• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengambilan sampel dilakukan pada pertanaman padi di beberapa kabupaten di Jawa Barat yaitu Bogor, Garut, Sukabumi, Tasikmalaya, Bandung, Cirebon, Karawang dan Cianjur (Gambar 2). Kutudaun untuk pengamatan neraca kehidupan diambil dari sawah di Leuwiliang Bogor. Identifikasi morfologi serta pengamatan neraca kehidupan dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan sejak bulan Juni 2014 sampai dengan Juli 2015.

Gambar 2 Peta lokasi pengambilan sampel

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan antara lain mikroskop nikon SMZ-U ZOOM 1:10, mikroskop stereo, mikroskop cahaya, kamera Dino-eye, GPS, objek glass, cover glass, hotplate fisher scientific slide warmer, wadah plastik, tisu, plastik bening, kuas, jarum mikro, cawan petri, alat tulis, kamera digital, hand-counter, alkohol (50, 70, 80, 95 dan 100 %), larutan KOH 10%, balsam kanada dan minyak cengkeh.

PROVINSI JAWA BARAT

7

Pengambilan Sampel Kutudaun

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling pada suatu lahan pertanaman padi kering. Pada lahan tersebut dilakukan pencabutan rumpun padi, kemudian diamati bagian akarnya. Jika terdapat kutudaun maka pada bagian batang padi dekat akar dipotong dan dimasukan ke dalam kotak pemeliharaan, diberi label lokasi dan tanggal pengambilan sampel. Sampel yang diambil sebanyak sepuluh rumpun padi.

Setiap rumpun padi yang dicabut diperhatikan keberadaan kutudaun dengan mengukur jarak antara kutudaun dari pangkal akar keberadaan kutudaun tersebut. Kelimpahan populasi kutudaun dilakukan dengan cara menghitung jumlah kutudaun pada semua tanaman contoh. Selain itu, diamati dan dicatat fase tanam dan varietas yang ada pada masing-masing plot pengambilan sampel. Posisi geografis dan ketinggian lokasi survei diukur dengan menggunakan bantuan (Global Positioning System) GPS.

Pembuatan Preparat Slide Kutudaun

Pembuatan preparat slide kutudaun dilakukan dengan metode preparat permanen yang bertujuan mempermudah proses identifikasi dan penyimpanan dalam waktu yang lama. Spesimen yang digunakan dalam pembuatan preparat slide kutudaun adalah fase imago (dewasa).

Imago kutudaun dipilih berdasarkan kelengkapan bagian tubuh (antena, kepala, tungkai, sifunculi, dan kauda). Kutudaun direbus dalam tabung reaksi yang sudah diisi alkohol 95% selama tiga menit. Spesimen yang telah direbus diletakkan di cawan petri, kemudian bagian abdomennya ditusuk dengan jarum mikro untuk mengeluarkan cairan tubuhnya. Kemudian spesimen direbus dalam tabung reaksi berisi KOH 10% hingga berwarna bening (transparan). Setelah itu spesimen diletakkan di dalam cawan petri dan ditekan bagian abdomennya untuk mengeluarkan sisa isi bagian tubuhnya.

Spesimen yang telah direbus kemudian dicuci dengan akuades sebanyak dua kali. Selanjutnya direndam dengan alkohol secara bertahap dimulai dari alkohol 50%, 80%, 95% dan terakhir dengan alkohol 100% masing-masing selama 10 menit. Perendaman ini bertujuan agar spesimen tidak mengkerut. Kemudian spesimen direndam dengan minyak cengkeh selama 10 menit untuk menghilangkan kadar air yang masih tersisa di tubuh spesimen selanjutnya spesimen diletakkan di atas kaca objek untuk ditata atau dilakukan perentangan, sehingga bisa terlihat jelas bagian-bagian tubuhnya. Kemudian kanada balsam diteteskan secara perlahan dari bagian atas spesimen agar tidak merusak posisinya, lau dibiarkan beberapa hingga kemudian spesimen ditutup dengan

cover glass. Preparat yang telah selesai dikeringkan di dalam oven pengering serangga atau pada Hotplate fischer scientific slider warmer selama dua minggu.

Identifikasi Kutudaun

Identifikasi kutudaun dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap karakter morfologi dengan bantuan kunci identifikasi (Blackman dan Eastop 2006). Karakter umum yang menjadi ciri identifikasi adalah bentuk antena, abdomen, sifunkuli dan kauda. Karakter morfologi tersebut diamati dengan menggunakan mikroskop digital model Olympus CX21FS1 dan Dino-eye AM432U yang

dihubungkan dengan sebuah komputer PC. Identifikasi dilakukan hingga tingkat spesies.

Karakteristik Spesies Kutudaun

Karakter setiap spesies dari kutudaun digambar dengan menggunakan mikroskop Nikon SMZ-U ZOOM 1:10 sehingga terbentuk gambar yang mirip dengan karakter yang diinginkan. Karakter yang digambar adalah karakter spesifik yang dimiliki oleh setiap spesies. Karakter tersebut dapat digunakan sebagai pembeda antar spesies.

Pemeliharaan Kutudaun untuk Pengamatan Neraca Kehidupan

Kutudaun di akar padi yang diperoleh dari sawah di Leuwiliang Bogor dimasukkan ke dalam kotak pemeliharaan yang berisi tanaman padi untuk perbanyakan. Kotak pemeliharaan yang digunakan berupa wadah plastik berdiameter 10 cm dengan tinggi 8 cm.

Tanaman padi yang digunakan untuk pemeliharaan adalah ratun padi Varietas Ciherang yang berasal dari sawah Situgede, Bogor. Panjang akar ratun padi yang digunakan adalah 4 cm (3 cm di bawah pangkal akar + 1 cm di atas pangkal akar) (Gambar 3). Sebanyak dua imago dari masing-masing spesies R. rufiabdominalis dan T. nigriabdominalis dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi akar ratun padi. Perlakuan ini diulang sebanyak lima kali.

Populasi kohort merupakan sejumlah individu yang memiliki umur seragam. Nimfa instar 1 R. rufiabdominalis dan T. nigriabdominalis dalam populasi kohort diinfestasi pada akar padi ratun. Nimfa instar 1 kutudaun tersebut diinfestasikan masing-masing ke dalam 60 wadah plastik berdiameter 5 cm dengan tinggi 4.8 cm. Setiap wadah berisi satu nimfa kutudaun.

Gambar 3 Kutudaun pada akar padi: (a) koloni yang diperoleh dari lapang (b) Individu pada akar ratun padi di wadah pemeliharaan

Pengamatan Pemeliharaan Kutudaun di Akar, Batang dan Daun Padi

Pengamatan ini bertujuan untuk melihat kesesuaian habitat kutudaun pada akar, batang, dan daun padi. Tanaman padi yang digunakan untuk pemeliharaan adalah ratun padi Varietas Ciherang yang berasal dari sawah di Situgede Bogor.

Akar, batang, dan daun padi yang digunakan berukuran 3 cm. Nimfa instar 1

9 kutudaun diinfestasikan ke dalam 15 wadah plastik untuk setiap pakan. Wadah yang digunakan berdiameter 5 cm dengan tinggi 4.8 cm.

Pengamatan Neraca Kehidupan

Peubah yang diamati yaitu lamanya waktu tiap instar, siklus hidup, praoviposisi, lama hidup dan keperidian kutudaun di akar padi. Siklus hidup kutudaun tersebut diamati mulai dari nimfa instar 1 yang diinfestasi hingga melahirkan nimfa instar satu untuk pertama kalinya. Praoviposisi kutudaun diamati dari waktu yang dibutuhkan sejak menjadi imago pertama hingga melahirkan nimfa instar satu untuk pertama kalinya. Lama hidup kutudaun dimulai dari hari pertama menjadi imago hingga imago tersebut mati. Pengamatan keperidian kutudaun dihitung dari banyaknya nimfa yang dilahirkan oleh setiap imago selama hidupnya. Data hasil pengamatan disusun dalam tabel biologi kutudaun di akar padi.

Pengamatan peluang hidup (lx) dilakukan dengan cara menghitung jumlah individu kutudaun di akar padi yang hidup tiap harinya. Pengamatan keperidian harian (mx) yaitu rata-rata jumlah nimfa kutudaun yang dilahirkan oleh imago setiap harinya pada umur (x). Data peluang hidup dan keperidian harian dapat digambarkan dalam bentuk kurva dan diperoleh neraca kehidupan.

Neraca kehidupan kohort merupakan neraca kehidupan yang mengikuti perkembangan kohort dimulai dari nimfa instar 1 sampai imago terakhir yang mampu bertahan hidup. Data mengenai pengamatan kohort kutudaun di akar padi disusun dalam tabel neraca kehidupan. Penentuan parameter demografi lainnya dapat ditentukan dengan menggunakan data neraca kehidupan kutudaun tersebut.

Birch (1948) menyatakan bahwa parameter demografi yang dihitung meliputi: 1. Laju reproduksi bersih (R0)

= ∑ lxmx

2. Laju reproduksi kotor (GRR) = ∑ mx

3. Laju pertambahan intrinsik (r) = ∑ lon R0/T 4. Rataan masa generasi (T)

= ∑ xlxmx / ∑ lxmx

5. Populasi berlipat ganda (DT) = ln (2) / r Keterangan:

(x) = kelas umur kohort

(lx) = proporsi individu yang hidup pada kelas umur ke-x

(mx) = keperidian spesifik individu-individu pada kelas umur ke-x

Laju reproduksi bersih (R0) merupakan jumlah individu betina yang akan dihasilkan oleh setiap imago betina di dalam populasi. Menurut Price (1997) laju pertambahan instrinsik (r) merupakan laju pertambahan populasi dengan sumber daya yang tidak terbatas. Rataan lama generasi (T) merupakan rataan waktu yang dibutuhkan sejak nimfa diletakkan hingga imago betina menghasilkan separuh keturunannya. Populasi berlipat ganda (DT) merupakan waktu yang dibutuhkan untuk berlipat ganda.

Persebaran Kutudaun Akar Padi di Daerah Jawa Barat

Pengambilan sampel kutudaun akar padi dilakukan di beberapa kabupaten Jawa Barat. Terdapat dua jenis kutudaun yang ditemukan pada penelitian ini yaitu

R. rufiabdominalis danT. nigriabdominalis.

Kutudaun R. rufiabdominalis ditemukan di Kabupaten Bandung (Kec Pangalengan), Bogor (Kec. Tenjolaya, Ciampea, Kemang, Cibungbulang, Dramaga, Leuwiliang), Cianjur (Kec. Cipanas, Bocong Picung), Cirebon (Kec. Palimanan), Garut (Kec. Limbangan, Malangbong, Samarang), Kerawang (Kec. Purwasari), Sukabumi (Kec. Sukamulya) dan Tasikmalaya (Kec. Gunung Cupu, Cikangere, Samarang). Kutudaun tersebut ditemukan pada ketinggian tempat antara 12 sampai 1438 mdpl (Tabel 1). R. rufiabdominalis merupakan serangga kosmopolitan pada daerah tropis khususnya di Indonesia (Hill 1971), selain itu daya tahan R. rufiabdominalis terhadap musim dan cekaman lingkungan juga merupakan salah satu penyebab ditemukannya spesies ini pada semua lokasi pengamatan (Shepard et al.1995).

Tabel 1 Jumlah total kutudaun yang ditemukan pada masing-masing kabupaten Lokasi Spesies Kutudaun Varietas padi Ketinggian tempat (mdpl) R. rufiabdominalis T. nigriabdominalis Bandung + - Ciherang 1438

Bogor + + Ciherang, IR-64 262-633

Cianjur + + Ciherang 292-921 Cirebon + + Ciherang 12 Garut + + Ciherang, Rojolele, Cisadane 600 Kerawang + + Ciherang 145 Sukabumi + - Ciherang 1029

Tasikmalaya + + Ciherang, IR-64 388

Kutudaun R. rufiabdominalis ditemukan pada padi Varietas Ciherang, IR-64, Cisadane dan Rojolele. Jumlah koloni terbanyak ditemukan pada bagian pangkal akar sekitar 1 sampai 5 cm dari permukaan tanah. Koloni yang terbentuk terdiri dari imago dan nimfa. Pada akar yang kedalamannya 6 sampai 10 cm jumlah koloni yang ditemukan lebih sedikit dan di dalam koloni ini ditemukan musuh alami yakni Staphylinidae. Hal ini sama dengan yang dilaporkan Dixon (1985) yang menyatakan bahwa musuh alami menyebabkan kutudaun dimangsa sebelum sempat melahirkan anak atau anak yang dilahirkan dimangsa sebelum dewasa.

Kutudaun T. nigriabdominalis ditemukan di Kabupaten Bogor (Kec. Nanggung, Leuwisadeng, Leuwiliang, Pamijahan, Cigudeg, Jasinga, Ciomas), Cianjur (Kec. Cimenteng, Karang Tengah, Mande, Sukaluyu, Cugenang, Cikalong Kulon, Ciranjang, Sukamantri, Cipanas), Cirebon (Kec. Palimanan), Garut (Kec.

11 Limabangan) dan Kerawang (Kec. Purwasari). Kutudaun tersebut ditemukan pada ketinggian tempat antara 12 sampai 600 mdpl (Tabel 1). Kutudaun T. nigriabdominalis ditemukan pada padi varietas Ciherang, IR-64, Cisadane dan Rojolele.

Ketinggian di atas 1300 mdpl yaitu di Pangalengan, T. nigriabdominalis

tidak ditemukan sedangkan R. rufiabdominalis ditemukan, pada daerah dataran rendah, yaitu di Cirebon (12 mdpl) kedua kutudaun ini ditemukan. Hal ini dapat membuktikan bahwa pada tempat dengan ketinggian rendah kutudaun di akar padi dapat berkembangbiak dan melakukan penyebaran. Hill (1971) menyatakan bahwa suhu merupakan pembatas bagi persebaran kutudaun. Semakin tinggi suatu tempat maka suhu pada tempat tersebut akan semakin rendah, maka dapat diasumsikan bahwa T. nigriabdominalis tidak dapat berkembangbiak pada daerah yang memiliki suhu rendah, sedang R. rufiabdominalis masih dapat berkembang biak pada suhu rendah.

Gambar 4 Gejala yang ditimbulkan oleh kutudaun di akar, a) batang kerdil dan daun kekuningan; b) koloni kutudaun T. nigriabdominalis

Kutudaun di akar padi menyerang perakaran yang fungsinya untuk menyerap unsur hara yang akan diolah dan dijadikan sumber makanan bagi tanaman. Serangan yang dilakukan oleh kutudaun akan menimbulkan dampak bagi tanaman padi. Menurut Shepard et al. (1995), kutudaun yang menyerang akar padi menimbulkan gejala kekuningan pada daun padi. Gejala ini timbul apabila populasi kutudaun mencapai puncaknya, sedangkan populasi kutudaun yang ditemukan pada masing-masing tempat pengamatan tidak terlalu banyak, sehingga gejala yang terlihat tidak terlalu signifikan hanya sedikit kekuningan pada batang dan terdapat beberapa tanaman yang terlihat seperti kerdil. Menurut Patack dan Khan (1994), kutudaun di akar umumnya menyebabkan kerusakan berupa perubahan warna dan pertumbuhan tanaman padi yang terganggu (Gambar 4).

Identifikasi Kutudaun

Identifikasi spesies dilakukan untuk memastikan jenis kutudaun yang digunakan dalam penelitian. Berdasarkan hasil identifikasi kutudaun yang ditemukan pada akar padi merupakan spesies R. rufiabdominalis dan T. nigriabdominalis (Gambar 5).

Kalshoven (1950) melaporkan bahwa kutudaun yang menyerang akar padi adalah Byrsocrypta hirsuta Bak yang ditemukan di pulau Jawa. Rahmah (2013)

a

menemukan kutudaun akar padi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dan setelah di identifikasi ternyata spesies tersebut adalah spesies T. nigriabdominalis. Secara morfologi kutudaun ini menunjukan kesamaan dengan yang dilaporkan oleh Kalshoven.

Gambar 5 Morfologi kutudaun akar padi: (a) R. rufiabdominalis, (b) T. nigriabdominalis

Blackman dan Eastop (2000) juga melaporkan bahwa terdapat beberapa kutudaun akar padi, dua diantaranya adalah R. rufiabdominalis dan T. nigriabdominalis. Spesies R. rufiabdominalis sampai saat ini belum pernah dilaporkan ditemukan pada akar padi di Indonesia.

Imago R. rufiabdominalis dicirikan dengan imago pada bagian toraks berwarna hijau gelap. Abdomen berwarna hijau kecoklatan dengan panjang tubuh 1.7 mm. Bentuk tubuh bulat sedikit memanjang. Antena panjang dengan lima ruas (Gambar 6c), antena dari ruas 3 sampai 5 berambut, terdapat rambut halus pada tubuhnya, sifunkuli berbentuk seperti tabung (Gambar 6b), kauda berbentuk kerucut (Gambar 6a), rostrum panjang (Gambar 6d), tarsus dengan 4 ruas.

Gambar 6 Karakter morfologi dari R. rufiabominalis: (a) bentuk kauda; (b) sifunkuli; (c) ruas antena; (d) rostrum

0.5 mm 0.5 mm

0.2 mm

13 Imago T. nigriabdominalis dicirikan dengan imago berwarna jingga (orange) sampai coklat kekuningan dengan ukuran tubuh 1.8 mm dengan bentuk tubuh bulat. Antena pendek (Gambar 7c), antena ruas ketiga memiliki rambut sebanyak 10 helai. Bagian abdomen terdapat rambut-rambut halus. Sifunkuli pendek berbentuk seperti pori atau kerucut (Gambar 7f). Kauda berbentuk bulat dan berambut 2-5 helai (Gambar 7b). Tarsi satu ruas (Gambar 7d) dan memiliki rostrum yang pendek dan berambut (Gambar 7e).

Gambar 7 Karakter morfologi dari T. nigriabdominalis, (a) bentuk kepala; (b) kauda; (c) ruas antena; (d) tarsus; (e) rostrum; (f) sifunkuli

Biologi R. rufiabdominalis dan T. nigriabdominalis

Hasil analisis nilai rataan biologi R. rufiabdominalis berbeda dengan T. nigriabdominalis. Spesies T. nigriabdominalis mengalami perkembangan lebih lama dari pada spesies R. rufiabdominalis (Tabel 2). Siklus hidup R. rufiabdominalis dan T. nigriabdominalis berturut-turut adalah 4.98 hari dan 5.25 hari. Perbedaan siklus hidup serangga menurut Morgan et al. (2001), dipengaruhi oleh spesies serangga, suhu, tanaman inang, serta metode perbanyakan serangga yang digunakan.

Tabel 2 Biologi R. rufiabdominalis dan T. nigriabdominalis di akar padi

Parameter Rataan ± SE (hari)

R. rufiabdominalis T. nigriabdominalis Instar 1 1.76 ± 0.07 3.00 ± 0.17 Instar 2 1.03 ± 0.58 1.93 ± 0.13 Instar 3 1.20 ± 0.05 1.93 ± 0.15 Instar 4 0.98 ± 0.02 1.60 ± 0.17 Siklus hidup 4.98 ± 0.09 5.25 ± 0.93 Praoviposisi 0.15 ± 0.05 0.32 ± 0.09 Lama hidup imago 15.94 ± 0.99 18.11 ± 1.54

Keperidian 67.44 ± 4.72 individu 11.11 ± 2.71 individu

Lama hidup merupakan selang waktu sejak imago pertama kali muncul hingga imago tersebut mati. Setiap organisme mempunyai variasi jangka hidup yang terbatas. Rata-rata lama hidup imago R. rufiabdominalis dan T. nigriabdominalis berturut-turut adalah 15.94 hari dan 18.11 hari. Lama hidup T. nigriabdominalis lebih panjang dari R. rufiabdominalis tetapi R. rufiabdominalis

memiliki keperidian yang lebih tinggidari T. nigriabdominalis.

Lamanya perkembangan siklus hidup T. nigriabdominalis secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap waktu reproduksinya. Semakin lama waktu yang diperlukan untuk mencapai fase imago, maka semakin lama pula waktu untuk bereproduksi. Kozlowski (1992) menyebutkan bahwa tertundanya waktu reproduksi akan berdampak terhadap peningkatan mortalitas sebelum bereproduksi, penurunan masa reproduksi, penurunan output reproduksi dan waktu generasi menjadi lebih lama.

Waktu praoviposisi kedua kutudaun ini berbeda, R. rufiabdominalis lebih cepat dibandingkan T. nigriabdominalis. Cepatnya waktu praoviposisi akan berpengaruh pada banyaknya jumlah keperidian karena penundaan masa praoviposisi akan mengakibatkan proses tertundanya imago untuk melahirkan nimfa. Salah satu faktor eksternal yang mepengaruhi adalah terpenuhinya nutrisi kutudaun. Kuo et al. (2006) melaporkan bahwa nutrisi yang diserap oleh T. nigriabdominalis yang rendah, termasuk nitrogen dapat menyebabkan keperidiannya menurun.

Keperidian kutudaun dihitung dari banyaknya nimfa yang dilahirkan oleh setiap imago selama hidupnya. Semakin banyak nimfa yang dilahirkan imago maka semakin tinggi nilai keperidian. Banyaknya nimfa yang dilahirkan imago memperlihatkan tingkat kesesuaian individu tersebut pada tanaman inangnya. Rataan keperidian imago R. rufiabdominalis dan T. nigriabdominalis berturut-turut adalah 67.44 nimfa dan 11.11 nimfa (Tabel 2). Keperidian imago R. rufiabdominalis lebih tinggi dari keperidian imago T. nigriabdominalis. Menurut Kuswanto dan Budi (2007), menyatakan bahwa meningkatnya jumlah nimfa yang dilahirkan oleh imago kutudaun dapat meningkatkan populasinya secara cepat, terutama dipengaruhi oleh faktor makanan yang tidak terbatas. Selain faktor makanan, menurut Subagyo dan Hidayat (2014), meningkatnya keperidian juga dipengaruhi oleh suhu.

Secara umum faktor-faktor yang memengaruhi biologi kutudaun ini adalah suhu, nutrisi tanaman, umur inang, struktur permukaan inang dan komposisi kimia yang ada pada tanaman (Weathersbee dan Hardee 1994). Selain faktor eksternal, faktor internal juga memberikan pengaruh terhadap biologi kutudaun. Cara adaptasi serangga tersebut terhadap lingkungan sekitar menjadi faktor penting dalam laju siklus hidupnya (Razmjou et al. 2006).

Neraca Kehidupan R. rufiabdominalis dan T. nigriabdominalis

Nilai rataan jumlah nimfa yang dilahirkan oleh imago R. rufiabdominalis

berbeda dengan imago T. nigriabdominalis (Gambar 8). Nilai rataan keperidian harian tertinggi pada R. rufiabdominalis adalah 7 nimfa, tetapi untuk T. nigriabdominalis adalah 3.2 nimfa. Puncak keperidian R. rufiabdominalis

sebanyak 5 kali, sedangkan pada T. nigriabdominalis 3 kali. R. rufiabdominalis

tidak lagi menghasilkan nimfa pada umur 33 hari dan T. nigriabdominalis pada umur 22 hari.

15 Tipe bertahan hidup R. rufiabdominalis menunjukan kurva tipe II dan T. nigriabdominalis menunjukkan kurva tipe III. Menurut Price (1997), kurva tipe I adalah kematian populasi organisme yang rendah pada umur muda dan dalam jumlah besar pada umur tua, tipe II adalah kematian populasi suatu individu yang konstan dan tipe III adalah tingginya kematian populasi suatu individu yang terjadi saat umur muda.

Umur (Hari)

Gambar 8 Peluang hidup (lx) dan rataan keperidian harian (mx) pada:

(a) R. rufiabdominalis, (b) T. nigriabdominalis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter neraca kehidupan yang diukur dari kedua kutudaun tersebut berbeda (Tabel 3). Laju reproduksi R. rufiabdominalis lebih tinggi dari pada T. nigriabdominalis. Hal ini dikarenakan nilai berlipat ganda (DT) R. rufiabdominalis lebih singkat daripada T. nigriabdominalis. Waktu yang dibutukan untuk populasi berlipat ganda pada R. rufiabdominalis adalah 1.51 hari sedangkan pada T. nigriabdominalis 4.33 hari. Nilai DT yang tinggi dapat menyebabkan meningkatnya laju reproduksi kotor (GRR) dan nilai reproduksi bersih (R0). Menurut Birch (1948), nilai populasi

R ataa n k ep er id ian h ar ian ( mx ) Pelu an g h id u p ( lx) a b R ataa n k ep er id ian h ar ian ( mx ) b

berlipat ganda yang tinggi pada suatu individu dapat menyebabkan penurunan sumber daya lingkungan dan mempengaruhi nilai laju pertambahan intrinsik (r).

Tabel 3 Neraca Kehidupan R. rufiabdominalis dan T. nigriabdominalis

Parameter R. rufiabdominalis T. nigriabdominalis Satuan GRR 110.56 22.67 Individu/generasi

R0 062.18 05.18 Individu/induk/generasi

r 000.46 00.14 IiIndividu/induk/hari

T 008.93 11.85 Hari

DT 001.50 04.99 Hari

Keterangan: (GRR) Laju reproduksi kotor, (R0) laju reproduksi bersih, (r) laju pertambahan instrinsik, (T) rataan lama generasi, (DT) waktu populasi berlipat ganda

Nilai rataan lama generasi (T) diartikan sebagai rataan waktu yang dibutuhkan sejak nimfa diletakkan hingga imago betina menghasilkan separuh keturunannya. Nilai rataan lama generasi pada R. rufiabdominalis dan T. nigriabdominalis berturut-turut adalah 8.93 hari dan 11.85 hari.

Nilai GRR (laju reproduksi kotor) R. rufiabdominalis lebih besar dari T. nigriabdominalis. Nilai GRR dan R0 yang tinggi pada R. rufiabdominalis

memperlihatkan tingkat kesesuaian hidup terhadap tanaman inang. Nilai R0 (laju reproduksi bersih) pada R. rufiabdominalis menunjukkan bahwa generasi berikutnya akan meningkat sebanyak 62.18 kali dari generasi sebelumnya, sedangkan nilai R0 pada T. nigriabdominalis hanya meningkat sebanyak 5.18 kali.

Laju pertambahan intrinsik merupakan kapasitas suatu populasi untuk peningkatan. Nilai yang diperoleh ditentukan oleh berbagai aspek yang berhubungan dengan sejarah kehidupan organisme, yaitu kematian, kelahiran dan waktu perkembangan (Kurniawan 2007). Nilai r T. nigriabdominalis lebih rendah daripada R. rufiabdominalis. Nilai r pada T. nigriabdominalis berkisar antara 0.14 nimfa per hari, sedangkan pada R. rufiabdominalis 0.46 nimfa per hari. Siklus hidup yang panjang pada T. nigriabdominalis menyebabkan laju pertambahan intrinsiknya menjadi rendah (Tabel 3).

Tingginya nilai r ini disebabkan oleh tingginya keperidian dan rendahnya mortalitas pada pradewasa dan dewasa. Akan tetapi menurut Birch (1948), nilai laju pertambahan intrinsik (r) yang tinggi pada suatu spesies tidak selalu diartikan sebagai tingkat keberhasilan dalam suatu habitat. Hal tersebut berdasarkan adanya proses seleksi dari spesies tersebut agar nilai r-nya menjadi relatif tinggi sehingga mampu berkompetisi dengan spesies lain. Laju pertambahan intrinsik dapat digunakan untuk memprediksi pertumbuhan populasi serangga dalam jangka waktu yang panjang. Laju pertambahan intrinsik yang rendah dapat diartikan bahwa populasi suatu organisme memiliki sedikit kemungkinan untuk terus tumbuh.

Biologi R. rufiabdominalis pada Daun, Batang dan Akar Padi

Kutudaun R. rufiabdominalis merupakan kutudaun di akar padi, tetapi pada penelitian ini dicoba dibiakkan pada daun, batang dan akar padi untuk melihat kecocokan dan ketahanan hidup. Pada daun padi R. rufiabdominalis tidak bisa diamati biologinya secara keseluruhan karena pada daun padi R. rufiabdominalis

17 bertahan hidup di daun padi dikarenakan daun padi sedikit lebih keras sehingga instar satu tidak bisa menusukan stilet pada daun padi.

Menurut Hsieh (1970); Kindler et al. (2004); Zilahi et al. (2005), kutudaun di akar ini dapat bertahan hidup di wadah pemeliharaan dengan pakan akar dan batang tanaman. Ada beberapa kutudaun yang memang hidup pada daun, seperti

Rhopalosiphum maidis pada jagung (Carena dan Glogoza 2004); Macrosiphum rosae pada daun mawar (Kmiek 2007), Macrospihum euphorbiae pada daun tomat (Hummel et al. 2004), Myzus persicae pada daun tanaman kentang atau dari famili Solanaceae (Musa et al. 2004; Troncoso et al. 2005). Penelitian kutudaun di akar yang dibiakkan pada daun sampai saat ini belum dilakukan, sehingga pada penelitian ini dilakukan pemeliharaan dengan menggunakan daun padi sebagai pakan, namun tidak ada kutudaun yang berhasil menyelesaikan siklus hidupnya.

Hasil rataan biologi R. rufiabdominalis di akar dan batang tidak jauh berbeda (Tabel 4). Siklus hidup R. rufiabdominalis di akar dan batang berturut-turut adalah 5.40 hari dan 5.50 hari. Pada batang padi serangga ini akan masuk ke dalam lipatan batang, karena dalam lipatan batang kondisi pakannya lebih lunak. Salah satu kunci perkembangan hidup yang cepat bagi serangga herbivora adalah kecocokan inangnya (Awmack dan Leather 2002). Semakin tidak cocok inang yang diberikan kepada serangga herbivora, akan berdampak pada penurunan populasi dan penurunan kualitas hidupnya (Legrand & Barbosa 2000).

Tabel 4 Biologi R. rufiabdominalis di batang dan akar daun padi Variabel Rataan ± SE (Hari) Akar Batang Instar 1 1.33 ± 0.13 1.33 ± 0.13 Instar 2 1.20 ± 0.31 1.13 ± 0.13 Instar 3 1.80 ± 0.46 1.00 ± 0.13 Instar 4 2.07 ± 0.96 1.00 ± 0.13 Siklus hidup 5.40 ± 0.10 5.50 ± 0.25 Praoviposisi 1.00 ± 0.00 1.00 ± 0.01 Lama hidup imago 7.50 ± 0.96 1.75 ± 0.21 Keperidian 40.07 ± 1.75 individu 7.33 ± 0.72 individu Kutudaun lebih suka dengan permukaan tanaman yang tidak terlalu keras karena serangga ini memakan bagian floem tanaman dengan menggunakan stiletnya (Kindler et al. 2004). Akar tanaman memiliki bagian yang lebih lunak dibandingan dengan bagian lainnya, sehingga banyak kutudaun jenis ini yang menyerang pada bagian tersebut (Emden dan Bashford 1969; Weathersbee dan Hardee 1994). Menurut Hsieh (1970), ketika kondisi lahan dalam keadaan kering kutudaun ini dapat terlihat bergerombol berada pada akar tanaman padi,

Dokumen terkait