• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ritual Maduai Tuli

Dalam dokumen T2 752015031 BAB III (Halaman 35-47)

Ritual ini dilaksanakan bagi orang Bajo yang memiliki kagumbarang tuli (kembaran buaya), yang telah dilihat oleh sanro ketika orang Bajo itu baru lahir. Ritual tuli dilaksanakan bagi ibu-ibu yang sedang mengandung, dan ritual ini wajib hukumnya dilakukan bagi semua orang Bajo yang sedang mengandung. Orang Bajo percaya bahwa jika tidak melaksanakan ritual ini, anak yang akan dilahirkan akan mengalami sakit maupun kelainan yang tidak seperti anak lainnya. Karena itu, ritual tuli merupakan salah satu dari beberapa ritual yang ada di masyarakat Bajo yang dijaga kesakralannya.

Hal ini yang peneliti alami di lapangan, yakni ketika peneliti akan melihat dan merekam proses ritual tuli terhadap ibu yang sedang mengandung. Awalnya, tetangga sekitar menyetujui dan memperbolehkan untuk melihat ritual itu, karena mereka menganggap bahwa itu adalah hal biasa yang dilakukan oleh orang Bajo.Namun, ketika peneliti datang sekitar lima belas menit sebelum ritual itu dilaksanakan, pihak dari keluarga menyatakan bahwa ritual itu tidak jadi dilaksanakan karena sanro yang menangani ritual tersebut mempunyai banyak pasien, dan tidak bisa hari ini dilaksanakan. Kemudian keluarga dan tetangga yang berada di sekitar menggunakan bahasa Bajo ketika berada di belakang peneliti. Ini menjadi pertanda penolakan kepada peneliti, karena sebelum datang ke rumah keluarga yang akan melaksanakan ritual, peneliti datang kepada sanro yang menangai ritual tersebut untuk meminta izin melihat ritual tersebut, dan akhirnya diperbolehkan untuk mengikuti proses ritual itu dari awal hingga selesai. Kemudian peneliti bertanya kepada teman yang mengantar saat itu, mengenai bahasa Bajo yang disampaikan oleh

69 keluarga, pada saat peneliti berada di depan rumah itu. Arti dari bahasa Bajo yang disampaikan oleh keluarga, yakni tidak diperbolehkan orang luar untuk melihat proses ritual ini, karena ritual ini harus dijaga kesuciannya dan takut bayi yang dikandungnya mengalami sesuatu yang tidak diinginkan oleh keluarga. Benar dugaan dari peneliti, setelah peneliti pergi dari rumah itu, ternyata proses ritual itu dilaksanakan, dan hanya keluarga dan tetangga yang boleh untuk datang melihat ritual kaka itu. Kejadian ini tidak untuk melakukan generalisasi kepada semua orang Bajo di desa Mola, namun untuk memberi gambaran bahwa orang Bajo masih kuat memegang kepercayaan mengenai kesakralan dalam ritual yang mereka laksanakan.

Selain itu, ritual ini juga dilaksanakan sebagai tahap berikutnya dari ritual kaka, artinya jika ritual kaka tidak juga mendapat hasil yang baik, kemudian orang Bajo melaksanakan ritual tuli ini. Berbeda dari ritual kaka yang dilaksanakan sore hari, khususnya ketika air laut meti (surut), ritual tuli dilaksanakan siang hari, yakni ketika air laut sedang naik. Hal berikut yang membedakan antara ritual tuli dan kaka adalah dalam bahan ritualnya. Ritual tuli menggunakan pisang, telur,dan beras empat warna: hitam, putih, kuning dan merah, yang dibuat dari bahan-bahan alami. Orang Bajo percaya bahwa warna itu sebagai bagian dari unsur-unsur yang ada di bumi ini, yakni warna hitam sebagai tanah, warna putih sebagai air, warna kuning sebagai angin, dan warna merah sebagai api.

Ritual ini dilaksanakan oleh orang Bajo karena berhubungan dengan kagumbarang tuli atau kembaran buaya mereka, sehingga orang Bajo harus melaksanakan ritual ini untuk membangun relasi yang baik dengan kagumbarang tuli mereka yang dipercaya berada di laut. Seperti ritual maduai tuli (menurunkan tuli) yang peneliti observasi ini, yakni ada seorang anak yang telah bernazar akan melaksanakan ritual ini ketika ia akan sembuh dari penyakitnya. Janji yang diucapkan oleh orang Bajo itu didengarkan oleh ‘penguasa laut’ yang mereka percayai

70 sebagai Mbo Ma Dilao.Jika orang Bajo yang telah berjanji dan tidak melaksanakan ritual itu, penyakit itu akan kembali ke dalam diri orang yang sakit itu. Karena itu, keluarga ini melaksanakan ritual maduai tuli untuk anaknya.

a) Tahap Pertama Ritual Maduai Tuli

Ritual maduai tuli ini dilakukan oleh seorang sanro yang bernama Mba Muder, sanro ini sudah biasa dipanggil oleh masyarakat Bajo dalam pelaksanaan ritual, khususnya yang berkenaan dengan ritual maduai kaka, maduai tuli dan maduai kuta. Bahan-bahan pelaksanaan ritual ini dipersiapkan oleh keluarga, dan estimasi biaya yang diperlukan untuk bahan-bahan ini kurang lebih Rp 100.000. Ritual maduai tuli ini dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertama, proses persiapan yang adalah bagian penting dari ritual ini, dan sanro yang mempersiapkan bahan-bahan yang telah tersedia di rumah keluarga itu. Di tahap persiapan, sanro dengan keahliannya mengambil daun pisang dan memotongnya satu persatu, yakni dengan melipat daun pisang itu, lalu dipotong setengah lingkaran, sehingga daun pisang itu berbentuk bundar. Langkah selanjutnya, sanro menarik daun pisang itu ke dua arah, yakni menarik daun pisang itu ke sisi dalam sanro dan sedikit melipat daun pisang itu ke arah kiri. Akhirnya daun pisang itu dimasukan di dalam tampan atau orang Bajo menyebutnya tampah dalam posisi terbalik (lihat gambar di bawah).

71 Daun Pisang yang ada di atas Tampah

(Gambar 9.1: Dokumentasi Peneliti)

Dalam ritual maduai tuli ini, ada dua tampah yang digunakan untuk melaksanakan ritual, yang pertama untuk di rumah dan kedua untuk di luar rumah (tengah laut). Karena itu, sanro memotong masing-masing tiga daun pisang ke dalam setiap tampah, dan bukan hanya daun pisangnya yang dipotong, melainkan tulang daunnya juga dipotong merata (lihat gambar di atas). Kemudian, sanro mengikat dua buah gelang ke dalam sarung bantal yang disediakan oleh keluarga. Sementara sanro mempersiapkan hal lain, ibu dari sang anak mengikat benang di sekeliling kendi kecil, dan memasukan bambu-bambu kecil, serta memasukan air tawar di dalam kenci kecil itu. Sanro melanjutkan mempersiapkan daun sirih yang telah disiapkan oleh keluarga, sanro memilih daun sirih terbaik (ukurannya lebih besar dari biasanya), dan menghitungnya hingga berjumlah tujuh daun. Setelah itu, sanro mengambil pinang dan sedikit memotongnya, namun tidak sampai terbelah. Lalu Sanro mengambil segenggam kapur dan menuangkannya tiga kali di atas piring.

Sanro melanjutkan persiapan dengan mengambil daun sirih itu satu persatu, dan memasukan kapur yang disertai dengan daun sirih dan serbuk gula merah, lalu melipat daun sirih itu, serta mengikatnya. Kemudian, sanro mengikis sebatang kelapa tua yang telah dibakar, dan

72 serbuk dari kelapa itu dikumpulkan ke atas satu piring. Tahap selanjutnya, sanro mengambil beras putih yang tersedia dalam satu piring, dan kemudian membagi beras itu menjadi tiga piring. Setelah itu, sanro mengambil kunyit yang telah diolah dalam bentuk cair, lalu menuangkan kunyit itu ke dalam dua piring yang berisi beras putih tersebut, dan menuangkan sedikit minyak kelapa ke dalam satu piring tersebut.Kemudian, sanro menuangkan sedikit air ke dalam dua piring tersebut dan mencampur atau mengaduk menggunakan tangannya sendiri, hingga beras di salah satu piring itu berubah menjadi warna kuning. Selanjutnya, sanro mencampur beras di piring lainnya yang telah dicampurkan oleh gula merah, kunyit dan minyak kelapa di dalamnya, sehingga beras itu berubah menjadi warna kemerah-merahan. Setelah itu, sanro mengambil sepiring beras yang telah dicampur oleh serbukan kelapa yang telah dibakar, sehingga beras yang dicampur itu berubah menjadi warna hitam.

Beras Empat Warna (Kuning, Merah, Putih, dan Hitam) (Gambar 9.2: Dokumentasi Peneliti)

Setelah bahan-bahan selesai dipersiapkan, khususnya beras yang telah tersedia di atas piring, prosesi ritual resmi dijalankan. Pertama-tama sanro mengambil dupa dan membakarnya di padupaan (tempat dupa ditempatkan), setelah dupa itu berasap, sanro mengambil segenggam beras yang berwarna putih di dalam mangkuk, dan beras itu dibagi setengah-setengah di dua

73 telapak tangannya, kemudian beras itu digenggamnya, serta di letakkan di atas dupa sambil didoakan oleh sanro. Setelah didoakan, sanro melemparkan beras itu ke hadapan anak yang sakit (kearah depan) dan melemparkan beras itu ke arah belakang sanro, dan itu dilakukan sebanyak tiga kali, jadi totalnya enam kali lemparan, yang prosesnya secara berbalasan, yakni depan dan belakang. Setelah itu, sanro membakar kembali dupa dan mengangkat secangkir air, serta memutar cangkir kecil itu sebanyak tiga kali di atas padupaan. Sanro kemudian mengambil mencelupkan tangannya ke dalam air, dan mengolesinya di atas tulang daun pisang itu sebanyak tiga kali, dan menambah olesannya di tengah tulang daun pisang tersebut, yang akan digunakan untuk meletakkan beras-beras tersebut.

Langkah selanjutnya, sanro mengambil beras putih yang ada dalam mangkuk itu dan membuat lingkaran kecil di atas tulang pisang itu, sanro membuat itu menggunakan kedua tangannya dengan jeli dan teratur. Jadi, beras putih itu sebagai lapisan inti atau yang berada di pusat sebagai lapisan pertama di tulang pisang itu. Lapisan kedua berasal dari beras yang berwarna kuning, sanro membuat lapisan di luar lapisan beras putih itu, dan beras-beras itu berdampingan satu dengan lainnya. Kemudian, lapisan ketiga diambil dari beras yang berwarna

Lingkatan Beras Empat Warna (Gambar 9.3: Dokumentasi

74 merah, sama seperti proses di atas, beras itu diletakkan di luar lapisan kedua (beras warana kuning), sehingga semakin terlihat lingkaran yang ada di atas tulang pisang itu semakin besar. Selanjutnya, lapisan keempat, diambil kembali beras yang berwarna kuning sebagai lapisan selanjutnya yang membentuk lingkaran. Lapisan kelima berasal dari beras yang berwarna merah dan membentuk lingkaran untuk melapisi lapisan sebelumnya. Kemudian, lapisan keenam, diambil dari beras yang berwarna hitam untuk membentuk lapisan selanjutnya. Lapisan ketujuh atau lapisan terakhir, diambil dari beras yang berwarna putih, yang tadinya sebagai lapisan pusat, dan sekarang menjadi lapisan pinggiran.

Setelah lingkaran beras empat warna telah selesai dibuat, kemudian sanro mengambil satu telur dan membasahi telur itu dengan air yang telah didoakan, kemudian diangkat di atas padupaan, lalu telur itu diletakkan di pusat lingkaran atau lapisan pertama dari lingkaran itu. Selanjutnya, di sekeliling telur itu di letakkan satu per satu daun sirih hingga berjumlah tujuh ikat daun sirih, dan akhirnya ketujuh ikat daun sirih menutupi telur itu. Kemudian, sanro menghitung satu sisir pisang raja yang disediakan oleh keluarga, dan pisang itu harus berjumlah ganjil, jika pisang yang disiapkan berjumlah genap, sanro akan mengambil satu pisang dan

Gambar 9.4

75 mengeluarkannya.Pisang raja itu selanjutnya dilap sebanyak tiga kali oleh sanro menggunakan air yang diambil di ujung-ujung jarinya.

Langkah selanjutnya, yakni meletakkan satu sisir pisang raja itu di atas tampah, lebih tepatnya berada di pusat tampah atau di atas telur yang dibungkus oleh daun sirih itu. Kemudian, sanro mengambil dua batang bambu kecil, yang berada dalam kendi kecil yang berisi air, dan memasukkan bambu kecil itu ke tengah tampah itu, yakni di dekat pisang tersebut. Lalu sanro mengambil sarung bantal yang diikat oleh dua gelang, dan sarung bantal itu menutupi pisang dan tampah itu. Hal itu diulang dan dilakukan untuk tampah kedua, yakni dengan proses dan cara yang sama. Tahap persiapan dua tampah yang diletakkan di atas bantal telah selesai, kemudian sanro mengangkat tampah pertama di atas padupaan sambil mendoakannya, lalu sanro memutar tampah itu di atas kepala anak yang melaksanakan ritual, putarannya berlawanan dengan arah jarum jam. Hal itu dilakukan sebanyak tiga kali.

Gambar 9.5

76 Kemudian, sanro mengangkat tampah kedua dan prosesnya sama dengan mengikuti pola dari tampah pertama, yaitu sebanyak tiga kali mengangkat tampah di atas padupaan sambil mendoakannya, kemudian memutar tampah itu di atas kepala anak tersebut, yang arahnya berlawanan dengan arah jarum jam. Tahap pertama dari ritual ini telah selesai, yakni ritual yang dilaksanakan di dalam rumah, selanjutnya dalam tahap kedua ritual dilaksanakan di luar rumah, yakni di tengah laut.

b) Tahap Kedua Ritual Maduai Tuli

Tahap kedua, yakni setelah sanro memutar tampah itu di atas kepala anak kecil itu, kemudian sanro memberikan tampah itu kepada keluarga untuk dibantu memegang ke atas perahu. Tampah yang satunya disimpan di dalam rumah, dan tampah kedua ini yang di bawa.Sanro berjalan menuju ke perahu kecil (sampan) dengan memegang padupaan dan beras. Karena dalam tahap selanjutnya, ritual ini akan dilaksanakan jauh dari rumah, yakni di tengah laut (kira-kira 30-50 Meter dari rumah). Dalam pelaksanaannya, minimal empat orang yang berada dalam perahu, karena satu orang bertugas sebagai pemegang payung untuk menutupi

Gambar 9.6

77

tampah yang berisi dengan sesajen yang telah didoakan oleh sanro, dua orang lainnya yang berada di depan dan belakang perahu bertugas untuk mendayung perahu itu, sehingga sampai ke tempat pelaksanaan ritual dengan baik. Ketika sudah sampai di tempat pelaksanaan ritual tahap kedua, kemudian sanro mengambil segenggam beras yang ia bawa sambil mendoakannya, dan melemparkannya ke laut sebanyak tiga kali. Selanjutnya, sanro mengambil pisau sambil mendoakannya, dan membentuk suatu tanda di laut, yakni semacam tanda tambah (+).Pertama, pisaunya menarik dari kiri ke kanan (horizontal), kedua, pisaunya ditarik lurus, dari atas ke bawah (vertikal). Hal itu memberi isyarat bahwa daerah yang digaris itu sebagai tempat maduai tuli.

Proses Maduai Tuli di Tengah Laut

(Gambar 9.7: Dokumentasi Peneliti)

Setelah menandai daerah itu, sanro mengambil sesajen, yang ditutupi oleh sarung bantal tadi, dan sanro mengangkat sesajen itu dari tampah, yakni mengangkat dengan kulit pisang beserta dengan pisang yang ada di atasnya. Kemudian, sanro mendoakannya sambil menurunkan sesajen itu di laut, hal itu dilakukan sambil sesajennya menyentuh air laut. Orang Bajo mempercayai bahwa pisang raja yang diturunkan dalam ritual maduai tuli itu bisa diambil dan dimakan, namun tidak diperbolehkan untuk menggorengnya atau merebusnya, jadi langsung pisang itu dimakan saja, tanpa melalui proses di ‘dapur’. Selanjutnya, sanro mengambil air tawar

78 yang berasal dari kendi kecil, dan menuangkannya tiga kali, sambil mendoakannya. Kemudian menggantikan air tawar itu dengan air laut, yakni dengan cara mengambil di laut sebanyak tiga kali juga. Menutup ritual di tengah laut ini, sanro mengambil segenggam beras dan melemparkannya sebanyak tiga kali di laut, dan mengulanginya sekali lagi, yakni mengambil segenggam beras lalu melemparkannya sebanyak tiga kali di laut. Kemudian, sanro dan orang-orang yang berada di sampan segera mendayung dan kembali ke rumah untuk melanjutkan ritual tahap terakhir dari ritual kaka.

c) Tahap Ketiga Ritual Maduai Tuli

Ketika sampai di rumah, ritual langsung dilanjutkan oleh sanro, yakni dengan mengambil seutas tali yang dipersiapkan oleh keluarga, dan mencelupkannya ke dalam kendi kecil, yang berisi air laut tadi. Kemudian, sanro mengangkat tali itu, yang orang Bajo sebut dengan tali sumanga (tali semangat). Sanro menempelkan tali sumanga itu, sambil mendoakan anak kecil itu di dahinya, dan meniupnya.Selanjutnya, sanro mengikatkan tali sumanga itu di tangan kanan anak kecil itu. Setelah tali sumanga itu terikat di tangan anak kecil itu, kemudian anak kecil itu diberikan kendi kecil yang berisi air laut oleh sanro, dan mengambil air itu dari tangannya, serta membasuh sendiri wajah dan tubuhnya menggunakan air laut, yang sudah didoakan itu. Sementara anak kecil itu membasuh tubuhnya dengan air laut, sanro mempersiapkan nampan yang telah dipersiapkan keluarga, yakni nampan yang menggunakan tali dan digantung di dalam rumah, yang berisi dengan tampah yang berada di rumah. Kemudian, nampan itu di asapi oleh dupa sambil didoakan oleh sanro, dan diangkat di hadapan wajah anak itu berlawanan dengan arah jarum jam. Hal itu dilakukan sebanyak tiga kali, yakni dengan pola yang sama: didoakan dan diputar di hadapan anak kecil itu. Setelah itu, sanro mengikat nampan itu dengan baik untuk digantung di dalam rumah keluarga, kemudian memegang dua gelang yang ada di atas nampan

79 itu, dan menempelkannya di dahi anak kecil itu sambil mendoakannya, lalu meniup dahi anak kecil itu. Kemudian, sanro mengambil segenggam beras, mendoakannya, dan menyebarkan beras ke atas nampan itu sebanyak tiga kali. Prosesi terakhir, sanro mendoakan nampan itu dan mengupas tiga buah pisang yang ada dalam nampan, kemudian memberikannya kepada anak kecil itu, dan anak kecil itu harus memakan tiga pisang itu, meskipun setiap pisang hanya digigit ujungnya saja.

Menariknya, dalam prosesi ini tidak hanya anak kecil itu yang dilibatkan, tetapi juga keluarga dan orang yang datang melihat proses ritual itu dipersilahkan untuk makan pisang yang sudah dikupas oleh sanro. Setelah sanro mengupas pisang dan meletakkannya di atas piring, kemudian sanro mengambil dua gelang yang ada di atas nampan dan menempelkannya di atas dahi anak kecil itu sambil mendoakannya lagi. Proses selanjutnya, sanro menaikan doa di atas dupa, dan memegang nampan itu sebanyak tiga kali sebagai pertanda bahwa ritual tuli telah selesai.Akhir dari prosesi ritual ini, yakni sanro membuka tali yang digantung di nampan itu, dan mengupas lagi pisang yang masih tersisa, serta mengambil satu butir telur untuk diberikan kepada anggota keluarga.

Gambar 9.8

80 3.13.5.Ritual Kadilaok Kadara

Ritual kadilaok kadara berbeda dengan ketiga ritual di atas, karena ritual ini bertujuan untuk mengusir jin atau roh jahat yang masuk dalam diri orang Bajo, sehingga pengobatannya juga berbeda dari ritual di atas, karena ritual ini lebih mengedepankan aspek magis, yang biasa melakukan pengobatan ini adalah dukun kampung dari masyarakat Bajo. Dukun kampung itu hanya bisa melakukan pengusiran terhadap jin atau roh jahat, namun tidak bisa melakukan ritual yang berhubungan dengan kehidupan orang Bajo (Ritual Kaka, Tuli, Kuta).

Dalam dokumen T2 752015031 BAB III (Halaman 35-47)

Dokumen terkait