• Tidak ada hasil yang ditemukan

Protein terdegradasi Peptida NH3 Non-protein N Asam Amino Kelenjar Saliva Hati NH3 Urea Ginjal Diekskresi melalui urin Pakan Protein Protein tidak terdegradasi

Digesti di dalam usus halus Rumen

proteinnya tahan degradasi memiliki konsentrasi amonia yang rendah dalam rumen serta pertumbuhan mikroba rumen akan lambat yang menyebabkan turunnya kecernaan pakan (McDonald et al., 2002).

Volatile Fatty Acid (VFA)

Karbohidrat yang terkandung dalam ransum pakan akan dipecah di dalam rumen ruminansia. Karbohidrat yang berbentuk polisakarida akan dihidrolisa menjadi monosakarida oleh enzim-enzim mikroba rumen. Monosakarida tersebut seperti glukosa, difermentasi menjadi VFA (asam lemak terbang) berupa asetat, propionat dan butirat, serta gas CH4, dan CO2.

Gambar 6. Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Ternak Ruminansia

Sumber: McDonald et al. (2002) Suksinil CoA Laktil Laktan CoA Asetil CoA Asetoasetil Malonil CoA CoA CoA Krotonil CoA Butiril CoA Butirat Selulosa Selubiosa Glukosa Glukosa-1-phosphat Glukosa-1-phosphat Pati Maltosa Isomaltosa Sukrosa

Pektin Asam Uronat

Pentosa

Hemiselulosa Fruktosa-6-phosphat Fruktosa Fruktan

Fruktan-1,6-diphosphat Asam Piruvat Format CO2 H2 Metan Asetil Phosphat Asetat Akrilil β-Hidroksibutiril CoA Propionil CoA Propionat Oksaloasetat Malat Fumarat Suksinat Metilmalonil CoA

10 VFA akan diserap melalui dinding rumen, sementara gas CH4 dan CO2 akan hilang melalui proses eruktasi. Sekitar 75% dari produksi total VFA yang akan diserap langsung oleh retikulo-rumen yang masuk ke darah, sekitar 20% VFA diserap di abomasum dan omasum serta sekitar 5% diserap oleh usus halus (McDonald et al., 2002).

Arora (1989) menyatakan bahwa VFA merupakan sumber energi utama bagi ruminansia. Glukosa pada ruminansia diabsorpsi dari saluran pencernaan dalam jumlah kecil, dan kadarnya di dalam darah dipertahankan melalui sintesa endogenous untuk keperluan fungsi-fungsi esensial jaringan tubuh. Produksi VFA cairan rumen berkisar antara 70-150 mM. Konsentrasi VFA yang dihasilkan tergantung dari jenis pakan yang dikonsumsi ternak (McDonald et al., 2002). Proses fermentasi karbohidrat pada rumen ternak ruminansia dapat dilihat pada Gambar 6.

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Kecernaan pakan dapat didefinisikan sebagai bagian pakan yang tidak diekskresikan dalam feses sehingga diasumsikan bagian tersebut diserap oleh tubuh ternak. Kecernaan dinyatakan dengan dasar bahan kering (McDonald et al., 2002). Tingkat pencernaan merupakan fungsi waktu pencernaan dan waktu yang tersedia bagi pakan untuk dicerna. Absorpsi total neto pakan ditentukan oleh selisih antara yang masuk (inflow) dan yang keluar (outflow) pada setiap seksi saluran pencernaan. Kecernaan dapat dihitung dengan berbagai teknik. Salah satunya adalah teknik in

vitro yang harus mirip dengan in vivo agar sedapat mungkin menghasilkan pola yang

sama. Kadar substrat harus berkisar antara 0,5-0,15 gram per pakan hijauan sehingga cukup untuk menjalankan kecepatan fermentasi yang normal di dalam sistem pencernaan. Media harus mengandung sumber energi, namun di dalam evaluasi makanan hijauan sumber energi tersebut dihindari dan tidak ditambahkan ke dalam sistem. Substrat penting lainnya yang diperlukan dalam sistem in vitro ini adalah sumber nitrogen (Arora, 1989).

Tilley dan Terry (1963) memperkenalkan metode two stage yang paling banyak digunakan untuk mengukur kecernaan secara in vitro. Tahap pertama dari metode ini adalah inkubasi dalam larutan buffer cairan rumen selama 48 jam dalam kondisi anaerob. Tahap kedua adalah pemberian pepsin dan inkubasi selama 48 jam.

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Mei 2012. Analisis fitokimia dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Analisis konsentrasi amonia, produksi

Volatile Fatty Acid (VFA) total, dan nilai kecernaan dilakukan di Laboratorium

Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis populasi protozoa dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi, dan Mikrobiologi Nutrisi Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain oven 60oC, grinder, timbangan digital, sudib, termos, kain penyaring, corong, tabung fermentor, tutup karet, pipet volumetrik, labu Erlenmeyer, bulp, botol film, freezer, kulkas, spoit, jarum suntik, shaker water bath, tabung gas CO2, selang, pH meter, timbangan analitik, sentrifuge, alat destilasi VFA, magnetic stirer, buret, pipet mikro, cawan Conway, ruang asam, oven 105oC, tanur, eksikator, gegep, cawan porselen, pompa vakum, mikroskop, dan Fuchs Rosenthal Counting Chamber.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain cairan rumen yang diambil dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Bubulak Bogor, aquades, larutan McDougall, Trifanblue Formalsalin (TBFS), kertas saring, gas CO2, HgCl2 jenuh, larutan Na2CO3 jenuh, asam borat, vaselin, larutan H2SO4 0,005 N, larutan H2SO4 15%, larutan NaOH 0,5 N, indikator phenolphthalein, larutan HCl 0,5 N, dan pepsin-HCl 0,2%. Bahan yang digunakan dalam pembuatan larutan McDougall dan TBFS serta cara pembuatannya dicantumkan dalam prosedur penelitian. Bahan pakan yang digunakan berupa ransum komplit berbentuk mash dengan perbandingan hijauan dan konsentrat 70% : 30%. Hijauan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari rumput lapang dan daun kersen. Komposisi dan kandungan zat makanan ransum dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

12 Tabel 1. Komposisi Konsentrat

Bahan Penggunaan (%) Pollard 34,25 Bungkil Kelapa 29,33 Onggok 25,07 Tetes 5,26 CaCO3 3,04 Urea 1,31 Premix 0,66 Bungkil Kedelai 0,64 NaCl 0,44

Tabel 2. Kandungan Zat Makanan Ransum dalam Bahan Kering

Kandungan Zat Makanan (% BK)

K R MC Bahan Kering 87,89 28,6 34,1 Abu 14,65 8,90 5,35 Protein Kasar 15,43 9,60 15,22 Lemak Kasar 8,57 2,04 7,94 Serat Kasar 6,49 25,24 12,32 Beta-N 54,86 54,22 59,17 Keterangan:

1) K: konsentrat; R: rumput lapang; MC: Muntingia calabura.

2) Sumber: Hasil Analisis Proksimat Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, 2012.

Prosedur Pembuatan Tepung Daun Kersen

Daun kersen pada penelitian ini diperoleh di sekitar kampus IPB Darmaga. Daun kersen dilayukan dengan diangin-anginkan selama 1 malam. Kemudian daun kersen dikeringkan dalam oven 600C selama 48 jam sampai bahan dapat digiling. Daun kersen yang telah dikeringkan dalam oven digiling hingga menjadi tepung dan disaring dengan ukuran 20 mesh.

Analisis Proksimat dan Fitokimia

Analisis proksimat dilakukan di Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Analisis fitokimia dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Analisis saponin menggunakan metode uji spektrofotometri. Analisis tanin berdasarkan metode Folin-Ciocalteu (Makkar, 2003).

Pembuatan Larutan McDougall

Pembuatan larutan McDougall berdasarkan Tilley dan Terry (1963). Bahan yang digunakan untuk pembuatan larutan McDougall sebanyak 1 liter ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer. Bahan-bahan tersebut adalah NaHCO3 (9,8 gram), Na2HPO4.7H2O (7 gram), KCl (0,57 gram), NaCl (0,47 gram), dan MgSO4.7H2O (0,12 gram). Kemudian ditambahkan aquades sampai kira-kira 900 ml dan diaduk dengan magnetic stirer. Setelah larut ditambahkan CaCl2 (0,04 gram), ditambahkan aquades sampai mencapai tanda tera 1 liter, dan dilarutkan kembali sampai semua bahan larut.

Pengambilan Cairan Rumen

Cairan rumen diambil dari Rumah Pemotongan Hewan Bubulak Bogor. Cairan rumen tersebut diambil dari dua ekor sapi yang dimasukkan dalam satu termos. Menurut Mauricio (2001), cairan rumen diambil dari 2 ekor ternak. Suhu di dalam termos harus disesuaikan suhu rumen dengan diisi oleh air panas sebelum diisi cairan rumen. Kemudian air panas dalam termos dibuang terlebih dahulu sebelum diisi cairan rumen. Isi rumen diperas dan disaring lalu dimasukkan ke dalam termos dan segera dibawa ke laboratorium untuk dilakukan fermentasi in vitro. Pengambilan cairan rumen dilakukan sebanyak 4 kali.

Fermentasi In Vitro

Metode in vitro yang digunakan adalah metode dua tahap (two-stage method) (Tilley dan Terry, 1963). Sebanyak 0,5 gram sampel sesuai perlakuan dimasukkan dalam tabung fermentor, ditambahkan 40 ml larutan McDougall dan 10 ml cairan rumen. Kemudian dikocok dengan gas CO2 selama 30 detik untuk menciptakan suasana anaerob dan ditutup dengan tutup karet berventilasi. Tabung dimasukan ke dalam shaker water bath dengan suhu 39oC. Proses fermentasi dihentikan setelah inkubasi selama 4 jam dan 48 jam. Tutup tabung dibuka kemudian ditambahkan 2

14 tetes HgCl2 jenuh untuk menghentikan aktivitas mikroba. Sampel disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh pada tabung inkubasi 4 jam diambil untuk analisis produksi VFA total dan konsentrasi NH3. Supernatan yang diperoleh pada tabung inkubasi 48 jam dibuang dan diambil endapannya. Endapan tersebut yang akan digunakan dalam analisis KCBK dan KCBO.

Nilai pH

Nilai pH rumen diukur pada sampel yang telah diinkubasi selama 4 jam. Nilai pH tersebut diukur dengan menggunakan pH meter sesudah tabung diangkat dari

shaker waterbath dan sebelum ditetesi dengan HgCl2.

Populasi Protozoa

Cairan rumen yang telah diinkubasi selama 4 jam, sebelum diangkat dari

shaker waterbath dan sebelum ditetesi HgCl2 diambil sebanyak 1 ml. Kemudian

dimasukkan ke dalam botol film yang berisi Trifanblue Formalsalin (TBFS) sebanyak 1 ml. TBFS dibuat dari campuran 4% formalin dengan NaCl Fisiologis 0,9% dalam 100 ml larutan. Perhitungan populasi protozoa dilakukan menurut metode Ogimoto dan Imai (1981) dengan menggunakan Fuchs Rosenthal Counting

Chamber. Populasi protozoa diamati dengan mikroskop lensa obyektif dengan

pembesaran 40x dan okuler 10x. Populasi protozoa dihitung dengan rumus :

Populasi protozoa = 1

0,2 x 0,0625 x 16 x 16 x 1000 x C x Fp

Keterangan : C = jumlah koloni yang dihitung Fp = faktor pengencer ( 2 )

Konsentrasi NH3

Konsentrasi NH3 (amonia) diukur dengan metode mikrodifusi Conway (Conway, 1962). Sebanyak 1 ml supernatan dipipet dan dibubuhkan disebelah kanan sekat dan 1 ml larutan Na2CO3 jenuh disebelah kiri cawan Conway, sedangkan cawan kecil ditengah diisi dengan 1 ml asam borat berindikator. Cawan Conway tersebut ditutup rapat dengan tutup yang telah diolesi vaselin, kemudian digerakkan perlahan sehingga supernatan dan larutan Na2CO3 bercampur. Cawan Conway dibiarkan selama 24 jam dalam suhu kamar. Amonia yang dihasilkan dari reaksi antara supernatan dan larutan Na2CO3 diikat oleh asam borat sehingga warna merah

asam borat berubah menjadi ungu kebiruan. Kemudian dititrasi dengan larutan H2SO4 0,005 N. Titrasi dihentikan setelah terjadi perubahan warna dari ungu kebiruan menjadi merah kembali. Konsentrasi NH3 dihitung dengan rumus:

NH3 (mM) =Volume H2SO4 x N. H2SO4 x 1000 Berat sampel x BK sampel Produksi VFA Total

Produksi VFA total diukur dengan menggunakan metode destilasi uap (General Laboratory Procedures, 1966). Sebanyak 5 ml supernatan dipipet kedalam tabung penyulingan khusus, kemudian ditambahkan 1 ml larutan H2SO4 15%. Hasil penyulingan ditampung dengan labu Erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan NaOH 0,5 N, sampai kira-kira tertampung sebanyak 250 ml. Kemudian ditambah 2-3 tetes indikator phenolphthalein dan dititrasi dengan larutan HCl 0,5 N. Titrasi dihentikan setelah terjadi perubahan warna dari merah jambu menjadi jernih. Produksi VFA total yang dihasilkan, dihitung dengan rumus :

Produksi VFA (mM) =[(a−b) x N HCl x 1000/5] Berat sampel x BK sampel

a = ml titran blanko b = ml titran sampel

KCBK dan KCBO

Supernatan yang diperoleh pada tabung inkubasi 48 jam dibuang dan diambil endapannya. Endapan tersebut ditambahkan dengan larutan pepsin-HCl 0,2% sebanyak 50 ml dan diinkubasi lagi selama 48 jam tanpa tutup karet. Kemudian endapan disaring dengan kertas saring Whatman No.41 dengan bantuan pompa vakum. Hasil saringan di oven 105oC selama 24 jam sehingga diperoleh bahan kering. Selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur 600oC selama 6 jam sehingga diperoleh bahan organik (Tilley & Terry, 1963). Kecernaan bahan kering dan bahan organik diperoleh dengan rumus:

% KCBK =BK asal BK residu − BK blanko

BK asal x 100%

% KCBO =BO asal − (BO residu – BO blanko)

16

Rancangan Perlakuan

Penelitian ini menggunakan 5 taraf perlakuan ransum dan 4 kelompok. Perlakuan yang digunakan adalah :

R0 : 30% konsentrat : 70% rumput lapang : 0% daun kersen R1 : 30% konsentrat : 65% rumput lapang : 5% daun kersen R2 : 30% konsentrat : 60% rumput lapang : 10% daun kersen R3 : 30% konsentrat : 55% rumput lapang : 15% daun kersen R4 : 30% konsentrat : 50% rumput lapang : 20% daun kersen

Peubah

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah nilai pH, populasi protozoa, konsentrasi NH3 (Amonia), produksi VFA total, KCBK (Kecernaan Bahan Kering), dan KCBO (Kecernaan Bahan Organik).

Model

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 taraf perlakuan ransum dan 4 kelompok sebagai ulangan. Pengelompokan berdasarkan waktu pengambilan cairan rumen. Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij = µ + βi + τj + εij

Keterangan :

Yij : nilai pengamatan perlakuan ke-i, blok ke-j µ : rataan umum

βi : efek perlakuan ke-i τj : efek blok ke-j

εij : galat perlakuan ke-i dan blok ke-j

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan jika berbeda nyata pada level P<0,05 dilakukan Uji Jarak Duncan. Analisis data dilakukan menggunakan software statistik SPSS versi 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN Daun Kersen sebagai Pakan

Peningkatan produksi daging lokal dengan mengandalkan peternakan rakyat menghadapi permasalahan dalam hal pakan. Pakan yang digunakan oleh peternak rakyat memiliki kualitas yang rendah karena menggunakan hijauan lebih banyak (hampir 100%), sehingga dapat mengakibatkan defisiensi nutrien. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan mencari bahan pakan yang mudah didapat dan memiliki kemampuan meningkatkan efisiensi fermentasi pakan.

Muntingia calabura (kersen) merupakan salah satu tumbuhan yang belum

digunakan sebagai pakan dan memiliki kemungkinan dapat dijadikan sebagai sumber pakan. Hal tersebut karena daun kersen mengandung saponin, tanin, dan flavonoid (Zakaria et al., 2010). Kandungan saponin dalam daun kersen diduga dapat meningkatkan efisiensi fermentasi rumen pada ruminansia melalui defaunasi parsial pada protozoa. Selain itu daun kersen memiliki kandungan protein yang lebih tinggi (15,22%) daripada rumput lapang (9,60%). Kandungan fitokimia daun kersen yang meliputi saponin dan tanin dapat dilihat pada Tabel 3, sementara analisis proksimat daun kersen terdapat pada Tabel 2.

Tabel 3. Kandungan Fitokimia Daun Kersen

Sampel Tanin (%) Saponin (%)

Daun kersen 1,41 10,28

Keterangan: Analisis di Laboratorium Balai Penelitian Ternak, Ciawi Bogor (2012)

Daun kersen sangat aplikatif, karena dapat diberikan dalam bentuk segar sehingga tidak memerlukan pengolahan dan memudahkan peternak rakyat. Daun kersen juga mudah ditemukan pada berbagai kondisi lahan. Menurut Figueiredo et al. (2008) pohon kersen merupakan tumbuhan yang mampu tumbuh cepat di lahan marginal sehingga disebut sebagai tanaman perintis. Hal tersebut membuat daun kersen mudah untuk dikembangbiakkan. Data hasil analisis populasi protozoa dan karakteristik fermentasi rumen secara in vitro dapat dilihat pada Tabel 4.

18 Tabel 4. Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Protozoa dan Karakteristik

Fermentasi

Keterangan:

1) Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) 2) R0: 30% K + 70% R

R1: 30% K + 65% R + 5% MC R2: 30% K + 60% R + 10% MC R3: 30% K + 55% R + 15% MC R4: 30% K + 50% R + 20% MC

3) K: konsentrat; R: rumput lapang; MC: Muntingia calabura

Nilai pH Rumen

Nilai pH rumen yang dihasilkan menunjukkan kondisi rumen yang sesuai atau tidak sesuai bagi pertumbuhan mikroba rumen. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan daun kersen tidak mempengaruhi nilai pH rumen (Tabel 4). Nilai pH yang sama dengan kontrol menunjukkan bahwa penggunaan daun kersen tidak mengganggu aktivitas fermentasi rumen. Rumen pada kondisi normal memiliki pH 6,8 (Arora, 1989). Menurut Dehority (2004), pH normal rumen sekitar 5,5-7,0 dengan pemberian rasio pakan normal.

Nilai pH sebenarnya menggambarkan jumlah asam yang diproduksi oleh mikroflora yang ada di dalam rumen. Nilai pH minimum umumnya dicapai sekitar 2-6 jam setelah makan, sesuai dengan produksi asam yang maksimum. Perubahan pH dipengaruhi oleh waktu setelah makan, sifat pakan, dan frekuensi makan ternak (Dehority, 2004).

Populasi Protozoa

Populasi protozoa yang bersilia lebih dominan di dalam rumen, sementara populasi protozoa yang berflagel hanya sedikit (Dehority, 2004). Protozoa yang bersilia berkembang di dalam rumen ternak ruminansia secara alami, dan membantu pencernaan zat-zat makanan dari rumput-rumputan yang kaya akan serat kasar

Peubah Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4 pH 6,86+0,09 6,84+0,05 6,85+0,07 6,81+0,06 6,83+0,07 Protozoa (Log 10/ml) 3,97+ 0,49 3,94+ 0,69 3,68 + 0,33 3,72 + 0,22 3,57 + 0,39 N-NH3 (mM) 6,93+ 1,05c 6,35+ 1,75bc 5,52+ 1,09bc 5,37+ 0,95ab 5,25+ 0,41a VFA Total (mM) 89,98+ 30,35a 104,07+ 33,55b 109,01+ 27,94b 112,41+ 24,44b 150,62+ 33,51c KCBK (%) 63,72+ 5,47b 57,84+ 2,22ab 54,28+ 9,93a 50,57+ 4,14a 53,69+ 6,85a KCBO (%) 65,07+ 5,11b 58,21+ 3,70ab 56,06+ 8,62a 50,62+ 5,85a 54,72+ 4,99a

(Arora, 1989). Namun protozoa juga bersifat merugikan karena sifatnya yang memangsa bakteri, akibatnya biomassa bakteri akan berkurang sehingga laju degradasi pakan dan suplai protein mikroba akan berkurang pula (Soetanto, 2004).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan daun kersen hingga taraf 20% tidak nyata mempengaruhi populasi protozoa. Hasil tersebut tidak sama dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa saponin asal tanaman dalam bentuk ekstrak yaitu Yucca schidigera (Pen et al., 2006) dan lerak (Suharti et al., 2011) dapat menekan populasi protozoa dalam rumen. Hal ini diduga karena penelitian ini menggunakan sumber saponin yang masih dalam bentuk tepung, sehingga banyak sanyawa lain yang mengikat saponin dan mengakibatkan belum efektif menekan protozoa. Disamping itu perbedaan tersebut diduga pula disebabkan oleh adanya perbedaan tipe dan asal saponin yang terdapat pada masing-masing tanaman, seperti yang dilaporkan oleh Pen et al. (2006).

Pengambilan sampel pada inkubasi 4 jam diduga juga dapat mempengaruhi keefektifan saponin dalam daun kersen untuk menekan populasi protozoa. Penelitian Suharti et al. (2011) memperlihatkan adanya perbedaan populasi protozoa antara waktu inkubasi 4 jam dan 24 jam. Waktu inkubasi 24 jam memperlihatkan penurunan yang signifikan. Protozoa akan melalui fase cair yang mengalami pergantian setiap 24 jam sekali, sehingga organisme yang ada di dalam rumen harus memiliki kecepatan pertumbuhan 16,6 jam atau lebih kecil untuk mempertahankan diri. Kecepatan pertumbuhan yang dibutuhkan protozoa antara 7-11 jam untuk mempertahankan diri di dalam rumen (Dehority, 2004).

Konsentrasi protozoa dalam rumen sapi maupun domba pada kondisi normal sekitar 1x106/ml (Dehority, 2004). Jumlah tersebut berbeda dengan populasi protozoa yang dihasilkan dalam penelitian ini yaitu sekitar 103/ml. Hal tersebut karena populasi protozoa pada penelitian in vitro lebih sedikit jika dibandingkan dengan penelitian in vivo, karena pada penelitian in vitro terdapat pengenceran oleh larutan McDougall. Jumlah tersebut masih dikatakan normal karena ransum hijauan yang digunakan mencapai 70%. Hasil tersebut hampir sama dengan penelitian Suharti et al. (2011) yang menggunakan ransum hijauan 70% dengan jumlah protozoa 104/ml serta penelitian Hess et al. (2003) yang menggunakan ransum hijauan 100% dengan jumlah protozoa 103/ml. Populasi protozoa dipengaruhi oleh

20 waktu setelah makan (waktu inkubasi) dan rasio pakan hijauan dan konsentrat (Dehority, 2004). Perbedaan rasio antara hijauan dan konsentrat menghasilkan populasi protozoa yang berbeda dalam penelitian Suharti et al. (2011).

Kandungan tanin dalam daun kersen diduga juga dapat mempengaruhi populasi protozoa dalam rumen. Tan et al. (2011) menyatakan bahwa penggunaan ekstrak tanin terkondensasi dari tanaman Leucaena mampu menurunkan populasi protozoa secara in vitro. Sementara pengaruh senyawa flavonoid dalam daun kersen terhadap populasi protozoa rumen belum diketahui, seperti yang telah dilaporkan oleh Patra dan Saxena (2010).

Konsentrasi Amonia (NH3)

Konsentrasi amonia dalam rumen menunjukkan banyaknya kandungan protein kasar yang dirombak oleh mikroba. Perubahan konsentrasi amonia menggambarkan efektivitas proses fermentasi. Syahrir et al. (2008) menyatakan bahwa konsentrasi amonia yang rendah dalam cairan rumen dapat menggambarkan proses fermentasi yang berjalan baik sehingga amonia dimanfaatkan dengan baik, protein ransum yang sulit didegradasi atau kandungan protein ransum yang rendah.

Penggunaan daun kersen sampai dengan level 20% dalam ransum sangat nyata (P<0,01) menurunkan konsentrasi amonia (Tabel 4). Pemberian daun kersen pada level yang semakin tinggi akan semakin menurunkan konsentrasi amonia. Kandungan protein daun kersen lebih tinggi jika dibandingkan dengan rumput lapang, maka seharusnya semakin tinggi penggunaan daun kersen dan semakin rendah penggunaan rumput lapang akan meningkatkan konsentrasi amonia. Hal tersebut diduga karena pengaruh tanin yang terkandung dalam daun kersen. Telah diketahui bahwa protein dan tanin dapat membentuk ikatan kompleks yang tidak dapat dihidrolisa di dalam sistem pencernaan fermentatif. Menurut Arora (1989) tanin pada hijauan biasanya dari jenis terkondensasi sehingga resisten terhadap hidrolisa. Hasil tersebut sama dengan penelitian Santoso et al. (2007) yang menggunakan Acacia mangium dengan kandungan tanin 4,51% mampu menurunkan konsentrasi amonia rumen. Kandungan tanin dalam daun kersen yang hanya 1,41% bisa jadi sama efektifnya dengan tanin dari Acacia mangium dalam membentuk ikatan kompleks dengan protein. Menurut Jayanegara dan Sofyan (2008) hubungan

antara kandungan tanin hijauan (total fenol, total tanin, dan tanin terkondensasi) belum tentu linier dengan aktivitas biologis tanin.

Rataan konsentrasi amonia yang dihasilkan (Tabel 4) menunjukkan bahwa ransum kontrol dan ransum penggunaan daun kersen pada level 5% memiliki nilai konsentrasi amonia yang optimal bagi pertumbuhan mikroba rumen. Hal ini sesuai dengan McDonald et al. (2002) yang menyatakan bahwa konsentrasi amonia yang optimal untuk menunjukkan sintesis protein mikroba berkisar 6-21 mM. Konsentrasi amonia yang dihasilkan oleh penggunaan daun kersen pada level 10%, 15%, dan 20% masih dapat menunjang pertumbuhan mikroba rumen. Menurut Sutardi (1980) konsentrasi amonia yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen berkisar antara 4-12 mM.

Produksi VFA Total

VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat oleh mikroba rumen serta sebagai sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Produksi VFA yang utama yaitu asam asetat, propionat, dan butirat yang dianggap sebagai faktor utama dalam mempengaruhi produksi ternak ruminansia (McDonald et al., 2002). Peningkatan produksi VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan difermentasi oleh mikroba rumen.

Penggunaan daun kersen sampai level 20% sangat nyata (P<0,01) meningkatkan produksi VFA (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi level daun kersen yang diberikan maka semakin tinggi pula produksi VFA total. Produksi VFA total berkaitan dengan lama inkubasi yang dilakukan yaitu selama 4 jam. Telah diketahui bahwa pada awal fermentasi, mikroba rumen memfermentasi bahan yang paling mudah tercerna. Peningkatan produksi VFA ini diduga karena proporsi karbohidrat yang mudah tercerna pada daun kersen lebih tinggi daripada rumput lapang (Tabel 2). Hal tersebut dapat dilihat dari kandungan Beta-N (karbohidrat mudah tercerna) dalam daun kersen yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan rumput lapang. Selain itu peningkatan produksi VFA total yang diikuti dengan rendahnya konsentrasi amonia merupakan gambaran efisiensi penggunaan amonia oleh bakteri untuk mensintesis protein mikroba. Selanjutnya bakteri tersebut akan mencerna pakan untuk memproduksi VFA yang dapat dimanfaatkan sebagai

22 sumber energi bagi induk semang dan sumber karbon bakteri itu sendiri (Syahrir et al., 2009).

Rataan nilai produksi VFA yang dihasilkan meningkat dari 89,98 (ransum kontrol) sampai 150,62 (level daun kersen 20%). Nilai konsentrasi tersebut berada dalam kisaran normal dalam mendukung sintesis protein mikroba. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa produksi VFA total yang dapat mendukung proses sintesis

Dokumen terkait