro menyatakan bahwa tidak apa-apa jika lilinnya mati dalam perjalanan, yang penting sudah didoakan sebelum diturunkan di laut. Dalam ritual penurunan tempurung kelapa itu, orang yang sakit tidak melihat proses ini, dan hanya

Gambar 8.3

64 berada di dalam rumah saja, sehingga sanro yang melanjutkan proses ritual ini. Setelah sampai di bawah tangga, sanro naik di atas perahu kecil dan mengambil beras yang berada dalam mangkuk, sanro menggenggam beras itu sambil menaikan doa-doa, kemudian beras itu dilemparkannya sebanyak tiga kali di air laut yang berada di hadapannya. Dilanjutkan dengan mengambil tempurung kelapa yang telah dipersiapkan dan menurunkannya di laut. Karena itu, ritual ini dinamakan sebagai ritual maduai kaka (menurunkan kaka/saudara tertua), seperti dalam proses ritualnya, tempurung kelapa serta isinya diturunkan di laut, sambil doa-doa itu dinaikan oleh sanro. Ketika tempurung kelapa dan isinya telah tenggelam, yang diambil hanyalah cangkir putih oleh sanro, dan cangkir tersebut didoakan oleh sanro yang berada di atas perahu, kemudian dimasukan air laut dalam cangkir itu sebanyak tiga kali, sementara cangkir dimasukan air laut, sanro membaca doa-doa, dan kembali memasukan cangkir itu ke dalam lingkaran rotan, yang tadinya dijadikan sebagai pengalas tempurung kelapa. Kemudian, sanro mengambil kendi yang berada di samping beras yang berisi air, lalu dituangkannya air dalam kendi tersebut ke dalam laut sebanyak tiga kali, sambil doa dibaca oleh sanro (bismillah). Setelah air dalam kendi kecil itu habis, kemudian sanro memasukan air laut ke dalam kendi tersebut sebanyak tiga kali pengambilan (diambil sedikit-sedikit). Kemudian tangan kiri sanro tetap memegang kendi kecil itu, dan pada saat yang sama, tangan kanan sanro bergerak mengambil segenggam beras yang berada dalam wadah yang berwarna hijau itu, lalu menuangkannya kembali ke dalam laut sebanyak tiga kali. Setelah itu, kendi kecil itu dimasukan ke dalam wadah hijau yang berisi beras.

65 Tahap ketiga, Sanro dan keluarga yang berada di luar rumah kembali masuk untuk melanjutkan ritual di dalam rumah. Ketika berada di dalam rumah yang masih dalam suasana ‘gelap’ karena lampu dipadamkan, sanro kemudian mengambil benang dan memegang benang itu memakai tangan kanannya, sedangkan di tangan kiri sanro terdapat lilin yang menyala sehingga berfungsi sebagai penerang untuk mencelupkan benang itu ke dalam cangkir. Benang ini dikenal oleh orang Bajo sebagai tali sumanga atau tali semangat, benang ini berfungsi sebagai penyemangat orang sakit akibat ketidakharmonisannya dengan kaka-nya. Sementara benang itu dicelupkan ke dalam cangkir yang berisi air laut, sanro mengutarakan dari mulutnya doa-doa, kemudian lilin yang berada di tangan kirinya dimasukan ke dalam tempatnya yang semula. Benang yang telah dibasahi oleh air laut yang berada di tangan kanan sanro kemudian diangkat ke wajah, lebih tepatnya menempelkan tali sumanga di dahi orang yang sakit itu, dan sanro mendekat ke hadapan orang yang sakit itu, lalu tangan kirinya memegang belakang kepala orang yang sakit, sanro membaca doa di dahi orang yang sakit itu, yakni mulut sanro berdempetan

Gambar 8.4 Tali Sumanga yang diikat

66 dengan benang sumanga itu, yang berada di dahi orang sakit itu, setelah membaca doa, sanro meniup dahi orang yang sakit itu. Kemudian sanro mengusap dahi orang yang sakit itu sebanyak tiga kali, dan setelah itu sanro mengikat benang atau yang disebut tali sumanga itu ke tangan kanan orang yang sakit. Orang Bajo mempercayai dengan tali sumanga yang diikatkan di tangan kanannya, maka mereka akan memperoleh semangat baru menjalani kehidupannya, kalau yang sakit diberi kekuatan untuk semangat dan lebih bergairah dalam beraktifitas. Kepercayaan orang Bajo lainnya adalah, bahwa mereka meyakini tali sumanga itu akan terlepas dengan sendirinya, dan tidak perlu dibuka secara manual, karena lambat laun tali sumanga itu akan terlepas.

Setelah tali sumanga itu dipasangkan di tangan orang yang sakit, kemudian sanro mengambil tiga sarung (berisi beras) yang telah dipersiapkan, dan diangkat di atas dupa, setelah itu ketiga sarung itu diangkat ke hadapan orang yang sakit itu, sambil diputar satu kali kearah yang berlawanan dengan jarum jam. Prosesi itu dilakukan sebanyak tiga kali (mengangkat sarung ke atas dupa dan memutar ke hadapan orang yang sakit itu). Kemudian, ketiga sarung itu diletakkan di bawah dan diberikan kepada keluarga orang yang sakit (berjumlah tiga orang), sanro memberikan sarung itu satu per satu kepada anggota keluarga untuk dipegangi. Selanjutnya, sanro meminta kepada orang yang sakit untuk memilih salah satu dari ketiga sarung, yang akan dibuka dan dilettakan oleh sanro di atas kepala orang yang sakit. Setelah selesai menunjuk sarung mana yang akan diletakkan oleh sanro, kemudian sanro mengangkat sarung tersebut ke atas kepala orang yang sakit dan membuka sarung itu, sehingga terlihat bulir-bulir beras berjatuhan di kepala orang yang sakit itu. Sarung yang pertama itu tetap tinggal di atas kepala orang yang sakit, kemudian sarung kedua diambil oleh sanro dan hanya dibuka di atas kepala orang yang sakit, dan sarung itu ditaruh kembali ke tempatnya yang semula.

67 Kemudian sarung ketiga diambil dari tangan anggota keluarga, dan sarung itu dibuka di atas kepala orang yang sakit, dan mengembalikan sarung ketiga itu ke tempatnya.

Setelah itu, sanro mengambil satu genggam beras, sambil menaikan doa, dan kemudian membagikan beras itu kepada ketiga anggota keluarga, yang telah memegang sarung tadi. Sanro berdoa sambil meniup beras yang ada di tangannya, dan melemparkan beras itu ke tubuh orang yang sakit, kemudian secara otomatis, anggota keluarga yang memegang beras tadi ikut melemparkan beras ke tubuh orang yang sakit itu. Diakhiri dengan doa yang dibacakan oleh sanro di dahi orang yang sakit itu, sambil meniup dahinya, dan memegang dahi orang yang sakit dengan tangan kanannya, serta mengangkat sarung yang berada di atas kepala orang yang sakit itu untuk diletakkan di tempatnya yang semula. Sanro menutup ritual itu dengan mengambil air laut yang berada di dalam kendi kecil, dan memercikannya ke hadapan orang yang sakit kemudian sanro mengambil air laut itu lagi untuk memercikan di belakang sanro, hal itu dilakukan secara berulang selama tiga kali di hadapan orang yang sakit dan tiga kali di belakang sanro. Akhirnya, setelah ritual itu selesai dilaksanakan, sanro mengambil ‘tanda terima kasih’ dari keluarga yang diletakkan di bawah sarung, biasanya keluarga memberikan uang sebagai tanda terima kasih antara Rp 20.000-Rp 30.000, hal itu biasa dilakukan oleh orang Bajo yang telah melaksanakan ritual.

Itulah akhir dari ritual kaka, dan beberapa gambaran runtutan proses ritual kaka yang peneliti temukan di lapangan, dan ritual itu secara umum mempunyai pola yang sama, meskipun sanro yang dipanggil untuk melakukan pengobatan berbeda. Orang Bajo mempercayai bahwa setelah melaksanakan ritual kaka, keluarga tidak diperbolehkan untuk menyapu beras yang berserakan di lantai rumah selama kurang lebih tiga hari. Karena beras yang berada di rumah

68 menjadi tanda bahwa suatu ritual telah dilaksanakan di rumah itu, dan setelah tiga hari baru diperbolehkan untuk menyapu beras itu keluar dari rumah.

Dalam dokumen T2 752015031 BAB III (Halaman 26-35)

Dokumen terkait