• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini membahas mengenai pelaksanaan program sertifikasi UMK di Kelurahan Loji dan Situ Gede. Realisasi pelaksanaan program tersebut dideskripsikan berdasarkan fakta di lapangan, dan kemudian dikaitkan dengan pencapaian pemanfaatan tanah pada mayoritas responden di dua kelurahan ini. Selain itu, diuraikan pula mengenai kaitan kepemilikan sertifikasi UMK dengan pencapaian peningkatan prospek usaha pada penerima program.

Program Sertifikasi UMK: Analisa atas Kesenjangan

Program Pemberdayaan UMK melalui kegiatan sertifikasi tanah diatur dalam Peraturan BPN RI No.3 Tahun 2008 tentang Petunjuk Teknis Program Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil melalui Kegiatan Sertifikasi Hak Atas Tanah untuk Meningkatkan Akses Permodalan. Pada petunjuk teknis (juknis) tersebut, dinyatakan bahwa peserta program sertifikasi UMK harus memenuhi kriteria subjek dan juga kriteria objek. Kriteria subjek peserta program meliputi:

1. usaha mikro, kecil dan atau Koperasi; dan/atau;

2. calon dan/atau debitur Perbankan/Koperasi yang memenuhi kriteria kelayakan usaha dari Perbankan/Koperasi.

Sementara itu, kriteria objek peserta program diantaranya: 1. tanah tidak dalam sengketa;

2. luas tanah:

a. tanah pertanian maksimal 2 Ha (dua hektar);

b. tanah non pertanian maksimal 2.000 m2 (dua ribu meter persegi); 3. bukan tanah warisan yang belum dibagi;

4. tanah sudah dikuasai secara fisik oleh pelaku Usaha Mikro dan Kecil;

5. lokasi tanah berada dalam wilayah kabupaten/kota lokasi peserta program yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP);

6. mempunyai alas hak (bukti kepemilikan); dan

7. bidang tanah yang dimohonkan haknya tidak diatas Hak Pengelolaan; (direvisi berdasarkan peraturan Kepala BPN RI No.12 Tahun 2008, sehingga berbunyi “Apabila bidang tanah yang dimohon di atas Hak Pengelolaan, harus memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang HPL sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”).

Berdasarkan kriteria peserta, penerima program di Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede telah memenuhi kriteria-kriteria tersebut, baik kriteria subjek maupun kriteria objek. Data di lapangan, tidak ditemukan objek yang luasnya melebihi luas tanah yang ditetapkan sebagai kriteria objek. Sebagian besar luas tanah yang disertifikatkan di Kelurahan Situ Gede di bawah 500 m2 yakni mencapai 79.16%, sementara di Kelurahan Loji mencapai 100% peserta program yang menjadi responden peneliti memiliki luas di bawah 500 m2. Bidang tanah yang disertifikatkan kebanyakan merupakan tanah non pertanian yang mereka tempati sebagai tempat usaha atau tempat tinggal, dan ketentuan tanah non pertanian yang sesuai kriteria objek yaitu tidak melebihi 2000 m2.

58

Selain kriteria objek, penerima program di Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede pun sudah memenuhi kriteria subjek. Sebanyak 89.47% peserta di Kelurahan Loji terdata memiliki usaha sedangkan sisanya tidak memiliki usaha. Sementara di Kelurahan Situ Gede peserta program yang memang memiliki usaha sebanyak 91.67%. Angka tersebut menunjukkan mayoritas penerima program sertifikasi UMK memang diprioritaskan bagi pihak yang memiliki usaha. Menurut BPN, adanya penerima yang tidak memiliki usaha tidak melanggar ketentuan karena pada kriteria subjek dinyatakan bahwa peserta dapat pula calon dan/atau debitur Perbankan/Koperasi. Lebih lanjut, dapat disimpulkan bahwa penerima program merupakan pihak yang memiliki usaha, belum berusaha, atau akan berusaha dengan mengusahakan tanahnya untuk kepentingan usaha tetapi tidak memiliki jaminan untuk digadai di bank. Maka dari itu, adanya penerima program yang tidak memiliki usaha tidak melanggar ketentuan, tetapi memang prioritas penerima adalah yang memiliki usaha sebagai sektor Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dan memiliki nilai usaha di bawah 200 juta rupiah.

Penerima program sertifikasi sebenarnya berjumlah 25 orang di Kelurahan Loji dan 29 di Kelurahan Situ Gede pada tahun 2010. Metode yang digunakan adalah metode sensus sehingga seluruh penerima program yang dapat ditemui dijadikan responden. Namun, yang dijadikan responden hanya 19 orang di Loji dan 24 orang di Situ Gede. Penerima program yang lain tidak dapat ditemui. Di Kelurahan Loji terdapat kendala dalam mencari responden yaitu alamat yang tertera di data penerima program tidak lengkap, hanya mencantumkan nama daerahnya saja sehingga menyulitkan untuk menemui responden. Selain itu, pihak RT dan RW setempat juga tidak mengetahui penerima program karena telah berganti kepengurusan dan tidak mengetahui nama tersebut sebagai warga di daerahnya. Kendala di Kelurahan Situ Gede diantaranya warga tidak mengenal penerima program sebagai warga di daerahnya, dan ketika dikonfirmasi ke pihak RT dan RW setempat penerima program tersebut memang memiliki tanah di daerah ini namun mereka tinggal di luar Situ Gede. Hal ini menyebabkan sulitnya bertemu dengan penerima program ataupun keluarganya karena kebanyakan tanahnya yang berada di Situ Gede masih berupa tanah kosong ataupun dalam tahap rencana membangun. Alamat yang tertera di daftar penerima program dari BPN merupakan alamat letak tanah bukan alamat pemilik tanah tinggal. Sebanyak 5 orang dari total 29 orang penerima program di Kelurahan Situ Gede memiliki tanah absentee di wilayah ini. Keberadaan tanah absentee ini tidak dipermasalahkan oleh BPN, sepanjang tanah tersebut berada di wilayah sertifikasi dan dapat menunjang usaha yang dimiliki meskipun pemilik berada di luar wilayah yang disertifikatkan. Hal ini tidak melanggar kriteria objek sertifikasi, karena disebutkan bahwa yang terpenting adalah tanah berada pada lokasi penerima sertifikat UMK yang ditunjukkan dengan KTP. Adanya pemilik tanah yang tinggal di luar wilayah yang disertifikatkan tidak dapat dipaksakan, karena perkembangan sektor UMK bisa saja di daerah lain usaha mereka lebih berkembang dibandingkan dengan berusaha di daerah tanah yang disertifikatkan. Adanya tanah absentee tidak diperbolehkan sebagai penerima program pada PRONA, namun pada sertifikasi UMK diperbolehkan.

Biasanya Kementerian Negara Koperasi dan UKM berkoordinasi dengan BPN, BRI, ASBANDA (Asosiasi Bank Daerah), dan BSM (Bank Syariah Mandiri) dalam pelaksanaan sertifikasi UKM di daerah lain (Sidipurwanty 2008).

59 Prosedur seleksi dan penetapan peserta UMK pertama dilakukan dengan inventarisasi dan identifikasi calon peserta program UMK oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Bogor. Proses penyeleksian penerima program umumnya dilakukan oleh pihak bank, tetapi pelaksanaan sertifikasi di wilayah Kota Bogor tidak melibatkan pihak bank karena mereka tidak sanggup memberikan daftar nasabah UMK di Bogor yang telah menjadi debitur dan atau calon debitur yang sudah memiliki agunan tetapi agunannya belum bersertifikat. Daerah lain yang tidak melibatkan Bank Pelaksana dalam memproses dan mengelola persyaratan ini, misalnya di Kabupaten Gorontalo (Sidipurwanty 2008). Jadi data-data mengenai keberadaan UMK di Kota Bogor diperoleh dari kelurahan dan juga Kantor Koperasi Kota Bogor. Tahap ini dinamakan tahap T0 dimana dilakukan inventarisasi atau pencarian berkas-berkas UMK. Setelah itu, dilakukan usulan daftar calon peserta dari Kantor Koperasi UKM ke BPN yang dilanjutkan dengan penyeleksian calon peserta oleh tim Pokja Kota Bogor. Setelah hasil seleksi itu, barulah dilakukan tahap T1 yakni proses sertifikasi oleh BPN dengan penyuluhan, pengumpulan data yuridis, pengukuran bidang tanah oleh petugas ukur, verifikasi oleh panita pemeriksaan tanah A, dan pengumuman data fisik dan data yuridis. Jika selama 2 bulan setelah pengumuman tidak ada sanggahan dari pihak lain, maka selanjutnya dilakukan penerbitan surat keputusan hak atas tanah dan setelah itu barulah proses pembukuan hak dan penerbitan sertifikat.

T0 merupakan tahap pra sertifikasi, sedangkan T1 merupakan tahap selama proses sertifikasi, dan ada pula pascasertifikasi untuk melihat penggunaan sertifikat oleh masyarakat. Misalnya penggunaan sertifikat untuk penjaminan ke bank yang bermanfaat untuk perkembangan usahanya. Namun, pihak BPN Kota Bogor menyadari hingga saat ini belum sampai pada tahap pascasertifikasi, tetapi mereka sudah berencana untuk memonitor penggunaan sertifikasi pada 2013 mendatang. Namun, kendala yang dihadapi adalah skala prioritas mengingat kesibukan dan pekerjaan BPN. Adanya kontrol merupakan usaha memberdayakan masyarakat untuk melihat realisasi yang ada setelah sertifikasi UMK, namun kegiatan tersebut dilakukan dengan fasilitas dan biaya pribadi yang tidak diperoleh dari APBN. Kontrol BPN hanya sebagai fasilitasi dan tidak memaksakan penerima program untuk menjaminkan tanah ke bank, melainkan mengarahkan bahwa sertifikat yang dijaminkan dapat membantu UMK dalam akses terhadap permodalan. Pihak BPN menyadari pentingnya mengontrol inventarisasi akses reform untuk permodalan karena termasuk tujuan awal dari sertifikasi UMK, sehingga sertifikasi UMK tidak hanya sampai penerbitan sertifikatnya saja tetapi setelah menerima sertifikat digunakan atau tidak. Hal ini mengacu pada daerah-daerah lain yang telah melakukan kontrol terhadap penggunaan kepemilikan sertifikat UMK.

Pihak BPN menyatakan adanya tanah absentee diperbolehkan menjadi peserta UMK tetapi prioritas sasaran diperuntukkan bagi UMK yang tinggal di daerah tersebut. Namun, penerima sertifikasi UMK yang memiliki tanah absentee di dua kelurahan ini cukup banyak yakni berjumlah 6 orang di Kelurahan Loji dan 5 orang di Kelurahan Situ Gede. Hal ini berarti dalam penetapan peserta seharusnya kuota penerima program lebih dapat dialokasikan bagi UMK yang tinggal di lokasi sertifikasi. Ketika ditanyai ke UMK lain yang bukan peserta, dirinya tidak mengetahui adanya program sertifikasi UMK dan mereka ingin

60

mengikuti program tersebut apabila diadakan kembali di daerahnya. Ketidaktahuan UMK lain ini disebabkan oleh penyebaran informasi mengenai program tidak disebarkan secara luas. Lembaga pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat adalah pihak kelurahan dan RT/RW setempat, sehingga mereka-lah yang bertanggung jawab menyebarkan informasi ke masyarakat mengenai program. Namun, ada indikasi bahwa UMK yang mengetahui adanya program merupakan UMK yang dekat dengan kelurahan sebagai pihak yang mengajukan nama-nama peserta ke BPN. Menurut keterangan salah satu RW di Kelurahan Situ Gede, pihak UMK yang menjadi peserta biasanya yang baru saja melakukan pengurusan kepemilikan tanah menjadi akta, ataupun mereka yang baru melakukan transaksi jual-beli tanah di kelurahan pada waktu tersebut. Hal ini menyebabkan mereka dapat mengetahui informasi secara langsung dari kelurahan. Selain itu, adapula UMK yang mengetahui informasi adanya program dari RT dan RW setempat, sehingga dirinya dapat dimasukkan ke daftar penerima program yang berasal dari RT tempat ia tinggal. Adanya warga yang tinggal di luar wilayah tetapi dimasukkan ke dalam penerima program mungkin didasarkan pada kedekatan hubungan dengan pihak RT/RW setempat, sehingga kuota tersebut dapat diisi olehnya.

Pada tahap T1 dimana dilakukan pencarian nama-nama untuk menjadi peserta ini, terdapat penyebaran informasi yang kurang di kalangan masyarakat sehingga terdapat bias informasi di kalangan tertentu. Setelah usulan nama-nama calon peserta diajukan ke BPN, kemudian dilakukan verifikasi oleh tim Pokja Kota Bogor. Lolosnya tanah absentee yang cukup banyak tetapi tetap menjadi penerima program ini, mungkin disebabkan kurang teliti dan disiplinnya pihak kelurahan dan tim Pokja Kota Bogor sebagai petugas yang berwenang dalam penyeleksian penerima. Padahal masih banyak UMK lain yang belum bersertifikat di Kelurahan Loji dan Situ Gede yang berpotensi dimasukkan dalam kuota penerima program sertifikasi UMK. Selain itu, terdapat pula salah satu responden yang dapat dikatakan mampu untuk mengurus sertifikat dengan biaya pribadi, namun dimasukkan ke dalam daftar penerima sertifikasi UMK. Dirinya juga mengakui bahwa ketika mengurus sertifikat memang dilakukan secara pribadi, dan saat itu bersamaan dengan proses sertifikasi UMK. Namun, ia merasa tidak termasuk ke dalam penerima sertifikat UMK karena biaya yang dikeluarkannya tidak semurah penerima program lain. Tetapi ketika sertifikat telah selesai diterima, ternyata dirinya masuk ke dalam penerima sertifikasi UMK. Hal ini tidak membebankan responden, karena yang terpenting bagi dirinya ialah telah menerima sertifikat tanah meskipun ternyata dirinya dimasukkan dalam program lain. Namun, responden ini merasakan sedikit kekecewaan pada pihak kelurahan yang tidak mengurus prosedur dengan baik dan cepat. Tidak semua petugas kelurahan berbuat tidak pada semestinya, tetapi ada saja oknum yang memanfaatkan situasi yang ada.

Pengaruh Kesenjangan terhadap Pencapaian Pemanfaatan Tanah Pemanfaatan tanah berdasarkan tingkat jual, sewa, gadai di Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede menunjukkan perubahan peningkatan setelah bersertifikat UMK. Namun, perubahan peningkatan ini memiliki persentase yang

61 kecil yaitu 15.79% di Kelurahan Loji dan 8.33% di Kelurahan Situ Gede. Tingkat kontrol tanah dilihat dari akumulasi tiga pemanfaatan tanah mayoritas memiliki perubahan yang bersifat tetap dan berada pada tingkat kontrol tinggi. Hal ini berarti banyak responden yang menggunakan tanah secara pribadi sehingga mereka tidak melakukan pemanfaatan tanah. Padahal, dengan memiliki sertifikat diduga seseorang memiliki kontrol untuk melakukan pemanfaatan melalui kegiatan jual, sewa, dan gadai tanah.

Rata-rata responden tidak melakukan kegiatan tersebut karena alasan mereka melakukan sertifikasi ialah untuk legalitas keamanan tanah saja. Selain legalitas, sebenarnya pemilik juga dapat memperoleh manfaat lain diantaranya tambahan penghasilan melalui kegiatan jual, sewa, dan gadai. Namun, banyak responden yang tidak memikirkan sampai ke arah sana. Mereka hanya merasa aman tempat tinggalnya tidak akan diklaim oleh pihak lain, karena telah memiliki kejelasan hukum mengenai hak atas tanah. Tingkat kontrol tinggi menunjukkan bahwa pemilik tidak atau hanya sedikit melakukan kegiatan pemanfaatan tanah, sehingga akumulasi dari tingkat jual, sewa, dan gadai tidak berpeluang terhadap lepasnya hak seseorang atas tanah. Sementara tingkat kontrol rendah menunjukkan bahwa pemilik melakukan pemanfaatan tanah yang lebih besar sehingga akumulasi dari tingkat jual, sewa, dan gadai berpeluang terhadap resiko lepasnya hak seseorang atas tanah. Pemilik tanah memiliki hak dan kewenangan berupa bundle of right yang melekat padanya, sehingga pemilik bebas untuk menentukan pilihan dalam pemanfaatan tanah yang dimiliki.

Pemanfaatan tanah yang relatif kecil ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal, seperti kurang tepatnya sasaran penerima, kurang tepatnya objek penerima, dan kurang cermatnya petugas yang berwenang dalam proses sertifikasi UMK. Ketiga hal ini dapat memicu terjadinya gap atau kesenjangan antara program dengan realisasi pelaksanaan sertifikasi UMK di Kelurahan Loji dan Situ Gede. Pada juknis, telah disebutkan bahwa sasaran sertifikasi UMK ialah usaha mikro, kecil dan atau Koperasi; dan/atau calon dan/atau debitur Perbankan/Koperasi yang memenuhi kriteria kelayakan usaha dari Perbankan/Koperasi. Namun, pelaksanaannya masih ditemukan penerima program yang tidak memiliki usaha, dan bukan pula calon dan/atau debitur Perbankan/Koperasi yang memenuhi kriteria kelayakan usaha. Berdasarkan kriteria juknis, memang adanya sertifikasi ini lebih ditujukan bagi peningkatan ekonomi penerima program melalui pemanfaatan sertifikat setelah bersertifikat.

Meskipun menurut BPN adanya pihak yang bukan UMK tidak melanggar peraturan sebagai penerima program, tetapi tetap saja penerima program seharusnya dipilih dengan prioritas yang telah memiliki usaha. Penerima program yang tidak memiliki usaha tersebut termasuk ke dalam calon debitur pada kriteria subjek, tetapi banyaknya pelibatan golongan ini akan membuat penerima program menjadi kurang tepat sasaran. Hal ini karena penerima program yang tidak memiliki usaha, masih dalam tahap asumsi bahwa dia belum berusaha dan akan berusaha dengan kepemilikan tanah yang dimilikinya. Namun, realitas di lapangan menunjukkan hingga kini mereka belum menggunakan kepemilikan tanahnya untuk kepentingan usaha. Meskipun usaha dalam skala mikro seperti warung- warung kecil. Rata-rata mereka masih menggunakan tanah sebagai tempat tinggal bagi dirinya dan keluarga.

62

Berdasarkan juknis, selain kriteria subjek terdapat pula penerima program yang kurang tepat sesuai kriteria objek. Terdapat kriteria objek yang menyatakan bahwa lokasi tanah berada dalam wilayah kabupaten/kota lokasi peserta program yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Realitasnya, masih terdapat beberapa penerima program yang tinggal di luar daerah dan bukan merupakan warga asli di lokasi sertifikasi UMK, tetapi dimasukkan sebagai penerima program meskipun letak tanahnya berada di daerah tersebut. Menurut pihak BPN hal ini juga tidak melanggar peraturan, tetapi prioritas lebih diperuntukkan bagi tanah dan pemilik yang berada dalam satu daerah penerima sertifikasi. Adanya penerima program yang berada di luar daerah tidak dapat dipaksakan karena dapat saja perkembangan usahanya dapat lebih berkembang di luar daerah. Hal ini menunjukkan tebang pilih dalam menentukan sasaran, karena seharusnya program ini lebih diperuntukkan bagi warga setempat khususnya UMK yang membutuhkan. Proses penyeleksian penerima program menurut juknis dilakukan oleh Dinas KUKM bekerjasama dengan pihak Perbankan setempat. Namun, pelaksanaan di Bogor tidak melibatkan pihak bank sehingga nama-nama calon peserta program diperoleh dari kelurahan yang kemudian disetujui oleh Dinas KUKM dan BPN. Ketiadaan pihak bank ini serta merta mempengaruhi penyeleksian penerima program sertifikasi UMK, sehingga masih ditemuinya penerima program yang tidak memiliki usaha dan juga bukan calon atau debitur di bank. Turut andilnya bank penting untuk diikutsertakan, sebab penyeleksian peserta program dapat diprioritaskan bagi UMK yang pernah atau sering menjadi debitur di bank tersebut. Ini dapat memastikan penerima program untuk akses kembali meminjam ke bank, sehingga tujuan sertifikasi UMK dapat tercapai.

Sementara itu, tujuan sertifikasi UMK adalah memberikan kepastian hukum hak atas tanah UMK agar dapat dimanfaatkan untuk memperoleh akses permodalan, guna meningkatkan kemampuan jaminan kredit/pembayaran pada Perbankan dan Koperasi. Pelaksanaan sertifikasi UMK di Kelurahan Loji dan Situ Gede tidak sepenuhnya mencapai tujuan sertifikasi. Program sertifikasi UMK memang telah memberikan kepastian hukum hak atas tanah, namun tujuan yang menyebutkan agar sertifikat dapat dimanfaatkan untuk memperoleh akses permodalan tidak berlaku secara umum. Hal ini karena tingkat gadai di dua kelurahan ini menunjukkan perubahan peningkatan yang relatif kecil setelah bersertifikat. Rata-rata responden tidak memanfaatkan sertifikat UMK yang dimiliki untuk memperoleh pinjaman ke bank atau koperasi. Mereka masih merasa khawatir akan kepemilikan tanahnya apabila dijaminkan ke bank atau koperasi. Lagipula mereka belum merasa memiliki kebutuhan untuk meminjam, dan hanya menggunakan modal pribadi seadanya untuk kepentingan usaha. Maka dari itu, tidak semua penerima program memanfaatkan sertifikat untuk memperoleh akses permodalan ke bank atau koperasi, seperti halnya yang tercantum pada tujuan sertifikasi UMK. Tujuan sertifikasi UMK pelaksanaannya baru tercapai sebatas pada pemberian kepastian hukum hak atas tanah UMK, namun pemanfaatannya sendiri belum dilakukan oleh kebanyakan penerima program.

Selain gadai, pemanfaatan tanah juga dapat dilihat dari kegiatan jual dan sewa. Seseorang yang menjadi penerima program sertifikasi UMK diharapkan dapat memanfaatkan kepemilikan tanah untuk kepentingan usaha. Pemanfaatan tanah ini dapat dilakukan dengan kegiatan jual, sewa, dan gadai, sehingga tanah

63 dapat memberikan sumbangan ekonomi dengan memfungsikan tanah yang dimiliki. Dilihat dari tingkat jual dan sewa tanah, responden juga tidak menunjukkan perubahan peningkatan yang tajam ketika sebelum dan sesudah sertifikasi UMK. Bahkan tingkat jual di Kelurahan Loji tidak mengalami kenaikan sedikitpun. Pemanfaatan yang kurang ini karena mayoritas responden menggunakan tanahnya secara pribadi, baik untuk tempat tinggal maupun untuk tempat usaha. Hal ini yang menjadi alasan utama tidak dilakukannya pemanfaatan tanah berupa kegiatan jual dan sewa. Pemanfaatan tanah berupa jual, sewa, maupun gadai hanya dilakukan oleh sebagian kecil responden, sehingga sebagian besar responden memiliki tingkat kontrol tanah yang berada pada kategori tinggi. Diselenggarakannya program ini diharapkan dapat berdampak secara ekonomi bagi penerima program setelah bersertifikat, namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa para responden mengikuti program ini karena motif keamanan tanah bukan didasarkan pada motif ekonomi. Perbedaan motif ini yang menyebabkan tidak dilakukannya pemanfaatan tanah oleh sebagian besar responden, sehingga akumulasi tingkat kontrolnya pun berada pada kategori tinggi.

Jika penetapan penerima program dilakukan secara ketat dan sesuai dengan juknis, bisa saja banyak UMK yang melakukan pemanfaatan tanah karena mereka benar-benar membutuhkan akses seperti ini. Sasaran penerima program dapat lebih tepat sasaran dengan prioritas UMK yang memang perlu dibantu, sehingga mereka merasa perlu untuk mengembangkan usahanya. Selain itu, perlu diperhatikan pula prioritas sasaran bagi UMK yang sejak awal memang berkeinginan untuk meminjam ke lembaga keuangan, sehingga mereka dapat lebih akses terhadap modal usahanya. Ketelitian dalam penetapan sasaran ini akan berimplikasi pula pada tercapainya tujuan sertifikasi UMK.

Kaitan Sertifikasi UMK dengan Peningkatan Prospek Usaha

Pada intinya, terselenggaranya program sertifikasi UMK ialah meningkatkan kemampuan UMK untuk akses terhadap perbankan dan koperasi, serta memberikan penguatan permodalan dan pembiayaan bagi pengembangan usaha koperasi dan UMK (Sidipurwanty 2008). Hal ini berarti terselenggaranya program ini diharapkan akan berdampak pada ekonomi peserta program.

Kepemilikan sertifikat menyebabkan nilai tanah yang dimiliki akan naik seiring dengan kenaikan nilai agunan. Nilai agunan yang bertambah ini dapat digunakan untuk meningkatkan modal usaha. Bagi UMK yang memanfaatkan sertifikat dengan mengagunkan ke bank, maka modal yang diperoleh dapat meningkat. Penambahan modal tersebut akan mengakibatkan jumlah barang yang dijual bertambah sehingga keuntungan PMK pun dapat bertambah. Keuntungan yang bertambah ini kemudian dapat digunakan untuk memperbaiki rumah dan

Dokumen terkait