• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Protein-protein antena periferal mayor (Chl a, Chl b) Kondisi intensitas cahaya rendah Kondisi intensitas cahaya tinggi Mutan minus Chl b Klorofil a Klorofil b

Terdapat dua hipotesis mengenai regulasi ukuran antena penangkap cahaya: regulasi oleh ekspresi gen-gen Lhc dan regulasi oleh biosintesis klorofil b. Hipotesis pertama berdasarkan penemuan bahwa pola ekspresi gen-gen tersebut berhubungan erat dengan ukuran antena (Maxwell et al. 1995; Escoubas et al. 1995). Namun demikian, terdapat sejumlah bukti yang berlawanan dengan hipotesis pertama dan cenderung mendukung hipotesis kedua. Pertama, pada sejumlah mutan chl b-less, lebih banyak protein LHC yang hilang ketika jumlah klorofil b menurun. Pada Arabidopsis thaliana mutan yang tidak bisa sama sekali membentuk klorofil b, tidak ada protein LHC yang terbentuk (Espineda 1999), sementara itu di barley mutan yang masih mengandung sejumlah kecil klorofil b, satu atau lebih protein masih dapat ditemui (Bossmann et al 1997). Proses transkripsi, translasi dan transpor protein LHC berjalan normal, menunjukkan bahwa stabilitas protein LHC yang mengalami gangguan (Bellemare, 1982).

Kedua, prekursor protein LHC membutuhkan klorofil b untuk kestabilan insersi ke dalam membran (Kuttkat et al. 1997). Ketiga, telah dibuktikan bahwa mRNA Lhc dengan jumlah kurang dari 5% dari keadaan normalnya sudah cukup untuk menghasilkan ukuran antena yang terbesar sekalipun. Flachman and Kühlbrandt (1997) dan Flachman (1995) melakukan transformasi tanaman tembakau dengan antisense gen Lhc. Di tanaman ini ekspresi gen Lhc mengalami tekanan oleh ekspresi antisensenya. Uniknya, tingkat protein LHC tidak mengalami perubahan bahkan pada tanaman transgenik yang hanya mengekspresikan 5% mRNA dengan orientasi sense. Hasil ini menunjukkan bahwa klorofil b dibutuhkan untuk kestabilan dan/atau insersi protein LHC ke

dalam membran dan transkripsi gen-gen Lhc bukanlah faktor utama yang mengatur ukuran antena penangkap cahaya.

Transformasi Arabidopsis dengan gen CAO dibawah kontrol promotor 35S CaMV menunjukkan bahwa ukuran antena pada fotosistem II meningkat antara 10-20% jika dibandingkan dengan tanaman tipe liarnya, hal ini memperlihatkan bahwa biosintesis klorofil b dapat mengatur ukuran antena penangkap cahaya pada tanaman (Tanaka et al. 2001).

Sebelum gen yang bertanggung-jawab dalam biosintesis klorofil b ditemukan, sangat sedikit yang diketahui tentang jalur biosintesis klorofil ini. Identifikasi gen untuk biosintesis klorofil b dilakukan dengan mutagenesis insersi pada Chlamydomonas reinhardtii yang menghasilkan sejumlah chl b-less mutan. Hasil analisis genom yang termutasi berhasil mengidentifikasi sebuah gen yang diperkirakan suatu monooxygenase yang memiliki [2Fe-2S] Rieske center motif dan mononuclear iron-binding motif (Tanaka et al. 1998). Kloning gen homolog yang dilakukan menggunakan PCR dan pencarian dari database pada alga laut prokariotik, Prochlorothrix dan Prochlorococcus, dan tanaman tingkat tinggi, Arabidopsis thaliana menunjukkan bahwa gen ini konservatif dari prokariot sampai tanaman tingkat tinggi (Tomitani et al. 1999).

Protein dari gen yang diklon dari Arabidopsis thaliana dan diproduksi di Escherichia coli mengkatalisis dua tahapan reaksi dari chlorophyllide (Chlide) a menjadi Chlide b (Chlorophyllide merupakan prekursor tidak teresterifikasi dari klorofil). Berdasarkan aktivitas ini, enzim ini dinamakan CAO (Chlorophyllide a monooxygenase) (Tanaka and Tanaka 2005). Hal yang menarik adalah bahwa enzim ini hanya mengenali chlorophyllide a, artinya bahwa klorofil a pertama-

tama harus di de-esterifikasi kembali menjadi clorophyllide a dan kemudian dikonversi menjadi clorophyllide b dan kemudian diesterifikasi kembali menjadi klorofil b(Oster et al. 2000).

Penemuan yang tidak terduga lainnya adalah bahwa CAO mengkatalisis dua tahapan reaksi. Tahapan pertama adalah oksigenasi gugus metil menjadi gugus hidroksil menghasilkan 7-hydroxymethyl-chlorophyll. Pada tahap kedua gugus hidroksil dioksigenasi lagi menjadi gugus formil menghasilkan klorofil b. Kedua tahapan ini membutuhkan NADPH dan ferredoxin sebagai tenaga pereduksi (Tanaka and Tanaka 2005).

Walaupun sudah secara jelas dibuktikan dari eksperimen menggunakan tanaman yang mengekspresikan secara berlebihan gen CAO bahwa biosintesis klorofil b memegang peranan penting dalam mengatur ukuran antena, namun jalur degradatif klorofil b tetap merupakan hal yang menarik untuk diketahui. Selama ini jalur degradatif klorofil hanya diketahui untuk klorofil a saja, karena produk degradatif klorofil a dapat teramati. Alasan mengapa tidak terdapat produk degradatif klorofil b baru dapat diketahui setelah ditemukannya jalur konversi klorofil b menjadi klorofil a (Ito et al. 1993). Sekarang telah diketahui bahwa klorofil b pertama-tama dikonversi menjadi 7-hydroxymethyl-chl dan kemudian direduksi menjadi klorofil a(Ito et al. 1994; Ito et al. 1996; Ito and Tanaka 1996; Scheumann et al. 1996a; 1996b; Scheumann et al, 1998). Tahap pertama dan kedua membutuhkan NADPH dan ferredoxin sebagai tenaga pereduksi (Scheumann et al. 1998). Aktivitas dari tahap pertama meningkat selama proses senescen pada daun (Scheumann et al. 1999). Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa klorofil a yang dibentuk dari klorofil b dapat diinsersikan

kembali ke dalam protein pengikat klorofil, yang berarti bahwa jalur ini juga berfungsi untuk menggunakan kembali klorofil b (Ohtsuka 1997). Mungkin saja konversi klorofil b menjadi klorofil a dan aktivitas CAO dikoordinasi untuk mengatur kesetimbangan antara klorofil a dan klorofil b. Oleh karena itu interkonversi klorofil a dan klorofil b disebut "chlorophyll cycle" dan diperkirakan siklus ini memainkan peranan penting dalam mengatur ukuran antena (Gambar 10) (Tanaka et al. 1998; Oster et al. 2000).

Gambar 10. Sebuah model yang diusulkan untuk siklus klorofil. Klorofil a (atas kanan) di dephytilasi menjadi chlorophyllide (Chlide) a (atas kiri) chlorophyllase (E) dan kemudian dikonversi menjadi Chlide b (bawah kiri) melalui 7- hydroxymethyl-chlorophyllide (tengah kiri) oleh CAO (A). Chlide b dapat di konversi kembali menjadi Chlide a melalui 7-hydroxymethyl-chlorophyllide oleh Chl b reductase (C) dan 7-hydroxymethyl-chlorophyllide reductase (D). Alternatif lain, Chlide b di phytilasi menjadi klorofil b (bawah kanan) oleh chlorophyll synthase (B) dan kemudian dikonversi menjadi klorofil a melalui 7- hydroxymethyl-Chl (tengah kanan) oleh Chl b reduktase (C) and 7- hydroxymethyl-chlorophyllide reduktase (D) (Tanaka and Tanaka 2005).

Salah satu tantangan kedepan dalam penelitian tentang klorofil b adalah identifikasi protein atau gen yang terlibat dalam konversi klorofil b menjadi klorofil a. Dengan selesainya sekuensing genom Arabidopsis thaliana memungkinkan hal ini dapat dilakukan lebih mudah (The Arabidopsis Genome Initiative 2000). Dengan mengklon gen yang terlibat dalam konversi klorofil b menjadi klorofil a, memungkinkan dilakukannya pengujian hipotesis bahwa degradasi klorofil memicu terjadinya proses senescen (Vincentini et al. 1995; Matile et al. 1996). Jika hipotesis ini benar, memungkinkan ditundanya proses senescen tanaman melalui supresi aktivitas konversi klorofil b menjadi klorofil a dengan ekspresi berlebih antisense gen yang mengkode enzim pereduksi klorofil b.

Transformasi yang diperantarai Agrobacterium:

Agrobacterium tumefaciens mempunyai peranan penting dalam

perkembangan rekayasa genetika tanaman dan penelitian dasar dalam biologi molekular. Hampir 80% tanaman transgenik dihasilkan melalui cara ini. Pada awalnya, orang percaya bahwa hanya tanaman dikotil, gymnosperma dan beberapa spesies monokotil saja yang dapat ditransformasi menggunakan bakteri ini; namun hasil yang dicapai baru-baru ini merubah secara total pandangan ini yang diperlihatkan oleh beberapa spesies “rekalsitran” yang tidak termasuk inang alami seperti monokotil dan fungi ternyata dapat ditransformasi (Chan et al. 1993;Bundock et al. 1995). Sebagai tambahan, sel yang tertransformasi biasanya membawa jumlah kopi T-DNA terintregrasi dalam jumlah rendah didalam genomnya dengan sedikit atau tanpa penantaan kembali, dan DNA berukuran sangat besar dapat ditransformasikan ke dalam tanaman.

Dasar molekular transformasi genetik sel tanaman oleh Agrobacterium tumefaciens adalah transfer dari bakteri dan integrasi ke dalam genom tanaman suatu bagian dari plasmid Ti (tumor-inducing) atau Ri (rhizogenic-inducing) (Gambar 11). Transfer T-DNA diperantarai oleh produk yang disandikan oleh suatu daerah vir yang berukuran 30-40 kb pada plasmid Ti. Daerah ini terdiri sedikitnya 6 operon esensial (vir A, vir B, vir C, vir D, vir E, vir G) dan dua non esensial (vir F, vir H). Operon yang konstitutif hanya operon vir A dan vir G, yang menyandikan sistem dua komponen (VirA-VirG) yang akan mengaktifkan transkripsi gen-gen vir lainnya. Vir A merupakan suatu protein sensor dimer transmembran yang dapat menditeksi molekul signal, terutama senyawa fenolik kecil yang dilepaskan oleh tanaman yang terluka (Pan et al. 1993). Signal lain bagi aktivasi Vir A diantaranya pH asam, senyawa fenolik seperti acetosyringon (Winans et al. 1992) dan monosakarida jenis tertentu yang bekerja secara sinergis dengan senyawa fenolik (Ankenbauer et al. 1990; Cangelosi et al. 1990; Shimoda et al. 1990a; Doty et al. 1996).

Protein VirA secara struktural dapat dibagi menjadi tiga domain: domain periplasma (input) dan dua domain transmembran (TM1 dan TM2). Domain TM1 dan TM2 bertindak sebagai suatu transmiter (signaling) dan penerima (sensor) (Parkinson 1993). Domain periplasma sangat penting untuk deteksi monosakarida (Chang and Winans 1992). TM2 merupakan suatu domain kinase dan mempunyai peranan yang penting dalam aktivasi VirA yaitu memfosforilasi dirinya sendiri pada residu His-474 (Huang et al. 1990; Jin et al. 1990a; 1990b) sebagai respon atas molekul signal dari tanaman yang terluka. Deteksi monosakarida oleh VirA merupakan sistem amplifikasi penting dan respon terhadap jumlah senyawa

fenolik yang rendah. Induksi sistem ini hanya mungkin melalui protein pengikat gula (glukosa/galaktosa) periplasma ChvE (Ankenbauer and Nester 1990; Cangelosi et al. 1990), yang berinteraksi dengan VirA (Shimoda et al. 1990b; Chang and Winans 1992; Turk et al. 1993). VirA yang teraktivasi mempunyai kemampuan untuk mentransfer gugus fosfatnya ke residu aspartat dari suatu protein pengikat DNA sitoplasma VirG (Jin et al. 1990a; 1990b; Pan et al., 1993). VirG berfungsi sebagai faktor transkripsional yang mengatur ekspresi gen-gen vir lainnya ketika terfosforilasi oleh VirA (Jin et al. 1990a; 1990b). Daerah C- terminal bertanggung-jawab untuk aktivitas pengikatan DNA sedangkan daerah N-terminal adalah domain fosforilasi dan mempunyai kemiripan dengan domain penerima signal VirA (sensor). Aktivasi sistem vir juga tergantung pada faktor luar seperti suhu dan pH. Pada suhu yang melebihi 32°C, gen-gen vir tidak akan terekspresi karena perubahan konformasi dalam proses pelipatan protein VirA yang menyebabkan protein ini tidak aktif (Jin et al. 1993).

VirD1 dan VirD2 bertanggung-jawab untuk pembentukan T-strand, T- DNA utas tunggal, dengan mengenali dan memotong secara spesifik utas bagian bawah T-DNA pada kedua pembatas, yang mana batas kanan merupakan titik awal dan sangat penting dalam proses ini. Setelah pemotongan, VirD2 tetap terikat secara kovalen pada ujung 5’ utas T, membentuk suatu komplek dengan karakter polar dimana ujung 5’ akan bertindak sebagai bagian kepala dalam proses transfer. Komplek VirD2/utas T dan protein pengikat DNA utas tunggal lain yang disebut VirE2 dipercaya ditransferkan secara terpisah ke dalam sel tanaman melalui suatu struktur yang mirip pilus yang terdiri atas suatu komplek protein VirB (Fullner 1996) and VirE2 selama didalam sel bakteri tidak dapat

menempel ke utas T karena adanya protein chaperonin yang disebut VirE1 (Deng et al. 1999; Sundberg and Ream 1999). Sekali memasuki sel tanaman, molekul VirE2 akan bersama-sama menempel ke utas T, membentuk komplek T (Sundberg et al. 1996), yang kemudian ditargetkan ke dalam nukleus oleh nuclear target signals (NLS) yang terdapat pada VirD2 dan VirE2, dimana T- DNA diintegrasikan secara acak ke dalam genom tanaman dengan kopi tunggal atau ganda. Mekanisme yang terlibat dalam integrasi T-DNA belum terkarakterisasi, namun diperkirakan melibatkan proses rekombinasi yang tidak sah (Gheysen et al. 1991; Lehman et al. 1994; Puchta 1998).

Dokumen terkait