• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengkondisian adaptasi merupakan proses penyesuaian diri terhadap lingkungan diberikan waktu selama 7 hari. Hal ini dilakukan agar hewan coba dapat berperilaku seperti biasanya walaupun ruang gerak dibatasi dan untuk mengurangi tingkat stres. Pada proses ini pakan dan air minum diberikan tanpa dilakukan perhitungan atau pengukuran terlebih dahulu. Hari ke-7 tahap adaptasi hewan diambil darahnya untuk diambil serumnya dan dilakukan analisis terhadap parameter profil kimia darah.

Pengkondisian kedua yaitu aklimasi temperatur dan kelembaban dengan mesin AC pada kondisi hidup dengan pengaturan suhu 25ºC selama 14 hari (hari ke-8 sampai hari ke-21). Pada tahap ini pakan dan air minum yang diberikan pagi dan sore hari dengan ditimbang terlebih dahulu agar setiap hewan coba mendapatkan jumlah pakan dan minum yang sama. Jumlah pakan yang diberikan sebanyak 100 gram monkey chow, 50 gram pisang dan 500 ml air minum. Pengambilan darah tahap aklimasi dilakukan pada hari 8, 11, 18 dan ke-21.

Pengkondisian ketiga (postaklimasi) merupakan tahap setelah aklimasi tanpa mempergunakan pendingin ruangan selama 14 hari. Pencatatan suhu dan kelembapan dilakukan tiga kali dalam sehari, yaitu pada pukul 06.00-07.00, 12.00-13.00, dan 17.00-18.00 WIB. Pemberian pakan dan air minum pada tahap ini masih seperti pada tahap kedua yakni, diberikan pagi dan sore hari dengan ditimbang terlebih dahulu agar setiap hewan coba mendapatkan jumlah pakan dan minum yang sama. Pengambilan darah tahap postaklimasi dilakukan pada hari ke-35.

Darah diambil melalui pembuluh darah di pangkal paha (vena femoralis) setelah dilakukan pembiusan dengan ketamin HCl dosis 10 mg/Kg BB via intramuscular. Onset ketamin rata-rata 10 menit setelah penyuntikan untuk setiap monyet. Darah kemudian ditampung dalam tabung yang diberi antikoagulan. Sampel darah yang diambil kemudian dibawa ke laboratorium Analisis Darah Bagian Fisiologi Departemen AFF FKH-IPB untuk dilakukan pengukuran parameter yang ditetapkan. Sampel darah selanjutnya disentrifugasi selama 4 menit dengan kecepatan 12000 rpm untuk memperoleh serum darah. Analisis

kimia darah dilakukan dengan menganalisis parameter serum darah untuk mengetahui kadar SGPT dan SGOT untuk mengetahui fungsi hati, kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui fungsi ginjal, kadar glukosa, kolesterol, dan trigliserida untuk mengetahui fungsi metabolisme lainnya. Analisis dilakukan menggunakan Kit-test (ST Reagensia®) dan pembacaan dilakukan dengan mesin analisis MiraMax.

Tabel 1 Prosedur Perlakuan terhadap Hewan Coba

Perlakuan Adaptasi Aklimasi

AC Hidup (25ºC) Postaklimasi AC Mati Suhu dan Kelembaban yang diperoleh Suhu (29,0±1,95)ºC, kelembaban (79,52±1,57)% rel Suhu (25,79±1,16)ºC, kelembaban (80,19±9,05)% rel Suhu (29,0±2,05)ºC, kelembaban (79,92±1,67)% rel

Waktu 7 hari (hari ke-1

sampai hari ke-7)

14 hari (hari ke-8 sampai hari ke 21)

14 hari (hari ke-22 sampai hari ke-35)

Capaian Adaptasi lingkungan,

kandang dan pakan

Suhu dan kelembaban yang nyaman Suhu dan kelembaban kurang nyaman Waktu pengamatan

Hari ke-7 Hari 8, 11,

ke-14 dan ke-21

Kadar glukosa, kolesterol, dan trigliserida pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) pada setiap tahapan adaptasi, aklimasi, dan postaklimasi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kadar Glukosa, Kolesterol dan Trigliserida

Tahap Hari

ke-

Parameter

Glukosa (mg/dl) Kolesterol (mg/dl) Trigliserida (mg/dl)

Adaptasi 7 30,71 ± 11,98a 109,31 ± 17,80 66,75 ± 33,86a Aklimasi 8 64,79 ± 10,52b 97,79 ± 21,06 58,96 ± 21,79a 11 50,72 ± 9,28a 94,02 ± 15,25 66,29 ± 28,19a 14 50,82 ± 13,99a 97,55 ± 19,21 69,89 ± 28,75a 21 47,09 ± 13,58a 92,25 ± 19,65 88,85 ± 28,10a Postaklimasi 35 40,76 ± 6,09a 76,32 ± 17,91 35,86 ± 10,64b Pustaka 64,60 ± 6,001) 108,00 ± 76,52) 59,90 ± 32,843)

Keterangan: Superscript huruf yang berbedapada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Pustaka: 1): Malinow et al. 1987; 2): Andrade et al. 2004; 3):Ungerer et al.1992

Hasil pengamatan kadar glukosa menunjukkan pada kondisi adaptasi berada di bawah kadar normal menurut pustaka. Kadar glukosa yang berada di bawah kadar normal ini dapat diakibatkan penggunaan glukosa yang cukup tinggi sebagai sumber energi untuk metabolisme. Menurut Binol (2010) pada tahap adaptasi hewan model menunjukkan gejala stress meskipun tidak nyata, yang dibuktikan dengan tingginya rasio perbandingan netrofil dengan limfosit. Rasio perbandingan netrofil dengan limfosit berbanding lurus dengan kadar kortisol dalam tubuh (Kim et al. 2005). Saat stress, makhluk hidup memerlukan energi yang cukup besar sehingga penggunaan glukosa sebagai sumber energi juga besar. Kadang kala kadar glukosa dalam tubuh tidak mencukupi untuk digunakan sebagai sumber energi, untuk itu tubuh menggunakan trigliserida sebagai sumber energi cadangan apabila kadar glukosa dalam tubuh sudah sangat berkurang. Keadaan ini yang terjadi pada kondisi postaklimasi, yaitu kadar glukosa darah yang rendah sehingga digunakan trigliserida sebagai sumber energi. Kadar glukosa dalam tubuh harus dijaga agar tidak digunakan seluruhnya, karena

glukosa merupakan sumber energi satu-satunya yang dapat dimanfaatkan oleh otak (Guyton and Hall 2008). Kadar glukosa yang normal terjadi pada kondisi aklimasi, dapat dimungkinkan pada kondisi aklimasi ini hewan model mampu melakukan proses homeostasis dan merasa nyaman dengan kondisi kandang saat aklimasi sehingga tidak mengalami stress.

Saat stres glukokortikoid (kortisol) disekresi lebih banyak menyebabkan adanya stimulasi glukoneogenesis di hati, mobilisasi asam amino dari jaringan ekstra-hepatik sehingga lebih banyak asam amino yang tersedia dalam plasma untuk masuk ke dalam proses glukoneogenesis dalam hati, pengurangan penggunaan glukosa oleh sel dan menekan transpor glukosa ke dalam sel (Guyton and Hall 1993).

Temperatur lingkungan juga merupakan salah satu penyebab stres. Sehingga temperatur juga berpengaruh terhadap kadar glukosa dalam tubuh. Pada saat suhu rendah (dingin) tubuh akan meningkatkan pengeluaran hormon tiroid. Hormon tiroid merangsang hampir semua aspek metabolisme karbohidrat, termasuk pengambilan glukosa yang cepat oleh sel, meningkatkan glikolisis, meningkatkan glukoneogenesis, meningkatkan kecepatan absorbsi dari traktus gastrointestinalis, dan juga meningkatkan sekresi insulin. Hormon tiroid secara tidah langsung akan menurunkan jumlah glukosa dalam tubuh (Guyton and Hall 1993).

Fluktuasi kadar glukosa darah pada hewan model dapat diakibatkan jumlah pakan yang dikonsumsi. Saat stres makhluk hidup cenderung mengalami penurunan konsumsi pakan. Sesaat setelah makan menyebabkan jumlah insulin yang diekskresikan meningkat. Jika insulin yang diekskresikan meningkat, maka kadar glukosa darah menurun karena insulin akan meningkatkan uptake glukosa ke dalam sel bila ada kehadiran reseptor terhadap insulin pada sel (Guyton and Hall 1993).

Perubahan kadar kolesterol tidak berpengaruh signifikan terhadap keseluruhan metabolisme tubuh. Tinggi rendahnya kolesterol terutama dipengaruhi oleh keturunan, makanan, berat badan, aktivitas fisik, umur dan jenis kelamin. Faktor utama yang mempengaruhi meningkatnya kolesterol plasma adalah diet lemak jenuh dan makanan dari alam. Faktor tersebut dapat mengakibatkan peningkatan konsentrasi kolesterol dalam darah sebanyak 15-25%.

Keadaan ini dapat terjadi karena peningkatan penimbunan lemak dalam hati, yang kemudian memperbesar jumlah asetil-KoA dalam sel hati, sehingga terjdi peningkatan kolesterol (Guyton and Hall 1997).

Kadar trigliserida mengalami penurunan pada tahap postaklimasi meskipun masih normal dibandingkan nilai pustaka. Hal ini dapat terjadi karena monyet menunjukkan tanda-tanda stres. Saat stres (kortisol meningkat), akan mengakibatkan stimulasi glukoneogenesis oleh hati. Apabila konsentrasi glukosa dalam darah sudah sangat berkurang maka penggunaan glukosa untuk energi akan dialihkan ke penggunaan trigliserida sebagai gantinya. (Guyton and Hall 1997). Peningkatan signifikan trigliserida sangat mungkin terjadi karena trigliserida dapat terbentuk dari berbagai diet yang dikonsumsi, seperti karbohidrat, protein, dan lemak (Clarenburg 2001). Trigliserida banyak dihasilkan ketika mengkonsumsi karbohidrat, dan karbohidrat juga dapat menginduksi terbentuknya trigliserida meski dalam jumlah sedikit (Volek et al. 2008).

Temperatur lingkungan berpengaruh terhadap kadar kolesterol dan trigliserida dalam tubuh. Pada saat suhu rendah (dingin) tubuh akan meningkatkan pengeluaran hormon tiroid dengan tujuan meningkatkan metabolisme lemak karena lemak merupakan sumber utama suplai energi setelah glukosa. Pada intinya hormon tiroid akan mempengaruhi semua aspek yang berkaitan dengan metabolisme lemak (Guyton and Hall 1993).

Hasil penelitian ini terhadap kadar SGPT dan SGOT pada setiap tahapan selama penelitian ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kadar SGPT, SGOT , Ureum dan Kreatinin Tahap Hari ke- Parameter SGPT (IU/liter) SGOT (IU/liter) Ureum (mg/dl) Kreatinin (mg/dl) Adaptasi 7 12,46 ± 9,43 9,66 ± 4,89 38,45 ± 7,20 1,71 ± 0,36 Aklimasi 8 6,09 ± 7,89 9,71 ± 8,25 33,58 ± 6,06 1,20 ± 0,54 11 19,99 ± 7,20 11,09 ± 7,35 31,93 ± 2,47 1,84 ± 0,51 14 11,95 ± 4,61 13,44 ± 8,11 30,56 ± 3,91 1,85 ± 1,12 21 11,85 ± 9,59 14,52 ± 9,75 28,66 ± 8,63 1,81 ± 0,50 Postaklimasi 35 16,18 ± 4,23 12,15 ± 6,75 40,78 ± 8,80 1,62 ± 0,31 Pustaka 22,5 ± 17,51) 37,57 ± 28,62) 35,60 ± 7,103) 1,15 ± 0,554) Pustaka: 1): O’Callaghan 2006; 2): Malinow et al. 1987; 3): Ramachandra et al. 1998; 4): Kessler et al. 1983

Berdasarkan data Tabel 3, dapat dikatakan bahwa kadar SGPT dan SGOT monyet ekor panjang selama penelitian masih berada dalam kisaran normal meskipun cukup rendah dibandingkan nilai normal menurut pustaka. Nilai kadar SGOT dan SGPT yang normal ini menunjukkan bahwa fungsi hati dalam melaksanakan tugasnya sebagai pusat metabolisme di tubuh tidak mengalami gangguan. Nilai SGPT dan SGOT yang rendah ini juga kemungkinan juga dapat diakibatkan kerusakan hati yang sudah terlalu parah sehingga tidak mampu lagi melakukan regenerasi sel hati. Saat sel hati mengalami regenerasi, SGPT dan SGOT akan keluar dan masuk ke dalam peredaran darah, oleh karena itu SGPT dan SGOT tetap ada dalam darah secara normal. Pada keadaan keadaan nonpatologis, keberadaan SGPT dan SGOT dalam darah itu normal, hal tersebut terjadi karena regenerasi sel hati yang secara normal terjadi (Girindra 1986). Fluktuasi kadar parameter yang terjadi walaupun masih pada kisaran normal merupakan suatu upaya fisiologis tubuh monyet untuk melakukan proses homeostasis.

Berdasarkan data Tabel 3, dapat dikatakan bahwa kadar ureum dan kreatinin yang diperoleh masih berada dalam kisaran normal. Namun, kadar ureum cukup tinggi meskipun masih dalam nilai normal. Tingginya kadar ureum dapat diakibatkan tingginya asupan protein (Lamb 2006). Menurut National Research Council (2003) kebutuhan protein monyet ekor panjang dewasa adalah 8%,

sedangkan kandungan protein dalam pakan adalah 18-21%. Fluktuasi kadar parameter yang terjadi walaupun masih pada kisaran normal merupakan suatu upaya fisiologis tubuh monyet untuk melakukan proses homeostasis.

Diskusi Umum

Berdasarkan literatur yang ada, parameter-parameter yang diamati selama penelitian ini masih dalam kisaran normal. Kecuali untuk parameter glukosa pada kondisi adaptasi yaitu 30,71 ± 11,98 mg/dl dan postaklimasi 40,76 ± 6,09 mg/dl yang berada di bawah nilai normal menurut Malinow et al. (1987) yaitu 64,60 ± 6,00mg/dl. Parameter glukosa pada kondisi adaptasi mengalami penurunan nyata bila dibandingkan nilai normal dan nilai pada kondisi aklimasi H8. Pada kondisi adaptasi ini, hewan model menunjukkan tanda-tanda stress (Binol 2010) akibat kondisi temperatur dan kelembaban yang kurang nyaman. Saat stress ini ada kemungkinan hewan model mengalami peningkatan metabolisme yang mengakibatkan glukosa darah dimobilisasi dengan cepat ke jaringan atau sel (Guyton and Hall 1993).

Stress pada kondisi adaptasi ini mengakibatkan sel menarik glukosa darah tanpa terjadi proses glukoneogeneis sehingga kadar glukosa darah mengalami penurunan yang signifikan. Pada saat bersamaan, pada kondisi stress ini hormon insulin akan mengalami peningkatan. Sedangkan pada kondisi aklimasi penurunan glukosa tidak terjadi, glukosa darah terlihat berada pada nilai normal baik pada H8, H11, H14, dan H21. Kondisi ini sangat dimungkinkan karena hewan model mampu beradaptasi dengan kodisi yang nyaman. Tanda-tanda stress terjadi lagi pada kondisi postaklimasi karena temperatur dan kelembaban kembali meningkat. Tanda stress pada kondisi postaklimasi ini terlihat pada adanya penurunan parameter trigliserida yaitu 35,86 ± 10,64 mg/dl yang berada di bawah normal menurut Ungerer et al. (1992) yaitu 59,90 ± 32,84 mg/dl. Pada kodisi ini tanda-tanda stress tidak lagi ditunjukkan oleh nilai glukosa darah karena hewan model dalam perjalanannya lebih menunjukkan tanda-tanda stress bila dibandingkan dengan kondisi adaptasi. Selama kondisi aklimasi glukosa darah hewan model berada dalam kisaran normal, namun cadangan glukosa di hati (glikogen) tidak mencukupi untuk menghadapi stress postaklimasi. Sebagai konsekuensi atas

kebutuhan energi pada kondisi stress ini maka proses glukoneogenesis terjadi melalui perombakan trigliserida menjadi energi.

Parameter kolesterol selama penelitian berada pada nilai normal menurut Andrade et al. (2004) yaitu 108,00 ± 76,5 mg/dl. Parameter SGPT dan SGOTselama penelitian berada dalam kisaran normal antara 22,5 ± 17,5 IU/liter menurut O’Callaghan (2006) dan 37,57 ± 28,6 IU/liter menurut Malinow et al. (1987). Parameter ureum dan kreatinin selama penelitian juga berada dalam kisaran nilai normal menurut Ramachandra et al. (1998) yaitu 35,60 ± 7,10 mg/dl dan Kessler et al. (1983) yaitu 1,15 ± 0,55 mg/dl. Artinya ginjal masih melakukan fungsinya dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga kondisi baik adaptasi, aklimasi, dan postaklimasi tidak mengganggu fungsi organ hati dan ginjal.

Namun demikian, pada kondisi aklimasi menunjukkan bahwa parameter-parameter yang diamati cenderung lebih stabil dibandingkan pada tahap adaptasi dan postaklimasi. Jadi dapat diyakini bahwa monyet lebih nyaman pada saat tahap aklimasi yaitu pada kondisi suhu (25,79 ± 1,16)ºC dan kelembaban (80,19 ± 9,05)% rel. Sesuai pernyataan Napier and Napier (1985) kemungkinan suhu yang cukup baik bagi kehidupan Macaca fascicularis berkisar antara 25-27ºC.

V.1 Simpulan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa pada kondisi adaptasi dan postaklimasi hewan model menunjukkan tanda-tanda stress. Stress pada kondisi adaptasi diindikasikan dengan penurunan glukosa darah, sedangkan stress pada kondisi postaklimasi diindikasikan dengan penurunan kadar trigliserida. Kondisi aklimasi pada suhu (25,79 ± 1,16)°C dan (80,19 ± 9,05)% rel. dapat diperkirakan sebagai kondisi nyaman bagi hewan model di daerah tropis, yang ditandai dengan nilai profil kimia darah (glukosa, kolesterol, trigliserida, SGPT, SGOT, ureum, dan kreatinin) yang relatif normal.

V.2 Saran

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah dalam penggunaan Macaca fascicularis sebagai hewan model disarankan pada kondisi termonetral yaitu pada suhu 24,63-26,95°C dan kelembaban 71,14-89,24% rel.

Amin I. 1995. Pengaruh Pemberian Seduhan Rimpang Kunyit (Curcuma Domestica) Terhadap Aktivitas SGPT dan SGOT Ayam. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Andrade MCR, Ribeiro CT, Silva FV da, Molinaro EM, Gonçalves MAB,

Marques MAP, Cabello PH, Leite JPG. 2004. Biologic data of Macaca mulatta, Macaca fascicularis, and Saimiri sciureus used for research at the Fiocruz Primate Center. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro 2004;99(6):581–589.

Bachorik PS, Denke MA, Stein EA, Rifkind BM. 2001. Lipids and Dislipoproteinemia. Di dalam: John BH, editor. Clinical Diagnosisand Management by Laboratory Methods: Lipid and Dislipoproteinemia. Ed ke-20. Philadelphia: saunders Company.

Binol, RMF. 2010. Dinamika Profil Hematologi dan Rasio Netrofil:Limfosit Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) pada Pengaturan Mikroklimat Ruangan. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertaninan Bogor.

Callbreath DF. 1992. Clinical Chemistry. WB Saunders Company, USA.

Chantalakhana C, and Skunmun P.2002. Sustainable Smallholder Animal Systems in the Tropics. Kasetsart University press, Bangkok.

Clarenburgh R. 2001. Lipid Metabolisms, Physiologycal Chemistry of Domestic Animals. Amerika: Mosby Year Book.

Doxey DL. 1983. Clinical Pathology and Diagnostic Procedurs. London: Bailliere Tindal.

Frandson RD. 1992. Anatomi Fisiologi Ternak Edisi ke-4. Gajah Mada University Press Yogyakarta. Terjemahan dari: Srigando B, Koen P.

Ganong WF. 1999. Fisiologi Kedokteran Edisi ke-14. Jonathan Oswari. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Penerjemah: Petrus Andrianto.

Ganong WF. 2003. Fisiologi Kedokteran Edisi ke-21. English: McGraw-Hill. Girindra A. 1986. Patologi Klinik Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan IPB,

Bogor.

Girindra A. 1988. Biokimia Patologi Hewan. Jurusan Biokimia, Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gunawan A. 2004. Puasa yang Benar: Penyembuhan dan Peremajaan Alami (bagian pertma). Http://www.Indonesiainteractive.htm [25 Februari 2010]. Guyton and Hall. 1993. Textbook of Medical Physiology. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta.

Guyton AC. 1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi ke-3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Terjemahan dari: Adrianto.

Guyton and Hall. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi ke-9. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Terjemahan dari: Irawati, Ken Arita Tenggadi dan Alex Santoso.

Guyton and Hall. 1997. Textbook of Medical Physiology. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Guyton and Hall. 2008. Textbook of Medical Physiology. 11th Edition. Philadelphia: W.B. saunders Company.

Harper HA, Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 1988. Biochemistry. California: Aplleton and Lange, Nowarlk, Connecticut.

Harper HA, Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biochemistry. California: Aplleton and Lange, Nowarlk, Connecticut.

Hau J, and Hoosier Jr, GL. (2003). Handbook of Laboratory Animal Science Second Edition. Boca Raton: CRC Press.

Hayes M.A. 2007. Pathophysiology of the Liver. Saunders Company, USA.

Hutapea AM. 1993. Menuju Gaya Hidup Sehat, Kiat Praktis untuk Setiap Orang Sibuk yang ingin Sehat dan Fit. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Kendeigh SC. 1980. Ecology with Special Reference to Animal and Mans.

Prentice Hall, New Jersey.

Kessler MJ, and Rawlins, R. G. 1983. The hemogram, serum biochemistry and electrolyte profile of the free-ranging Cayo Santiago Macaques rhesus (Macaca mulatta). Amer. J. Primatol., 4: 107-116.

Kim CY, Han JS, Suzuki T, Han SS. 2005. Indirect Indicator of Transport Stress in Hematological Values in Newly Acquired Cynomolgus Monkeys. J Med Primatol. 34: 188-192.

Lamb E, Newman DJ, Price CP. Kidney Function Test. Dalam: Burtis CA, Ashwood ER, Burns DE. 2006. Tietz Textbook of Clinical Chemistry and Molecular Diagnostic 4th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 4: 797-826. Lang CKA. 2006. Primate factsheets: long-tailed macaque (Macaca fascicularis)

taxonomy, morphology & ecology. http://pin.primate.wisc.edu/factsheets/ long-tailed_macaque. [2 Agustus 2009].

Lekagul B and McNeely. 1988. Mamals of Thailand 2nd edition. Kurusapha Ladprao Press, Bangkok.

Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian secara Klinis. UI Press. Jakarta. Terjemahan dari: Aminuddin Parakkasi.

Malinow MR, McLoughlin P, Staffort C. 1987. Prevension of hypercholesterolemia in monkeys (Macaca fascicularis) by digitonin. Am. J. Clin. Nutr. 35:814-818.

Moss R. 1992. Livestock Health and Welfare. Longman Scientific & Technical, United Kingdom.

Napier JR, and Napier PH. 1985. The Natural History of the Primates. The MIT Press, Cambridge, Massachusetts.

National Research Council. 2003. Nutrient Requirement Consumtion Of Nonhuman Primate. Ed 2nd Rev. Washington DC. The National Academic Press.

O’Callaghan C. 2006. The Renal System at a Glance second editition. Blackwell Publishing Ltd. England.

Price SA. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Tennessee. The University of Tennessee Health Science Center.

Poedjiadi A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. UIP Jakarta.

Ramachandra SG, Ramesh V, Krishnamuthy HN, Avindranath N, Shetty KT. 1998. Normal Hematological and Plasma Boichemical Parameters of the Captive Bonnet monkey. Primates 39(2): 127-134.

Raphael S. 1987. Lynch’s Medical Laboratory Technology Edisi ke-4. London: WB Saunders Company.

Riswanto. 2010. Kreatinin Darah (Serum). http://labkesehatan.blogspot.com/ 2010/03/kreatinin-darah-serum.html. [5 Oktober 2011]

Sajuthi D. 1984. Satwa Primata Sebagai Hewan Laboratorium. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sajuthi D, Lelana FPA, Iskandriati D dan Joeniman B. 1993. Karakteristik satwa primata sebagai hewan model untuk penelitian biomedis. Makalah Seminar. Bogor.

Sitopoe M. 1992. Kolesterolfobia, Keterkaitannya dengan Penyakit Jantung. Jakarta: Gramedia.

Smith JB, dan Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Suarsana Nyoman, Suprayogi A, Ni Nyoman Werdi S, Tutik W. 2006. J. Vet. Penggunaan Ekstrak Tempe Terhadap Fungsi Hati Tikus dalam Kondisi Stres.

Sulaksono ME. 2002. Penentuan nilai rujukan parameter faal hewan percobaan sebagai model penyakit manusia dan hewan. http://digilib.litbang.depkes.go.id. [10 September 2009].

Suprayogi A, Astuti DA, Satrija F, Suprianto. 2006. Physiological Status of Sheep Reared Indoor System Under the Tropical Rain Forest Climatic Zone. Proceeding of the 4th ISTAP “Animal Production and Sustainable Agriculture in the Tropic”66-69.

Suprayogi A, Satyaningtijas AS, Kiranadi B, Kusumorini N, Murtini S, Darusman HS. 2009. Uji Keamanan Pendingin Udara LG Berkhasiat Antinyamuk pada Hewan Model Primata dan Rodentia. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Supriatna J, dan Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Suyanto A. 2002. Mamalia di Taman Nasional di Gunung Halimun, Jawa Barat. BCP-JICA. Bogor.

Swenson GM. 1997. Dules Physiology or Domestic Animals. Publishing Co. Inc: USA.

Todd JC, and Sanford AH. 2008. Clinical Diagnosis by Laboratory Methods. Benjain Baxter Wells editorUSA: WB Saunders Company.

Ungerer T, D. Sajuthi, I. Lubis, A. Suprayogi. 1992. Pengaruh minyak ikan (Omega-3). Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Volek JS, Fernandez ML, Feinman RD, Phinney SD. 2008. Dietary carbohidraterestriction induces a unique metabolic state positively affecting atherogenic dyslipidemia, fatty acid partitioning, and metabolic syndrome. Progress in Lipid Research 47 307-318. [Terhubung Berkala]. www.elseiver.com/locate/plipres. [20 Juli 2008].

White AKK. 2009. From Comfort Zone to Performance Management. White & MacLean Publishing.

Wilson LM, and Price SA. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi ke-4 buku ke-2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Terjemahan dari: Peter Anugrah.

Yousef MK.1984. Stress Physiology in Livestock. Vol.1: Basic Principles. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida.

1.1 Latar Belakang

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) termasuk ke dalam famili Cercopithecidae merupakan satwa dilindungi menurut CITES Appendik II. Jenis primata ini mempunyai daerah penyebaran yang sangat luas (kosmopolitan). Hal ini disebabkan karena tingginya adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan salah satu spesies primata yang sering digunakan sebagai hewan model dalam penelitian bidang kedokteran hewan, kedokteran umum, biologi dan biomedis. Hal ini karena monyet ekor panjang memiliki kedekatan kekerabatan dengan manusia. Selain itu monyet ekor panjang memiliki kemiripan genetik dan fisiologis, kerentanan terhadap penyakit menular dan kemiripan karakteristik reproduksi yang mirip dengan manusia. Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model, dan juga untuk mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Animal model atau hewan model adalah objek hewan sebagai imitasi (peniruan) manusia (atau spesies lain), yang digunakan untuk menyelidiki fenomena biologis atau patobiologis (Hau and Hoosier Jr., 2003).

Nilai fisiologis monyet ekor panjang sebagai hewan percobaan sangat diperlukan, mengingat data tersebut akan sangat bermanfaat untuk tujuan penelitian maupun diagnosa. Saat ini referensi yang digunakan untuk merujuk nilai fisiologis monyet ekor panjang adalah nilai fisiologis yang berasal dari literatur asing (luar Indonesia). Nilai-nilai tersebut kemungkinan sangat berbeda bila pengukurannya dilakukan pada monyet ekor panjang yang ada di kondisi iklim Indonesia. Penelitian ini diharapkan mampu melengkapi nilai fisiologis monyet ekor panjang yang telah ada untuk membantu para peneliti maupun tenaga medis dalam mendapatkan data yang akurat mengenai nilai fisiologis monyet ekor

Dokumen terkait