• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Kimia Darah Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) pada Kondisi Aklimasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Kimia Darah Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) pada Kondisi Aklimasi"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

Monkeys (Macaca fascicularis) in Acclimation Condition. Cultivated by AGIK SUPRAYOGI and ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.

This study was aimed to evaluate a blood chemistry profiles especially glucose, cholesterol, triglycerides, SGPT, SGOT, serum urea, and creatinin of long-tailed monkey (Macaca fascicularis) in acclimation condition. Four years old of ten Macaca fascicularis was used in this study. Macaca fascicularis were placed in two rooms which were contained five monkeys with individual cage. This research divided into three stages: adaptation stage for seven days (without temperature and humidity setting), acclimation stage for 14 days (with temperature setting at 25°C temperature and 78% rel. humidity), and post-acclimation stage for 14 days (without temperature and humidity setting). Blood collection was done at the 7th day (adaptation stage); 8th, 11th, 14th, and 21st day (acclimation stage); and 35th day (post-acclimation stage). The results showed that adaptation and post-acclimation stage, the animal model showed signs of stress. Stress in the adaptation stage was indicated by the decreasing in blood glucose, while the stress in the post-acclimation stage was indicated by decreased levels of triglycerides. It could be supposed that temperatur conditions of acclimation stage (25.79 ± 1.16)°C dan (80.19 ± 9.05)% relative humidity is more comfortable for Macaca fascicularis.

(2)

MUHAMMAD FARIED HILMY

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Profil Kimia Darah Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) pada Kondisi Aklimasi” adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2012

Muhammad Faried Hilmy

(4)

MUHAMMAD FARIED HILMY. Profil Kimia Darah Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) pada Kondisi Aklimasi. Dibimbing oleh AGIK SUPRAYOGI dan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendapatkan profil kimia darah terutama glukosa, kolesterol, trigliserida, SGPT, SGOT, ureum dan kreatinin dalam serum darah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) pada kondisi aklimasi. Pada penelitian ini digunakan sepuluh ekor Macaca fascicularis berjenis kelamin jantan yang berumur kurang lebih empat tahun. Macaca fascicularis kemudian ditempatkan pada dua buah ruangan masing-masing berisi lima ekor dengan masing-masing kandang individu. Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap adaptasi selama tujuh hari (tanpa pengaturan suhu dan kelembaban), tahap aklimasi selama 14 hari (dengan pengaturan suhu dan kelembaban) dan tahap postaklimasi selama 14 hari (tanpa pengaturan suhu dan kelembaban). Pengambilan darah dilakukan pada hari ke-7 (tahap adaptasi), hari ke-8, 11, 14, dan 21 (tahap aklimasi), dan hari ke-35 (tahap postaklimasi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kondisi adaptasi dan postaklimasi hewan model menunjukkan tanda-tanda stress. Stress pada kondisi adaptasi diindikasikan dengan penurunan glukosa darah, sedangkan stress pada kondisi postaklimasi diindikasikan dengan penurunan kadar trigliserida. Dapat diperkirakan kondisi aklimasi yaitu pada suhu (25,79 ± 1,16)ºC dan kelembaban (80,19 ± 9,05)% rel. humidity merupakan kondisi yang nyaman bagi Macaca fascicularis.

(5)

Monkeys (Macaca fascicularis) in Acclimation Condition. Cultivated by AGIK SUPRAYOGI and ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.

This study was aimed to evaluate a blood chemistry profiles especially glucose, cholesterol, triglycerides, SGPT, SGOT, serum urea, and creatinin of long-tailed monkey (Macaca fascicularis) in acclimation condition. Four years old of ten Macaca fascicularis was used in this study. Macaca fascicularis were placed in two rooms which were contained five monkeys with individual cage. This research divided into three stages: adaptation stage for seven days (without temperature and humidity setting), acclimation stage for 14 days (with temperature setting at 25°C temperature and 78% rel. humidity), and post-acclimation stage for 14 days (without temperature and humidity setting). Blood collection was done at the 7th day (adaptation stage); 8th, 11th, 14th, and 21st day (acclimation stage); and 35th day (post-acclimation stage). The results showed that adaptation and post-acclimation stage, the animal model showed signs of stress. Stress in the adaptation stage was indicated by the decreasing in blood glucose, while the stress in the post-acclimation stage was indicated by decreased levels of triglycerides. It could be supposed that temperatur conditions of acclimation stage (25.79 ± 1.16)°C dan (80.19 ± 9.05)% relative humidity is more comfortable for Macaca fascicularis.

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

MUHAMMAD FARIED HILMY

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

NIM : B04060808

Disetujui

Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, M.Sc. AIF Dr. drh. Aryani Sismin S., M.Sc. AIF Pembimbing 1 Pembimbing 2

Diketahui

Drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(9)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan HidayahNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dimulai bulan Mei sampai Juni 2009 dengan mengambil judul Profil Kimia Darah Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) pada Kondisi Aklimasi. Penyelesaian

skripsi ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Penulis juga mengucapkan terima kasih khususnya kepada PT. LG ELECTRONIC Indonesia yang telah mendukung penelitian ini melalui bentuk kerjasamanya dengan FKH IPB tahun 2009 yang diketuai oleh Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi. M.Sc. AIF. dengan judul Uji Keamanan Pendingin Udara LG Berkhasiat Antinyamuk pada Hewan Model Primata dan Rodentia. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua, Ahmad Sholeh dan Anifah, serta adik-adikku (M. Afthon Al Fikri, M. Zidni Rizqon A., dan M. Robith Hasymi A.) yang telah memberikan dorongan moral dan doanya. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada: 

1. Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi. M.Sc. AIF. dan Dr. Drh. Aryani Sismin S., M.Sc. AIF. selaku pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan. 

2. Prof. Drh. Tutik Wresdiati, MS, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik. 3. Pak Joni dan Mas Ari yang telah membantu di kandang.

4. Staf laboratorium Analisis Darah Bagian Fisiologi, Departemen AFF FKH-IPB 5. Sofia Ramadhani atas bantuan, perhatian, semangat, dan dukungannya

6. Teman satu penelitian (Ridzki M. F. Binol, Harlendo Swedianto dan Sutan P. Nasution), Teman-teman Aesculapius 43, IKALUM, serta masih banyak lagi teman-teman yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dikemudian hari untuk masyarakat luas.

Bogor, Maret 2012

(10)
(11)

DAFTAR TABEL ... X

II.1 Ciri-ciri Morfologi Macaca fascicularis ... 4

II.1.1 Klasifikasi dan Morfologi ... 4

II.1.2 Pemanfaatan Macaca fascicularis ... 5

II.1.3 Habitat ... 6

II.2 Parameter Fisiologis Macaca fascicularis ... 8

II.2.1 Glukosa ... 8

II.3.2 Termoregulasi dan Adaptasi Tubuh ... 21

II.3.3 Stres ... 21

III BAHAN DAN METODE ... 23

III.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 23

III.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 23

III.3 Persiapan Bahan Penelitian ... 23

III.4 Protokol Penelitian ... 25

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

V SIMPULAN DAN SARAN ... 33

(12)

Halaman

1 Prosedur Perlakuan terhadap Hewan Coba ... 26

2 Kadar Glukosa, Kolesterol dan Trigliserida ... 27

(13)

Halaman

1 Macaca fascicularis ... 5

2 Peran GPT dan GOT dalam Deaminasi Protein ... 16

3 Kandang Macaca fascicularis yang akan dipergunakan ... 24

4 Makanan yang diberikan berupa pisang ... 24

(14)

1.1 Latar Belakang

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) termasuk ke dalam famili Cercopithecidae merupakan satwa dilindungi menurut CITES Appendik II. Jenis primata ini mempunyai daerah penyebaran yang sangat luas (kosmopolitan). Hal ini disebabkan karena tingginya adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan salah satu spesies primata yang sering digunakan sebagai hewan model dalam penelitian bidang kedokteran hewan, kedokteran umum, biologi dan biomedis. Hal ini karena monyet ekor panjang memiliki kedekatan kekerabatan dengan manusia. Selain itu monyet ekor panjang memiliki kemiripan genetik dan fisiologis, kerentanan terhadap penyakit menular dan kemiripan karakteristik reproduksi yang mirip dengan manusia. Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model, dan juga untuk mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Animal model atau hewan model adalah objek hewan sebagai imitasi (peniruan) manusia (atau spesies lain), yang digunakan untuk menyelidiki fenomena biologis atau patobiologis (Hau and Hoosier Jr., 2003).

Nilai fisiologis monyet ekor panjang sebagai hewan percobaan sangat diperlukan, mengingat data tersebut akan sangat bermanfaat untuk tujuan penelitian maupun diagnosa. Saat ini referensi yang digunakan untuk merujuk nilai fisiologis monyet ekor panjang adalah nilai fisiologis yang berasal dari literatur asing (luar Indonesia). Nilai-nilai tersebut kemungkinan sangat berbeda bila pengukurannya dilakukan pada monyet ekor panjang yang ada di kondisi iklim Indonesia. Penelitian ini diharapkan mampu melengkapi nilai fisiologis monyet ekor panjang yang telah ada untuk membantu para peneliti maupun tenaga medis dalam mendapatkan data yang akurat mengenai nilai fisiologis monyet ekor panjang di Indonesia.

(15)

fisiologis primata sebagai hewan model harus dapat diketahui sebagai referensi yang ada di wilayah Indonesia.

Selain adanya pengaruh iklim tropis Indonesia, nilai fisiologis hewan model tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi mikroklimat di ruang kandang tempat hewan model tersebut. Kondisi temperatur dan kelembaban ruangan sangat mempengaruhi kondisi fisiologis hewan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan penelitian yang menggunakan hewan model harus diperhatikan mikroklimat ruangan yang mengarah pada nilai zona nyaman bagi hewan tersebut. Pengaturan ruangan pada zona nyaman biasanya diperlukan proses aklimasi hewan tersebut. Aklimasi adalah suatu perubahan kondisi fisiologis organisme untuk mengurangi tekanan yang disebabkan pemberian cekaman secara eksperimental (Kendeigh 1980).

Sampai saat ini belum banyak informasi mengenai nilai fisiologis hewan model sebagai referensi di wilayah tropis, khususnya parameter kimia darah. Di samping itu, belum diketahui bagaimana nilai fisiologis tersebut dalam kondisi adaptasi dan aklimasi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh aklimasi di ruang kandang terhadap profil kimia darah monyet ekor panjang sebagai hewan model.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji profil kimia darah terutama kadar glukosa, kolesterol, trigliserida, SGPT, SGOT, ureum dan kreatinin dalam serum darah pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) pada kondisi aklimasi di ruang kandang. 2. Mendapatkan profil nilai fisiologis kimia darah pada saat Macaca

fascicularis berada pada kondisi adaptasi, aklimasi dan postaklimasi.

2.1Manfaat Penelitian

(16)

penelitian maupun praktisi di bidang kedokteran hewan, kedokteran umum, biologi dan biomedis.

2.2Hipotesis Penelitian

Penelitian ini menduga bahwa kondisi aklimasi di ruang laboratorium tidak akan mempengaruhi kadar glukosa, lipid, SGPT, SGOT, ureum dan kreatinin oleh monyet ekor panjang sebagai bahan atau objek penelitian. Hipotesis tersebut dinilai sebagai berikut:

H0 : kondisi aklimasi di ruang laboratorium secara signifikan dapat mempengaruhi kadar glukosa, kolesterol, trigliserida, SGPT, SGOT, ureum dan kreatinin monyet ekor panjang.

(17)

II.1 Ciri-ciri Morfologi Macaca fascicularis

II.1.1 Klasifikasi dan Morfologi

Menurut Lang (2006) taksonomi monyet ekor panjang (Macaca

fascicularis) sebagai berikut :

Kelas : Mamalia

Ordo : Primata

Sub Ordo : Anthropoidea

Infra Ordo : Catarrhini

Super Famili : Cercopithecoidea

Famili : Cercopithecidae

Genus : Macaca

Spesies : Macaca fascicularis

Sub Spesies : M. f. atriceps, M. f. aurea, M. f. condorensis, M.

f.fascicularis, M. f. fusca, M. f. karimondjawae, M. f. lasiae, M. f. philipines, M. f. tua, M. f. umbosa.

Monyet ekor panjang sering disebut juga long-tailed macaque, crab eating monkey, dan cinomolgus monkey. Nama lokal monyet ekor panjang di berbagai daerah di Indonesia adalah Cigaq (Minangkabau), Karau (Sumatera), Warik

(Kalimantan), Warek (Dusun), Bedes (Tengger), Ketek (Jawa), Kunyuk (Sunda),

Motak (Madura) dan Belo (Timor) (Supriatna dan Wahyono 2000). Monyet ekor

panjang (Macaca fascicularis) adalah satwa primata yang menggunakan kaki depan dan belakang dalam berbagai variasi untuk berjalan dan berlari

(quandrapedalisme), memiliki ekor yang lebih panjang dari panjang kepala dan badan. Disamping itu memiliki bantalan duduk (ischial sallosity) yang melekat pada tulang duduk (ischial) dan memiliki kantong makanan di pipi (cheek pouches) (Napier and Napier 1985).

Lekagul and McNeely (1988) juga menjelaskan Macaca fascicularis

dinamakan monyet ekor panjang karena memilki ekor yang panjang, dan berkisar

antara 80% hingga 110% dari total panjang kepala dan tubuh. Ukuran panjang

(18)

telinga 30-45 mm, bobot 2400-6500 gram (Suyanto, 2002). Monyet ekor panjang

dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Sumber: NBII (2009)

Supriatna dan Wahyono (2000) menyatakan bahwa monyet ekor panjang

(Macaca fascicularis) memiliki panjang tubuh berkisar antara 385 mm hingga 668 mm. Bobot tubuh jantan dewasa berkisar antara 3,5 kg hingga 8,0 kg, sedangkan

bobot tubuh rata-rata betina 3 kg. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan

bahwa monyet jantan dewasa mempunyai bobot badan berkisar antara 5,5 kg

hingga 10,9 kg dan betina antara 4,3 kg hingga 10,6 kg

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) mempunyai dua warna utama yaitu coklat keabu-abuan dan kemerah-merahan dengan berbagai variasi warna

menurut musim, umur dan lokasi (Lekagul and McNeely 1988). Napier and

Napier (1985) secara umum menyatakan warna bulu monyet ekor panjang

(Macaca fascicularis) agak kecoklatan sampai abu-abu, pada bagian punggung lebih gelap dibanding dengan bagian perut dan dada, rambut kepalanya pendek

tertarik kebelakang dahi, rambut-rambut sekeliling wajahnya berbentuk jambang

yang lebat, ekornya tertutup bulu halus.

II.1.2 Pemanfaatan Macaca fascicularis

Satwa primata adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki peranan

penting dalam kehidupan manusia. Hal ini disebabkan karena secara anatomis dan

(19)

dengan hewan model lainnya (Sajuthi et al. 1993). Menurut Sulaksono (2002), bahwa variasi nilai rujukan parameter faal Macaca fascicularis menurut sentra hewan dan jenis kelamin, masih dalam batas yang dapat ditolerir untuk hewan

percobaan yang dipelihara dengan kondisi pemeliharaan konvensional, sehingga

dengan demikian para peneliti Indonesia yang menggunakan kera sebagai model

penelitiannya dapat menggunakan nilai rujukan tersebut sebagai salah satu

referensinya.

II.1.3 Habitat

Pemeliharaan monyet sebagai hewan penelitian harus memenuhi

persyaratan yang telah diatur oleh sebuah komisi kesejahteraan hewan. Menurut

Moss (1992) kesejahteraan dalam arti luas yaitu menyangkut masalah fisik atau

mental dari hewan dan dapat bertingkah laku sesuai dengan kebiasaannya di alam

bebas. Komisi kesejahteraan memperhitungkan keselamatan hewan, orang

disekitarnya dan kemungkinan terjadi kecelakaan kerja. Komisi tersebut

memutuskan yang terbaik bagi hewan yaitu mendapat cukup kebebasan dalam

bergerak tanpa kesulitan berputar, merawat diri, berdiri, berbaring dan

merengangkan badan. Komisi ini juga mempertimbangkan keadaan pakan yang

diberikan. Hewan harus terbebas dari rasa lapar dan haus.

Habitat monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tersebar mulai dari hutan hujan tropika, hutan musim sampai hutan rawa-mangrove, dan di hutan

iklim sedang (Cina dan Jepang) (Napier and Napier 1985). Supriatna dan

Wahyono (2000) menyatakan bahwa monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)

hidup pada habitat hutan primer dan sekunder mulai dari dataran rendah sampai

dataran tinggi sekitar 1.000 m di atas permukaan laut. Pada umumnya, habitat asli

Macaca fascicularis selalu berada disepanjang lembah yang berbatasan dengan air, baik di daratan terbuka maupun pinggiran sungai ataupun hutan, sehingga

monyet ekor panjang ini dapat menyesuaikan diri pada semua peringkat ekologi

(Ecologically diverse). Aktivitas fisik monyet ekor panjang ini secara teratur dimulai dari matahari terbit hingga tenggelam lagi, hidupnya berkelompok dengan

jumlah kelompok sekitar 20 – 50 ekor dan selalu berpindah-pindah mengikuti

(20)

yang cukup baik bagi kehidupan Macaca fascicularis berkisar diantara 25-27°C. Namun, perubahan suhu yang tidak menentu disaat sekarang ini menyebabkan

kondisi lingkungan bagi Macaca fascicularis tidaklah nyaman serta pakan yang diperoleh dialam juga semakin menipis akibat dari kerusakan alam yang

dilakukan oleh manusia yang tidak bertanggungjawab. Menurut Napier and

Napier (1985), habitat dan penyebarannya ditentukan oleh beberapa hal yang

dibutuhkan untuk bertahan hidup yaitu sumber makanan, sungai atau mata air, dan

pohon untuk tidur dan beristirahat. Keterbatasan sumber makanan dan minuman

menyebabkan kemungkinan adanya daerah tertentu yang merupakan daerah

jelajah dari dua kelompok atau lebih. Perkelahian kelompok sering terjadi untuk

memperebutkan wilayah jelajah tersebut.

Kandang monyet harus dipertimbangkan untuk keperluan tingkah laku,

emosi, dan sosial. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tidak boleh dikandangkan sendirian dan terpencil, karena akan menimbulkan suatu bentuk

cekaman yang mengganggu proses tingkah laku dan fisiologi normal (Smith dan

Mangkoewidjojo 1988). Satwa primata harus dikandangkan di ruang atau daerah

sejauh mungkin dari kandang hewan lain. Syarat ini untuk mengurangi resiko

penularan penyakit dan keamanan dalam memelihara (Smith dan Mangkoewidjojo

1988). Kandang monyet harus dibuat dengan konstruksi yang kuat untuk

mencegah terjadinya kerusakan yang disebabkan dari monyet itu sendiri. Jenis

kandang kelompok yang terbuat dari ram kawat perlu dilengkapi tempat

peristirahatan yang agak tinggi dan bentuknya harus memadai. Kandang individu

harus dilengkapi dinding belakang geser (kandang jepit), sehingga monyet dapat

didorong ke bagian depan kandang. Fungsi kandang tersebut untuk mempermudah

dalam melakukan pemeriksaan, pemberian obat atau penyuntikan dan penanganan

lain yang harus dilakukan terhadap monyet tersebut. Setiap jenis kandang baik

kandang kelompok maupun kandang individu harus dilengkapi dengan tempat

(21)

II.2 Parameter Fisiologis Macaca fascicularis

II.2.1 Glukosa

Glukosa merupakan hasil akhir dari pencernaan karbohidrat dalam saluran

pencernaan. Fungsi utama karbohidrat adalah sebagai bahan bakar utama untuk

oksidasi dan menyediakan energi untuk proses metabolisme. Bila karbohidrat

yang masuk ke dalam tubuh lebih banyak daripada yang digunakan untuk

menyediakan energi, maka kelebihannya dengan segera akan disimpan dalam

bentuk glikogen yang disimpan dalam hati dan otot. Apabila masih terdapat

kelebihan karbohidrat, maka karbohidrat akan diubah menjadi trigliserida dan

kemudian disimpan di dalam jaringan adiposa (Guyton and Hall 1993).

Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan dipergunakan

oleh jaringan-jaringan perifer tergantung dari keseimbangan fisiologis dari

beberapa hormon. Hormon-hormon ini dapat diklasifikasikan sebagai 1) hormon

yang merendahkan kadar glukosa darah yaitu, insulin 2) hormon yang

meningkatkan kadar glukosa darah yaitu, glukagon, epinefrin, glukokortikoid dan

hormon pertumbuhan. Insulin disekresikan oleh sel beta pulau Langherhans

pankreas. Sedangkan hormon yang meningkatkan kadar glukosa darah, antara lain

1) Glukagon yang disekresikan sel alpha pulau Langherhans pankreas, 2)

Epinefrin yang disekresikan oleh medula adrenal dan jaringan kromafin, 3)

Glukokortikoid yang disekresikan oleh korteks adrenal, dan 4) hormon

pertumbuhan yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior. Hormon yang

meningkatkan glukosa membentuk suatu mekanisme counter–regulator yang

mencegah timbulnya hipoglikemia akibat pengaruh insulin (Wilson and Price

1995).

Organ hati, jaringan ekstrahepatik dan hormon berperan untuk

mempertahankan kadar glukosa dalam darah agar tetap stabil (Girindra 1988).

Pengaturan konsentrasi gula darah sangat erat hubungannya dengan hormon

insulin dan hormon glukagon yang dihasilkan oleh pankreas. Kecepatan

pengangkutan glukosa juga dengan pengangkutan beberapa monosakarida lain

ditingkatkan oleh insulin, kecepatan pengangkutan glukosa ke dalam sebagian

besar sel meningkat sampai 10 kali lipat atau lebih dibandingkan kecepatan

(22)

konsentrasi glukosa darah terhadap sekresi glukagon bertentangan dengan efek

glukosa terhadap insulin. Glukagon adalah hormon yang disekresikan oleh sel

alpha pankreas, apabila konsentrasi gula darah turun sangat rendah, glukagon

merangsang pembentukan siklik AMP terutama di dalam sel-sel hati. Pengaruh

utama glukagon adalah mengubah glikogen hati menjadi glukosa dan

melepaskannya ke dalam darah (Guyton and Hall 1996).

Masuknya glukosa ke dalam darah setelah makan akan meningkatkan kadar

glukosa darah menyebabkan insulin diekskresikan dengan cepat yang

menyebabkan absorb glukosa untuk kemudian disimpan di hati dalam bentuk

glikogen. Mekanisme insulin menurut Guyton and Hall 1993 yang menyebabkan

absorb dan penyimpanan glukosa di dalam hati meliputi:

1. Menghambat fosforilase, enzim yang menyebabkan glikogen hati dipecah menjadi glukosa.

2. Meningkatkan ambilan glukosa dari darah oleh sel-sel hati.

3. Meningkatkan aktivitas enzim yang meningkatkan sintesis glikogen.

Peningkatan kadar glukosa setelah makan menyebabkan peningkatan

pengambilan glukosa oleh hati, otot dan jaringan lemak. Glukosa yang disimpan

di dalam hati nantinya akan dikonversi menjadi asam lemak dan asam lemak ini

diangkut ke dalam jaringan adiposa. Selain dikonversi menjadi asam lemak,

kelebihan glukosa akan ditransportasikan ke dalam sel otot dalam bentuk glikogen

otot. Glikogen otot berbeda dengan glikogen hati karena tidak dapat dikonversi

kembali menjadi glukosa dan dilepaskan ke dalam cairan tubuh (Guyton and Hall

2008). Ketika masuknya proses penyerapan glukosa dari saluran pencernaan

terhenti, maka kadar glukosa darah mulai menurun dan memberi isyarat untuk

mengambil proses kebalikan dari mekanisme sekresi hormon pankreas (Linder

1992). Mekanisme pengaturan glukosa darah menurut Ganong 1999, meliputi :

a. Fungsi hati sebagai buffer glukosa, yaitu apabila glukosa darah meningkat

setelah makan menjadi konsentrasi yang sangat tinggi maka kecepatan

sekresi insulin juga meningkat. Sebanyak duapertiga glukosa diabsorbsi

oleh usus dan segera disimpan dalam hati dalam bentuk glikogen, maka hati

(23)

b. Fungsi insulin dan glukagon sebagai umpan balik terpisah dan sangat

penting untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah yang normal.

c. Pada keadaan hipoglikemia efek glukosa darah yang rendah pada

hipotalamus akan merangsang susunan saraf simpatis. Sebaliknya epinefrin

yang disekresikan oleh kelenjar adrenal menyebabkan pelepasan glukosa

lebih lanjut ke hati, hal ini untuk mengatasi hipoglikemia berat.

d. Hormon pertumbuhan dan kortisol disekresikan dalam respon terhadap

hipoglikemia yang berkepanjangan, yang akan menurunkan kecepatan

pengunaan glukosa oleh bagian terbesar sel-sel tubuh.

Kadar glukosa darah adalah suatu indikator klinis dari kurang atau tidaknya

asupan makanan sebagai sumber energi. Faktor yang menentukan kadar glukosa

adalah kesimbangan antara jumlah glukosa yang masuk dan yang dikeluarkan

melalui aliran darah. Hal ini dipengaruhi oleh masuknya makanan, kecepatan

masuk ke dalam sel otot, jaringan lemak dan organ lain serta aktivitas sintesi

glikogen dari glukosa oleh hati (Ganong 1999). Kadar gula darah merupakan

refleksi dari keadaan nutrisi, emosi dan fungsi endokrin (Girindra 1988).

Pada keadaan kadar glukosa dalam darah menurun maka secara bertahap

hati akan mengubah persediaan glikogen menjadi glukosa yang menggantikan

glukosa yang berkurang dalam sirkulasi. Setelah glikogen berkurang, tubuh mulai

mengubah asam-asam amino dari jaringan otot menjadi glukosa dan energi.

Sebelum persediaan asam amino berkurang, tubuh mulai mengurangi lemak yang

tersimpan di dalam jaringan hati menjadi asam lemak. Meski termasuk sumber

energi, asam lemak tidak dapat diubah menjadi glukosa. Hampir semua sel pada

tubuh mampu memetabolisir asam lemak, kecuali sel-sel otak dan sistem saraf

pusat yang hanya mengandalkan glukosa darah. Agar tidak terjadi kekurangan

energi lebih lanjut pada sistem saraf pusat, hati akan mengubah asam lemak

menjadi keton sebagai pengganti glukosa. Biasanya keton mulai diproduksi pada

hari ketiga puasa atau pada saat persediaan sudah sangat berkurang. Begitu kadar

keton dalam darah meningkat (disebut juga ketosis), otak dan organ-organ lain

(24)

Kadar glukosa plasma pada suatu saat ditentukan oleh keseimbangan antara

jumlah glukosa yang masuk ke dalam aliran darah dan yang keluar dari aliran

darah. Penentu utama masuknya glukosa ke dalam aliran darah adalah:

a. Diet nutrisi yang masuk.

b. Kecepatan pemasukan ke dalam sel otot, jarigan adiposa dan organ lain.

c. Aktivitas glukostatik hati.

Konsentrasi glukosa darah harus dijaga agar tidak terlalu tinggi karena:

a. Glukosa sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik cairan ekstraseluler

dan apabila meningkat akan menimbulkan dehidrasi selular.

b. Konsentrasi glukosa yang tinggi menyebabkan keluarnya glukosa dari urin.

c. Keadaan di atas menimbulkan dieresis osmotik oleh ginjal, yang dapat

mengurangi jumlah cairan tubuh dan elektrolit yang dapat menimbulkan

berbagai macam penyakit (Guyton and Hall 1996).

Glukagon dengan konsentrasi abnormal yang sangat besar akan

menimbulkan efek, yaitu:

a. Meningkatnya kekuatan jantung.

b. Meningkatnya sekresi empedu.

c. Menghambat sekresi asam lambung (Ganong 1999).

II.2.2 Kolesterol

Lemak atau lipid merupakan senyawa kimia dalam makanan yang terdiri

dari lemak netral (trigliserida), fosfolipid, kolesterol, dan beberapa senyawa lain.

Di dalam tubuh, lemak berfungsi sebagai sumber energi yang efisien ketika

disimpan dalam jaringan adiposa. Sejumlah kecil lemak dapat dicerna di dalam

lambung di bawah pengaruh lipase lambung. Namun, sebagian besar lemak

dicerna di dalam usus halus yang dipengaruhi lipase pankreas. Tahap awal

pencernaan lemak adalah emulsifikasi lemak oleh asam empedu. Kemudian lemak

yang teremulsi tersebut akan dipecah menjadi asam lemak (trigliserida dan

fosfolipid), gliserol, dan gliserida (Guyton and Hall 1993). Lemak di hati

disintesis dari karbohidrat dan protein yang berlebih. Setelah lemak disintesis

dalam hati, lemak ditransport dalam lipoprotein ke seluruh jaringan lemak untuk

(25)

Kolesterol diklasifikasikan ke dalam golongan lemak berkomponen alkohol

steroid. Kolesterol sangat larut dalam lemak dan mampu membentuk ester dengan

asam lemak. Hampir 70% kolesterol dalam lipoprotein plasma adalah bentuk ester

kolesterol. Kolesterol diperoleh melalui dua jalur, yaitu eksogen dan endogen

(Guyton and Hall 1997). Kolesterol eksogen yaitu kolesterol yang diperoleh dari

hasil absorbs saluran pencernaan setiap hari. Sedangkan kolesterol endogen

adalah kolesterol yang diperoleh dari hasil pembentukan dalam sel tubuh. Pada

dasarnya kolesterol endogen yang beredar dalam lipoprotein plasma dibentuk

oleh hati, tetapi semua sel lain dalam tubuh juga sedikit membentuk kolesterol.

Sesuai dengan kenyataan bahwa banyak struktur membran sel terbentuk dari

kolesterol. Sebagian kolesterol dalam darah berasal dari hasil sintesis dalam tubuh

kurang lebih 1 gram/hari, sedangkan 0,3 gram/hari diperoleh dari makanan

(Harper et al. 1988; Clarenburgh 2001; Bachorik et al. 2001).

Kolesterol yang bersifat endogen dipengaruhi oleh proses sintesis asam

lemak jenuh, lipoprotein, dan energi yang digunakan. Sedangkan kolesterol

eksogen dipengaruhi oleh konsumsi kolesterol dalam makanan (Sitopoe 1992;

Clarenburgh 2001; Bachorik et al. 2001). Kadar kolesterol juga dipengaruhi oleh faktor individu terhadap kemampuan mensintesis kolesterol serta kemampuan

mensekresi sterol dan garam empedu dari tubuh (Harper et al. 1988; Clarenburgh 2001; Bachorik et al 2001). Dalam tubuh kolesterol diabsorbsi oleh usus dan diangkut oleh kilomikron yang kemudian dibawa ke hati untuk dimetabolisme.

Dalam hati terjadi peristiwa umpan balik negatif untuk mengatur kolesterol tubuh,

bila pemasukan kolesterol dalam diet meningkat maka sintesis menurun, begitu

pula sebaliknya (Guyton and Hall 1997).

Sekitar satu gram kolesterol dieliminasi dari tubuh setiap hari. Kurang lebih

separuhnya akan diekskresikan ke dalam feces setelah dikonversi menjadi asam

empedu, sisanya akan diekskresikan sebagai kolesterol. Sejumlah besar kolesterol

yang disekresikan ke dalam empedu akan direabsorbsi, dan diyakini bahwa

sebagian kolesterol merupakan precursor senyawa sterol feces dari mukosa

intestinal. Koprostanol merupakan sterol utama di dalam feces, senyawa ini

dibentuk dari kolesterol oleh bakteri yang ada di usus besar. Sejumlah besar

(26)

kemudian diambil oleh hati untuk diekskresikan kembali ke empedu, keadaan ini

dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. Asam empedu atau derivatnya yang tidak

direabsorbsi akan diekskresikan ke dalam feces (Harper et al. 2003).

Asam empedu primer (asam kolat dan asam kenodeoksikolat) disintesis dari

kolesterol. Reaksi 7α-hidroksilasi pada kolesterol merupakan tahap awal pada

biosintesis asam empedu, dan reaksi ini membatasi laju pada sintesis asam

empedu tersebut. Reaksi tersebut dikatalis oleh enzim mikrosomal yaitu enzim

7α-hidroksilase. Reaksi 7α-hidroksilasi ini memerlukan oksigen, NADPH serta

sitrokom P450. Defisiensi vitamin C akan mengganggu pembentukan asam

empedu pada tahap 7α-hidroksilasi dan menyebabkan akumulasi kolesterol serta

aterosklerosis. Asam empedu primer kemudian akan memasuki getah empedu

sebagai konjugat glisin dan taurin. Karena getah empedu mengandung kalium dan

natrium dalam jumlah cukup besar, maka asam empedu dan konjugatnya akan

membentuk garam empedu. Sebagian asam empedu primer di dalam usus

mengalami beberapa perubahan oleh aktivitas bakteri usus. Perubahan ini meliputi

reaksi dekonjugasi dan 7α-hidroksilasi yang menghasilkan asam empedu

sekunder, yaitu asam deoksikolat dari asam kolat, dan asam litokolat dari asam

kenodeoksikolat (Harper et al 2003).

Kolesterol diedarkan dalam plasma dalam bentuk lipoprotein, dapat pula

dinamakan kompleks antara lipid dengan apoliprotein. Sejumlah kolesterol dalam

makanan dapat diserap dalam berbagai bentuk tergantung dari macam-macam

spesies dan makanan (Clarenburgh 2001). Kolesterol merupakan prekursor

hormon steroid antara lain progesteron, glukokortikoid, mineralokortikoid,

androgen dan estrogen, selain itu kolesterol juga sebagai prekursor asam empedu

dan vitamin D (Harper et al. 1988; Clarenburgh 2001; Bachorik et al. 2001). Kolesterol merupakan pengatur permeabilitas membran untuk mempertahankan

integritas sel tubuh sehingga dapat mencegah penguapan air secara berlebihan

pada permukaan kulit. Selain itu kolesterol adalah pembentuk sel otak dan vitamin

(27)

II.2.3Trigliserida

Trigliserida atau lemak netral adalah asam organik hidrokarbon sederhana

berantai panjang. Trigliserida terbentuk dari suatu ester gliserol, dibentuk oleh

reaksi dua molekul asil-lemak-KoA dengan gliserol 3-fosfat membentuk asam

fosfatidat, yang mengalami defosforilasi menjadi diasilgliserol. Sebagian besar

lemak dan minyak di alam terdiri atas 98-99% trigliserida. Molekul ini kemudian

diasilasi oleh molekul ketiga asil-lemak-KoA menjadi triasilgliserol. Apabila

terdapat satu asam lemak dalam ikatan dengan gliserol maka dinamakan

monogliserol. Fungsi utama trigliserida adalah sebagai penyedia energi. Lemak

disimpan di dalam tubuh dalam bentuk trigliserida. Apabila sel membutuhkan

energi, enzim lipase dalam lemak akan memecah trigliserida menjadi gliserol dan

asam lemak serta melepasnya ke pembuluh darah. Oleh sel-sel yang

membutuhkan kemudian dibakar dan menghasilkan energi, karbondioksida dan air

yang menggantikan kehilangan air ketika bernafas (Guyton and Hall 1997;

Clarenburgh 2001; Bachorik et al. 2001).

Oksidasi lemak dapat menghasilkan cukup energi untuk mempertahankan

suhu tubuh, untuk sintesis aktif asam amino dan protein, selain untuk aktivitas lain

yang membutuhkan energi, seperti transport membran. Selain itu, degradasi

trigliserida menjadi glukosa darah, setelah fosforilasi enzimatik menjadi gliserol

fosfat dan oksidasinya menjadi dihidroksi aseton fosfat (Clarenburgh 2001).

Pada hewan normal, biosintesis dan oksidasi trigliserida terjadi bersamaan

dalam keadaan imbang sehingga jumlah lemak dalam tubuh relatif konstan selama

jangka waktu panjang, walaupun mungkin terjadi sedikit perubahan dalam jangka

waktu pendek, bersamaan dengan waktu berfluktuasinya kalori yang terpakai.

Kecepatan biosintesis trigliserida diubah secara drastis oleh aktivitas beberapa

hormon. Insulin contohnya, melangsungkan perubahan karbohidrat menjadi

trigilserida. Trigliserida juga dapat digunakan sebagai cadangan makanan pada

hewan yang tinggal di daerah bersuhu rendah saat hibernasi (Clarenburgh 2001).

Hampir seluruh lemak dari diet, dengan pengecualian asam lemak rantai

pendek, diabsorbsi dari usus ke dalam limfe. Selama pencernaan sebagian besar

trigliserida dipecah menjadi monogliserida dan asam lemak. Kemudian sewaktu

(28)

baru yang berkumpul dan masuk ke dalam limfe dalam bentuk droplet kecil yang

tersebar yang disebut kilomikron (Guyton and Hall 1997).

II.2.4 SGPT (Serum Glutamat Piruvat Transminase) dan SGOT (Serum Glutamat Oksaloasetat Transminase)

Aspartate aminotransferase (AST atau SGOT) dan alanine aminotransferase

(ALT atau SGPT) adalah enzim-enzim hati yang paling sensitif dan digunakan

secara luas mendeteksi kerusakan hati. AST (SGOT) normalnya ditemukan dalam

suatu keanekaragaman dari jaringan termasuk hati, jantung, otot, ginjal, dan otak.

SGOT dilepaskan kedalam serum ketika satu saja dari jaringan-jaringan ini

rusak. ALT (SGPT) normalnya ditemukan sebagian besar di hati. SGPT dilepas

ke dalam aliran darah sebagai akibat dari kerusakan hati. Oleh karenanya SGPT

digunakan sebagai suatu indikator yang cukup spesifik dari keadaan (status) hati

(Guyton dan Hall 1997).

SGPT dan SGOT merupakan dua enzim transminase yang dihasilkan

terutama oleh sel-sel hati. Bila sel-sel hati rusak, biasanya kadar kedua enzim

meningkat. Batasan normal SGOT adalah 5 sampai 40 unit per liter serum (bagian

cair dari darah). Sedangkan batasan normal SGPT adalah 7 sampai 56 unit per

liter serum. Enzim SGPT berperan dalam deaminasi asam amino, pengeluaran

gugus amino dari asam amino (Guyton dan Hall 1997; Hayes 2007). SGPT akan

memindahkan gugus amino pada alanin ke gugus keton dari α-ketoglutarat

membentuk glutamat dan piruvat. Selanjutnya piruvat akan diubah menjadi laktat.

Reaksi tersebut dikatalisasi oleh enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang

membutuhkan NADH dalam reaksi yang dikatalisasinya. SGOT juga berperan

dalam deaminasi asam amino, SGOT mengkatalisasi pemindahan gugus amino

pada aspartat ke gugus keton dari α-ketoglutarat membentuk glutamat dan

oksaloasetat dan selanjutnya oksaloasetat diubah menjadi malat. Reaksi tersebut

dikatalisasi oleh enzim malat dehidrogenase (MDH) yang membutuhkan NADH

dalam reaksi ini (Poedjiadi 1994). Secara normal organ mengalami regenerasi sel,

termasuk hati. Pada keadaan ini sel yang telah rusak digantikan oleh sel yang

baru, jadi pada keadaan normal, keberadaan SGPT dalam darah itu normal, hal

(29)

Gambar 2. Peran GPT dan GOT dalam Deaminasi Protein Sumber: Poedjiadi (1994)

Adanya kerusakan sel-sel parenkim hati atau permeabilitas membran akan

mengakibatkan enzim GOT dan GPT, arginase, laktat dehidrogenase, dan γ

-glutamil transminase bebas keluar sel, sehingga enzim masuk ke pembuluh darah

melebihi keadaan normal dan kadarnya dalam darah meningkat (Girindra 1986).

Namun demikian, indikator yang lebih baik untuk mendeteksi kerusakan jaringan

hati adalah SGPT dan SGOT, karena kedua enzim tresebut akan meningkat

terlebih dahulu dan peningkatannya lebih drastis dibanding enzim-enzim lainnya

(Amin 1995; Callbreath 1992). Oleh karena itu melalui hasil tes laboratorium,

keduanya dianggap memberi gambaran adanya gangguan pada hati (Girindra

1986).

Oleh karena itu menurut pemaparan di atas faktor yang erat kaitannya

dengan perubahan kadar SGPT dan SGOT yaitu laju metabolisme protein, dan

laju regenerasi sel, yang mungkin diantaranya dapat dipengaruhi oleh tingkat

aktivitas fisik (Girindra 1986, Suarsana et al. 2006).

II.2.5 Ureum

Ureum merupakan hasil akhir dari metabolisme protein dalam tubuh.

Senyawa-senyawa ini harus dikeluarkan dari dalam tubuh secara terus-menerus

untuk memastikan terus berlangsungnya metabolisme protein dalam sel (Price

2005). Ureum dihidrolisis di dalam air dengan bantuan urease sehingga dihasilkan

amonia dan CO2 (Guyton and Hall 1997). Kadar ureum dalam darah bergantung

(30)

ginjal dan diekskresikan melalui urin. Ketika air direabsorbsi dari tubulus,

konsentrasi ureum dalam tubulus akan meningkat sehingga muncul gradien

konsentrasi yang menyebabkan reabsorbsi urea. Ureum tidak bisa memasuki

tubulus sebanyak air, sehingga ureum direabsorbsi secara pasif dari tubulus.

Ureum yang masih tertinggal akan masuk ke dalam urin untuk akhirnya

diekskresikan (Raphael 1987). Ureum dengan kadar tinggi dalam tubuh akan

bersifat toksik karena sifatnya yang mendenaturasikan protein (Doxey 1983).

Ginjal adalah organ ekskresi utama dalam tubuh yang terletak pada dinding

posterior abdomen di luar rongga peritonium. Ginjal memiliki tiga bagian utama

yaitu, korteks (bagian luar), medulla, dan pelvis renalis (Guyton 1995). Menurut

Price 2005, ginjal merupakan organ penyaring plasma dan unsur-unsur plasma

darah, secara selektif ginjal menyerap kembali air dan unsur-unsur berguna dari

filtrat kemudian mengekskresi kelebihan dan produk buangan plasma. Menurut

Raphael 1987, pembentukan urin dimulai dengan proses filtrasi glomerulus

plasma. Aliran plasma ginjal kira-kira 660 ml/menit yang setara dengan sekitar

25% curah jantung. Seperlima dari plasma dialirkan melalui glomerulus ke

kapsula Bowman yang dikenal sebagai laju filtrasi glomerulus. Sel-sel darah dan

molekul-molekul protein yang besar atau bermuatan negatif secara efektif tertahan

oleh seleksi glomerulus, sedangkan molekul berukuran kecil atau bermuatan

positif langsung tersaring. Saat filtrat mengalir melalui tubulus ada beberapa zat

yang diambil atau ditambahkan ke dalam filtrat sehingga hanya sekitar 1,5 L/hari

yang diekskresikan sebagai urin.

Ginjal memiliki fungsi yang multipel antara lain sebagai pengatur

keseimbangan air dan elektrolit, pengatur konsentrasi osmolitas cairan tubuh,

pangatur keseimbangan asam basa, ekskresi produk sisa metabolik dan bahan

kimia asing, dan sekresi hormon (Ganong 2003). Guyton 1995 menyebutkan

bahwa efek dari gagal ginjal akut atau kronis secara umum dapat berupa edema

umum, asidosis, tingginya konsentrasi nitrogen non-protein terutama urea, dan

tingginya konsentrasi produk retensi urin lainnya, termasuk kreatinin, asam urat,

fenol, basa guanidine, sulfat, fosfat dan kalium. Maka dari itu sangat penting

(31)

pemeriksaan laboratorium ginjal antara lain pemeriksaan kadar kreatinin dan

ureum dalam serum darah (Raphael 1987).

Ureum selain direabsorbsi secara pasif dari tubulus ternyata juga diabsorbsi

ke medulla ginjal dan berperan terhadap 40% osmolaritas interstisium medulla

ginjal saat ginjal membentuk urin pekat secara maksimal (Guyton 1995).

Mekanisme reabsorbsi ureum ke medulla ginjal, yaitu air mengalir ke cabang

asenden ansa Henle dan masuk ke tubulus distal dan tubulus koligentes kortikalis

hanya sedikit ureum yang direabsorbsi karena segmen ini impermiabel terhadap

ureum. Dengan tingginya konsentrasi ADH, air direabsorbsi secara cepat dari

tubulus koligentes kortikalis dan konsentrasi ureum juga meningkat dengan cepat.

Selanjutnya, cairan tubulus mengalir ke bagian medulla duktus koligentes

sehingga konsentrasi ureum semakin tinggi dan berdifusi ke interstitium ginjal

dan pada akhirnya konsentrasi ureum dalam urin tetap tinggi meskipun sebagian

telah direabsorbsi. Hal ini meyebabkan kadar ureum normal sangat tinggi dalam

urin sedangkan dalam darah kebalikannya (Price 2005). Ureum merupakan

produk ekskresi primer dari katabolisme protein yang dibentuk di hati dengan

bahan dari amonia dan CO2 melalui proses biokimia yang dikenal dengan siklus

Ornithin (Raphael 1987). Gangguan ginjal kronik akan menyebabkan penurunan

laju filtrasi glomerulus (fungsi penyaringan ginjal) sehingga kemampuan ginjal

menyaring ureum maupun kreatinin juga menurun, akibatnya zat-zat tersebut

meningakt jumlahnya dalam darah (Doxey 1983).

II.2.6 Kreatinin

Kreatinin adalah produk endogenous akhir dari metabolisme kreatin fosfat

yang terjadi di dalam otot dan dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang hampir

konstan serta diekskresikan dalam urin dengan kecepatan yang sama (Guyton and

Hall 1997). Ekskresi kreatinin pada setiap individu terkait erat dengan ukuran

jaringan otot. Zat ini dijumpai dalam jumlah yang besar di otot dan hadir di darah

dan urin dalam jumlah yang sangat kecil dalam kondisi normal.

Melalui reaksi dehidrasi dalam otot kreatin akan diubah menjadi kreatinin

yang mudah diperfusi ke seluruh cairan tubuh dan diekskresikan melalui urin

(32)

keberadaannya dalam tubuh dengan jumlah yang tinggi ataupun rendah dapat

memberi dampak buruk bagi tubuh. Peningkatan kadar kreatinin dapat

mengakibatkan gagal ginjal akut dan kronis, nekrosis tubular akut,

glomerulonefritis, dehidrasi, penurunan aliran darah ke ginjal (syok

berkepanjangan, gagal jantung kongestif), leukemia. Kreatinin dalam jumlah

rendah dapat mengakibatkan distrofi otot dan myasthenia gravis. (Riswanto

2010). Sisa metabolisme harus diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu jika

terjadi peningkatan atau penurunan kadar kreatinin dalam tubuh maka interpretasi

klinik akan cenderung pada gangguan fungsi ginjal.

Kreatinin diekskresi dalam urin melalui proses filtrasi dalam glomerulus

tetapi tidak direabsorbsi di tubulus bahkan sejumlah kecil disekresi oleh tubulus

terutama bila kadar kreatinin dalam serum tinggi (Todd and Sanford 2008).

Kreatinin dengan bebas melintasi membran glomerulus dan hanya sebagian kecil

disekresi ke dalam tubulus nefron. Kreatinin merupakan indeks GFR yang lebih

cermat dibandingkan ureum karena kecepatan produksinya sedkit sekali

mengalami perubahan daalm massa otot. Oleh karena itu, pada kondisi normal

kreatinin dijumpai dalam urin dengan konsentrasi sedikit. Konsentrasi dan

ekskresi total harian kreatinin tetap konstan meskipun ada perubahan pola

makanan (Frandson 1992).

Selain faktor diet, faktor katabolik, jenis kelamin dan aktivitas juga

diketahui tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah kreatinin dalam plasma.

Akan tetapi kadang dijumpai bahwa kadar kreatinin dalam plasma hewan yang

masih muda lebih tinggi jumlahnya daripada hewan dewasa (Doxey 1983).

Peningkatan kadar kreatinin dalam darah dapat dipengaruhi berbagai hal. Salah

satu diantaranya yaitu gangguan fungsi ginjal sehingga fungsi nefron menurun

dan ekskresi kreatinin juga menurun dan pada akhirnya kadar kreatinin dalam

plasma akan meningkat (Frandson 1992).

II.3 Fisiologi Adaptasi

II.3.1 Suhu dan Kelembaban

Suhu merupakan suatu keadaan yang menunjukkan kondisi panas atau

(33)

semakin tinggi suhu benda tersebut. Suhu tubuh makhluk hidup merupakan suhu

dalam atau suhu inti di bagian dalam makhluk hidup tersebut. Suhu tubuh normal

Macaca fascicularis berada pada kisaran 37ºC sampai dengan 40ºC (Chantalakhana and Skunmun 2002).

Suhu tubuh merupakan suhu yang berada di bagian dalam tubuh, atau

disebut juga suhu inti. Kondisi suhu tubuh relatif stabil, kecuali jika terjadi

gangguan seperti demam. Suhu tubuh bukan suhu permukaan yang mengacu pada

suhu kulit atau jaringan di bawah kulit, karena suhu permukaan ini mudah

mengalami kenaikan dan penurunan sesuai dengan suhu lingkungan. Namun, kulit

merupakan system pengatur radiator panas yang efektif dan aliran darah ke kulit

permukaan mekanisme penyebaran panas yang paling efektif dari inti tubuh ke

kulit. Tetapi, tidak ada tingkat suhu tubuh yang dapat dianggap normal karena

pengukuran pada banyak orang menunjukkan suatu rentang suhu normal. Suhu

tubuh dapat bervariasi tergantung kerja fisik dan kondisi lingkungan yang ekstrim

(Guyton and Hall 2008).

Kelembaban adalah kandungan partikel air di udara. Besaran yang sering

dipakai untuk menyatakan kelembaban udara adalah kelembaban nisbi yang

diukur dengan higrometer. Kelembaban nisbi adalah perbandingan massa uap air

terhadap massa udara kering yang dinyatakan dalam persen. Kelembaban nisbi

dapat berubah sesuai tempat dan waktu. Saat siang hari kelembaban nisbi

berangsur-angsur turun kemudian meningkat pada sore hingga menjelang pagi

hari. Kelembaban berkaitan dengan suhu, semakin rendah suhu umumnya

meningkatkan nilai kelembaban. Kelembaban dapat mempengaruhi kecepatan

hilangnya panas dari tubuh hewan melalui kulit dan saluran pernafasan

(Chantalakhana and Skunmun 2002). Hewan yang diperlakukan pada suhu tinggi

dalam waktu yang cukup lama dapat mengalami perubahan pada ketebalan lemak

tubuh dan rontoknya bulu (Suprayogi et al. 2006). Suhu dan kelembaban udara yang tinggi menimbulkan perubahan fisiologis dan biokimiawi pada makhluk

hidup. Perubahan fisiologis dan biokimiawi ini mengakibatkan proses

homeostasis tubuh agar kondisi menjadi normal kembali. Apabila proses

(34)

mengubah tingkah laku, metabolisme, aliran darah, respirasi, nafsu makan dan

sistem fisiologis lainnya pada makhluk hidup (Suprayogi et al. 2009).

II.3.2 Termoregulasi dan Adaptasi Tubuh

Proses fisiologis yang dilakukan tubuh untuk menjaga keseimbangan suhu

internal tubuh pada kondisi normal disebut termoregulasi. Termoregulasi pada

manusia diatur pada hipotalamus anterior. Pengaruh suhu terhadap hewan

digolongkan menjadi poikiloterm dan homoioterm. Hewan homoioterm memiliki

suhu tubuh lebih stabil, karena adanya reseptor dalam otak yang dapat mengatur

suhu tubuh (Swenson 1997). Hewan berdarah panas (homoioterm) merupakan

hewan yang dapat menjaga suhu tubuhnya pada suhu yang konstan yang

umumnya lebih tinggi dibandingkan suhu lingkungan. Contoh hewan berdarah

panas adalah bangsa burung dan mamalia (termasuk Macaca fascicularis). Hewan berdarah dingin adalah hewan yang suhu tubuhnya kurang lebih sama dengan

suhu lingkungan (Guyton and Hall 1993).

Zona nyaman adalah kondisi nyaman seekor hewan dalam kondisi fisiologis

sehingga hewan dapat menjalankan aktivitas hidupnya secara normal (White

2009). Kondisi fisiologis dipengaruhi oleh lingkungan (suhu dan kelembaban

lingkungan) dan perilaku hewan tersebut. Keberadaan zona nyaman atau kondisi

fisiologis dapat mempengaruhi tingkat metabolik dan produksi hewan.

Mekanisme kehilangan panas melalui kulit terjadi melalui konveksi, konduksi,

radiasi dan evaporasi. Jika suhu kulit lebih tinggi daripada suhu lingkungan, maka

tubuh kehilangan panas melalui mekanisme konveksi, konduksi, radiasi dan

evaporasi. Namun, jika suhu lingkungan lebih tinggi daripada suhu kulit, maka

tubuh mendapatkan panas melalui makanan dan fermentasi rumen atau sekum

yang diatur oleh hormon (tiroksin, hormon pertumbuhan dan glukokortikod) dan

aktivitas tubuh (Yousef 1984; Suprayogi et al. 2006).

II.3.3 Stres

Stres merupakan gejala yang tidak baik berdasarkan keadaan klinis dan

fisiologis. Respon tubuh terhadap stres terjadi karena aktivasi sistem saraf dan

(35)

akan terjadi stimulasi terhadap hipotalamus yang kemudian akan menskresikan

corticotrophin releasing hormone (CRH) yang memberikan sinyal kepada kelenjar hipofisis anterior yang menyebabkan pelepasan sejumlah besar

adrenocorticotropin hormone (ACTH) dan kemudian meneruskan stimulasi pada kelenjar adrenal terutama korteks adrenal pada fase fasciculata untuk

memproduksi glukokortikoid yang mempresentasikan kortisol untuk disekresi

lebih banyak. Efek fisiologis glukokortikoid terhadap metabolisme adalah

stimulasi glukoneogenesis oleh hati, mobilisasi asam amino dari jaringan

ekstra-hepatik sehingga lebih banyak asam amino yang tersedia dalam plasma untuk

masuk ke dalam proses glukoneogenesis dalam hati, pengurangan penggunaan

glukosa oleh sel dan menekan transpor glukosa ke dalam sel, dan mobilisasi asam

lemak dari jaringan adiposa (Guyton and Hall 1993). Hal ini dilakukan oleh tubuh

untuk memperoleh tambahan energi. Kondisi stres juga dapat mempengaruhi

perilaku, penurunan kecernaan pakan, peningkatan konsumsi air yang pada

(36)

III.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2009 di Kandang Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Hewan percobaan atau model yang dipergunakan pada penelitian ini adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang berasal dari PT. Wanara Satwaloka, Bogor-Indonesia sejumlah 10 ekor. Pemerikasaan sampel darah dilakukan di Laboratorium Analisis Darah Bagian Fisiologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi FKH-IPB.

III.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan antara lain ruangan, air conditioner (AC), kandang monyet dilengkapi tempat air minum dan pakan, higrotermometer, ember, gelas ukur, spuid, needle, timbangan dan MiraMax Kit Test. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah obat bius (ketamine HCl 10%), pakan monyet impor (monkey chow), pisang dan air.

III.3 Persiapan Penelitian

Sepuluh monyet ekor panjang berjenis kelamin jantan dengan kisaran bobot badan 4-5 Kg dan berumur sekitar 4-5 tahun dimasukkan pada dua ruangan, masing-masing ruangan berisi lima ekor monyet. Hal ini dilakukan agar kondisi ruangan tidak terlalu padat dan agar sesuai dengan kapasitas alat pendingin ruangan sebesar satu pk, sehingga terjadi distribusi suhu ruangan yang merata dan optimal. Setiap ruangan berukuran lebar 2,5 meter, panjang 4 meter dan tinggi 2,75 meter yang di dalamnya terdapat kandang individu yang terbuat dari besi dengan ukuran lebar 60 cm, panjang 80 cm dan tinggi 80 cm. Masing-masing ruangan mendapat perlakuan sama, yaitu dipasang alat pendingin ruangan yang diatur pada suhu 25ºC.

(37)

8-10% dan energi 3.858 kal/g. Kandungan nutrisi pada pisang adalah protein 2,3%, serat 23%, lemak 0,13%, kadar air 66% dan energi 136 kal/100 g. setiap monyet diberi pakan sebanyak 200 gram monkey chow dan 100 gram pisang pada pagi dan sore setiap hari selama penelitian. Pemberian air minum dilakukan ad libitum.

Gambar 3. Kandang Macaca fascicularis yang akan dipergunakan (Suprayogi et al. 2009)

Gambar 4. Makanan yang diberikan berupa pisang (Suprayogi et al. 2009)

(38)

III.4 Protokol Penelitian

Pengkondisian adaptasi merupakan proses penyesuaian diri terhadap lingkungan diberikan waktu selama 7 hari. Hal ini dilakukan agar hewan coba dapat berperilaku seperti biasanya walaupun ruang gerak dibatasi dan untuk mengurangi tingkat stres. Pada proses ini pakan dan air minum diberikan tanpa dilakukan perhitungan atau pengukuran terlebih dahulu. Hari ke-7 tahap adaptasi hewan diambil darahnya untuk diambil serumnya dan dilakukan analisis terhadap parameter profil kimia darah.

Pengkondisian kedua yaitu aklimasi temperatur dan kelembaban dengan mesin AC pada kondisi hidup dengan pengaturan suhu 25ºC selama 14 hari (hari ke-8 sampai hari ke-21). Pada tahap ini pakan dan air minum yang diberikan pagi dan sore hari dengan ditimbang terlebih dahulu agar setiap hewan coba mendapatkan jumlah pakan dan minum yang sama. Jumlah pakan yang diberikan sebanyak 100 gram monkey chow, 50 gram pisang dan 500 ml air minum. Pengambilan darah tahap aklimasi dilakukan pada hari 8, 11, 18 dan ke-21.

Pengkondisian ketiga (postaklimasi) merupakan tahap setelah aklimasi tanpa mempergunakan pendingin ruangan selama 14 hari. Pencatatan suhu dan kelembapan dilakukan tiga kali dalam sehari, yaitu pada pukul 06.00-07.00, 12.00-13.00, dan 17.00-18.00 WIB. Pemberian pakan dan air minum pada tahap ini masih seperti pada tahap kedua yakni, diberikan pagi dan sore hari dengan ditimbang terlebih dahulu agar setiap hewan coba mendapatkan jumlah pakan dan minum yang sama. Pengambilan darah tahap postaklimasi dilakukan pada hari ke-35.

(39)

kimia darah dilakukan dengan menganalisis parameter serum darah untuk mengetahui kadar SGPT dan SGOT untuk mengetahui fungsi hati, kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui fungsi ginjal, kadar glukosa, kolesterol, dan trigliserida untuk mengetahui fungsi metabolisme lainnya. Analisis dilakukan menggunakan Kit-test (ST Reagensia®) dan pembacaan dilakukan dengan mesin analisis MiraMax.

Tabel 1 Prosedur Perlakuan terhadap Hewan Coba

(40)

Kadar glukosa, kolesterol, dan trigliserida pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) pada setiap tahapan adaptasi, aklimasi, dan postaklimasi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kadar Glukosa, Kolesterol dan Trigliserida

Tahap Hari

ke-

Parameter

Glukosa (mg/dl) Kolesterol (mg/dl) Trigliserida (mg/dl)

Adaptasi 7 30,71 ± 11,98a 109,31 ± 17,80 66,75 ± 33,86a

Keterangan: Superscript huruf yang berbedapada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Pustaka: 1): Malinow et al. 1987; 2): Andrade et al. 2004; 3):Ungerer et al.1992

(41)

glukosa merupakan sumber energi satu-satunya yang dapat dimanfaatkan oleh otak (Guyton and Hall 2008). Kadar glukosa yang normal terjadi pada kondisi aklimasi, dapat dimungkinkan pada kondisi aklimasi ini hewan model mampu melakukan proses homeostasis dan merasa nyaman dengan kondisi kandang saat aklimasi sehingga tidak mengalami stress.

Saat stres glukokortikoid (kortisol) disekresi lebih banyak menyebabkan adanya stimulasi glukoneogenesis di hati, mobilisasi asam amino dari jaringan ekstra-hepatik sehingga lebih banyak asam amino yang tersedia dalam plasma untuk masuk ke dalam proses glukoneogenesis dalam hati, pengurangan penggunaan glukosa oleh sel dan menekan transpor glukosa ke dalam sel (Guyton and Hall 1993).

Temperatur lingkungan juga merupakan salah satu penyebab stres. Sehingga temperatur juga berpengaruh terhadap kadar glukosa dalam tubuh. Pada saat suhu rendah (dingin) tubuh akan meningkatkan pengeluaran hormon tiroid. Hormon tiroid merangsang hampir semua aspek metabolisme karbohidrat, termasuk pengambilan glukosa yang cepat oleh sel, meningkatkan glikolisis, meningkatkan glukoneogenesis, meningkatkan kecepatan absorbsi dari traktus gastrointestinalis, dan juga meningkatkan sekresi insulin. Hormon tiroid secara tidah langsung akan menurunkan jumlah glukosa dalam tubuh (Guyton and Hall 1993).

Fluktuasi kadar glukosa darah pada hewan model dapat diakibatkan jumlah pakan yang dikonsumsi. Saat stres makhluk hidup cenderung mengalami penurunan konsumsi pakan. Sesaat setelah makan menyebabkan jumlah insulin yang diekskresikan meningkat. Jika insulin yang diekskresikan meningkat, maka kadar glukosa darah menurun karena insulin akan meningkatkan uptake glukosa ke dalam sel bila ada kehadiran reseptor terhadap insulin pada sel (Guyton and Hall 1993).

(42)

Keadaan ini dapat terjadi karena peningkatan penimbunan lemak dalam hati, yang kemudian memperbesar jumlah asetil-KoA dalam sel hati, sehingga terjdi peningkatan kolesterol (Guyton and Hall 1997).

Kadar trigliserida mengalami penurunan pada tahap postaklimasi meskipun masih normal dibandingkan nilai pustaka. Hal ini dapat terjadi karena monyet menunjukkan tanda-tanda stres. Saat stres (kortisol meningkat), akan mengakibatkan stimulasi glukoneogenesis oleh hati. Apabila konsentrasi glukosa dalam darah sudah sangat berkurang maka penggunaan glukosa untuk energi akan dialihkan ke penggunaan trigliserida sebagai gantinya. (Guyton and Hall 1997). Peningkatan signifikan trigliserida sangat mungkin terjadi karena trigliserida dapat terbentuk dari berbagai diet yang dikonsumsi, seperti karbohidrat, protein, dan lemak (Clarenburg 2001). Trigliserida banyak dihasilkan ketika mengkonsumsi karbohidrat, dan karbohidrat juga dapat menginduksi terbentuknya trigliserida meski dalam jumlah sedikit (Volek et al. 2008).

Temperatur lingkungan berpengaruh terhadap kadar kolesterol dan trigliserida dalam tubuh. Pada saat suhu rendah (dingin) tubuh akan meningkatkan pengeluaran hormon tiroid dengan tujuan meningkatkan metabolisme lemak karena lemak merupakan sumber utama suplai energi setelah glukosa. Pada intinya hormon tiroid akan mempengaruhi semua aspek yang berkaitan dengan metabolisme lemak (Guyton and Hall 1993).

(43)

Tabel 3 Kadar SGPT, SGOT , Ureum dan Kreatinin

Berdasarkan data Tabel 3, dapat dikatakan bahwa kadar SGPT dan SGOT monyet ekor panjang selama penelitian masih berada dalam kisaran normal meskipun cukup rendah dibandingkan nilai normal menurut pustaka. Nilai kadar SGOT dan SGPT yang normal ini menunjukkan bahwa fungsi hati dalam melaksanakan tugasnya sebagai pusat metabolisme di tubuh tidak mengalami gangguan. Nilai SGPT dan SGOT yang rendah ini juga kemungkinan juga dapat diakibatkan kerusakan hati yang sudah terlalu parah sehingga tidak mampu lagi melakukan regenerasi sel hati. Saat sel hati mengalami regenerasi, SGPT dan SGOT akan keluar dan masuk ke dalam peredaran darah, oleh karena itu SGPT dan SGOT tetap ada dalam darah secara normal. Pada keadaan keadaan nonpatologis, keberadaan SGPT dan SGOT dalam darah itu normal, hal tersebut terjadi karena regenerasi sel hati yang secara normal terjadi (Girindra 1986). Fluktuasi kadar parameter yang terjadi walaupun masih pada kisaran normal merupakan suatu upaya fisiologis tubuh monyet untuk melakukan proses homeostasis.

(44)

sedangkan kandungan protein dalam pakan adalah 18-21%. Fluktuasi kadar parameter yang terjadi walaupun masih pada kisaran normal merupakan suatu upaya fisiologis tubuh monyet untuk melakukan proses homeostasis.

Diskusi Umum

Berdasarkan literatur yang ada, parameter-parameter yang diamati selama penelitian ini masih dalam kisaran normal. Kecuali untuk parameter glukosa pada kondisi adaptasi yaitu 30,71 ± 11,98 mg/dl dan postaklimasi 40,76 ± 6,09 mg/dl yang berada di bawah nilai normal menurut Malinow et al. (1987) yaitu 64,60 ± 6,00mg/dl. Parameter glukosa pada kondisi adaptasi mengalami penurunan nyata bila dibandingkan nilai normal dan nilai pada kondisi aklimasi H8. Pada kondisi adaptasi ini, hewan model menunjukkan tanda-tanda stress (Binol 2010) akibat kondisi temperatur dan kelembaban yang kurang nyaman. Saat stress ini ada kemungkinan hewan model mengalami peningkatan metabolisme yang mengakibatkan glukosa darah dimobilisasi dengan cepat ke jaringan atau sel (Guyton and Hall 1993).

(45)

kebutuhan energi pada kondisi stress ini maka proses glukoneogenesis terjadi melalui perombakan trigliserida menjadi energi.

Parameter kolesterol selama penelitian berada pada nilai normal menurut Andrade et al. (2004) yaitu 108,00 ± 76,5 mg/dl. Parameter SGPT dan SGOTselama penelitian berada dalam kisaran normal antara 22,5 ± 17,5 IU/liter menurut O’Callaghan (2006) dan 37,57 ± 28,6 IU/liter menurut Malinow et al. (1987). Parameter ureum dan kreatinin selama penelitian juga berada dalam kisaran nilai normal menurut Ramachandra et al. (1998) yaitu 35,60 ± 7,10 mg/dl dan Kessler et al. (1983) yaitu 1,15 ± 0,55 mg/dl. Artinya ginjal masih melakukan fungsinya dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga kondisi baik adaptasi, aklimasi, dan postaklimasi tidak mengganggu fungsi organ hati dan ginjal.

(46)

V.1 Simpulan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa pada kondisi adaptasi dan postaklimasi hewan model menunjukkan tanda-tanda stress. Stress pada kondisi adaptasi diindikasikan dengan penurunan glukosa darah, sedangkan stress pada kondisi postaklimasi diindikasikan dengan penurunan kadar trigliserida. Kondisi aklimasi pada suhu (25,79 ± 1,16)°C dan (80,19 ± 9,05)% rel. dapat diperkirakan sebagai kondisi nyaman bagi hewan model di daerah tropis, yang ditandai dengan nilai profil kimia darah (glukosa, kolesterol, trigliserida, SGPT, SGOT, ureum, dan kreatinin) yang relatif normal.

V.2 Saran

(47)

Amin I. 1995. Pengaruh Pemberian Seduhan Rimpang Kunyit (Curcuma Domestica) Terhadap Aktivitas SGPT dan SGOT Ayam. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Andrade MCR, Ribeiro CT, Silva FV da, Molinaro EM, Gonçalves MAB,

Marques MAP, Cabello PH, Leite JPG. 2004. Biologic data of Macaca mulatta, Macaca fascicularis, and Saimiri sciureus used for research at the Fiocruz Primate Center. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro 2004;99(6):581–589.

Bachorik PS, Denke MA, Stein EA, Rifkind BM. 2001. Lipids and Dislipoproteinemia. Di dalam: John BH, editor. Clinical Diagnosisand Management by Laboratory Methods: Lipid and Dislipoproteinemia. Ed ke-20. Philadelphia: saunders Company.

Binol, RMF. 2010. Dinamika Profil Hematologi dan Rasio Netrofil:Limfosit Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) pada Pengaturan Mikroklimat Ruangan. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertaninan Bogor.

Callbreath DF. 1992. Clinical Chemistry. WB Saunders Company, USA.

Chantalakhana C, and Skunmun P.2002. Sustainable Smallholder Animal Systems in the Tropics. Kasetsart University press, Bangkok.

Clarenburgh R. 2001. Lipid Metabolisms, Physiologycal Chemistry of Domestic Animals. Amerika: Mosby Year Book.

Doxey DL. 1983. Clinical Pathology and Diagnostic Procedurs. London: Bailliere Tindal.

Frandson RD. 1992. Anatomi Fisiologi Ternak Edisi ke-4. Gajah Mada University Press Yogyakarta. Terjemahan dari: Srigando B, Koen P.

Ganong WF. 1999. Fisiologi Kedokteran Edisi ke-14. Jonathan Oswari. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Penerjemah: Petrus Andrianto.

Ganong WF. 2003. Fisiologi Kedokteran Edisi ke-21. English: McGraw-Hill. Girindra A. 1986. Patologi Klinik Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan IPB,

Bogor.

Girindra A. 1988. Biokimia Patologi Hewan. Jurusan Biokimia, Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gunawan A. 2004. Puasa yang Benar: Penyembuhan dan Peremajaan Alami (bagian pertma). Http://www.Indonesiainteractive.htm [25 Februari 2010]. Guyton and Hall. 1993. Textbook of Medical Physiology. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta.

(48)

Guyton and Hall. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi ke-9. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Terjemahan dari: Irawati, Ken Arita Tenggadi dan Alex Santoso.

Guyton and Hall. 1997. Textbook of Medical Physiology. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Guyton and Hall. 2008. Textbook of Medical Physiology. 11th Edition. Philadelphia: W.B. saunders Company.

Harper HA, Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 1988. Biochemistry. California: Aplleton and Lange, Nowarlk, Connecticut.

Harper HA, Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biochemistry. California: Aplleton and Lange, Nowarlk, Connecticut.

Hau J, and Hoosier Jr, GL. (2003). Handbook of Laboratory Animal Science Second Edition. Boca Raton: CRC Press.

Hayes M.A. 2007. Pathophysiology of the Liver. Saunders Company, USA.

Hutapea AM. 1993. Menuju Gaya Hidup Sehat, Kiat Praktis untuk Setiap Orang Sibuk yang ingin Sehat dan Fit. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Kendeigh SC. 1980. Ecology with Special Reference to Animal and Mans.

Prentice Hall, New Jersey.

Kessler MJ, and Rawlins, R. G. 1983. The hemogram, serum biochemistry and electrolyte profile of the free-ranging Cayo Santiago Macaques rhesus (Macaca mulatta). Amer. J. Primatol., 4: 107-116.

Kim CY, Han JS, Suzuki T, Han SS. 2005. Indirect Indicator of Transport Stress in Hematological Values in Newly Acquired Cynomolgus Monkeys. J Med Primatol. 34: 188-192.

Lamb E, Newman DJ, Price CP. Kidney Function Test. Dalam: Burtis CA, Ashwood ER, Burns DE. 2006. Tietz Textbook of Clinical Chemistry and Molecular Diagnostic 4th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 4: 797-826. Lang CKA. 2006. Primate factsheets: long-tailed macaque (Macaca fascicularis)

taxonomy, morphology & ecology. http://pin.primate.wisc.edu/factsheets/ long-tailed_macaque. [2 Agustus 2009].

Lekagul B and McNeely. 1988. Mamals of Thailand 2nd edition. Kurusapha Ladprao Press, Bangkok.

Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian secara Klinis. UI Press. Jakarta. Terjemahan dari: Aminuddin Parakkasi.

Malinow MR, McLoughlin P, Staffort C. 1987. Prevension of hypercholesterolemia in monkeys (Macaca fascicularis) by digitonin. Am. J. Clin. Nutr. 35:814-818.

Moss R. 1992. Livestock Health and Welfare. Longman Scientific & Technical, United Kingdom.

(49)

National Research Council. 2003. Nutrient Requirement Consumtion Of Nonhuman Primate. Ed 2nd Rev. Washington DC. The National Academic Press.

O’Callaghan C. 2006. The Renal System at a Glance second editition. Blackwell Publishing Ltd. England.

Price SA. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Tennessee. The University of Tennessee Health Science Center.

Poedjiadi A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. UIP Jakarta.

Ramachandra SG, Ramesh V, Krishnamuthy HN, Avindranath N, Shetty KT. 1998. Normal Hematological and Plasma Boichemical Parameters of the Captive Bonnet monkey. Primates 39(2): 127-134.

Raphael S. 1987. Lynch’s Medical Laboratory Technology Edisi ke-4. London: WB Saunders Company.

Riswanto. 2010. Kreatinin Darah (Serum). http://labkesehatan.blogspot.com/ 2010/03/kreatinin-darah-serum.html. [5 Oktober 2011]

Sajuthi D. 1984. Satwa Primata Sebagai Hewan Laboratorium. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sajuthi D, Lelana FPA, Iskandriati D dan Joeniman B. 1993. Karakteristik satwa primata sebagai hewan model untuk penelitian biomedis. Makalah Seminar. Bogor.

Sitopoe M. 1992. Kolesterolfobia, Keterkaitannya dengan Penyakit Jantung. Jakarta: Gramedia.

Smith JB, dan Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Suarsana Nyoman, Suprayogi A, Ni Nyoman Werdi S, Tutik W. 2006. J. Vet. Penggunaan Ekstrak Tempe Terhadap Fungsi Hati Tikus dalam Kondisi Stres.

Sulaksono ME. 2002. Penentuan nilai rujukan parameter faal hewan percobaan sebagai model penyakit manusia dan hewan. http://digilib.litbang.depkes.go.id. [10 September 2009].

Suprayogi A, Astuti DA, Satrija F, Suprianto. 2006. Physiological Status of Sheep Reared Indoor System Under the Tropical Rain Forest Climatic Zone. Proceeding of the 4th ISTAP “Animal Production and Sustainable Agriculture in the Tropic”66-69.

Suprayogi A, Satyaningtijas AS, Kiranadi B, Kusumorini N, Murtini S, Darusman HS. 2009. Uji Keamanan Pendingin Udara LG Berkhasiat Antinyamuk pada Hewan Model Primata dan Rodentia. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Gambar

Gambar 1. Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
Gambar 2. Peran GPT dan GOT dalam Deaminasi Protein
Gambar 4. Makanan yang diberikan  berupa pisang (Suprayogi et al. 2009)
Tabel 1 Prosedur Perlakuan terhadap Hewan Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

kaca (glass) dan karbon (carbon) dan serat sintetik serta fiber dari bahan alami yang dapat dipakai adalah ijuk, jerami, serabut kelapa dan lainnya pada beton yang

Anak Usia Dini adalah anak dimana hampir sebagian besar waktunya digunakan untuk bermain dengan bermain itulah Anak UsiaDini tumbuh dan mengembangkan seluruh aspek yang

Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang

Sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan

Untuk menghindari salah ketik, soal ujian supaya diserahkan kepada kami dalam keadaan sudah diketik, untuk selanjutnya digandakan oleh panitia ujian akhir

Sebelum mengisi KRS online, mahasiswa diwajibkan menghadap dosen PA untuk mendapatkan petunjuk dan bimbingan dalam menentukan beban sks yang akan diambil serta

Dalam olahraga prestasi proses tersebut bisa berhasil jika dilatihkan oleh seorang pelatih yang profesional, memiliki kemauan, komitmen yang tinggi, berpengalaman

Jasa Raharja (Persero) Perwakilan Jember, sebaiknya meningkatkan kerjasama dengan instansi lain seperti Kepolisian lalu- Lintas, Dinas Lalu-Lintas Angkutan Jalan