• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis bernama Rina Khaerunnisa dilahirkan di Serang pada tanggal 05 Januari 1991. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, pasangan H. Muhammad Furqon Machsus, SE dan Hj. Enas Nasroh, S.Pd. Penulis telah menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 1 Cilegon, dilanjutkan di SMP Negeri 1 Cilegon dan SMA Negeri 2 Krakatau Steel Cilegon. Studi pendidikan dilanjutkan di Institut Pertanian Bogor, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat melalui jalur masuk Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI), dan penulis menyelesaikan 7 semester di jurusan ini.

Selama di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah tergabung ke dalam UKM Gentra Kaheman pada tahun 2010. Penulis juga aktif di dalam organisasi mahasiswa, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA) sebagai staf divisi Pengembangan Budaya, Olahraga, dan Seni (PBOS) pada tahun 2010-2011 dan 2011-2012, dan juga sebagai sekretaris di Majalah Komunitas FEMA IPB. Selain aktif di organisasi, penulis pun aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan kepanitiaan dalam beberapa event di IPB diantaranya divisi humas acara Jurnalistic Fair 2010, sekretaris acara Ecology Sport and Art Event (E’SPENT) pada tahun 2011 dan 2012, Sekretaris Duta FEMA pada tahun 2011, Sekretaris Familiarity Night pada tahun 2011, divisi Publikasi, Dekorasi, dan Desain Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat serta sebagai sekretaris Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2011.`

ABSTRAK

RINA KHAERUNNISA. Peran Sertifikasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) terhadap Kontrol atas Tanah. Dibimbing oleh HERU PURWANDARI.

Program sertifikasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) diselenggarakan untuk membantu pengembangan usaha sektor UMK, melalui kegiatan penyertifikatan tanah. Adanya program ini diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi penerima program yang memanfaatkan fungsi ekonomi tanahnya. Pilihan pemanfaatan fungsi ekonomi tanah ini didasarkan atas hak pemilik dalam mengontrol tanah. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Loji dan Situ Gede, dengan fokus penelitian pada pengaruh kepemilikan sertifikat UMK terhadap kontrol atas tanah, serta kaitan antara kontrol tanah dengan prospek usaha. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif dan kualitatif menggunakan kuesioner serta panduan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepemilikan sertifikat UMK di Loji dan Situ Gede berpengaruh pada kenaikan tingkat kontrol tanah kategori tinggi setelah bersertifikat. Adanya kontrol ini berpeluang menciptakan prospek peningkatan usaha, tetapi hanya pada responden yang melakukan kegiatan pemanfaatan saja. Perbedaan pemanfaatan ini diduga akibat perbedaan lokasi yang merupakan daerah urban dan rural urban. Kata kunci : kontrol tanah, pemanfaatan tanah, prospek usaha, sertifikat UMK

ABSTRACT

RINA KHAERUNNISA. Certification’s role of Micro and Small Enterprises (MSEs) of the Control of Land. Guided by HERU PURWANDARI.

The certification program Micro and Small Enterprises (MSEs) organized to assist the development of SMEs sector, through certifying land activity. This program expected to provide economic benefits to beneficiaries who utilize the economic function of their land. The choices from economic function of land are based on the right of the owner to control the land. The research was conducted in the Loji and Situ Gede villages, with a research focus on the influence of the MSE’s certificate ownership concerning the land control, and the relation between ground control with business prospects. The research was carried out by quantitative and qualitative methods using questionnaires and in-depth interview guide. The results of this study indicate that the MSE’s certificate ownership in Situ Gede Loji has effect to the increment the level of the land control to high category after certified. The existence of this control has the opportunity to create the prospect of a business’s excalation, but only to respondents who perform activities use only. The difference of this utilization may be due to location differences which are in urban and rural urban.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah agraria adalah produk dari relasi antara masyarakat, negara, dan lingkungan dengan menempatkan tanah dan kekuasaan sebagai inti persoalan. Relasi-relasi tersebut melibatkan aspek kekuasaan (politik), kesejahteraan (ekonomi), dan hirarki (sosial) yang mengakibatkan semakin tergerusnya penguasaan rakyat atas sumber-sumber penghidupan (Wiradi 2009a). Pembangunan di Indonesia saat ini dihadapkan pada masalah penyediaan tanah. Tanah dibutuhkan oleh banyak orang sedangkan jumlahnya tetap, sehingga tanah yang tersedia tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan yang terus meningkat terutama kebutuhan untuk perumahan, pertanian, dan pembangunan fasilitas umum. Mengingat arti pentingnya tanah bagi kehidupan masyarakat, maka diperlukan pengaturan yang lengkap dalam hal penggunaan, pemanfaatan, dan pemilikan tanah sesuai dengan hukum yang berlaku (Arifin 2008).

Reforma agraria merupakan suatu solusi dalam perubahan struktur kepemilikan atas tanah tersebut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidato kenegaraan, menyatakan akan melaksanakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Program Reforma Agraria. Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) ini lebih ditumpukan kepada dua hal yaitu: (1) redistribusi lahan secara terbatas, dan (2) sertifikasi tanah. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi, dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat (Pidato Kenegaraan Susilo Bambang Yudhoyono dalam Arifin 2008). Menurut Rosset et al. (2008), akses tanah bagi mereka yang tak bertanah dapat memberikan kesempatan masyarakat secara adil untuk mengakumulasikan asetnya. Terbukanya akses rakyat terhadap tanah maka kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraannya pun semakin besar. Oleh karena itu administrasi tanah sangat penting dalam proses reforma agraria. Tanpa adanya peraturan pertanahan dan peran administrasi, kebijakan dan strategi reforma agraria akan gagal. Sistem administrasi tanah dapat menyiapkan keamanan tenurial untuk investasi pribadi jangka panjang. Lebih lanjut, De Soto dalam Amir (2008) menyatakan pentingnya pencatatan atau sertifikasi tanah, dengan asumsi setelah tanah tersebut terdata secara resmi dan sah, pemilik bisa menjadikannya modal hidup. Kemakmuran bukan pada tanah melainkan pada pemanfaatan tanah itu sendiri, sehingga tanah harus diolah untuk meningkatkan pendapatan pemilik tanah.

Pemerintah mewajibkan untuk melaksanakan pendaftaran tanah yang ada di seluruh Indonesia. Kewajiban itu tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) pasal 19 ayat (1), yang berbunyi: “untuk menjamin kepastian hukum hak dan tanah oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Menurut PP No. 10 Tahun 1961 sebagaimana telah diubah dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, disebutkan tujuan dari pendaftaran tanah yaitu untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat

2

membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, serta untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Sejak UUPA diundangkan tahun 1960 sampai dengan tahun 2006 telah diterbitkan sebanyak 33.74 juta sertifikat hak atas tanah atau sekitar 36% jumlah bidang tanah yang perlu disertifikat di luar kawasan hutan. Sekitar 65% dari jumlah tersebut diterbitkan melalui kegiatan pendaftaran tanah secara sporadik dan 35% sisanya melalui pendaftaran tanah secara sistemik, seperti ajudikasi PAP, PRONA, dan sektoral lainnya (transmigrasi, perkebunan, sawah, irigasi, UKM, dll) (Amir 2008).

Penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia kenyataannya belum mencapai hasil yang menggembirakan (Iswanto 1991). Kaitannya dengan program sertifikasi, terdapat kelompok yang seringkali kepentingannya terabaikan yaitu kelompok miskin seperti kaum buruh perdesaan dan perempuan. Menurut hasil penelitian de Soto (2000), sebagian besar masyarakat miskin sudah memiliki aset yang mereka butuhkan, tetapi mereka memegang sumberdaya ini dalam bentuk yang tidak sempurna karena belum terdaftar secara resmi. Studi Bank Dunia dalam Soehendera (2010) menyebutkan bahwa hanya 20% dari tanah di Indonesia yang terdaftar di BPN. Kondisi ini menyebabkan banyaknya “penguasaan” maupun “penggunaan” tanah yang informal, terutama oleh kelas menengah ke bawah. Akibatnya, mereka tidak bisa memanfaatkan kepemilikan tanah tersebut sebagai jaminan untuk meminjam modal atau agunan ke bank. Maka dari itu, salah satu cara yang sangat efektif dalam mewujudkan administrasi di bidang pertanahan adalah dengan mempercepat pendaftaran tanah di Indonesia melalui penyelenggaraan secara sistematik (Ismy 2005).

Salah satu program pemerintah dalam rangka percepatan pendaftaran tanah yaitu sertifikasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Kegiatan legalisasi UMK merupakan bantuan bagi pengusaha skala kecil dan menengah untuk mendapatkan sertifikat hak atas tanah bagi usaha yang sedang dijalaninya. Sertifikasi UMK ini difasilitasi oleh pemerintah dengan bantuan dana dari APBN. Selama ini sektor UKM tersendat perkembangannya, karena tak dapat mengakses permodalan dari bank atau lembaga keuangan, salah satunya karena legalisasi usaha yang belum dilakukan. Oleh karena itu program pemberdayaan UMK melalui kegiatan sertifikasi hak atas tanah ini diharapkan dapat meningkatkan kontrol pemilik dalam memanfaatkan tanahnya.

Pemanfaatan tanah dapat memberikan sumbangan ekonomi sehingga dapat mendorong prospek peningkatan usaha. Kegiatan pemanfaatan tanah ini menjadi mekanisme kontrol bagi pemilik tanah dalam menggunakan sumberdaya yang dimiliki. Kepastian pemanfaatan ini dapat dilakukan secara legal dan formal karena hak atas tanah telah tertera dalam sertifikat. Menurut Hall et al. (2011), formalisasi dapat membuat pemilik bertambah haknya karena batas tanah yang jelas, kepemilikan tercatat di sistem registrasi, diakuinya kepemilikan tanah dan dimilikinya hak untuk menjual, mentransfer, atau menjaminkannya. Selain itu, Hall et al. (2011) juga menambahkan bahwa sertifikasi ternyata dapat pula menimbulkan proses akumulasi dan kehilangan lahan melalui transfer tanah. Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan sertifikat dapat menimbulkan dua sisi. Pada kasus Serikat Petani Pasundan (SPP), para petani melakukan berbagai aksi kolektif seperti reklaiming demi diakuinya kepemilikan tanah yang sudah mereka garap bertahun-tahun dalam bentuk kepemilikan sertifikat (Fermata 2006).

3 Meskipun sertifikat memiliki dua sisi, namun tidak dapat dipungkiri jika kepemilikannya sangat dinanti oleh banyak orang, seperti halnya yang terjadi pada Serikat Petani Pasundan (SPP).

Di Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Provinsi Jawa Barat masih banyak usaha-usaha yang belum bersertifikat, maka pemerintah melakukan kebijakan dengan memberikan fasilitas dan kemudahan kepada pemegang hak atas tanah berupa keringanan dalam pembiayaan dan mempercepat proses penyelesaian sertifikat. Selain itu, kedua daerah ini merupakan daerah yang memperoleh alokasi untuk kegiatan sertifikasi hak atas tanah UMK di wilayah Kota Bogor. Program sertifikasi ini bertujuan meningkatkan kepastian hukum tanah UMK agar dapat memiliki kontrol dalam memanfaatkan tanah, khususnya dalam hal akses terhadap modal. Sertifikasi UMK di Bogor Barat telah selesai diselenggarakan pada tahun 2010, dan telah dilaksanakan sebanyak 25 bidang di Kelurahan Loji dan 29 bidang di Kelurahan Situ Gede. Berdasarkan uraian di atas maka sangat menarik untuk mengkaji peran kepemilikan sertifikat melalui program sertifikasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede terhadap kontrol kepemilikan tanah, tetapi dilihat pada wilayah yang tidak berkonflik seperti pada Kelurahan Loji dan Situ Gede ini.

Masalah Penelitian

Pemerintah mewajibkan pendaftaran tanah di Indonesia, namun hasilnya belum begitu memuaskan. Banyak masyarakat yang tidak mampu mensertifikatkan tanahnya karena pendaftaran tanah di Indonesia cenderung berbelit-belit, prosesnya lama, dan biayanya mahal. Pemerintah akhirnya menetapkan program sertifikasi hak atas tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK) bagi pengusaha yang selama ini tersendat dalam perkembangan usahanya. Program ini diharapkan dapat meningkatkan kontrol pemilik dalam memanfaatkan tanah, khususnya pada akses terhadap modal. Menurut de Soto (2000) formalisasi aset memungkinkan seseorang untuk mengatur, mengendalikan, dan menghubungkannya dengan aset yang lain. Adanya pemanfaatan tanah merupakan upaya kontrol pemilik tanah terhadap sumberdaya yang dimilikinya.

Masalah umum yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu sejauhmana peran kepemilikan sertifikat UMK terhadap upaya kontrol pemilik atas tanah. Adapun beberapa masalah spesifik yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sejauhmana kepemilikan sertifikat UMK berpengaruh terhadap potensi hilangnya kontrol pemilik tanah di Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede?

2. Sejauhmana sertifikasi UMK berpeluang dalam menciptakan prospek peningkatan usaha?

4

Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah penelitian yang telah dikemukakan, disusunlah beberapa tujuan penelitian guna menjawab rumusan masalah dan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Menganalisis pengaruh kepemilikan sertifikat UMK yang berpotensi terhadap hilangnya kontrol pemilik atas tanah UMK di Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede.

2. Menganalisis kepemilikan sertifikat UMK yang mendorong penciptaan prospek peningkatan usaha.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai kalangan, antara lain:

1. Akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan kajian untuk penelitian selanjutnya serta menambah khasanah penelitian mengenai pelaksanaan pendaftaran tanah sistematik melalui program sertifikasi tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang dilakukan oleh pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN- RI).

2. Pemerintah, penelitian ini dapat diharapkan sebagai sarana evaluasi program sertifikasi tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang telah atau sedang dilaksanakan oleh pemerintah.

3. Masyarakat, penelitian ini dapat membantu masyarakat untuk mengambil manfaat yang dihasilkan oleh program sertifikasi tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK).

5

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka Struktur Agraria

Secara etimologis, istilah “agraria” berasal dari sebuah kata dalam bahasa Latin, “ager”, yang artinya: (a) lapangan; (b) wilayah; (c) tanah negara (Prent et al. dalam Wiradi 2009b). Kata-kata “wilayah”, “tanah negara” jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwakili olehnya. Sitorus (2002) menambahkan bahwa lingkup agraria mengandung pengertian yang luas dari sekedar “tanah pertanian” atau “pertanian”, yaitu suatu bentang alam yang mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan kehidupan sosial yang terdapat di dalamnya. Lingkup agraria tersebut mencakup dua unsur yaitu mengenai objek agraria atau sumber-sumber agraria dan subjek agraria. Unsur pertama, objek agraria menurut UUPA yakni menyangkut (1) tanah atau “permukaan bumi” yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan, (2) perairan, baik di darat maupun di laut yang meliputi kegiatan perikanan (sungai, danau, maupun laut), (3) hutan, meliputi kesatuan flora dan fauna dalam suatu kawasan tertentu dan merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas-komunitas, (4) bahan tambang, mencakup beragam bahan tambang/mineral yang terkandung di dalam “tubuh bumi”, dan (5) udara, dalam arti ruang di atas bumi dan air. Unsur kedua mengenai subjek agraria yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Secara kategoris, subjek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga kategori ini memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan/ pemanfaatan (tenure institutions).

Hubungan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan membawa implikasi terbentuknya ragam hubungan sosial, sekaligus interaksi sosial antara ketiga kategori subjek agraria (Sitorus 2002). Lebih lanjut menurut Sitorus (2002), hubungan tersebut dibagi ke dalam dua bentuk yaitu hubungan teknis dan hubungan sosial. Hubungan teknis dapat dilihat dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure). Land tenure adalah hak atas tanah atau penguasaan tanah, sedangkan land tenancy adalah orang yang memiliki, memegang, menempati, menduduki, menggunakan atau menyewa sebidang tanah tertentu. Hubungan teknis tersebut menunjukkan cara kerja subjek agraria dalam pengolahan dan pemanfaatan objek agraria untuk memenuhi kebutuhannya. Ketiga subjek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan objek agraria tertentu. Proporsi ini menggambarkan hubungan sosial agraria yang menunjukkan cara kerja subjek agraria saling berinteraksi dalam rangka pemanfaatan objek agraria. Dengan kata lain, hubungan ini berpangkal pada perbedaan akses dalam hal penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan lahan. Hubungan-hubungan sosial agraria yang digambarkan oleh Sitorus (2002) dapat dilihat pada Gambar 1.

6

Keterangan :

Hubungan teknis agraria (kerja) Hubungan sosial agraria

Gambar 1 Lingkup hubungan-hubungan agrarian

Struktur agraria pada penelitian ini adalah hubungan antara subjek dengan sumber-sumber agraria mencakup penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan lahan. Menurut Wiradi (2009b), perlu dibedakan antara istilah pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah. Kata pemilikan menunjuk pada penguasaan formal hak milik atas tanah yaitu hak yang sah untuk menggunakan, mengolah, menjualnya dan memanfaatkan tanah, sedangkan kata penguasaan menunjukkan pada penguasaan efektif. Misalnya jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang itulah yang secara efektif menguasainya. Jika sesorang menggarap tanah miliknya sendiri, misalya 2 Ha, lalu menggarap juga 3 Ha tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 Ha. Kata pemanfaatan nampaknya cukup jelas, yaitu menunjuk pada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif. Pemilikan lahan tidak selalu mencerminkan penguasaan lahan, karena memang ada berbagai jalan untuk menguasai lahan, misalnya melalui sewa, sakap, gadai, dan sebagainya. Perubahan struktur agraria yang dimaksud dalam penelitian ini, mencakup perubahan pola pemilikan lahan, pola penguasaan lahan, dan pemanfaatan lahan masyarakat setempat menjadi lebih formal dengan adanya pendaftaran tanah.

Struktur Kepemilikan

Pengertian kepemilikan dan penguasaan tanah seringkali dianggap sama. Namun terdapat perbedaan mendasar antara pengertian kepemilikan dan penguasaan. Pengertian kepemilikan lebih condong kepada status hak (entitlement) sedangkan penguasaan mengacu pada total luasan yang dikuasai atau diusahakan. Kepemilikan mengandung arti adanya hak untuk menggunakan tanah bagi pemiliknya, baik hak untuk menjual, menggadaikan, menyewakan, mewariskan atau mengusahakan untuk kepentingan pemiliknya. Sementara pengertian penguasaan mengandung arti adanya hak untuk menggunakan tanah berdasarkan sewa atau kontrak tertentu, tetapi tidak dapat dipindah tangankan oleh yang menguasai tanah tersebut (Wijayanti dalam Hidayat 2002).

Beberapa istilah modern mengenai kepemilikan tanah yakni meliputi milik perorangan dan milik komunal. Milik perorangan yaitu suatu bentuk penguasaan

Komunitas

Pemerintah

Sumber-sumber

7 tanah dimana seseorang menduduki sebidang tanah dan dapat menyerahkan kepada ahli warisnya serta dapat mengatur secara bebas, seperti menjual, menyewakan, atau menggadaikan. Sementara milik komunal merupakan bentuk penguasaan, dimana seseorang (atau keluarga) memanfaatkan tanah tertentu yang hanya merupakan bagian dari tanah komunal desa. Hal ini berarti orang tersebut tidak berhak untuk menjual atau memindahtangankan tanah dan pemanfaatannya biasanya digilir secara berkala (Eindresume dalam Kano 2009). Berdasarkan Wiradi dan Makali (2009), masalah pemilikan tanah tetap merupakan faktor yang penting dalam kehidupan pedesaan. Menurutnya, mereka yang memiliki tanah luas akan mempunyai jangkauan lebih besar kepada sumber nonpertanian, atau sebaliknya.

Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah merupakan persoalan penting dalam UUPA, karena pendaftaran tanah akan menghasilkan surat tanda bukti hak atas tanah yang disebut sertifikat. Pada PP No. 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa pendaftaran tanah adalah “rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus- menerus, berkesinambungan dan teratur melalui pengumpulan, pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satu-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”. Harsono dalam Ismy (2005), merumuskan pendaftaran tanah sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh negara/pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah- wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan termasuk penerbitan tanda bukti dan pemeliharaannya. Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan di atas, pendaftaran tanah merupakan suatu rangkaian kegiatan pengumpulan data pertanahan yang dilakukan pemerintah untuk menetapkan jaminan kepastian hukum atas tanah. Terselenggaranya pendaftaran tanah menyebabkan kepastian hukum berkenaan dengan jenis hak atas tanah, subjek hak, dan objek haknya menjadi jelas karena tercantum dalam sertifikat, sehingga dapat mengurangi terjadinya persengketaan hak atas tanah.

Adanya kepastian hukum atas tanah merupakan salah satu tujuan terselenggaranya pendaftaran tanah. Lebih lanjut, tujuan pendaftaran tanah menurut Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 yaitu memberikan kepastian hukum, menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Kepastian hukum tersebut juga diperlukan dalam menghadapi kasus-kasus konkret untuk dapat membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya, sedangkan penyediaan informasi dapat diperlukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti calon pembeli dan calon kreditur untuk mengetahui data-data mengenai objek tanah yang dikuasai.

Pendaftaran tanah menurut Pasal 19 UUPA ayat 1 yaitu meliputi: a. pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;

8

b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; dan

c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum di bidang kepemilikan atau penguasaan tanah, diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) berlandaskan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Menurut PP tersebut, dinyatakan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir, dan terbuka. Penjelasan dari asas-asas tersebut, yakni sebagai berikut (Supriadi 2008):

1. Asas Sederhana

Asas sedarhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-

Dokumen terkait