• Tidak ada hasil yang ditemukan

Protozoal Population and Rumen Fermentation Characteristics of Diet with Muntingia calabura Leaves Addition In Vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Protozoal Population and Rumen Fermentation Characteristics of Diet with Muntingia calabura Leaves Addition In Vitro"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

RUMEN DENGAN PEMBERIAN DAUN KERSEN

(Muntingia calabura) SECARA IN VITRO

SKRIPSI

IDE RISENTITO PUSPITANING

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

IDE RISENTITO PUSPITANING. D24080097. 2012. Populasi Protozoa dan Karakteristik Fermentasi Rumen dengan Pemberian Daun Kersen (Muntingia calabura) secara In Vitro. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Sri Suharti, S.Pt. M.Si.

Pembinmbing Anggota : Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt. M.Sc.

Daun kersen (Muntingia calabura) memiliki kandungan saponin yang cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai agen defaunasi protozoa yang dapat meningkatkan efisiensi fermentasi rumen. Penyebarannya yang luas yang mudah ditemukan pada berbagai kondisi lahan termasuk lahan marginal, menjadikan tumbuhan ini sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kandungan fitokimia daun kersen yang meliputi senyawa tanin dan saponin serta mengevaluasi dosis daun kersen yang tepat dan sesuai untuk mengoptimalkan fermentasi rumen.

Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 taraf perlakuan dan 4 kelompok sebagai ulangan. dengan Uji Jarak Duncan. Analisis data dilakukan menggunakan software statistik SPSS versi 16.

Hasil analisis fitokimia menunjukkan bahwa daun kersen memiliki kandungan saponin 10,28% dan tanin 1,41%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan daun kersen pada ransum tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi nilai pH rumen dan populasi protozoa. Konsentrasi NH3 menurun sangat nyata

(P<0,01), namun produksi VFA meningkat sangat nyata (P<0,01). Kecernaan bahan kering dan bahan organik menurun secara nyata (P<0,05). Penggunaan tepung daun kersen sampai level 20% dapat menurunkan kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, dan konsentrasi NH3 serta mampu meningkatkan produksi VFA total,

namun belum efektif dalam penekanan populasi protozoa dengan waktu inkubasi 4 jam secara in vitro.

(3)

Protozoal Population and Rumen Fermentation Characteristics of Diet with Muntingia calabura Leaves Addition In Vitro

Puspitaning, I. R., S. Suharti, and A. Jayanegara

The exotic tree Muntingia calabura L. (MCL), is a fast-growing tree that contains secondary metabolite compounds such as saponins and tannins. Saponins and tannins has potency to improve rumen fermentation. An in vitro study was conducted to determine the effect of MCL supplementation on protozoal population and fermentation characteristics. Randomized complete block design was applied to this research by using 5 treatments with 4 replications for each treatment. The treatments were: R0: 30% concentrate (C) + 70% forage (F); R1: 30% C + 65% F + 5% MCL; R2: 30% C + 60% F + 10% MCL; R3: 30% C + 55% F + 15% MCL; R4: 30% C + 50% F + 20% MCL. Variables observed were pH, protozoal population, N-NH3 and

total volatile fatty acid(VFA) production, dry matter and organic matter digestibility. Data were analyzed using analysis of variance (ANOVA). The results showed that the addition of MCL up to 20% in the ration did not affect (P>0.05) pH and protozoal population. Amonia-N concentration decreased (P<0.01) and total VFA increased (P<0.01) when MCL was included. In vitro dry matter and organic matter digestibility decreased (P<0.05) with MCL addition. In conclusion, addition of MCL powder up to 20% from total diet could decrease in vitro dry matter and organic matter digestibility, amonia-N concentration, and increase total VFA production, but did not effective to decrease protozoal population in 4 h incubation in vitro.

(4)

RUMEN DENGAN PEMBERIAN DAUN KERSEN

(Muntingia calabura) SECARA IN VITRO

IDE RISENTITO PUSPITANING D24080097

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

Daun Kersen (Muntingia calabura) secara In Vitro

Nama : Ide Risentito Puspitaning

NIM : D24080097

Menyetujui,

Pembimbing Utama,

(Dr. Sri Suharti, S.Pt.M.Si) NIP: 19741012 200501 2 002

Pembimbing Anggota,

(Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt.M.Sc) NIP: 19830602 200501 1 001

Mengetahui Ketua Departemen,

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr) NIP: 19670506 199103 1 001

(6)

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 September 1990

di Pati, Jawa Tengah. Penulis adalah anak pertama dari

dua bersaudara dari pasangan Bapak Lis Indrianto dan Ibu

Eri Lestari Muryani.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun

1996 di Sekolah Dasar Negeri Pati Lor 04 dan diselesaikan

pada tahun 2002. Pendidikan lanjutan tingkat pertama

dimulai pada tahun 2002 dan diselesaikan pada tahun 2005

di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Pati.

Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Pati pada tahun

2005 dan diselesaikan pada tahun 2008.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi

Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis aktif dalam Unit Kegiatan

Mahasiswa Uni Konservasi Fauna (UKF) sebagai staf Konservasi Eksitu (periode

2009-2011) dan sekretaris bidang Sosial Lingkungan (periode 2010-2011). Penulis

juga aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak

(HIMASITER) sebagai staf Kewirausahaan (periode 2009-2011), Kelompok Pecinta

Alam Fakultas Peternakan (KEPAL-D) dan Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan

Keluarga Mahasiswa Pati (IKMP). Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di

Internasional Animal Rescue (IAR) Bogor dan Taman Margasatwa Ragunan Jakarta

pada tahun 2010, serta mengikuti kegiatan magang di Balai Embrio Ternak (BET)

Bogor pada tahun 2011. Karya tulis dari penulis yang pernah dipublikasikan adalah

Prosiding Seminar Nasional Uni Konservasi Fauna 2011 dengan judul Konservasi

Raptor sebagai Salah Satu Potensi Ekowisata.

Bogor, Juli 2012

Ide Risentito Puspitaning

(7)

Bissmillahirrahmannirrahim.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat,

karunia serta ridho-Nya penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Skripsi yang berjudul “Populasi Protozoa dan Karakteristik Fermentasi Rumen dengan Pemberian Daun Kersen (Muntingia calabura) secara In Vitro” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Tujuan penulisan skripsi ini yaitu untuk menganalisis kandungan fitokimia

daun kersen yang meliputi senyawa tanin dan saponin serta mengevaluasi dosis daun

kersen yang tepat dan sesuai untuk mengoptimalkan fermentasi rumen secara in

vitro. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Mei 2012. Lokasi

Penelitian bertempat di Laboratorium Biokimia, Fisiologi, dan Mikrobiologi Nutrisi,

Laboratorium Nutrisi Perah, dan Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati

dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor serta Laboratorium Balai Penelitian

Ternak (Balitnak) Ciawi, Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih atas kritik dan saran yang membangun

oleh berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi

ini dapat bermanfaat terutama dalam dunia peternakan.

Bogor, Juli 2012

(8)
(9)

Perlakuan ... 16

Peubah ... 16

Model ... 16

Analisis Data ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Daun Kersen sebagai Pakan ... 17

Nilai pH Rumen ... 18

Populasi Protozoa ... 18

Konsentrasi Amonia (NH3) ... 20

Produksi VFA Total ... 21

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik ... 22

KESIMPULAN DAN SARAN ... 23

Kesimpulan ... 23

Saran ... 23

UCAPAN TERIMA KASIH ... 24

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Konsentrat ... 12

2. Kandungan Zat Makanan Ransum dalam Bahan Kering ... 12

3. Kandungan Fitokimia Daun Kersen ... 17

4. Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Protozoa dan Karakteristik

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Daun Kersen (Muntingia calabura) ... 3

2. Struktur Saponin Steroid ... 4

3. Struktur Saponin Triterpenoid ... 4

4. Unit Monomer Tanin Terkondensasi (Catechin dan Gallocatechin dan

Terhidrolisis (Asam Gallic dan Ellagic) ... 5

5. Proses Metabolisme Protein dalam Rumen Ternak Ruminansia ... 8

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Analisa Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai pH ... 29

2. Hasil Analisa Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Protozoa ... 29

3. Hasil Analisa Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi NH3 ... 29

4. Hasil Analisa Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi VFA Total ... 30

5. Hasil Analisa Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai KCBK ... 31

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan impor daging belum dapat dihindarkan karena tingkat kebutuhan

daging di Indonesia lebih banyak daripada produksinya. Badan Pusat Statistik (2012)

mencatat terdapat 14.805.053 ekor sapi potong pada masa sensus Juni 2011, namun

hasil sensus tersebut belum dapat mengurangi kebutuhan impor karena hanya 1,425

juta ekor sapi yang siap potong. Laporan tahunan tahun 2011 oleh Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian (2012) menyatakan bahwa Indonesia diperkirakan

mengimpor sapi hidup sebanyak 650 ribu ekor dari Australia dan 72 ribu ton daging

sapi beku (setara dengan 220 ribu ekor sapi). Penekanan jumlah impor daging dapat

dilakukan dengan meningkatkan produksi daging lokal.

Peternakan rakyat menjadi kunci keberhasilan program kecukupan daging

karena sistem peternakan sapi potong di Indonesia masih mengandalkan peternakan

rakyat (Mayulu et al., 2010). Sementara peternakan rakyat menggunakan ransum

hijauan dalam jumlah banyak (hampir 100%) yang sering menyebabkan defisiensi

nutrien sehingga mengakibatkan produktivitas ternak rendah. Peningkatan efisiensi

fermentasi rumen perlu dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas

ternak yang sangat ditentukan oleh aktifitas mikroba rumen.

Ekosistem rumen ternak ruminansia termasuk sapi potong dihuni oleh bakteri,

protozoa, fungi, dan arkae yang berperan dalam pencernaan pakan. Populasi protozoa

yang tinggi dalam rumen ruminansia kurang menguntungkan karena sifatnya yang

memangsa (predator) bakteri untuk memenuhi kebutuhan proteinnya. Akibatnya

biomassa bakteri akan berkurang sehingga laju degradasi pakan di dalam rumen dan

suplai protein mikroba akan berkurang pula (Soetanto, 2004). Sementara itu pada

ternak yang mendapat pakan tinggi hijauan, perkembangan populasi mikroba rumen

terutama bakteri pencerna serat sangat menentukan fermentasi pakan di dalam

rumen.

Salah satu strategi untuk meningkatkan efisiensi fermentasi rumen pada

ternak yang mendapat ransum hijauan tinggi adalah menghambat pertumbuhan

protozoa secara parsial (defaunasi parsial). Defaunasi parsial pada protozoa tersebut

diharapkan dapat mengakibatkan peningkatan biomassa bakteri, sehingga terjadi

(14)

2 mengontrol populasi protozoa dengan berbagai agen defaunasi, salah satunya

menggunakan senyawa saponin asal tanaman, yaitu tanaman teh (Hu et al., 2005),

akasia (Santoso et al., 2007), dan lerak (Suharti et al., 2011).

Muntingia calabura atau yang biasa disebut dengan kersen (talok) merupakan

tumbuhan yang mengandung saponin, tanin, dan flavonoid (Zakaria et al., 2010).

Kandungan saponin dalam daun kersen tersebut diharapkan mampu menekan

populasi protozoa. Pohon kersen sangat mudah ditemukan di Indonesia termasuk di

kota-kota besar dan di tempat yang kering berkepanjangan. Menurut Figueiredo et al.

(2008) pohon kersen merupakan tumbuhan yang mampu tumbuh cepat di lahan

marginal sehingga mudah dikembangkan dan sangat berpotensi sebagai pakan

ternak.

Sejauh ini penelitian tentang pemanfaatan daun kersen sebagai sumber pakan

ruminansia belum ada. Oleh karena itu dilakukan analisis in vitro untuk mengetahui

pengaruh pemberian daun kersen terhadap ternak.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kandungan fitokimia daun kersen

yang meliputi senyawa tanin dan saponin serta mengevaluasi dosis penggunaan daun

kersen yang tepat dan sesuai untuk mengoptimalkan kecernaan bahan kering,

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Kersen (Muntingia calabura)

Kersen berasal dari Amerika tropis dan banyak ditanam di kebun sebagai

pohon peneduh. Kersen memiliki pohon yang kecil dengan tinggi 2-10 m.

Rantingnya diselimuti rapat oleh rambut biasa yang halus dan oleh rambut kelenjar.

Daunnya berseling, helaian daun tidak sama sisi, bulat telur bentuk lanset dengan

ujung runcing bergerigi, berambut rapat terutama di bawah daun, lebarnya 4,5-14

kali 1,5-4 cm, tangkai daun pendek dan berambut seperti wol. Bunga berjumlah 1-3

menjadi satu di ketiak daun, berbilangan 5 dan berkelamin 2. Mahkota bunganya

berbentuk bulat telur terbalik dan berwarna putih. Buahnya buni berwarna merah

(Steenis, 2006). Taksonomi tumbuhan Muntingia calabura adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Superdivisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (Dikotil/berkeping dua)

Ordo : Malvales

Famili : Muntingiaceae

Genus : Muntingia L.

Spesies : M. calabura

Pohon kersen termasuk pohon yang tumbuh cepat dan dapat tumbuh subur di

lahan marginal. Tumbuhan ini mampu melakukan penyerbukan sendiri secara

spontan, mampu memproduksi buah dan biji dalam jumlah besar sepanjang tahun

serta memiliki laju perkecambahan biji yang tinggi (Figueiredo et al., 2008). Daun

kersen mengandung flavonoid, tanin, dan saponin (Zakaria et al., 2010).

Gambar 1. Daun Kersen (Muntingia calabura)

(16)

4

Saponin

Saponin termasuk ke dalam golongan glikosida yang terdapat pada tanaman

tinggi dan dapat menimbulkan buih bila dikocok. Glikosida adalah suatu senyawa

yang bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon

atau genin). Saponin memiliki rasa pahit atau getir dan dapat membentuk senyawa

kompleks dengan kolesterol. Sebagian besar saponin bereaksi netral (larut dalam air),

beberapa ada yang bereaksi asam (sukar larut dalam air), sebagian kecil ada yang

bereaksi basa. Saponin berdasarkan struktur aglikonnya dapat dikelompokkan

menjadi dua yaitu saponin sterol (steroid) dan saponin triterpen (triterpenoid).

Saponin sterol bila dihidrolisis akan membentuk senyawa sterol, sedangkan saponin

triperten bila dihidrolisis akan membentuk senyawa triterpen (Sirait, 2007).

Saponin mempunyai pengaruh yang lebih menguntungkan pada ternak

ruminansia dibandingkan pada ternak non ruminansia. Pemberian bahan yang

mengandung saponin dapat meningkatkan pertumbuhan, efisiensi pakan, dan

kesehatan ternak dengan kemampuannya sebagai agen defaunasi. Kemampuan

saponin sebagai agen defaunasi dapat menyebabkan penurunan total populasi

protozoa rumen (Suparjo, 2008). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang

menyatakan bahwa senyawa saponin asal tanaman yaitu teh (Hu et al., 2005) dan

lerak (Suharti et al., 2010) dapat menekan pertumbuhan protozoa.

Gambar 2. Struktur Saponin Steroid Gambar 3. Struktur Saponin Triterpenoid

Sumber: Sirait (2007) Sumber: Sirait (2007)

Tanin

Tanin disebut juga zat samak yang memiliki sifat dapat menciutkan dan

mengendapkan protein dari larutan dengan membentuk senyawa yang tidak larut

(Sirait, 2007). Tanin merupakan polimer polifenolik yang dapat larut dalam air

(17)

membentuk senyawa kompleks dengan protein membentuk kelompok fenolik

hidroksil yang besar. Tanin banyak terdapat pada hijauan pohon yang memiliki

nutrisi baik, semak belukar, dan kacang-kacangan, buah-buahan serta biji-bijian.

Tanin dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu tanin terhidrolisa dan tanin

terkondensasi. Tanin terhidrolisa merupakan molekul kompleks dengan polyol

sebagai intinya seperti glukosa, glusitol, asam quinic, quersitol, dan asam shikimic

yang sebagian atau seluruhnya teresterifikasi dengan kelompok fenolik. Tanin

terkondensasi merupakan sebagian besar dari polimer flavan-3-ol unit (epi)catechin

dan (epi)gallocatechin yang berikatan dengan hubungan C4-C8 dan C4-C6

interflavoniod (Patra dan Saxena, 2010).

Gambar 4. Unit Monomer Tanin Terkondensasi (Catechin dan Gallocatechin) dan Terhidrolisis (Asam Gallic dan Ellagic)

Sumber: Patra dan Saxena (2010)

Pengaruh umum tanin terhadap ruminansia yaitu dapat menurunkan

pemanfaatan nutrien secara in vivo terutama dalam pemanfaatan protein oleh ternak,

menurunkan tingkat pertumbuhan ternak, menurunkan palatabilitas dan konsumsi

atau menurunkan berbagai aktivitas enzim. Tanin dapat bersifat racun dan dapat

mengakibatkan kematian jika dikonsumsi dalam jumlah yang besar (Makkar, 2003).

Catechin Asam Gallic

(18)

6

Mikroba Rumen

Perut ruminansia terdiri dari 4 bagian yaitu rumen, retikulum, omasum, dan

abomasum. Rumen merupakan saluran fermentasi terbesar pada ruminansia yang di

dalamnya terdapat beberapa jenis mikroba. Mikroba tersebut memiliki hubungan

simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) dengan tubuh inangnya (ruminansia).

Mikroba rumen mendapatkan makanan dari pakan yang masuk ke saluran

pencernaan inangnya, sementara mikroba tersebut membantu dalam mencerna pakan

inangnya (Dehority, 2004). Mikroba rumen dibagi menjadi 4 kelompok utama yaitu

bakteri, protozoa, jamur, dan bakteriophage atau virus. Disamping itu terdapat

amoeba yang populasinya belum diketahui secara pasti (Soetanto, 2004). Faktor

utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktifitas populasi mikroba rumen

adalah temperatur, pH, kapasitas buffer, tekanan osmotik, kandungan bahan kering,

dan potensial oksidasi reduksi. Temperatur di dalam rumen relatif konstan yaitu

38-40oC sedangkan pH normal rumen sekitar 5,5-7,0 dengan komposisisi rasio pakan

normal (Dehority, 2004).

Bakteri merupakan biomasa terbesar di dalam rumen, terdapat sekitar 50%

dari total bakteri hidup bebas dalam cairan rumen serta sekitar 30%-40% menempel

pada partikel makanan. Bakteri rumen punya peran yang besar dalam membantu

mencerna pakan (Soetanto, 2004). Spesies-spesies bakteri dan protozoa yang berbeda

saling berinteraksi di dalam rumen melalui hubungan simbiosis dan menghasilkan

produk-produk yang khas seperti selulosa, hemiselulosa, dan pati melalui pencernaan

polimer tumbuhan. Bakteri-bakteri tertentu yang bertanggung jawab terhadap proses

fermentasi pregastric membentuk asetat, propionat, butirat, CO2, dan H2. Metanogen

mempergunakan CO2, H2, dan format untuk membentuk metana. Beberapa spesies

memproduksi amonia dan asam lemak terbang berantai cabang dari asam-asam

amino tertentu. Beberapa organisme mengeluarkan urease untuk memecah urea

sehingga menjadi amonia dan CO. Bakteri juga mensintesis vitamin-vitamin

golongan B kompleks (Arora, 1989).

Protozoa bersifat anaerob. Apabila kadar oksigen maupun nilai pH isi rumen

tinggi, maka protozoa tidak dapat membentuk cyste untuk mempertahankan diri dari

lingkungan yang jelek, sehingga dengan cepat akan mati (Arora, 1989). Protozoa

(19)

lebih besar sehingga total biomasanya hampir sama dengan bakteri (McDonald et al.,

2002). Jumlah protozoa dalam rumen sangat beragam menurut jenis makanan, umur,

dan jenis hewan yang menjadi inangnya. Biasanya jumlah protozoa ciliata adalah 105

per ml pada makanan berserat kasar tinggi, namun jumlah ini meningkat menjadi 106

per ml pada adaptasi terhadap gula-gula terlarut (Arora, 1989).

Banyak bukti yang menunjukkan bahwa interaksi antara bakteri dan protozoa

di dalam rumen lebih bersifat kompetitif. Protozoa memangsa bakteri yang terdapat

pada cairan rumen dan mencernanya sebagai sumber asam amino bagi

pertumbuhannya. Akibatnya populasi bakteri akan berkurang sehingga laju

kolonisasi partikel makanan di dalam rumen akan berkurang juga (Soetanto, 2004).

Setiap individu protozoa dapat memangsa bakteri dengan kecepatan antara 60-700

bakteri/protozoa/jam pada kondisi kepadatan bakteri 109 sel/ml (Arora, 1989).

Pencernaan bakteri dalam sel protozoa berkisar antara 345–1200

bakteri/protozoa/jam. Populasi jamur rumen (zoospores) telah dilaporkan meningkat

setelah defaunasi (menghilangkan protozoa dari rumen) yang dapat meningkatkan

daya cerna serat kasar secara nyata 6-10 unit/24 jam. Disamping itu jumlah bakteri

juga meningkat apabila protozoa dihilangkan dari rumen (Soetanto, 2004).

Amonia (NH3)

Seluruh protein yang terkandung dalam pakan akan dihidrolisa oleh mikroba

rumen menjadi asam amino. Hidrolisa protein menjadi asam amino tersebut diikuti

oleh proses deaminasi untuk membebaskan amonia. Sumber lain amonia adalah dari

hidrolisa urea atau garam-garam amonium lain yang dapat berasal dari saliva

maupun pakan (Arora, 1989). Proses metabolisme protein pada rumen ruminansia

dapat dilihat pada Gambar 5.

Amonia merupakan sumber nitrogen utama yang penting untuk sintesis

protein mikroba. Bakteri yang mampu memanfaatkan amonia sebagai sumber energi

disebut bakteri penitrifikasi (Dehorty, 2004). Menurut Arora (1989), amonia yang

dibebaskan dari urea atau garam-garam amonium tersebut dapat menggantikan

protein makanan sampai 50%. Amonia dibebaskan di dalam rumen selama proses

fermentasi dalam bentuk ion NH4 maupun dalam bentuk tak terion sebagai NH3.

Sebanyak 82% mikroba rumen dapat tumbuh dengan NH4+ sebagai sumber N dan

(20)

8 amonia dalam cairan rumen adalah penting karena pemakaian amonia oleh mikroba

terus meningkat mencapai 5 mM (8,5mg/100 ml).

Gambar 5. Proses Metabolisme Protein dalam Rumen Ternak Ruminansia

Sumber: McDonald et al. (2002)

Amonia yang dihasilkan dari proses hidrolisa protein tidak semuanya

disintesis menjadi protein mikroba, namun sebagian akan diserap ke dalam darah.

Amonia yang tidak terpakai akan dibawa ke hati yang diubah menjadi urea, sebagian

dikeluarkan melalui urin serta yang lain dibawa ke kelenjar saliva. Konsentrasi

amonia yang optimum dalam menunjang proses sintesis mikroba sangat bervariasi

berkisar antara 6-21 mM. Faktor utama yang mempengaruhi penggunaan amonia

yaitu ketersediaan karbohidrat dalam ransum yang berfungsi sebagai energi untuk

pembentukan protein mikroba (McDonald et al., 2002).

Kadar amonia dalam rumen merupakan petunjuk antara proses degradasi dan

(21)

proteinnya tahan degradasi memiliki konsentrasi amonia yang rendah dalam rumen

serta pertumbuhan mikroba rumen akan lambat yang menyebabkan turunnya

kecernaan pakan (McDonald et al., 2002).

Volatile Fatty Acid (VFA)

Karbohidrat yang terkandung dalam ransum pakan akan dipecah di dalam

rumen ruminansia. Karbohidrat yang berbentuk polisakarida akan dihidrolisa

menjadi monosakarida oleh enzim-enzim mikroba rumen. Monosakarida tersebut

seperti glukosa, difermentasi menjadi VFA (asam lemak terbang) berupa asetat,

propionat dan butirat, serta gas CH4, dan CO2.

Gambar 6. Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Ternak Ruminansia

Sumber: McDonald et al. (2002)

Hemiselulosa Fruktosa-6-phosphat Fruktosa Fruktan

(22)

10 VFA akan diserap melalui dinding rumen, sementara gas CH4 dan CO2 akan

hilang melalui proses eruktasi. Sekitar 75% dari produksi total VFA yang akan

diserap langsung oleh retikulo-rumen yang masuk ke darah, sekitar 20% VFA

diserap di abomasum dan omasum serta sekitar 5% diserap oleh usus halus

(McDonald et al., 2002).

Arora (1989) menyatakan bahwa VFA merupakan sumber energi utama bagi

ruminansia. Glukosa pada ruminansia diabsorpsi dari saluran pencernaan dalam

jumlah kecil, dan kadarnya di dalam darah dipertahankan melalui sintesa endogenous

untuk keperluan fungsi-fungsi esensial jaringan tubuh. Produksi VFA cairan rumen

berkisar antara 70-150 mM. Konsentrasi VFA yang dihasilkan tergantung dari jenis

pakan yang dikonsumsi ternak (McDonald et al., 2002). Proses fermentasi

karbohidrat pada rumen ternak ruminansia dapat dilihat pada Gambar 6.

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Kecernaan pakan dapat didefinisikan sebagai bagian pakan yang tidak

diekskresikan dalam feses sehingga diasumsikan bagian tersebut diserap oleh tubuh

ternak. Kecernaan dinyatakan dengan dasar bahan kering (McDonald et al., 2002).

Tingkat pencernaan merupakan fungsi waktu pencernaan dan waktu yang tersedia

bagi pakan untuk dicerna. Absorpsi total neto pakan ditentukan oleh selisih antara

yang masuk (inflow) dan yang keluar (outflow) pada setiap seksi saluran pencernaan.

Kecernaan dapat dihitung dengan berbagai teknik. Salah satunya adalah teknik in

vitro yang harus mirip dengan in vivo agar sedapat mungkin menghasilkan pola yang

sama. Kadar substrat harus berkisar antara 0,5-0,15 gram per pakan hijauan sehingga

cukup untuk menjalankan kecepatan fermentasi yang normal di dalam sistem

pencernaan. Media harus mengandung sumber energi, namun di dalam evaluasi

makanan hijauan sumber energi tersebut dihindari dan tidak ditambahkan ke dalam

sistem. Substrat penting lainnya yang diperlukan dalam sistem in vitro ini adalah

sumber nitrogen (Arora, 1989).

Tilley dan Terry (1963) memperkenalkan metode two stage yang paling

banyak digunakan untuk mengukur kecernaan secara in vitro. Tahap pertama dari

metode ini adalah inkubasi dalam larutan buffer cairan rumen selama 48 jam dalam

(23)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Mei 2012. Analisis

fitokimia dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Analisis

proksimat dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan

Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Analisis konsentrasi amonia, produksi

Volatile Fatty Acid (VFA) total, dan nilai kecernaan dilakukan di Laboratorium

Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis populasi

protozoa dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi, dan Mikrobiologi Nutrisi

Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain oven 60oC, grinder,

timbangan digital, sudib, termos, kain penyaring, corong, tabung fermentor, tutup

karet, pipet volumetrik, labu Erlenmeyer, bulp, botol film, freezer, kulkas, spoit,

jarum suntik, shaker water bath, tabung gas CO2, selang, pH meter, timbangan

analitik, sentrifuge, alat destilasi VFA, magnetic stirer, buret, pipet mikro, cawan

Conway, ruang asam, oven 105oC, tanur, eksikator, gegep, cawan porselen, pompa

vakum, mikroskop, dan Fuchs Rosenthal Counting Chamber.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain cairan rumen yang

diambil dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Bubulak Bogor, aquades, larutan

McDougall, Trifanblue Formalsalin (TBFS), kertas saring, gas CO2, HgCl2 jenuh,

larutan Na2CO3 jenuh, asam borat, vaselin, larutan H2SO4 0,005 N, larutan H2SO4

15%, larutan NaOH 0,5 N, indikator phenolphthalein, larutan HCl 0,5 N, dan

pepsin-HCl 0,2%. Bahan yang digunakan dalam pembuatan larutan McDougall dan TBFS

serta cara pembuatannya dicantumkan dalam prosedur penelitian. Bahan pakan yang

digunakan berupa ransum komplit berbentuk mash dengan perbandingan hijauan dan

konsentrat 70% : 30%. Hijauan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari

rumput lapang dan daun kersen. Komposisi dan kandungan zat makanan ransum

(24)

12

Tabel 2. Kandungan Zat Makanan Ransum dalam Bahan Kering

Kandungan Zat Makanan (% BK)

1) K: konsentrat; R: rumput lapang; MC: Muntingia calabura.

2) Sumber: Hasil Analisis Proksimat Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, 2012.

Prosedur

Pembuatan Tepung Daun Kersen

Daun kersen pada penelitian ini diperoleh di sekitar kampus IPB Darmaga.

Daun kersen dilayukan dengan diangin-anginkan selama 1 malam. Kemudian daun

kersen dikeringkan dalam oven 600C selama 48 jam sampai bahan dapat digiling.

Daun kersen yang telah dikeringkan dalam oven digiling hingga menjadi tepung dan

(25)

Analisis Proksimat dan Fitokimia

Analisis proksimat dilakukan di Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan

Bioteknologi IPB. Analisis fitokimia dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian

Ternak Ciawi, Bogor. Analisis saponin menggunakan metode uji spektrofotometri.

Analisis tanin berdasarkan metode Folin-Ciocalteu (Makkar, 2003).

Pembuatan Larutan McDougall

Pembuatan larutan McDougall berdasarkan Tilley dan Terry (1963). Bahan

yang digunakan untuk pembuatan larutan McDougall sebanyak 1 liter ditimbang dan

dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer. Bahan-bahan tersebut adalah NaHCO3 (9,8

gram), Na2HPO4.7H2O (7 gram), KCl (0,57 gram), NaCl (0,47 gram), dan

MgSO4.7H2O (0,12 gram). Kemudian ditambahkan aquades sampai kira-kira 900 ml

dan diaduk dengan magnetic stirer. Setelah larut ditambahkan CaCl2 (0,04 gram),

ditambahkan aquades sampai mencapai tanda tera 1 liter, dan dilarutkan kembali

sampai semua bahan larut.

Pengambilan Cairan Rumen

Cairan rumen diambil dari Rumah Pemotongan Hewan Bubulak Bogor.

Cairan rumen tersebut diambil dari dua ekor sapi yang dimasukkan dalam satu

termos. Menurut Mauricio (2001), cairan rumen diambil dari 2 ekor ternak. Suhu di

dalam termos harus disesuaikan suhu rumen dengan diisi oleh air panas sebelum diisi

cairan rumen. Kemudian air panas dalam termos dibuang terlebih dahulu sebelum

diisi cairan rumen. Isi rumen diperas dan disaring lalu dimasukkan ke dalam termos

dan segera dibawa ke laboratorium untuk dilakukan fermentasi in vitro. Pengambilan

cairan rumen dilakukan sebanyak 4 kali.

Fermentasi In Vitro

Metode in vitro yang digunakan adalah metode dua tahap (two-stage method)

(Tilley dan Terry, 1963). Sebanyak 0,5 gram sampel sesuai perlakuan dimasukkan

dalam tabung fermentor, ditambahkan 40 ml larutan McDougall dan 10 ml cairan

rumen. Kemudian dikocok dengan gas CO2 selama 30 detik untuk menciptakan

suasana anaerob dan ditutup dengan tutup karet berventilasi. Tabung dimasukan ke

dalam shaker water bath dengan suhu 39oC. Proses fermentasi dihentikan setelah

(26)

14 tetes HgCl2 jenuh untuk menghentikan aktivitas mikroba. Sampel disentrifuge

dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh pada

tabung inkubasi 4 jam diambil untuk analisis produksi VFA total dan konsentrasi

NH3. Supernatan yang diperoleh pada tabung inkubasi 48 jam dibuang dan diambil

endapannya. Endapan tersebut yang akan digunakan dalam analisis KCBK dan

KCBO.

Nilai pH

Nilai pH rumen diukur pada sampel yang telah diinkubasi selama 4 jam. Nilai

pH tersebut diukur dengan menggunakan pH meter sesudah tabung diangkat dari

shaker waterbath dan sebelum ditetesi dengan HgCl2.

Populasi Protozoa

Cairan rumen yang telah diinkubasi selama 4 jam, sebelum diangkat dari

shaker waterbath dan sebelum ditetesi HgCl2 diambil sebanyak 1 ml. Kemudian

dimasukkan ke dalam botol film yang berisi Trifanblue Formalsalin (TBFS)

sebanyak 1 ml. TBFS dibuat dari campuran 4% formalin dengan NaCl Fisiologis

0,9% dalam 100 ml larutan. Perhitungan populasi protozoa dilakukan menurut

metode Ogimoto dan Imai (1981) dengan menggunakan Fuchs Rosenthal Counting

Chamber. Populasi protozoa diamati dengan mikroskop lensa obyektif dengan

pembesaran 40x dan okuler 10x. Populasi protozoa dihitung dengan rumus :

Populasi protozoa = 1

0,2 x 0,0625 x 16 x 16 x 1000 x C x Fp

Keterangan : C = jumlah koloni yang dihitung

Fp = faktor pengencer ( 2 )

Konsentrasi NH3

Konsentrasi NH3 (amonia) diukur dengan metode mikrodifusi Conway

(Conway, 1962). Sebanyak 1 ml supernatan dipipet dan dibubuhkan disebelah kanan

sekat dan 1 ml larutan Na2CO3 jenuh disebelah kiri cawan Conway, sedangkan

cawan kecil ditengah diisi dengan 1 ml asam borat berindikator. Cawan Conway

tersebut ditutup rapat dengan tutup yang telah diolesi vaselin, kemudian digerakkan

perlahan sehingga supernatan dan larutan Na2CO3 bercampur. Cawan Conway

dibiarkan selama 24 jam dalam suhu kamar. Amonia yang dihasilkan dari reaksi

(27)

asam borat berubah menjadi ungu kebiruan. Kemudian dititrasi dengan larutan

H2SO4 0,005 N. Titrasi dihentikan setelah terjadi perubahan warna dari ungu

kebiruan menjadi merah kembali. Konsentrasi NH3 dihitung dengan rumus:

NH3 (mM) =Volume H2SO4 x N. H2SO4 x 1000 Berat sampel x BK sampel

Produksi VFA Total

Produksi VFA total diukur dengan menggunakan metode destilasi uap

(General Laboratory Procedures, 1966). Sebanyak 5 ml supernatan dipipet kedalam

tabung penyulingan khusus, kemudian ditambahkan 1 ml larutan H2SO4 15%. Hasil

penyulingan ditampung dengan labu Erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan NaOH 0,5

N, sampai kira-kira tertampung sebanyak 250 ml. Kemudian ditambah 2-3 tetes

indikator phenolphthalein dan dititrasi dengan larutan HCl 0,5 N. Titrasi dihentikan

setelah terjadi perubahan warna dari merah jambu menjadi jernih. Produksi VFA

total yang dihasilkan, dihitung dengan rumus :

Produksi VFA (mM) =[(a−b) x N HCl x 1000/5] Berat sampel x BK sampel

a = ml titran blanko

b = ml titran sampel

KCBK dan KCBO

Supernatan yang diperoleh pada tabung inkubasi 48 jam dibuang dan diambil

endapannya. Endapan tersebut ditambahkan dengan larutan pepsin-HCl 0,2%

sebanyak 50 ml dan diinkubasi lagi selama 48 jam tanpa tutup karet. Kemudian

endapan disaring dengan kertas saring Whatman No.41 dengan bantuan pompa

vakum. Hasil saringan di oven 105oC selama 24 jam sehingga diperoleh bahan

kering. Selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur 600oC selama 6 jam sehingga

diperoleh bahan organik (Tilley & Terry, 1963). Kecernaan bahan kering dan bahan

organik diperoleh dengan rumus:

% KCBK =BK asal − BK residu − BK blanko

BK asal x 100%

% KCBO =BO asal − (BO residu – BO blanko)

(28)

16

Rancangan

Perlakuan

Penelitian ini menggunakan 5 taraf perlakuan ransum dan 4 kelompok.

Perlakuan yang digunakan adalah :

R0 : 30% konsentrat : 70% rumput lapang : 0% daun kersen

R1 : 30% konsentrat : 65% rumput lapang : 5% daun kersen

R2 : 30% konsentrat : 60% rumput lapang : 10% daun kersen

R3 : 30% konsentrat : 55% rumput lapang : 15% daun kersen

R4 : 30% konsentrat : 50% rumput lapang : 20% daun kersen

Peubah

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah nilai pH, populasi protozoa,

konsentrasi NH3 (Amonia), produksi VFA total, KCBK (Kecernaan Bahan Kering),

dan KCBO (Kecernaan Bahan Organik).

Model

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok

(RAK) dengan 5 taraf perlakuan ransum dan 4 kelompok sebagai ulangan.

Pengelompokan berdasarkan waktu pengambilan cairan rumen. Model matematika

yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij = µ + βi + τj + εij

Keterangan :

Yij : nilai pengamatan perlakuan ke-i, blok ke-j

µ : rataan umum

βi : efek perlakuan ke-i

τj : efek blok ke-j

εij : galat perlakuan ke-i dan blok ke-j

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan jika

berbeda nyata pada level P<0,05 dilakukan Uji Jarak Duncan. Analisis data

(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Daun Kersen sebagai Pakan

Peningkatan produksi daging lokal dengan mengandalkan peternakan rakyat

menghadapi permasalahan dalam hal pakan. Pakan yang digunakan oleh peternak

rakyat memiliki kualitas yang rendah karena menggunakan hijauan lebih banyak

(hampir 100%), sehingga dapat mengakibatkan defisiensi nutrien. Salah satu upaya

untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan mencari bahan pakan yang

mudah didapat dan memiliki kemampuan meningkatkan efisiensi fermentasi pakan.

Muntingia calabura (kersen) merupakan salah satu tumbuhan yang belum

digunakan sebagai pakan dan memiliki kemungkinan dapat dijadikan sebagai sumber

pakan. Hal tersebut karena daun kersen mengandung saponin, tanin, dan flavonoid

(Zakaria et al., 2010). Kandungan saponin dalam daun kersen diduga dapat

meningkatkan efisiensi fermentasi rumen pada ruminansia melalui defaunasi parsial

pada protozoa. Selain itu daun kersen memiliki kandungan protein yang lebih tinggi

(15,22%) daripada rumput lapang (9,60%). Kandungan fitokimia daun kersen yang

meliputi saponin dan tanin dapat dilihat pada Tabel 3, sementara analisis proksimat

daun kersen terdapat pada Tabel 2.

Tabel 3. Kandungan Fitokimia Daun Kersen

Sampel Tanin (%) Saponin (%)

Daun kersen 1,41 10,28

Keterangan: Analisis di Laboratorium Balai Penelitian Ternak, Ciawi Bogor (2012)

Daun kersen sangat aplikatif, karena dapat diberikan dalam bentuk segar

sehingga tidak memerlukan pengolahan dan memudahkan peternak rakyat. Daun

kersen juga mudah ditemukan pada berbagai kondisi lahan. Menurut Figueiredo et al.

(2008) pohon kersen merupakan tumbuhan yang mampu tumbuh cepat di lahan

marginal sehingga disebut sebagai tanaman perintis. Hal tersebut membuat daun

kersen mudah untuk dikembangbiakkan. Data hasil analisis populasi protozoa dan

(30)

18 Tabel 4. Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Protozoa dan Karakteristik

Fermentasi

Keterangan:

1) Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) 2) R0: 30% K + 70% R

R1: 30% K + 65% R + 5% MC R2: 30% K + 60% R + 10% MC R3: 30% K + 55% R + 15% MC R4: 30% K + 50% R + 20% MC

3) K: konsentrat; R: rumput lapang; MC: Muntingia calabura

Nilai pH Rumen

Nilai pH rumen yang dihasilkan menunjukkan kondisi rumen yang sesuai

atau tidak sesuai bagi pertumbuhan mikroba rumen. Hasil analisis ragam

menunjukkan bahwa penggunaan daun kersen tidak mempengaruhi nilai pH rumen

(Tabel 4). Nilai pH yang sama dengan kontrol menunjukkan bahwa penggunaan

daun kersen tidak mengganggu aktivitas fermentasi rumen. Rumen pada kondisi

normal memiliki pH 6,8 (Arora, 1989). Menurut Dehority (2004), pH normal rumen

sekitar 5,5-7,0 dengan pemberian rasio pakan normal.

Nilai pH sebenarnya menggambarkan jumlah asam yang diproduksi oleh

mikroflora yang ada di dalam rumen. Nilai pH minimum umumnya dicapai sekitar

2-6 jam setelah makan, sesuai dengan produksi asam yang maksimum. Perubahan pH

dipengaruhi oleh waktu setelah makan, sifat pakan, dan frekuensi makan ternak

(Dehority, 2004).

Populasi Protozoa

Populasi protozoa yang bersilia lebih dominan di dalam rumen, sementara

populasi protozoa yang berflagel hanya sedikit (Dehority, 2004). Protozoa yang

bersilia berkembang di dalam rumen ternak ruminansia secara alami, dan membantu

pencernaan zat-zat makanan dari rumput-rumputan yang kaya akan serat kasar

(31)

(Arora, 1989). Namun protozoa juga bersifat merugikan karena sifatnya yang

memangsa bakteri, akibatnya biomassa bakteri akan berkurang sehingga laju

degradasi pakan dan suplai protein mikroba akan berkurang pula (Soetanto, 2004).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan daun kersen hingga

taraf 20% tidak nyata mempengaruhi populasi protozoa. Hasil tersebut tidak sama

dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa saponin asal tanaman dalam

bentuk ekstrak yaitu Yucca schidigera (Pen et al., 2006) dan lerak (Suharti et al.,

2011) dapat menekan populasi protozoa dalam rumen. Hal ini diduga karena

penelitian ini menggunakan sumber saponin yang masih dalam bentuk tepung,

sehingga banyak sanyawa lain yang mengikat saponin dan mengakibatkan belum

efektif menekan protozoa. Disamping itu perbedaan tersebut diduga pula disebabkan

oleh adanya perbedaan tipe dan asal saponin yang terdapat pada masing-masing

tanaman, seperti yang dilaporkan oleh Pen et al. (2006).

Pengambilan sampel pada inkubasi 4 jam diduga juga dapat mempengaruhi

keefektifan saponin dalam daun kersen untuk menekan populasi protozoa. Penelitian

Suharti et al. (2011) memperlihatkan adanya perbedaan populasi protozoa antara

waktu inkubasi 4 jam dan 24 jam. Waktu inkubasi 24 jam memperlihatkan

penurunan yang signifikan. Protozoa akan melalui fase cair yang mengalami

pergantian setiap 24 jam sekali, sehingga organisme yang ada di dalam rumen harus

memiliki kecepatan pertumbuhan 16,6 jam atau lebih kecil untuk mempertahankan

diri. Kecepatan pertumbuhan yang dibutuhkan protozoa antara 7-11 jam untuk

mempertahankan diri di dalam rumen (Dehority, 2004).

Konsentrasi protozoa dalam rumen sapi maupun domba pada kondisi normal

sekitar 1x106/ml (Dehority, 2004). Jumlah tersebut berbeda dengan populasi

protozoa yang dihasilkan dalam penelitian ini yaitu sekitar 103/ml. Hal tersebut

karena populasi protozoa pada penelitian in vitro lebih sedikit jika dibandingkan

dengan penelitian in vivo, karena pada penelitian in vitro terdapat pengenceran oleh

larutan McDougall. Jumlah tersebut masih dikatakan normal karena ransum hijauan

yang digunakan mencapai 70%. Hasil tersebut hampir sama dengan penelitian

Suharti et al. (2011) yang menggunakan ransum hijauan 70% dengan jumlah

protozoa 104/ml serta penelitian Hess et al. (2003) yang menggunakan ransum

(32)

20 waktu setelah makan (waktu inkubasi) dan rasio pakan hijauan dan konsentrat

(Dehority, 2004). Perbedaan rasio antara hijauan dan konsentrat menghasilkan

populasi protozoa yang berbeda dalam penelitian Suharti et al. (2011).

Kandungan tanin dalam daun kersen diduga juga dapat mempengaruhi

populasi protozoa dalam rumen. Tan et al. (2011) menyatakan bahwa penggunaan

ekstrak tanin terkondensasi dari tanaman Leucaena mampu menurunkan populasi

protozoa secara in vitro. Sementara pengaruh senyawa flavonoid dalam daun kersen

terhadap populasi protozoa rumen belum diketahui, seperti yang telah dilaporkan

oleh Patra dan Saxena (2010).

Konsentrasi Amonia (NH3)

Konsentrasi amonia dalam rumen menunjukkan banyaknya kandungan

protein kasar yang dirombak oleh mikroba. Perubahan konsentrasi amonia

menggambarkan efektivitas proses fermentasi. Syahrir et al. (2008) menyatakan

bahwa konsentrasi amonia yang rendah dalam cairan rumen dapat menggambarkan

proses fermentasi yang berjalan baik sehingga amonia dimanfaatkan dengan baik,

protein ransum yang sulit didegradasi atau kandungan protein ransum yang rendah.

Penggunaan daun kersen sampai dengan level 20% dalam ransum sangat

nyata (P<0,01) menurunkan konsentrasi amonia (Tabel 4). Pemberian daun kersen

pada level yang semakin tinggi akan semakin menurunkan konsentrasi amonia.

Kandungan protein daun kersen lebih tinggi jika dibandingkan dengan rumput

lapang, maka seharusnya semakin tinggi penggunaan daun kersen dan semakin

rendah penggunaan rumput lapang akan meningkatkan konsentrasi amonia. Hal

tersebut diduga karena pengaruh tanin yang terkandung dalam daun kersen. Telah

diketahui bahwa protein dan tanin dapat membentuk ikatan kompleks yang tidak

dapat dihidrolisa di dalam sistem pencernaan fermentatif. Menurut Arora (1989)

tanin pada hijauan biasanya dari jenis terkondensasi sehingga resisten terhadap

hidrolisa. Hasil tersebut sama dengan penelitian Santoso et al. (2007) yang

menggunakan Acacia mangium dengan kandungan tanin 4,51% mampu menurunkan

konsentrasi amonia rumen. Kandungan tanin dalam daun kersen yang hanya 1,41%

bisa jadi sama efektifnya dengan tanin dari Acacia mangium dalam membentuk

(33)

antara kandungan tanin hijauan (total fenol, total tanin, dan tanin terkondensasi)

belum tentu linier dengan aktivitas biologis tanin.

Rataan konsentrasi amonia yang dihasilkan (Tabel 4) menunjukkan bahwa

ransum kontrol dan ransum penggunaan daun kersen pada level 5% memiliki nilai

konsentrasi amonia yang optimal bagi pertumbuhan mikroba rumen. Hal ini sesuai

dengan McDonald et al. (2002) yang menyatakan bahwa konsentrasi amonia yang

optimal untuk menunjukkan sintesis protein mikroba berkisar 6-21 mM. Konsentrasi

amonia yang dihasilkan oleh penggunaan daun kersen pada level 10%, 15%, dan

20% masih dapat menunjang pertumbuhan mikroba rumen. Menurut Sutardi (1980)

konsentrasi amonia yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen

berkisar antara 4-12 mM.

Produksi VFA Total

VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat oleh mikroba rumen

serta sebagai sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Produksi VFA yang

utama yaitu asam asetat, propionat, dan butirat yang dianggap sebagai faktor utama

dalam mempengaruhi produksi ternak ruminansia (McDonald et al., 2002).

Peningkatan produksi VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan difermentasi

oleh mikroba rumen.

Penggunaan daun kersen sampai level 20% sangat nyata (P<0,01)

meningkatkan produksi VFA (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi

level daun kersen yang diberikan maka semakin tinggi pula produksi VFA total.

Produksi VFA total berkaitan dengan lama inkubasi yang dilakukan yaitu selama 4

jam. Telah diketahui bahwa pada awal fermentasi, mikroba rumen memfermentasi

bahan yang paling mudah tercerna. Peningkatan produksi VFA ini diduga karena

proporsi karbohidrat yang mudah tercerna pada daun kersen lebih tinggi daripada

rumput lapang (Tabel 2). Hal tersebut dapat dilihat dari kandungan Beta-N

(karbohidrat mudah tercerna) dalam daun kersen yang lebih tinggi bila dibandingkan

dengan rumput lapang. Selain itu peningkatan produksi VFA total yang diikuti

dengan rendahnya konsentrasi amonia merupakan gambaran efisiensi penggunaan

amonia oleh bakteri untuk mensintesis protein mikroba. Selanjutnya bakteri tersebut

(34)

22 sumber energi bagi induk semang dan sumber karbon bakteri itu sendiri (Syahrir et

al., 2009).

Rataan nilai produksi VFA yang dihasilkan meningkat dari 89,98 (ransum

kontrol) sampai 150,62 (level daun kersen 20%). Nilai konsentrasi tersebut berada

dalam kisaran normal dalam mendukung sintesis protein mikroba. McDonald et al.

(2002) menyatakan bahwa produksi VFA total yang dapat mendukung proses sintesis

protein mikroba adalah 70-150 mM.

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Kecernaan pakan dapat didefinisikan sebagai bagian pakan yang tidak

diekskresikan dalam feses sehingga diasumsikan bagian tersebut diserap oleh tubuh

ternak. Kecernaan dinyatakan dengan dasar bahan kering (McDonald et al., 2002).

Kecernaan zat makanan dari suatu pakan menunjukkan kualitas pakan.

Penggunaan daun kersen nyata (P<0,05) menurunkan kecernaan bahan kering

dan kecernaan bahan organik (Tabel 4). Nilai kecernaan yang dihasilkan merupakan

nilai kecernaan yang rendah. Sutardi (1980) menyatakan bahwa nilai kecernaan

bahan pakan >60% dikatakan memiliki nilai kecernaan yang tinggi. Rendahnya nilai

kecernaan yang dihasilkan dan penurunan nilai kecernaan diduga karena pengaruh

tanin dalam daun kersen yang mampu berikatan dengan protein pakan. Penambahan

tanin murni pada level 0,5 mg/ml dalam ransum secara nyata menurunkan kecernaan

bahan organik (Jayanegara et al., 2009). Ikatan yang terbentuk antara tanin dan

protein akan berpengaruh terhadap kecernaan pakan (Mueller, 2006). Menurut Arora

(1989) tanin dalam hijauan mampu memberikan perlindungan secara alami terhadap

protein pakan. Tanin dari hijauan biasanya dari jenis terkondensasi yang resisten

terhadap hidrolisa, sehingga dapat menurunkan kecernaan pakan dalam rumen.

Sementara kandungan saponin yang cukup tinggi (10,28%) dalam daun kersen belum

(35)

Kesimpulan

Penggunaan tepung daun kersen sampai level 20% dalam ransum

menghasilkan nilai pH yang stabil, mampu meningkatkan produksi VFA total,

menurunkan kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, dan konsentrasi NH3

serta belum efektif dalam penekanan populasi protozoa dengan waktu inkubasi 4 jam

secara in vitro.

Saran

Perlu dilakukan penelitian in vitro dengan waktu inkubasi 24 jam untuk

mengetahui tingkat keefektifan daun kersen dalam penekanan populasi protozoa.

Perlu dilakukan pula penelitian secara in vivo agar efek penggunaan daun kersen

(36)

24

Ahamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya serta atas ridho-Nya sehingga

penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam

tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW.

Kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada

Dr. Sri Suharti, S.Pt.M.Si selaku dosen pembimbing akademik sekaligus

pembimbing utama yang telah memberikan bantuan finansial, bimbingan, dan arahan

selama penelitian sampai selesainya skripsi ini dan kepada Dr. Anuraga Jayanegara,

S.Pt.M.Sc selaku dosen pembimbing anggota atas kesediaan waktunya dalam

mengarahkan, memotivasi, dan membimbing penulis selama penelitian sampai

selesainya skripsi ini. Terima kasih kepada Dr. Ir. Didid Diapari, M.Si selaku penguji

seminar, Ir. Anita S. Tjakradidjaja, M.Rur.Sc dan Ir. Komariah, M.Si selaku penguji

sidang serta Ir. Widya Hermana, M.Si selaku panitia sidang atas kritik dan saran

yang menjadikan skripsi ini lebih baik. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bu

Dian dan Bu Adriani yang telah bersedia membantu penulis selama penelitian.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada ibunda Eri

Lestari Muryani dan ayahanda Lis Indrianto serta adik Rizky Mahardhika atas kasih

sayang, dukungan, dan doanya. Terima kasih kepada sahabat penulis (Chandra) atas

motivasinya, partner selama penelitian (Dea) atas kerjasamanya, kepada Keluarga 8

(Habibah, Dea, Ponam, Apdila, Mutia, Pratita, Liza) atas bantuan, dukungan, dan

semangatnya, kepada keluarga besar GENETIC 45 yang tidak dapat disebutkan

satu-persatu atas kebersamaan dan kekompakannya serta kepada anak-anak wisma

Pondok Indah (Ponam, Riska, Dian, Enda, Anjani) atas keceriaan, semangat, dan

motivasinya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat

penulis sebutkan satu-persatu yang telah menjadi bagian dari perjalanan penulis

dengan memberikan dukungan dan pengalaman yang berharga sampai

terselesaikannya skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaaat

terutama dalam dunia peternakan.

Bogor, Juli 2012

(37)

Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Edisi Indonesia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2012. Inovasi Teknologi untuk Kesejahteraan Petani. Laporan Tahunan 2011. Kementrian Pertanian, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2012. Populasi sapi potong Indonesia masa sensus Juni 2011. http://www.bps.go.id. [23 Februari 2012].

Conway, E. J. 1962. Microdiffusion Analysis and Volumetric Error. 5th ed. Crosby Lockwood, London.

Dehority, B. A. 2004. Rumen Microbiology. Nottingham University Press, Nottingham.

Figueiredo, R. A., A. A. Oliveira, M. A. Zacharias, S. M. Barbosa, F. F. Pereira, G. N. Cazela, J. P. Viana, & R. A. Camargo. 2008. Reproductive ecology of the exotic tree Muntingia calabura L. (Muntingiaceae) in Southeastern Brazil. J. R. Arvore. 32: 993-999.

General Laboratory Procedure. 1966. Report of Dairy Science. University of Wisconsin Madison, USA.

Hess, H. D., M. Kreuzer, T. E. Diaz, C. E. Lascano, J. E. Carulla, C. R. Soliva, & A. Machmuller. 2003. Saponin rich tropical fruits affect fermentation and methanogenesis in faunated and defaunated rumen fluid. J. Anim. Feed. Sci. 109: 79-94.

Hu, W. L., J. X. Liu, J. A. Ye, Y. M. Wu, & Y. Q. Guo. 2005. Effect of tea saponin on rumen fermentation in vitro. J. Anim. Feed. Sci. 120: 333-339.

Jayanegara, A. & A. Sofyan. 2008. Penentuan aktivitas biologis tanin beberapa hijauan secara in vitro menggunakan Hohenheim Gas Test dengan polietilen glikol sebagai determinan. Med. Pet. 31(1): 44-52.

Jayanegara, A., H. P. S. Makkar, & K. Becker. 2009. Emisi metana dan fermentasi rumen in vitro ransum hay yang mengandung tanin murni pada konsentrasi rendah. Med. Pet. 32(3): 185-195.

Makkar, H. P. S. 2003. Quantification of Tannins in Tree and Shrub Foliage. Kluwer Academic Publishers, Netherlands.

(38)

26 Nutrition. 6 Edition. Scientific and Tech John Willey & Sons. Inc, New York.

Mueller, H. I. 2006. Unrevelling the conundrum of tannins in animal nutrition and health. J. Sci. Food Agric. 86: 2010-2037.

Ogimoto, K. & S. Imai, 1981. Atlas of Rumen Microbiology. Japan Scientific Society Press, Tokyo.

Patra, A. K. & J. Saxena. 2010. A new perspective on the use of plant secondary metabolites to inhibit methanogenesis in the rumen. J. Phytochemistry. 71: 1198-1222.

Pen, B., C. Sar, B. Mwenya, K. Kuwaki, R. Morikawa, & J. Takahashi. 2006. Effects

of Yucca schidigera and Quillaja saponaria extracts on in vitro ruminal

fermentation and methane emission. J. Anim. Feed. Sci. 129:175-186.

Santoso, B. & B. Tj. Hariadi. 2007. Pengaruh suplementasi Accacia mangium Willd pada Pennisetum purpureum terhadap karakteristik fermentasi dan produksi gas metana in vitro. Med. Pet. 30(2): 106-113.

Sirait, M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Penerbit ITB (Institut Teknologi Bandung), Bandung.

Smithsonian Tropical Research Institute. 2003. Muntingia calabura immature-fruit plant. http://www.discoverlife.org/mp/20q?search=Muntingia+calabura. [23 Februari 2012].

Soetanto, H. 2004. Mikrobiologi Rumen. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang. http://images.hendrawansoetanto.multiplycontent.com.

[24 Februari 2012].

Steenis, J. 2006. Flora: Untuk Sekolah di Indonesia. PT Pradnya Paramita, Jakarta.

Suharti, S., D. A. Astuti, E. Wina, & T. Toharmat. 2011. Rumen microbial population in the in vitro fermentation of different rations of forage and concentrate in the presence of whole lerak (Sapindus rarak) fruit extract. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 24(8):1086-1091.

Suparjo. 2008. Saponin, peran dan pengaruhnya bagi ternak dan manusia. Laboratorium Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Jambi. http://jojo66.wordpress.com. [23 Februari 2012].

(39)

The effectivity of Mulberry leaves to substitute concentrate in the in vitro

ruminal system. Med. Pet. 32(2): 112-119.

Tan, H. Y., C. C. Sieo, N. Abdullah, J. B. Liang, X. D. Huang, & Y. W. Ho. 2011.

Effects of condensed tannins from Leucaena on methane production, rumen

fermentation and populations of methanogens and protozoa in vitro. J. Anim.

Feed. Sci. 169: 185-193.

Tilley, J. M. A & R. A. Terry. 1963. A two stage technique for the in vitro digestion of forage. J. British Grassland Society. 18: 104-111.

Mauricio, R. M., E. Owen, F. L. Mould, I. Givens, M. K. Theodorou, J. France, D. R. Davies, & M. S. Dhanoa. 2001. Comparison of bovine rumen liquor and bovine faeces as inoculum for an in vitro gas production technique for evaluating forages. J. Anim. Feed. Sci. 89: 33-48.

Zakaria, Z. A., A. S. Sufian, K. Ramasamy, N. Ahmat, M. R. Sulaiman, A. K. Arifah, A. Zuraini, & M. N. Somchit. 2010. In vitro antimicrobial activity of

(40)

28

(41)

Sumber

Lampiran 2. Hasil Analisa Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Protozoa (Log 10/ml)

Lampiran 3. Hasil Analisa Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi NH3

(42)

30

Lampiran 4. Hasil Analisa Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi VFA Total

Sumber

Uji Lanjut Duncan Pengaruh Level Daun Kersen terhadap Produksi VFA (P<0,05)

(43)

Sumber

Uji Lanjut Duncan Pengaruh Level Daun Kersen terhadap Nilai KCBK (P<0,05)

Level

Lampiran 6. Hasil Analisa Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai KCBO

(44)

32 Level

Kersen N

Subset

1 2

15 4 50,62

20 4 54,72

10 4 56,06

5 4 58,21 58,21

(45)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan impor daging belum dapat dihindarkan karena tingkat kebutuhan

daging di Indonesia lebih banyak daripada produksinya. Badan Pusat Statistik (2012)

mencatat terdapat 14.805.053 ekor sapi potong pada masa sensus Juni 2011, namun

hasil sensus tersebut belum dapat mengurangi kebutuhan impor karena hanya 1,425

juta ekor sapi yang siap potong. Laporan tahunan tahun 2011 oleh Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian (2012) menyatakan bahwa Indonesia diperkirakan

mengimpor sapi hidup sebanyak 650 ribu ekor dari Australia dan 72 ribu ton daging

sapi beku (setara dengan 220 ribu ekor sapi). Penekanan jumlah impor daging dapat

dilakukan dengan meningkatkan produksi daging lokal.

Peternakan rakyat menjadi kunci keberhasilan program kecukupan daging

karena sistem peternakan sapi potong di Indonesia masih mengandalkan peternakan

rakyat (Mayulu et al., 2010). Sementara peternakan rakyat menggunakan ransum

hijauan dalam jumlah banyak (hampir 100%) yang sering menyebabkan defisiensi

nutrien sehingga mengakibatkan produktivitas ternak rendah. Peningkatan efisiensi

fermentasi rumen perlu dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas

ternak yang sangat ditentukan oleh aktifitas mikroba rumen.

Ekosistem rumen ternak ruminansia termasuk sapi potong dihuni oleh bakteri,

protozoa, fungi, dan arkae yang berperan dalam pencernaan pakan. Populasi protozoa

yang tinggi dalam rumen ruminansia kurang menguntungkan karena sifatnya yang

memangsa (predator) bakteri untuk memenuhi kebutuhan proteinnya. Akibatnya

biomassa bakteri akan berkurang sehingga laju degradasi pakan di dalam rumen dan

suplai protein mikroba akan berkurang pula (Soetanto, 2004). Sementara itu pada

ternak yang mendapat pakan tinggi hijauan, perkembangan populasi mikroba rumen

terutama bakteri pencerna serat sangat menentukan fermentasi pakan di dalam

rumen.

Salah satu strategi untuk meningkatkan efisiensi fermentasi rumen pada

ternak yang mendapat ransum hijauan tinggi adalah menghambat pertumbuhan

protozoa secara parsial (defaunasi parsial). Defaunasi parsial pada protozoa tersebut

diharapkan dapat mengakibatkan peningkatan biomassa bakteri, sehingga terjadi

(46)

2 mengontrol populasi protozoa dengan berbagai agen defaunasi, salah satunya

menggunakan senyawa saponin asal tanaman, yaitu tanaman teh (Hu et al., 2005),

akasia (Santoso et al., 2007), dan lerak (Suharti et al., 2011).

Muntingia calabura atau yang biasa disebut dengan kersen (talok) merupakan

tumbuhan yang mengandung saponin, tanin, dan flavonoid (Zakaria et al., 2010).

Kandungan saponin dalam daun kersen tersebut diharapkan mampu menekan

populasi protozoa. Pohon kersen sangat mudah ditemukan di Indonesia termasuk di

kota-kota besar dan di tempat yang kering berkepanjangan. Menurut Figueiredo et al.

(2008) pohon kersen merupakan tumbuhan yang mampu tumbuh cepat di lahan

marginal sehingga mudah dikembangkan dan sangat berpotensi sebagai pakan

ternak.

Sejauh ini penelitian tentang pemanfaatan daun kersen sebagai sumber pakan

ruminansia belum ada. Oleh karena itu dilakukan analisis in vitro untuk mengetahui

pengaruh pemberian daun kersen terhadap ternak.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kandungan fitokimia daun kersen

yang meliputi senyawa tanin dan saponin serta mengevaluasi dosis penggunaan daun

kersen yang tepat dan sesuai untuk mengoptimalkan kecernaan bahan kering,

(47)

TINJAUAN PUSTAKA

Kersen (Muntingia calabura)

Kersen berasal dari Amerika tropis dan banyak ditanam di kebun sebagai

pohon peneduh. Kersen memiliki pohon yang kecil dengan tinggi 2-10 m.

Rantingnya diselimuti rapat oleh rambut biasa yang halus dan oleh rambut kelenjar.

Daunnya berseling, helaian daun tidak sama sisi, bulat telur bentuk lanset dengan

ujung runcing bergerigi, berambut rapat terutama di bawah daun, lebarnya 4,5-14

kali 1,5-4 cm, tangkai daun pendek dan berambut seperti wol. Bunga berjumlah 1-3

menjadi satu di ketiak daun, berbilangan 5 dan berkelamin 2. Mahkota bunganya

berbentuk bulat telur terbalik dan berwarna putih. Buahnya buni berwarna merah

(Steenis, 2006). Taksonomi tumbuhan Muntingia calabura adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Superdivisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (Dikotil/berkeping dua)

Ordo : Malvales

Famili : Muntingiaceae

Genus : Muntingia L.

Spesies : M. calabura

Pohon kersen termasuk pohon yang tumbuh cepat dan dapat tumbuh subur di

lahan marginal. Tumbuhan ini mampu melakukan penyerbukan sendiri secara

spontan, mampu memproduksi buah dan biji dalam jumlah besar sepanjang tahun

serta memiliki laju perkecambahan biji yang tinggi (Figueiredo et al., 2008). Daun

kersen mengandung flavonoid, tanin, dan saponin (Zakaria et al., 2010).

Gambar 1. Daun Kersen (Muntingia calabura)

(48)

4

Saponin

Saponin termasuk ke dalam golongan glikosida yang terdapat pada tanaman

tinggi dan dapat menimbulkan buih bila dikocok. Glikosida adalah suatu senyawa

yang bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon

atau genin). Saponin memiliki rasa pahit atau getir dan dapat membentuk senyawa

kompleks dengan kolesterol. Sebagian besar saponin bereaksi netral (larut dalam air),

beberapa ada yang bereaksi asam (sukar larut dalam air), sebagian kecil ada yang

bereaksi basa. Saponin berdasarkan struktur aglikonnya dapat dikelompokkan

menjadi dua yaitu saponin sterol (steroid) dan saponin triterpen (triterpenoid).

Saponin sterol bila dihidrolisis akan membentuk senyawa sterol, sedangkan saponin

triperten bila dihidrolisis akan membentuk senyawa triterpen (Sirait, 2007).

Saponin mempunyai pengaruh yang lebih menguntungkan pada ternak

ruminansia dibandingkan pada ternak non ruminansia. Pemberian bahan yang

mengandung saponin dapat meningkatkan pertumbuhan, efisiensi pakan, dan

kesehatan ternak dengan kemampuannya sebagai agen defaunasi. Kemampuan

saponin sebagai agen defaunasi dapat menyebabkan penurunan total populasi

protozoa rumen (Suparjo, 2008). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang

menyatakan bahwa senyawa saponin asal tanaman yaitu teh (Hu et al., 2005) dan

lerak (Suharti et al., 2010) dapat menekan pertumbuhan protozoa.

Gambar 2. Struktur Saponin Steroid Gambar 3. Struktur Saponin Triterpenoid

Sumber: Sirait (2007) Sumber: Sirait (2007)

Tanin

Tanin disebut juga zat samak yang memiliki sifat dapat menciutkan dan

mengendapkan protein dari larutan dengan membentuk senyawa yang tidak larut

(Sirait, 2007). Tanin merupakan polimer polifenolik yang dapat larut dalam air

Gambar

Gambar 5.  Proses Metabolisme Protein dalam Rumen Ternak Ruminansia
Gambar 6.  Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Ternak Ruminansia
Tabel 1. Komposisi Konsentrat
Tabel 4. Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Protozoa dan Karakteristik
+5

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi level suplementasi mineral sulfulr (S) dan fosfor (P) yang terbaik untuk meningkatkan kecernaan zat makanan daun sawit amoniasi