• Tidak ada hasil yang ditemukan

PSI EKO SOS FIS TIS TDS TJS TTD TSE TKE DP HS KP Karakteristik ibu orang tua tunggal

HASIL DAN PEMBAHASAN

PSI EKO SOS FIS TIS TDS TJS TTD TSE TKE DP HS KP Karakteristik ibu orang tua tunggal

Umur menikah .00 .13 .08 - .09 -.06 -.03 -.03 .13 .12 .09 .04 - .05 .14 Umur saat cerai - .10 -.00 -.25 .08 -.07 - .29* -.09 .19 .22 -.06 - .10 - .22 .21 Umur saat ini - .13 .00 -.17 .04 -.08 - .31* -.00 .26* .14 -.12 - .11 - .20 .22 Pendidikan .06 -.19 -.17 .06 .24 .09 .22 -.01 -.03 -13 - .08 .21 - .03 Pendapatan paska - .00 .11 -.23 .07 -.16 -.12 .09 .05 .08 -.07 - .00 .13 .06 Karakteristik keluarga Jumlah tanggungan .14 .34** .04 .07 -.23 -.07 -.13 -.03 .17 -05 .25 - .16 .04 Jumlah anak - .08 -.00 -.12 .01 -.06 -.25 -.07 .18 .15 -.06 - .08 - .19 .18 Lama menikah - .07 .04 .09 .11 -.07 -.08 .20 .24 -.10 -.08 - .03 .01 .12 Pendapatan .06- - .37** -.04 - .06 .06 -.09 .09 .06 .12 -.00 - .22 - .04 .09 Keterangan : Dampak psikologis (PSI), dampak ekonomi (EKO), dampak sosial (SOS), dampak fisik (FIS). Tingkat integrasi sosial (TIS), tingkat dukungan sosial (TDS), tingkat jejaring sosial (TJS). Tingkat depresi (TTD), tingkatself esteem (TKE), tingkat kebahagiaan (TKE). Dampak perceraian (DP), hubungan sosial (HS), kesejahteraan psikologis (KP). Dampak perceraian (DP), hubungan sosial (HS), kesejahteraan psikologis (KP). *signifikan padasig(2-tailed)<0.05; ** signifikan pada sig(2-tailed)<0.01).

26

Dampak Perceraian dan Hubungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Paska Perceraian

Dilihat dari keseluruhan Tabel 7, pada intinya menunjukkan bahwa perceraian membawa dampak pada kesejahteraan psikologis ibu di enam bulan pertama maupun saat ini paska perceraian, meskipun dampak yang dirasakan ke arah negatif dan semakin menurun sejalan dengan berjalannya waktu. Hal tersebut ditunjukkan dari dampak perceraian pada enam bulan pertama yang berpengaruh negatif signifikan (p<0.01) terhadap kesejahteraan psikologis dengan beta (β) sebesar 0.76. Nilai beta tersebut menggambarkan bahwa setiap kenaikan satu satuan dampak perceraian akan menurunkan kesejahteraan psikologis sebesar 0.76 poin. Adapun nilai

adjusted R2dampak perceraian terhadap kesejahteraan psikologis yakni 0.58 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sebesar 58.00 persen pada dampak perceraian di enam bulan pertama terhadap kesejahteraan psikologis, sedangkan sisanya yakni 42.00 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti. Dibandingkan dengan kondisi enam bulan pertama, dampak perceraian yang dirasakan saat ini ditemukan signifikan negatif (p<0.01) berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis denganbeta (β) sebesar0.56. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu satuan dampak perceraian akan menurunkan kesejahteraan psikologis sebesar 0.56 poin. Selain itu, nilai adjusted R2dampak perceraian terhadap kesejahteraan psikologis saat ini yakni 0.30. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat dampak perceraian berpengaruh sebesar tiga puluh persen terhadap kesejahteraan psikologis, sedangkan sisanya yaknitujuh puluh persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti.

Hubungan sosial tidak menunjukkan signifikan berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis pada dua kondisi paska perceraian. Walaupun tidak ditemukan signifikan berpengaruh, nilai beta (β) yang positif pada kedua kondisi paska perceraian menunjukkan bahwa peluang terdapatnya pengaruh signifikan pada hubungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis akan mungkin terjadi apabila ibu memaksimalkan terjalinnya hubungan sosial pada paska perceraian.

Tabel 7 Koefisien regresi hubungan sosial dan dampak perceraian terhadap kesejahteraan psikologis paska perceraian

Variabel

Kesejahteraan Psikologis

Enam bulan pertama Saat ini

β P β P Dampak Perceraian -.76 0.00** -. 56 0.00** Hubungan sosial .04 0.63 .08 0.50 R2 .59 .32 Adjusted R2 .58 .30 F 41.30 13.42 P 0.00** 0.00**

27

Pembahasan

Perceraian hidup merupakan permasalahan sosial yang timbul akibat rusaknya pernikahan yang terjalin (Stewart & Alison 2006). Permasalahan tersebut memberikan perubahan tersendiri pada kehidupan ibu sebagai orang tua tunggal, terutama ibu yang hidup dilingkungan pedesaan dan umumnya terlibat dalam kehidupan publik dan domestik (Zaidin 2010) di paska perceraian. Perubahan pada diri ibu tidak terlepas dari proses pengaruh dan memengaruhi lingkungan sekitar kehidupan (Bronfrenbrennner) paska perceraian dan meskipun telah melewati proses tersebut, dampak yang ditimbulkan akibat perceraian, diketahui tidak sepenuhnya memulihkan kondisi kehidupan ibu seperti kondisi sebelum perceraian.

Perubahan yang terjadi pada tingkat hubungan sosial, ekonomi, fisik, psikis, maupun kesejahteraan psikologis ibu dirasakan secara keseluruhan di dua kondisi paska perceraian (enam bulan pertama dan saat ini). Selain itu, penelitian ini juga menemukan bukti bahwa dampak yang dirasakan pada kehidupan ibu paska perceraian umumnya bertolak belakang dengan ekspektasi yang dimiliki ibu pra perceraian bahwa sejalan dengan terjadinya perceraian, dirinya akan mendapatkan dampak positif yang jauh lebih tinggi dibanding dampak negatifnya. Namun faktanya menunjukkan bahwa perceraian berdampak lebih tinggi ke arah negatif dibandingkan dampak ke arah positif. Hal ini secara langsung membuktikan bahwa perceraian berdampak pada kehidupan ibu paska perceraian, walaupun berdampak lebih buruk.

Dampak yang ditimbulkan akibat perceraian diketahui akan menurun sepanjang waktu (Booth & Amato 1991) dan bersifat temporer pada kesejahteraan (Williams & Umberson 2004). Sejalan dengan pernyataan tersebut, dibandingkan dengan kondisi kehidupan ibu pada tingkat hubungan sosial, ekonomi, fisik, psikis, maupun kesejahteraan psikologis, diketahui bahwa kondisi enam bulan pertama jauh lebih rendah dibandingkan saat ini (5 tahun). Hal tersebut menjelaskan bahwa teori yang menyatakan enam bulan pertama merupakan masa kritis untuk beradaptasi merupakan bukti yang benar adanya. Masa kritis yang ditandai dengan penurunan kondisi kehidupan secara keseluruhan di enam bulan pertama paska perceraian menggambarkan bahwa pada masa tersebut ibu sangat labil dan rentan dengan keburukan yang sangat mungkin berdampak padanya. Sementara itu, walaupun secara keseluruhan kondisi kehidupan ibu saat ini lebih baik dibanding enam bulan pertama, tetapi tidak berarti perubahan pada dampak yang dirasakan ibu dari awalnya jauh lebih buruk kemudian berganti secara keseluruhan menjadi baik seperti pra perceraian.

Dampak buruk yang ditimbulkan akibat perceraian pada kondisi saat ini tidak dipungkiri memiliki keterkaitan dengan karakteristik ibu maupun keluarga itu sendiri. Keterkaitan antara keduanya digambarkan oleh ketidakberdayaan ekonomi paska perceraian yang semakin dirasakan ibu terutama pada ibu yang berasal dari latar belakang pendapatan keluarga yang makin rendah dan jumlah tanggungan yang makin besar. Ketidakberdayaan akibat perceraian tersebut, faktanya bukan hanya

28

berkaitan dalam lingkup kehidupan ekonomi ibu, tetapi juga lingkungan sosialnya.

Rendahnya dukungan sosial saat ini pada ibu yang bercerai diumur lebih tua menunjukkan bahwa dirinya lebih sering menutup diri dari lingkungan sekitarnya (Lorentz et al 1997). Hal ini umumnya dilakukan ibu agar permasalahan yang dihadapinya tidak diketahui oleh lingkungan sekitarnya. Selain itu, perasaan enggan untuk diperlakukan sebagai orang yang tak berdaya juga menjadi alasan bagi ibu untuk menarik diri dari lingkungan sekitar. Pada akhirnya, respon yang ditimbulkan dari sikap ibu tersebut memberikan pandangan di lingkungan kehidupan ibu bahwa perubahan yang dialami akibat perceraian tidak begitu besar dirasakan oleh ibu sehingga jika lingkungan tidak memberikan dukungan padanya pun menjadi suatu hal yang tidak bermasalah bagi kehidupan ibu selanjutnya. Namun pada kenyataanya, dukungan sosial menjadi hal yang sangat penting bagi kesuksesan baik saat masa adaptasi maupun kehidupan ibu selanjutnya di kondisi saat ini paska perceraian. Walaupun pada dasarnya ibu memiliki pilihan untuk menerima maupun menolak (Cheuk et al 1998) atas dukungan yang diberikan, namun orang yang memberi dukungan juga perlu melihatnya dari sudut pandang ibu sebagai penerima sehingga rasa kesal ataupun merasa ditolak pun menjadi hilang. Selain itu, dampak perceraian juga diketahui memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan psikologis .

Dampak perceraian yang dirasakan ibu ditemukan memiliki pengaruh yang kuat dengan kesejahteraan psikologis pada enam bulan pertama maupun kondisi saat ini. Gove (1972) memaparkan bahwa kesejahteraan psikologis orang yang bercerai dipengaruhi oleh kesehatan fisik dan sejalan dengan hal tersebut penelitian ini membuktikan bahwa permasalahan fisik seperti kehilangan berat badan, pusing, susah tidur pada enam bulan pertama (Stewart & Alison 2006) dan saat ini, paska perceraian berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis ibu. Pengaruh yang tidak ditemukan antara hubungan sosial dengan kesejahteraan psikologis, menggambarkan bahwa kehidupan sosial ibu yang cenderung menutup diri atau anti sosial, baik di pra maupun paska perceraian menjadikan suatu alasan dari tidak ditemukannnya pengaruh diantara keduanya. Tidak adanya pengaruh tersebut, didukung oleh Debra (1996) yang menjelaskan bahwa ketidakterlibatan ibu di lingkungan sosial, akan meningkarkan tingkat depresi dalam dirinya. Oleh karenanya, demi menurunkan tingkat depresi, meningkatkan self esteem dan kebahagiaan, ibu harus memaksimalkan hubungan sosial yang terjalin, disamping dukungan sosial yang juga harus tetap diberikan kepada ibu.

29

Dokumen terkait