• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Perceraian dan Hubungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Ibu sebagai Orang Tua Tunggal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Perceraian dan Hubungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Ibu sebagai Orang Tua Tunggal"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK PERCERAIAN DAN HUBUNGAN SOSIAL

TERHADAP KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS IBU SEBAGAI

ORANG TUA TUNGGAL

NURUL AIDA

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Perceraian dan Hubungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Ibu sebagai Orang Tua Tunggal adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2013

Nurul Aida

(4)

ii

ABSTRAK

NURUL AIDA. Dampak Perceraian dan Hubungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Ibu sebagai Orang Tua Tunggal. Dibimbing oleh HERIEN PUSPITAWATI.

Keluarga ibu orang tua tunggal yang terbentuk akibat perceraian seringkali membawa perubahan pada kesejahteraan ibu orang tua tunggal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik ibu sebagai orang tua tunggal, hubungannya dengan kesejahteraan psikologis, hubungan sosial, dan dampak perceraian serta menganalisis dampak perceraian dan hubungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis di dua kondisi (enam bulan pertama dan lima tahun) paska perceraian. Analisis deskriptif dan inferensia (uji beda, korelasi Pearson, dan regresi linear berganda) digunakan dalam penelitian ini. Sebanyak enam puluh responden ibu orang tua tunggal yang telah bercerai lebih dari enam bulan dipilih dari dua desa di Kabupaten Cianjur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis, hubungan sosial, dan dampak perceraian responden enam bulan pertama paska perceraian signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kondisi saat ini. Hubungan signifikan ditemukan pada umur saat ini, jumlah tanggungan, pendapatan keluarga dengan dampak ekonomi, tingkat depresi, dukungan sosial. Berdasarkan uji regresi, ditemukan pengaruh negatif signifikan pada dampak perceraian terhadap kesejahteraan psikologis di kondisi enam bulan pertama dan saat ini. Adapun hubungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis tidak ditemukan pengaruh yang signifikan.

Kata kunci: dampak ekonomi, dukungan sosial, tingkat depresi

ABSTRACT

NURUL AIDA. Impact Of Divorce and Social Relationship On Psychological Well-being Single Mother. Supervised by HERIEN PUSPITAWATI.

Family with a single mothers who came from divorced, often bring the impact such as problem or change on a single mothers well-being. The aim of this research to indentify characteristics of single mother and relations with psychological well-being and social relations, and also analyze impact divorce on psychological well-being and social relations. Descriptive analysis, regression, and Pearson correlation was used in this study. The respondents were sixty single mother who come from the length divorced more than six month. The result showed that compare with present condition, psychological well-being, impact of divorce and social relation respondent are more significant lower than the first six month after divorce. There was relationship between age of present and divorce, family’s income, and size of family with level of depression, social support, and economic impact. Based on regression analysis we found there was negative effect of impact of divorce to psychological well-being at the first six month after divorce and the present. Other wise, we found there was not significant effect of divorce to social relationship.

(5)

iii

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

DAMPAK PERCERAIAN DAN HUBUNGAN SOSIAL

TERHADAP KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS IBU SEBAGAI

ORANG TUA TUNGGAL

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

(6)
(7)

v

Judul Skripsi: Dampak Perceraian dan Hubungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Ibu sebagai Orang Tua Tunggal

Nama : Nurul Aida

NIM : I24090042

Disetujui oleh

Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc Pembimbing

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan, M.Sc Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

(8)

vi

PRAKATA

Puji syukur atas rahmat dan semua bentuk kenikmatan yang diberikan Allah SWT karena atas kelimpahan-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dampak Perceraian dan Hubungan sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Ibu Sebagai Orang tua Tunggal”. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Penulis dengan segala hormat mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Herien Puspitawati M.Sc., M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya memberikan arahan, kritik, dan saran serta dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi.

2. Ir. Melly Latifah, M.Si selaku dosen pembimbing akademik bersedia meluangkan waktu dan pikirannya memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan studi sarjana.

3. Irni Rahmayani Johan, SP., MM selaku dosen yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya memberikan arahan, kritik, dan saran serta dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan proposal skripsi.

4. Agus Surachman S.Si, Fernando Tandayu dan Indri Irmawati selaku dosen pemandu seminar dan pembahas yang telah memberikan segala koreksi dan saran untuk perbaikan penyusunan skripsi.

5. Aparat desa beserta ketua RT Sukanagalih dan Sindang Laya, Kabupaten Cianjur atas keramahan, kerjasama, dan kesediannya dalam membantu pengambilan data.

6. Keluargaku yang tercinta atas segala dorongan, saran, bantuan, doa, dan kasih sayang yang tak henti diberikan sehingga skripsi dapat terselesaikan

7. Ibu Umas, Bapak Edi dan Ucu yang senantiasa membantu dalam proses pengambilan data contoh.

8. Teman-temanku yang tercinta yang telah banyak membantu dalam perjalanan penelitian: Lela Nesvi, Rena NL, Merisa, Rahmi D, Rahmi M, Susanti, Aila, Salsabila serta teman seperjuanganku sejak SMA: Nahdhiyah S, Winda S, Nurul Arifiani yang senantiasa memberikan dukungan yang diberikan kepada penulis.

Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna dan dapat dijadikan sebagai perbandingan maupun penambah pengetahuan para pembaca.

Bogor, Desember 2013

(9)

vii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

KERANGKA BERPIKIR 4

TINJAUAN PUSTAKA 8

Pandangan Teori Struktural Fungsional 8

Perceraian 9

Kesejahteraan Psikologis 12

Hubungan Sosial 14

METODE 16

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian 16

Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh 16

Jenis dan Cara Pengukuran Data 17

Pengolahan dan Analisis Data 17

HASIL DAN PEMBAHASAN 20

Hasil 20

Pembahasan 27

SIMPULAN DAN SARAN 29

Simpulan 29

Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 31

LAMPIRAN 35

(10)

viii

DAFTAR TABEL

1. Sebaran karakteristik ibu dan keluarga 20

2. Sebaran alasan utama perceraian ibu orang tua tunggal 22

3. Sebaran perbedaan dampak perceraian ibu orang tua tunggal

berdasarkan waktu 23

4. Sebaran perbedaan kesejahteraan psikologis ibu orang tua tunggal

berdasarkan waktu 23

5. Sebaran perbedaan hubungan sosial ibu orang tua tunggal berdasarkan

waktu 24

6. Sebaran hubungan karakteristik ibu orang tua tunggal dan keluarga

dengan variabel dependen 25

7. Koefisien regresi hubungan sosial dan dampak perceraian terhadap

kesejahteraan psikologis paska perceraian 26

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran dampak perceraian dan hubungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis ibu sebagai orang tua tunggal 7

2. Jumlah dan cara pemilillihan contoh 17

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Lokasi Penelitian 35

2. Penelitian Terdahulu 35

3. Jenis data, variabel, alat dan cara pengukuran data skala data 39

4. Data dan Cara Pengolahan 40

5. Uji Reliabilitas 42

6. Alasan Perceraian 43

7. Uji korelasi karaktersitik ibu dengan dampak perceraian, hubungan sosial dan kesejahteraan psikologis saat ini (5 tahun), paska

perceraian 44

8. Uji korelasi dampak perceraian, hubungan sosial dan kesejahteraan psikologis ibu enam bulan pertama paska perceraian 45

9. Uji korelasi dampak perceraian, hubungan sosial dan kesejahteraan psikologis ibu saat ini (5 tahun) paska perceraian 45

10. Perbedaan dampak perceraian tiap item pertanyaan berdasarkan

waktu 47

11. Perbedaan kesejahteraan psikologis tiap item pertanyaan berdasarkan

waktu 48

12. Perbedaan hubungan sosial tiap item pertanyaan berdasarkan waktu 49

(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perceraian merupakan suatu pilihan yang dihindari dan tidak diinginkan oleh tiap pasangan di dalam pernikahannya. Berdasarkan data BPS Susenas Indonesia (2013) di tahun 2009 sampai dengan 2012, diketahui bahwa laju pernikahan dan perceraian di pedesaan jauh lebih tinggi dibanding di perkotaan. Selain itu juga diketahui bahwa jumlah perempuan yang berstatus cerai hidup lebih banyak dibanding laki laki dengan perbandingan 14:1 (BPS Susenas Indonesia 2013).

Jawa Barat merupakan provinsi pertama (21.8%) yang paling banyak menikah dan masyarakatnya menempati urutan ketiga terbanyak (18.7%) dalam hal talak dan gugat cerai dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia (BPS 2012). Salah satu kabupaten didalamnya, yakni Cianjur merupakan kabupaten yang menempati urutan keenam dengan pasangan bercerai terbanyak yang diinisiatori perempuan (Pengadilan Agama Cianjur 2012). Fenomena perceraian ini tidak hanya dapat berdampak positif, netral ataupun negatif pada anak saja, tetapi juga pada pasangan yang bercerai (Amato 2000), khususnya perempuan.

(12)

2

mengalami perubahan ke arah yang baik. Oleh karenanya di latarbelakangi oleh teori dan studi sebelumnya, penelitian ini dilakukan guna mengetahui dan menganalisis dampak perceraian serta hubungan sosial pada kesejahteraan psikologis ibu sebagai orang tua tunggal.

Perumusan Masalah

Berdasarkan data Pengadilan Agama Cianjur (2013), diketahui bahwa laju perceraian di Kabupaten Cianjur mengalami peningkatan sebesar 2.6 persen perkara cerai talak dan 16 persen cerai gugat di tahun 2011 sampai dengan 2012. Data tersebut kemudian diperjelas oleh data di tahun 2011, yang menunjukkan bahwa terdapat 203 perkara cerai talak dan 998 perkara cerai gugat, sedangkan di tahun 2012 meningkat menjadi 221 perkara cerai talak dan 1215 perkara cerai gugat. Sementara itu Euis (2013), memaparkan bahwa anggota perempuan kepala keluarga (Pekka) terbanyak diketahui berdomisili di Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet dan Desa Sindang Laya, Kecamatan Cipanas1.

Lingkungan Desa Sindang Laya dan Sukanagalih diketahui memiliki lapangan pekerjaan yang lebih beragam dibandingkan desa lainnya seperti buruh villa, pabrik ataupun pasar, tidak lantas dapat dipastikan bahwa pendapatan yang diterima tinggi dan mampu menutupi kebutuhan keluarga. Apabila kondisi yang berkebalikannya terjadi dan pasangan yang tidak memiliki komitmen kuat pada pernikahan serta tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya, keputusan untuk bercerai akan sangat mungkin diambil oleh pasangan.

Perceraian yang terjadi sepanjang tahun 2011 sampai dengan 2013 di Cianjur, diketahui paling banyak diinisiatori oleh perempuan yang berstatus ibu rumah tangga (Pengadilan Agama Cianjur 2013). Banyaknya inisiator yang berasal dari ibu rumah tangga, menunjukkan bahwa dampak yang mungkin dirasakan paska perceraian akan lebih besar dirasakan oleh ibu, karena terdapatnya penambahan peran instrumental yang sebelumnya tidak diembannya, diduga akan menjadi celah munculnya permasalahan baru di kondisi paska perceraian. Ditambah dengan peran ekspresif yang juga harus dilaksanakan sejalan dengan perceraian khususnya terhadap anak-anaknya diduga akan memberikan dampak perceraian yang jauh lebih besar di paska perceraian.

Dampak yang dirasakan ibu paska perceraian diketahui akan menurun sejalan dengan berjalannya waktu (Booth & Amato 1991) dan studi terdahulu yang menelaah dampak perceraian yang dirasakan ibu di kondisi enam bulan pertama dan kondisi saat ini, belum banyak diteliti. Namun diduga, dampak yang dirasakan di enam bulan pertama akan lebih besar dibanding kondisi saat ini.

Bianchi et al (1999) menyatakan bahwa dampak dari perceraian yang dirasakan perempuan, salah satunya yakni penurunan standar hidup yang berpotensi menurunkan kondisi fisik individu (Kincaid & Caldwell 1991). Selain itu, penurunan kesejahteraan psikologis pada perempuan sebagai

1

(13)

3

dampak dari perceraian juga ditemukan pada studi sebelumnya (Bloom et al 1985; Matekasa 1994; Shapiro 1996) yang menunjukkan rendahnya kebahagiaan dan self esteem serta tingginya tingkat depresi (Simon & Marcussen 1999). Studi lainnya yang membuktikan bahwa perceraian dapat membawa resiko yang lebih besar untuk tidak bahagia, gangguan kesehatan, dan gangguan psikologis ditemukan oleh Amato (2000). Sementara itu, dampak dari penurunan ataupun rendahnya kesejahteraan psikologis ini juga membawa dampak traumatis (Hackey & Bernard 1990) pada individu yang bercerai di kondisi paska perceraian. Hal ini disebabkan oleh terdapatnya gangguan secara emosional yang bersifat temporer (William & Umberson 2004).

Acock dan Demo (1994) menemukan bahwa banyak ibu yang bercerai mengembangkan kehidupan hubungan sosialnya dan mencari kebahagiaan pada kondisi paska perceraian. Namun, hal yang bertentangan ditunjukkan oleh Joung et al (1997) yang menemukan bahwa orang yang bercerai lebih banyak menutup diri dari lingkungan sekitarnya. Sementara itu, hasil penelitian Sarah (2012) menunjukkan bahwa hubungan jejaring sosial pada pasangan yang bercerai berhubungan dengan dukungan sosial yang diterima oleh orang di sekitar kehidupannya (mantan pasangan, keluarga, dan teman) dan semakin efektif dukungan yang diterima, semakin efektif hubungan yang berlangsung. Berdasarkan identifikasi rumusan masalah yang ada, timbul pertanyaan dari benak peneliti yaitu:

1. Bagaimana karakterisitik ibu orang tua tunggal, mantan pasangan, dan keluarga ibu orang tua tunggal di kondisi enam bulan pertama dan saat ini paska perceraian?

2. Bagaimana hubungan karakteristik ibu sebagai orang tua tunggal dan keluarga dengan hubungan sosial, dampak perceraian, dan kesejahteraan psikologi pada kondisi saat ini?

3. Bagaimana dampak perceraian dan hubungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis ibu orang tua tunggal di enam bulan pertama dan saat ini paska perceraian?

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak perceraian dan hubungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis ibu orang tua tunggal

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik ibu sebagai orang tua tunggal, mantan pasangan, dan keluarga ibu orang tua tunggal pada dua kondisi (pra dan paska perceraian)

2. Menganalisis karakteristik ibu sebagai orang tua tunggal dan keluarga dengan hubungan sosial, dampak perceraian dan kesejahteraan psikologis di kondisi saat ini

(14)

4

Manfaat Penelitian

Informasi pada penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh pemerintah untuk membuat suatu kebijakan dengan sasaran pasangan yang akan, baru maupun sudah menikah dan bercerai demi terciptanya sumber daya yang berkualitas. Disamping itu, hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat akan dampak yang ditimbulkan dari perceraian dan memberikan gambaran akan pengaruh dampakdari perceraian terhadap kesejahteraan psikologis ibu sebagai orang tua tunggal. Pada jangka panjangnya informasi tersebut dapat mengubah paradigma masyarakat tentang perceraian sebagai satu-satunya jalan yang mudah dilakukan untuk mengakhiri konflik. Kegunaan lainnya yang dapat diperoleh keluarga dari penelitian ini yakni menjadikan suatu gambaran umum akan kehidupan orang tua tunggal paska perceraian sehingga pasangan dapat menghindari dan menghadapi konflik pernikahan melalui stategi khusus yang dibuat oleh pasangan guna terhindar dari perceraian.

KERANGKA BERPIKIR

Perceraian merupakan akumulasi dari permasalahan pasangan yang gagal melakukan penyesuaian dalam pernikahan dan tidak mampu lagi mencari penyelesaian masalah yang dapat memuaskan pasangan. Landasan teori pada penelitian ini mendukung teori struktural fungsional yang berpandangan bahwa keluarga merupakan institusi sosial yang memiliki peran dan fungsi penting dalam lingkungan sosialnya. Keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga dan sosial masyarakat merupakan hal yang penting untuk dijaga dan dipelihara. Demi mencapai keseimbangan dan keharmonisannya, setidaknya lima syarat harus dipenuhi oleh tiap keluarga keluarga, diantaranya yakni diferensiasi peran, alokasi solidaritas, alokasi ekonomi, alokasi politik dan alokasi integrasi dan ekspresi. Salah satu tanda dari terorganisasinya keluarga dengan baik yakni adanya kesatuan pada anggota didalamnya yang saling berkomunikasi dan menjalankan perannya masing masing dengan baik (Puspitawati 2013). Keluarga yang tidak memiliki kesatuan atau tidak terorganisasi dengan baik dapat menimbulkan terjadinya perpecahan keluarga yakni perceraian (Puspitawati 2013). Struktural fungsional berpandangan bahwa tingginya laju perceraian dan meningkatnya angka orang tua tunggal merupakan gambaran dari rusaknya institusi keluarga. Kerusakan pada intitusi keluarga merupakan masalah utama dalam timbulnya permasalahan sosial lainnya.

(15)

5

tinggi dibanding yang bukan berasal dari keluarga yang bercerai. Oleh karenanya sosial ekonomi pasangan dan riwayat perceraian menjadi hal perlu untuk dipertimbangkan sebagai faktor terjadinya perceraian. Sementara itu, dilihat dari perbedaan dampak yang dirasakan dilihat dari jenis kelaminnya, perempuan umumnya merasakan dampak yang lebih tinggi dibanding laki laki.

Dampak dari perceraian hidup umumnya lebih besar dibanding perceraian yang diakibatkan karena pasangan meninggal. Hal ini dikarenakan sebelum dan sesudah perceraian hidup, umumnya individu yang bercerai merasakan sakit dan tekanan secara emosional. Studi sebelumnya mengenai perceraian, menunjukkan bahwa dampak perceraian yang sangat besar dirasakan individu yakni pada tahun pertama dan kemudian secara bertahap mengalami penurunan akibat penyesuaian diri pada berbagai masalah yang dihadapi. Sementara itu, dampak fisik, sosial, psikologis dan ekonomi (Smock 1994 & Gerstel et al 1985) yang ditimbulkan akibat perceraian memiliki efek yang tidak sama pada semua individu yang bercerai dan hal ini bergantung pada alasan yang melatarbelakangi terjadinya perceraian.

Dampak perceraian umumnya dirasakan positif pada pasangan yang merasa beruntung. Namun kenyataannya mereka menghadapi masalah yang jauh lebih berat dibanding keuntungan dari perceraian. Dampak negatif yang disebabkan oleh perceraian, salah satunya yakni menurunnya kesejahteraan. Hal ini diperkuat oleh Booth dan Amato (1991) yang menyatakan bahwa perceraian merupakan pengalaman pahit yang akan mendorong penurunan kesejahteraan. Adapun menurut Puspitawati (2005) dalam Puspitawati (2013), dimensi kesejahteraan yang harus dipenuhi agar anggota maupun keluarga mampu mencapai tujuannya yakni kesejahteraan ekonomi, sosial, psikologi, dan fisik. Mirowsky et al (1989) menjelaskan pada studi sebelumnya bahwa orang yang bercerai memiliki kondisi kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dibanding orang yang menikah dan umumnya memiliki resiko yang lebih besar untuk tidak bahagia, gangguan kesehatan, dan gangguan psikologis (Amato 2000). Hal ini menjadi krusial apabila salah satu kesejahteraan, khususnya kesejahteraan psikologis tidak terpenuhi karena dampak negatif yang ditimbulkannya dapat berpengaruh pada kehidupannya kelak, seperti gangguan mental, masalah kesehatan dan penyimpangan perilaku seperti melakukan tindakan kejahatan (Puspitawati 2013).

(16)

6

psikologis individu yang bercerai, khususnya pada ibu sebagai orang tua tunggal.

(17)

Gambar 1 Kerangka pemikiran dampak perceraian dan hubungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis ibu sebagai orang tua tunggal

KARAKTERISTIK IBU SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL

- Usia menikah, bercerai, dan saat ini

- Pendidikan

- Pekerjaan

- Pendapatan

DAMPAK PERCERAIAN PADA IBU (Enam bulan pertama dan saat ini)

- Dampak Psikologis

- Dampak Ekonomi

- Dampak Sosial

- Dampak Fisik

HUBUNGAN SOSIAL IBU (Enam bulan pertama dan saat ini)

- Integrasi Sosial

- Jejaring Sosial

- Dukungan Sosial

KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS IBU (Enam bulan pertama dan saat ini)

- Tingkat Depresi

- Self esteem

- Kebahagiaan KARAKTERISTIK KELUARGA

- Lama perceraian

- Jumlah tanggungan

- Jumlah anak

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Keluarga

Keluarga menurut UU Nomor 1 tahun 1992 adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, anak atau suami dan istri dan anak atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. Adapun menurut Puspitawati (2013) keluarga didefinisikan sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi masyarakat dan Negara. Bentuk keluarga menggambarkan perbedaan sosial, tingkah laku, dan kultur serta gaya hidup. Sussman et al (1974) menjabarkan keluarga menjadi 7 bentuk yaitu (1) keluarga inti, (2) keluarga besar tradisional, (3) keluarga dengan orang tua tunggal (single parents), (4) individu dewasa yang hidup sendiri, (5) keluarga dengan orang tua tiri, (6) keluarga binuklear, (7) keluarga non tradisional.

Keluarga dengan Orang Tua Tunggal (Single Parents)

Putusnya perkawinan menurut GBHN Nomor 1 tahun 1974 dapat diakibatkan oleh kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Keluarga dengan orang tua tunggal dicirikan dengan kepemilikan satu orang tua yakni ayah atau ibu yang umumnya menjadi satu-satunya orang yang terlibat dalam kehidupan dan perawatan anak (Zaidin 2010). Diketahui pula bahwa umumnya orang tua tunggal lebih banyak menghadapi masalah dengan tanggung jawab pekerjaan dan rumah tangga, peran yang terlalu berat, tekanan karena harus membuat keputusan sendiri, menemukan waktu yang cukup untuk anak dan kehidupan pribadi mereka, kebutuhan fasilitas perawatan anak yang cukup dan isolasi sosial. Namun hal ini tidak dapat dijadikan pedoman bahwa keluarga dengan orang tua tunggal merupakan keluarga yang tidak dapat menjalankan fungsi keluarganya dengan baik karena penelitian Nock (1988) membuktikan bahwa keluarga dengan orang tua tunggal dapat berfungsi secara efektif. Saat ini, jumlah keluarga dengan orang tua tunggal yang dikepalai oleh ibu cenderung meningkat karena berbagai alasan antara lain kemiskinan dan pergaulan bebas (Zaidin 2010).

Pandangan Teori Struktural Fungsional

(19)

9

Teori struktural fungsional memiliki pandangan bahwa tingginya laju perceraian dan meningkatnya angka orang tua tunggal merupakan gambaran dari rusaknya institusi keluarga. Rusaknya institusi keluarga merupakan masalah utama dalam permasalahan sosial yang menjadi acuan timbulnya permasalahan sosial lainnya seperti tindakan kejahatan. Berbeda dengan hal tersebut diketahui pula bahwa teori struktural fungsional memandang bahwa peran gender berkontribusi dalam keberfungsian suatu keluarga dimana perempuan memiliki peran utama expressive yakni memanajemen tugas keluarga dan menyediakan perawatan emosional serta memelihara seluruh anggota keluarga, sedangkan laki-laki memiliki peran utama instrumental

yang maksudnya adalah menjadi pencari nafkah utama dan pembuat keputusan utama di dalam keluarga. Berdasarkan pandangan tersebut dapat dijelaskan kembali bahwa keluarga dapat mengalami gangguan sehingga melemah disebabkan oleh perubahan yang terjadi di dalam keluarga seperti perubahan peran gender. Perubahan yang umumnya ditemukan dalam institusi keluarga yang mengakibatkan munculnya permasalahan sosial, perceraian, yakni penambahan fungsi perempuan yang utamanyaexpressive

ditambah denganinstrumental.

Perceraian

Perceraian merupakan peristiwa runtuhnya pernikahan secara legal yang sebenarnya tidak direncanakan dan dikehendaki oleh dua orang individu yang terikat dalam pernikahan. Fenomena saat ini memperlihatkan bahwa perempuan lebih banyak yang berinisiatif untuk mengajukan percerian dibanding laki-laki. Perceraian juga menunjukkan jalan keluar dari perkawinan yang tidak bahagia dan membawa efek pembebasan yang lebih besar untuk perempuan yang ditunjukkan dengan banyaknya perempuan yang lebih sering mengambil inisiatif untuk bercerai atau gugat (Kitson 1992).

Perceraian merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dijelaskan dan memiliki dampak kepedihan yang begitu besar secara emosional, finansial dan sosial pada pasangan. Berbeda dengan hal tersebut, Wheaton (1990) menganalisis dari data panel orang Kanada dan menemukan bahwa orang yang bercerai dengan banyak permasalahan mempunyai gejala-gejala stress yang lebih rendah 2-4 tahun setelah perceraian, sedangkan orang yang bercerai dengan permasalahan yang sedikit, memiliki tingkat stress yang lebih tinggi.

Faktor yang berhubungan dengan perceraian

(20)

10

1. Umur pasangan ketika menikah

Booth dan Edwards (1985) mengatakan bahwa dari semua bukti yang ada memperlihatkan bahwa dalam suatu pernikahan dimana umur pasangannya terbilang muda, kemungkinan untuk berakhir dengan perceraian lebih besar, khususnya pasangan yang berumur dibawah 18 tahun. Berdasarkan data dari hasil penelitian di Amerika pada tahun 1995 diketahui bahwa resiko perceraian dapat dilihat dari umur pasangan ketika menikah. Peneliti membaginya menjadi empat kategori umur yaitu (1) dibawah 18 tahun (48%), (2)18-19 tahun (40%), (3) 20-24 tahun (29%), (4) diatas 25 tahun (24%). Kategori tersebut dapat diinterpretasikan bahwa perempuan yang ketika menikah berumur dibawah 18 tahun beresiko dua kali lipat untuk mengakhiri pernikahannya dengan bercerai dibanding perempuan yang berumur 25 tahun atau lebih tua ketika menikah.

2. Lama pernikahan

Salah satu faktor yang dapat memprediksi terjadinya perceraian yakni berasal dari perhitungan lama pernikahan. Literatur terdahulu menunjukkan bahwa resiko perceraian lebih besar dialami ketika usia pernikahan satu sampai lima tahun dan resikonya menurun setelah usia sepuluh tahun pernikahan. Resiko pernikahan jika dihubungkan pada lama pernikahan dapat digambarkan pada diagram yang fluktuasi dimana resiko bercerai yang paling tinggi yakni ketika usia pernikahan 2-3 tahun dan resikonya menurun pada usia pernikahan 25 tahun. Setelah periode usia tersebut, perceraian masih mungkin dapat terjadi pada usia pernikahan 30-40 tahun.

3. Status sosial ekonomi

Penelitian terdahulu menemukan bahwa orang dengan pendidikan dan pendapatan yang tinggi serta status pekerjaan yang bagus memiliki laju kehancuran pernikahan yang lebih rendah (Norton&Glick 1979). Adapun Ross dan Sawhill (1975) memaparkan bahwa terdapat hubungan positif antara stabilitas pernikahan dengan pendapatan dimana keluarga dengan pendapatan yang tinggi memiliki resiko bercerai lebih kecil. Selain itu, jika dilihat dari sektor pendidikan diketahui bahwa pasangan yang ketika menikah memiliki status pendidikan yang rendah berdampak pada resiko bercerai lebih besar. Stress akibat ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup dan pencapaian pendidikan merupakan dua faktor yang berkontribusi dalam ketidakstabilan pada pernikahan (Glick & Norton 1977). Berbeda dengan literatur lainnya, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Goode (1982) dan Kephart (1955) bahwa dari 5 kategori jenis pekerjaan laki-laki yakni (1) profesional, (2) sales atauservice, (3) pekerjaan yang terampil (petugas kebakaran), (4) pekerjaan yang cukup terampil, (5) pekerjaan tidak terampil, yang memiliki resiko bercerai lebih besar yakni berasal dari kategori pekerjaan tidak terampil.

Alasan Perceraian

(21)

11

sudah menopause. Berkurangnya gairah seks istri inilah yang menyebabkan kualitas hubungan suami dan istri menurun dan suami cenderung mengambil keputusan berselingkuh dengan perempuan lain. Pernyataan yang hampir sama pun dipaparkan oleh Burgess dan Locke (1960) yang mengatakan bahwa sumber utama masalah hubungan suami istri adalah hubungan kasih sayang, seks, perbedaan pola budaya, peran sosial, kesulitan ekonomi, dan tidak adanya persahabatan yang menguntungkan. Adapun Goldsmith (1999) mengelompokkan alasan timbulnya konflik dan berakhir perceraian ke dalam tiga area yakni pekerjaan, uang, dan seksual. Pertengkaran suami istri yang disebabkan karena uang banyak terjadi terutama pada keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Pertengkaran ini kemudian pada studi terdahulu dikelompokkan menjadi dua yakni kurangnya jumlah uang yang dibutuhkan untuk menutupi kebutuhan pada keluarga dengan tingkat menengah kebawah dan ketidakterbukaan keuangan yang sering muncul pada keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke atas.

Berbeda dengan teori yang dipaparkan sebelumnya, Williamson (1972) menjelaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena the conflict of trivia yakni pertengkaran yang diawali oleh hal sepele misalnya istri selalu menuntut peningkatan ekonomi dengan adanya tuntutan pembelian suatu barang sehingga suami merasa bosan dan tidak nyaman lagi tinggal bersama istrinya. Selain itu, di dalam hasil penelitian Raffela (2003) pun menjelaskan bahwa sumber dari konflik dalam perkawinan yakni adanya tekanan ekonomi yang tinggi dan umumnya berdampak pada timbulnya masalah keuangan, masalah anak, adaptasi terhadap pasangan, hubungan mertua dan ipar dan hubungan intim dengan pasangan.

Adapun menurut Puspitawati (2013), mengatakan bahwa terdapat 5 faktor penyebab perceraian yakni (1) hidup berumah tangga dengan berbeda keyakinan, (2) krisis ekonomi dalam rumah tangga mengakibatkan tekanan ekonomi keluarga sehingga tidak tercukupinya kebutuhan keluarga sehari-hari, (3) istri tidak menarik lagi dimata suami sehingga suami beralih ke perempuan lain, (4) perselingkuhan yang diakibatkan adanya pihak ketiga yang merusak rumah tangga, (5) tidak mempunyai anak yang menyebabkan ketidaksempurnaan rumah tangga. Teori lainnya dari Mc Cubbin dan Patterson (1987) menjelaskan komponen kejadian kehidupan keluarga yang memengaruhi stres di dalam keluarga yakni dibagi menjadi 9 permasalahan yakni (1) masalah kesulitan pengasuhan, (2) kesulitan perkawinan, (3) kesulitan kehamilan dan membesarkan anak, (4) masalah keuangan dan usaha, (5) transisi pekerjaan keluarga, (6) kesulitan perawatan keluarga dan sakit, (7) kehilangan anggotan keluarga, (8) transisi keluar dan masuknya anggota keluarga, (9) masalah keluarga dan kaitannya dengan hukum.

Dampak Perceraian

(22)

12

berdasarkan suatu penelitian yakni meningkatnya autonomi, kemampuan pribadi, kepedulian diri, dan kesuksesan dalam pekerjaan dibanding menikah. Keuntungan ini mungkin berhubungan dengan kebebasan dan independen yang dimiliki pasangan serta dipengaruhi oleh dukungan sosial dari lingkungan pasangan. Adapun dilihat dari dampak negatifnya, perceraian dapat meningkatkan stress dalam kehidupan yang ditandai dengan hilangnya sesuatu yang berharga dan perubahan transisi kehidupan. Hal berharga yang hilang setelah paska bercerai yakni hilangnya nilai terhadap hubungan, emosional dan sumber daya dari adanya hubungan yang terputus. Selain itu, beberapa studi terdahulu pun menunjukkan bahwa perceraian membawa dampak pada tinggi ataupun rendahnya kesejahteraan pada pasangan. Salah satu analisis memaparkan bahwa pasangan yang bercerai dan berumur lebih tua memiliki dampak lebih negatif pada kesehatan laki-laki dibandingkan perempuan (Williams & Umberson 2004). Selain itu, perceraian juga memberikan efek negative pada kesehatan mental, fisik, dan kesejahteraan ekonomi perempuan (Smock 1994) serta memberikan efek negatif terhadap hubungan keluarga laki-laki (Seltzer 1991), jaringan dan integrasi sosial (Gerstel et al 1985).

Dilihat dari perbedaan inisiator dan noninisiator dalam pengajuan gugatan perceraian, diketahui bahwa inisiator memiliki adaptasi paska bercerai yang lebih tinggi dibanding noninisiator sehingga dampak negatif yang diakibatkan oleh perceraian menjadi lebih rendah dirasakan oleh inisiator. Adapun jika dilihat dari jenis kelamin pasangan, diketahui bahwa perceraian lebih meningkatkan depresi pada perempuan dibandingkan laki-laki (Marks&Lambert 1998). Jika teori tersebut benar, maka fenomena perceraian saat ini dimana perempuan menjadi inisiator dalam menggugat cerai suaminya dapat berakibat positif maupun negatif bagi perempuan yang bercerai.

Kesejahteraan Psikologis

(23)

13

Puspitawati (2005) indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi kesejahteraan psikologis seseorang yakni diukur dari tingkat stress, sakit jiwa, tingkat bunuh diri, tingkat perceraian, tingkat aborsi, dan tingkat kriminal. Adapun Shapiro Adam (1999) menggunakan tiga buah indikator untuk mengukur kesejahteraan psikologis dari penelitian sebelumnya dan indikator tersebut yaituself esteem, tingkat depresi dan kebahagiaan.

Self esteem merupakan faktor yang penting dalam kehidupan individu karena dapat membuat individu merasa bahagia dan berdampak naik pada kesehatan individu, keputusan dalam berkarir, dan mencari jalan keluar yang dihadapi dalam kehidupan.Self esteemdiartikan sebagai penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan dan penerimaan orang lain terhadap individu. Selain itu, menurut Watts Franklin (2004) self esteem diartikan sebagai bagaimana individu memikirkan dan merasakan sesuatu tentang dirinya sendiri. Hal tersebut dapat diketahui dari bagaimana cara individu melihat, mengetahui kemampuan pribadi, berhubungan dengan orang lain, dan harapan individu terhadap masa depan. Self esteem

merupakan suatu cara evaluasi diri baik secara positif maupun negatif. Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya sendiri dan diakui atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan atas dirinya. Salah satu penelitian memaparkan bahwa seringkali terdapat ketimpangan antara bagaimana individu dipandang oleh lingkungan dengan bagaimana individu melihat dirinya sendiri.

Penyesuian dan pengalaman distress setelah bercerai merupakan dua hal yang berhubungan dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktornya yakni persepsi individu terhadap pernikahan. Individu yang merasa pernikahan merupakan komitmen seumur hidup memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi setelah bercerai dibanding individu yang berpandangan bahwa pernikahan merupakan hubungan yang dapat datang dan pergi. Secara umum, dapat diartikan individu yang sangat setuju bahwa adanya perilaku menyimpang setelah bercerai dilaporkan memiliki tingkat depresi yang lebih besar paska bercerai dibanding individu yang sedikit setuju dengan adanya perilaku menyimpang. Selain itu, hal lainnya yang ditemukan dari salah satu penelitian terdahulu menunjukkan bahwa individu yang bercerai dan berasal dari pernikahan yang memiliki tingakt stress yang tinggi dilaporkan mempunyai tingkat kebahagiaan yang baik sejalan dengan perceraian.

(24)

14

memperlihatkan tingkat konflik yang tinggi tetapi salah satu atau pasangan diketahui masih merasa tidak bahagia (Amato & Hohmamn 2007). Di samping itu diketahui juga bahwa ketika individu yang mengakhiri pernikahannya dengan kondisi konflik yang tinggi, kebahagiaan dan kesejahteraan mereka cenderung meningkat. Hal ini juga berlaku untuk sebaliknya yakni ketika pernikahan berakhir karena konflik yang kecil maka kebahagiaan dan kesejahteraan mereka cenderung menurun.

Penelitian terdahulu menjelaskan bahwa kontribusi bekerja dapat berdampak pada kesehatan mental apabila pendapatan seseorang dalam bekerja bertambah. Selain itu, Ross et al (1990) memaparkan bahwa kontribusi bekerja baik pada perempuan maupun laki-laki dapat berdampak dalam menurunkan level depresi, kecewa dan distress psikologi. Dilihat dari perbedaan jenis kelamin, dampak yang ditimbulkan karena perpisahan dan perceraian memiliki efek stress yang lebih besar pada perempuan yang menikah maupun perempuan tidak menikah (Campbell et al 1976). Selain itu, di dalam hasil penetian terdahulu pun ditemukan bahwa perceraian lebih berdampak pada kesejahteraan psikologis pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dibuktikan dengan tingkat stress perempuan yang tinggi, sedangkan kebahagiaannya lebih rendah dibandingkan laki laki, sejalan dengan perceraian. Di samping itu, hasil penelitian Rogers (1999) yang memaparkan bahwa peningkatan pendapatan perempuan yang menikah secara signifikan juga diketahui berdampak pada kesejahteraan positif pada dirinya dan negatif pada laki-laki.

Hubungan Sosial

House et al (1988) memaparkan bahwa hubungan sosial berpengaruh pada kesehatan dan kesejahteraan individu. Jika dilihat dari dimensi di dalamnya, hubungan sosial dapat dijelaskan ke dalam tiga subdivisi yakni integrasi sosial, jejaring sosial, dan konten hubungan (House et al 1988). Integrasi sosial dan konten hubungan merupakan dua subdivisi yang dapat digunakan untuk mengukur kuantitas dan kualitas dari hubungan sosial, sedangkan jejaring sosial digunakan untuk melihat karakteristik hubungan yang berlangsung dan tipenya.

Integrasi sosial dapat dijelaskan sebagaisuatu subdivisi yang digunakan untuk melihat kuantitas dari hubungan sosial dan biasanya diukur dari frekuensi hubungannya.Integrasi sosial juga dapat dikonseptualisasikan sebagai jumlah peran yang penting yang dimiliki seseorang seperti teman, bos, atau pernikahan (Thoits 1983). Selain itu, integrasi sosial dapat diukur dengan melihat integrasi sosial baik secara formal maupun informal dalam kehidupan seseorang (Veroff et al 1981).

(25)

15

diterima serta mengubah reaksi emosional individu. Pada permasalahan perceraian, dukungan sosial merupakan sub divisi yang berhubungan pada adaptasi pasangan paska bercerai. Hal ini didukung oleh Cohen (1985) yang memaparkan bahwa suatu individu yang memiliki dukungan dari teman dan keluarga yang positif akan berdampak lebih baik terhadap kesehatan tubuh.

Jejaring sosial merupakan salah satu hal yang menjadi kekuatan pasangan di dalam pernikahan (Johnson 1991). Hal tersebut menunjukkan karakterisitik hubungan sosial individu seperti tipe hubungan individu, intensitas bertemu, dan aktivitas yang dilakukan ketika bertemu. Pada kondisi keluarga yang bercerai, perubahan yang signifikan bukan hanya berdampak pada hubungan pasangan saja, tetapi pada jejaring sosial pasangan juga. Contohnya yakni ketika pasangan bercerai, banyak pasangan yang kehilangan teman akibat berpindah tempat tinggal (Wang & Amato 2000). Di samping itu, jejaring sosial juga dipengaruhi oleh umur individu yang mana diketahui dari hasil penelitian Studi terdahulu pun menunjukkan bahwa individu yang lebih tua lebih sedikit memiliki teman dibanding individu yang lebih muda, meskipun hubungan kedekatannya jauh lebih dekat individu yang lebih tua. Orientasi yang dapat dijelaskan pada hubungan individu yang lebih tua yakni menginvestasikan waktu yang dimiliki dengan cara memperdalam dan menjaga hubungan yang telah terjalin karena dirinya menyadari bahwa kondisi fisiknya sudah tidak seperti sewaktu muda (Cartensen et al 1999).

Berdasarkan penelitian di tahun 1970-an diketahui bahwa orang yang menikah memilki kesehatan mental yang lebih baik dibanding tidak menikah (Gove & Tudor 1973) dan hal yang sama pun dipaparkan oleh Gerstel, Reissman dan Rosenfield (1985) bahwa orang yang bercerai memiliki kesehatan mental yang kurang baik karena kehilangan integrasi sosial. Adapun jika dilihat dari aspek konten sosial, House et al (1988) menjelaskan bahwa dari ratusan studi yang ada ditemukan hubungan yang positif antara dukungan sosial dengan kesejahteraan, sedangkan dukungan sosial (positif) dan hubungan yang tegang (negatif) memiliki efek yang berlainan pada kesejahteraan.

(26)

16

METODE

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional yang didalamnya juga menggunakan pendekatan retrospektif yakni, pengukuran variabel yang dilakukan dalam satu kali waktu yang bersamaan pada obyek yang berbeda dan menggunakan metode survei dengan menanyakan kondisi enam bulan pertama dan kondisi saat ini paska perceraian. Adapun pemilihan tempat dipilih secara purposive di Kabupaten Cianjur. Pertimbangan dari pemilihan lokasi tersebut yakni karena Kabupaten Cianjur menduduki peringkat ke-6 terbanyak di Jawa Barat dalam tingkat perceraian hidupnya (BPS 2012) dan dilihat dari kondisi demografinya diketahui masih kental dengan lingkungan pedesaan serta sebagian besar penduduknya bekerja di bidang pertanian. Adapun lokasi tepatnya keberadaan populasi, salah satu ketua serikat Provinsi Pekka (Perempuan Kepala Keluarga) Kabupaten Cianjur menyatakan bahwa sebanyak 70 persen dari kadernya merupakan orang tua tunggal dan diketahui lima dari kecamatan yang ada di Cianjur, terdapat dua desa dengan populasi anggota Pekka terbanyak2. Kedua desa tersebut yakni Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet dan Desa Sindang Laya, Kecamatan Cipanas. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2013.

Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh

Contoh yakni ibu orang tua tunggal yang memiliki anak dan telah bercerai hidup lebih dari enam bulan serta tidak menikah lagi. Penetapan contoh ini dipilih secaraconvinience method, yakni didasarkan ketersediaan elemen dan kemudahan untuk mendapatkan contoh. Data ketersediaan contoh didapatkan dari tujuh belas rukun tetangga (RT) di Desa Sindang Laya dan Sukanagalih dengan pertimbangan, kedua desa tersebut merupakan desa dengan anggota Pekka terbanyak. Setelah data ibu sebagai orang tua tunggal dari tiap RT didapatkan, kemudiaan contoh dipilih sesuai dengan kriteria penelitian. Setelah contoh didapatkan, peneliti langsung mendatangi rumah contoh dan mewawancarainya jika diizinkan. Hal ini dilakukan sampai tercapainya target contoh sebanyak 60 orang. Selain itu, peneliti pun melakukan depth-interview kepada dua orang contoh yang dapat dilihat di Lampiran 13.

2

(27)

17

Purposive

Convinience method

Gambar 2 Jumlah dan cara pemilillihan contoh

Jenis dan Cara Pengukuran Data

Jenis data yang dikumpulkan mencakup data primer dan sekunder. Data primer meliputi karakteristik ibu orang tua tunggal dan mantan pasangannya pra dan paska bercerai (umur, pendidikan, dan pendapatan), karakteristik keluarga (lama menikah, jumlah tanggungan, jumlah anak, dan pendapatan), dampak perceraian, kesejahteraan psikologis, dan hubungan sosial ibu orang tua tunggal. Semua data primer didapatkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner dengan pertanyaan terbuka dan tertutup kepada contoh. Adapun data sekunder meliputi besarnya angka perceraian di Kabupaten Cianjur dan banyaknya kelompok Pekka di Kabupaten Cianjur.

Instrumen pengukuran kesejahteraan psikologis diacu dari Shapiro Adam (1999) yang menggunakan 3 indikator pengukuran yakni tingkat depresi (CES-D), self esteem (Rosenberg1965), dan kebahagiaan (Shapiro Adam 1999). Adapun instrumen hubungan sosial didasarkan teori House et all (1988) yang mengukur dalam 3 indikator yakni hubungan sosial, jejaring sosial, dan dukungan sosial. Instrumen dukungan sosial diacu dari Zimet, Dahlem dan Farley (1988), sedangkan integrasi sosial diacu dari Umberson et al (1996) dan jejaring sosial dibuat berdasarkan teori House et al (1988). Sementara dampak perceraian pun dibuatberdasarkan teori Smock (1994) dan Gerstel et al (1985). Jenis dan pengukuran data dapat dilhat secara lengkap di Lampiran 3.

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu verifikasi,

coding, entry, cleaning, dan analisis. Verifikasi bertujuan untuk memeriksa konsistensi informasi yang terkumpul, sedangkan penyusunan coding

merupakan pemberian kode tertentu yang disesuaikan dengan jawaban pertanyaan dalam kuisoner yang bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam mengentri data. Setelah data dientri, dilakukan cleaning data untuk memastikan tidak ada kesalahan entri data. Selanjutnya data diolah dan

Desa Sindang Laya, Kecamatan Pacet

Desa Sukanagalih, Kecamatan Cipanas

30 contoh 30 contoh

(28)

18

dianalisis menggunakan program Microsoft excel 2007 dan Statistical Program for Sosial Science (SPSS) version 16.0 for Windows. Pengolahan dan analisis secara deskriptif dan inferensia (uji regresi linear berganda dan korelasi Pearson (paired sample T-test) dilakukan menggunakan SPSS.

Instrumen dibuat dalam dua kondisi yang berbeda yaitu enam bulan pertama paska perceraian dan kondisi saat ini dengan total item pertanyaan pada masing masing kondisi tersebut sama. Hasil pengujian reliabilitas pada instrumen pengukuran tersebut menunjukkan bahwa instrumen yang digunakan reliabel dengan cronbach alpha yakni 0.62 dan 0.75 pada hubungan sosial, 0.83 dan 0.67 pada dampak perceraian dan 0.89 dan 0.83 pada kesejahteraan psikologis di enam bulan pertama dan saat ini paska perceraian (Lampiran 5). Total pertanyaan pada pengukuran kesejahteraan psikologis yakni 31 item yang terdiri dari tingkat depresi (20), self esteem

(10), dan kebahagiaan (1). Adapun pengukuran hubungan sosialtotal pertanyaannya 22 item yakni integrasi sosial (5), jejaring sosial (6), dan dukungan sosial (11).

Pertanyaan yang diajukan pada instrumen kesejahteraan psikologis dan hubungan sosial dijawab dengan memilih satu dari tiga pilihan jawaban yaitu tidak pernah (skor 1), kadang-kadang (skor 2), sering (skor 3). Skor untuk mengukur kesejahteraan psikologis dan hubungan sosial yang didapatkan kemudian dijumlahkan dan dikategorikan menjadi tiga tingkatan berdasarkan interval kelas yakni tinggi, sedang dan rendah.Item pertanyaan pada kesejahteraan psikologis yaitu 31 buah dengan skor tertinggi 93 dan terendah 1, sedangkan dampak perceraian ada 32 buah pertanyaan dengan skor tertinggi 96 dan terendah 1. Adapun item pertanyaan hubungan sosial yakni ada 22 pertanyaan dengan skor tertinggi 66 dan terendah 1. Data dan cara pengolahan dapat dilhat secara lengkap di Lampiran 4.

Interval kelas = Skor maksimum-skor minimum jumlah kategori

Definisi Operasional

Contoh adalah ibu yang berasal dari keluarga yang mengalami perceraian hidup dan berperan sebagai kepala keluarga dan tidak menikah kembali.

Karakteristik keluargaadalah kondisi keluarga yang mencakup demografi dan sosial ekonomi keluarga. Hal ini dilihat dari usia orangtua, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, riwayat perceraian, lama perceraian, dan jumlah anggota keluarga (besar keluarga).

Pendapatan adalah penghasilan contoh ataupun mantan pasangan perbulan yang didapatkan dari upah atau gaji suatu pekerjaan yang dilakukannnya pada pra dan paska perceraian.

Pendapatan keluargaadalah jumlah pendapatan contoh dan mantan suami tiap bulannya pada pra dan paska perceraian.

(29)

19

Pekerjaan adalah status pekerjaan contoh ataupun mantan suamiyang dikelompokkan menjadi tujuh kelompok jenis pekerjaanyakni tidak bekerja, buruh, berdagang atau jasa, wiraswasta, PNS, guru honorer dan lainnyapada pra dan paska perceraian.

Umur adalah umur contoh ataupun mantan pasangan pada saat menikah, bercerai, dan saat pengambilan data dilakukan.

Lama perceraian adalah lamanya waktu perpisahan pasangan terhitung dari keputusan untuk bercerai.

Keluarga orang tua tunggal adalah keluarga yang cerai hidup secara hukum atau tidak dengan lama bercerai lebih dari enam bulan, tidak menikah kembali dan terdiri dari contoh dan anak.

Dampak perceraian adalah keadaan sosial, ekonomi, psikologis dan fisik contoh yang dilihat di kondisi enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun) paska perceraian.

Hubungan sosial adalah kuantitas, kualitas dan kedekatan individu dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial (keluarga, teman ataupun orang lain di sekitarnya) yang dilihat di kondisi enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun) paska perceraian.

Kesejahteraan Psikologis adalah kondisi terpenuhinya self esteem, kebahagiaan, dan rendahnya tingkat stress contoh di kondisi enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun) paska perceraian.

Dukungan sosial adalah dorongan baik materi maupun non materi yang diberikan oleh keluarga atau teman kepada contoh di kondisi enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun) paska perceraian.

Integrasi sosial adalah kuantitas dari hubungan sosial yang diukur dari frekuensi interaksi sosial contoh yang terjadi di kondisi enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun) paska perceraian.

Jejaring sosial adalah tipe hubungan individu, intensitas bertemu, dan aktivitas sosial yang dilakukan contoh di kondisi enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun) paska perceraian.

Kebahagiaanadalah kondisi senang (subyektif) yang dirasakan oleh contoh di kondisi enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun) paska perceraian. Penerimaan diri (self esteem) adalah penilaian diri contoh yang

dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan dan penerimaan orang lain terhadap contoh di kondisi enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun) paska perceraian.

(30)

20

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Karakteristik Ibu, Mantan Pasangan dan Keluarga Orang Tua Tunggal

Sebanyak setengah dari seluruh ibu orang tua tunggal berasal dari keluarga yang memiliki riwayat bercerai dan satu dari tiga orang ibu memiliki riwayat teman yang sebelumnya mengalami perceraian. Karakteristik ibu dan keluarga yang ditunjukkan dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa ibu paling banyak menikah di umur dewasa awal (18-40 tahun) yakni sebesar 56.7 persen, sedangkan lainnya menikah diumur remaja (12-17 tahun). Adapun umur ibu ketika bercerai paling banyak berada dikategori umur yang sama (dewasa awal sebesar 91.70%), sedangkan lainnya berada pada kategori remaja dan dewasa madya. Saat ini sebagian besar (61.7%) umur ibu berada pada kategori umur dewasa awal. Selain itu, sebesar enam puluh persen ibu diketahui berpendidikan akhir SD (6.6 tahun) dan lebih dari sebagian besar ibu (58.3%) lulus dari tingkat pendidikan SD, SMP ataupun SMA. Sementara itu, jenis pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh ibu orang tua tunggal pada pra dan paska perceraian berturut turut yakni tidak bekerja (76.70%) dan buruh (35%) dengan pendapatan ibu rata-rata baik pra (Rp 93 083) maupun paska (Rp 659 844) perceraian berada pada kategori rendah. Pendapatan ibu pada pra perceraian terendah sebesar Rp 0, sedangkan tertinggi Rp 900 000. Pendapatan paling tinggi pada pra perceraian diketahui berasal dari ibu yang bekerja sebagai buruh fotokopi. Sementara pendapatan paska perceraian diketahui terendah yaitu Rp 0, sedangkan tertinggi yakni Rp 6 000 000. Pendapatan yang tertinggi berasal dari ibu yang bekerja sebagai penyanyi karaoke.

Tabel 1 Sebaran karakteristik ibu dan keluarga

Variabel Min Max Rata-rata ± SD

Karakteristik ibu orang tua tunggal

Umur menikah (th) 12 37 18.65±4.33

Umur bercerai (th) 16 51 33.10±8.17

Umur saat ini(th) 21 63 38.18±8.76

Pendidikan (th) 0 16 6.63±3.75

Pendapatan pra

(Rp/bln) 0 900000 93083±211794

Pendapatan paska

(Rp/bln) 0 6000000 659844±932 806

Karakteristik mantan pasangan

Umur cerai (th) 21 68 38.55±10.97

Umur saat ini (th) 23 73 44.10±11.05

Pendidikan (th) 0 18 7.60±3.85

Pendapatan pra

(Rp/bln) 0 5000000 882526±1030187

Karakteristik Keluarga

(31)

21

Variabel Min Max Rata-rata ± SD

(tahun)

Jumlah tanggungan pra 1 9 4.20±1.715

Jumlah tanggungan

paska 1 8 3.58±1.807

Jumlah anak pra 0 7 2.98±1.672

Jumlah anak paska 1 7 2.97±1.615

Pendapatan pra

(Rp/bln) 0 5300000 1072017±930930

Pendapatan paska

(Rp/bln) 0 6000000 814038±1093292

Lebih dari lima puluh persen mantan pasangan ketika bercerai dan saat ini berada pada kategori umur dewasa awal dan dewasa madya. Sementara pendidikan akhir yang ditempuh mantan pasangan yakni memasuki jenjang SMP kelas satu (7.6 tahun) dan sebesar 68.3 persen mantan pasangan lulus dari jenjang pendidikan SD, SMP, ataupun SMA. Adapun jenis pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh mantan pasangan pada pra perceraian yakni buruh dan sebagian besar (86.8%) pendapatan mantan pasangan berada dikategori rendah dengan pendapatan rata-rata Rp 882 526. Adapun pendapatan yang terendah yakni Rp 0, sedangkan tertinggi Rp 5 000 000. Pendapatan tertinggi berasal dari mantan pasangan yang bekerja sebagai guru.

Karakteristik keluarga orang tua tunggal yang diantaranya lama menikah, jumlah tanggungan, jumlah anak, dan pendapatan, diketahui bahwa rata-rata lama perceraian ibu orang tua tunggal terkategori rendah (<6 tahun). Sementara itu, lama perceraian yang paling kecil yakni satu tahun, sedangkan paling besar yakni tiga belas tahun. Di samping itu, diketahui pula bahwa lama perceraian yang paling kecil yakni satu tahun berasal dari orang tua tunggal yang tidak lulus dari jenjang pendidikan tertentu dan lebih dari tujuh puluh persennya berasal dari ibu yang menikah di umur remaja (<18tahun). Adapun jumlah tanggungan rata rata pada saat terjadi perceraian yakni empat orang dengan jumlah tanggungan terkecil yakni satu orang dan terbesar sembilan orang. Adapun jumlah tanggungan rata-rata saat ini yaitu tiga orang dengan jumlah terkecil yakni satu orang dan terbesarnya delapan orang.

(32)

22

pra perceraian yang berasal dari mantan suami hilang atau tidak didapatkan kembali oleh ibu di paska perceraian, meskipun perceraian yang terjadi meninggalkan anak yang seharusnya masih harus dibiayai oleh mantan pasangan sebagai ayahnya.

Alasan Utama Perceraian

Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa dari 33 buah alasan perceraian yang ditanyakan kepada ibu orang tua tunggal, lima buah alasan tertinggi yang menjadi penyebab terjadinya perceraian yakni karena ketidakcocokkan secara prinsip dan perilaku, pasangan tidak menarik lagi, sibuk memuaskan ego, pasangan berbohong dan hidupnya berantakan, tidak teratur, semaunya sendiri serta tidak melakukan peran dan fungsi sebagaimana mestinya. Kelima alasan utama tersebut dipilih oleh lebih dari sebagian besar ibu orang tua tunggal. Selain itu, jumlah alasan yang paling sedikit dari perceraian ibu yakni sebanyak satu alasan dan yang paling banyak yakni sebanyak tujuh belas alasan. Rata-rata ibu memiliki alasan sebanyak 9.9 buah yang melatarbelakangi perceraian yang terjadi. Secara lengkap, alasan utama perceraian dapat dilihat pada Lampiran 6.

Tabel 2 Sebaran alasan utama perceraian ibu orang tua tunggal

No Alasan utama perceraian

Persentase Alasan

Total (%) Ya

(%) Tidak (%)

1 Tidak ada kecocokkan lagi secara prinsip dan perilaku 83.3 16.7 100.0

2 Pasangan tidak menarik lagi 75.0 25.0 100.0

3 Sibuk memuaskan ego 73.3 26.7 100.0

4 Pasangan berbohong 68.3 31.7 100.0

Hidupnya berantakan, tidak teratur, semaunya sendiri 68.3 31.7 100.0 5 Tidak melakukan peran dan fungsi sebagaimana

mestinya 65.0 35.0 100.0

Perbedaan Dampak perceraian, Hubungan Sosial dan Kesejahteraan Psikologis

Perbedaan Dampak Perceraian Berdasarkan Waktu

Data dampak perceraian di kedua kondisi paska perceraian (enam bulan pertama dan saat ini (5 tahun), menunjukkan bahwa secara keseluruhan, dampak pada enam bulan pertama setelah perceraian lebih tinggi (66.10) dibandingkan dengan dampak yang dirasakan saat ini (54.70) walaupun dampak tersebut menjadikan standar hidup keluarga ibu rata-rata menurun dibandingkan pra perceraian. Selain itu, dilihat dariSig (2-tailed)

yang menunjukkan 0.00, menggambarkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara dampak enam bulan pertama paska perceraian dengan dampak yang dirasakan saat ini.

(33)

23

dampak sosial menunjukkan Sig (2-tailed) yang kurang dari 0.05. Hal ini dapat diartikan bahwa keempat dimensi dampak perceraian memiliki perbedaaan yang signifikan dan secara umum, dampak ke arah yang buruk yang dirasakan ibu orang tua tunggal akibat perceraian menurun seiring berjalannya waktu. Perbedaan dampak perceraian secara detail dapat dilihat pada Lampiran 10.

Tabel 3 Sebaran perbedaan dampak perceraian ibu orang tua tunggal berdasarkan waktu

Variabel

Paska perceraian

Sig (2-tailed)

6 bulan pertama Saat ini

Kategori

Perceraian 0.0 41.7 58.3 66.1±11.2 0.0 88.3 11.7 54.7±7.5 0.00**

-Psikologis 1.7 38.3 60.0 23.7±6.1 1.7 90.0 8.3 17.1±3.8 0.00**

-Ekonomi 0.0 53.3 46.7 17.6±3.3 0.0 68.3 31.7 16.5±3.0 0.00**

-Sosial 0.0 50.0 50.0 14.5±2.5 0.0 58.3 41.7 13.8±2.4 0.02*

-Fisik 25.0 20.0 55.0 10.3±4.1 42.7 43.3 15.0 7.3 ±2.8 0.00**

Keterangan: R (rendah), S (sedang), T (tinggi); dampak psikologis, ekonomi, sosial, dan fisik (semakin tinggi skor, makin besar dampaknya); *signifikan padasig(2-tailed<0.05; ** signifikan padasig(2-tailed)<0.01.

Perbedaan Kesejahteraan Psikologis Berdasarkan Waktu

Data kesejahteraan psikologis di kedua kondisi yakni enam bulan pertama dan saat ini (Tabel 4), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (sig 2-tailed0.00).

Tabel 4 Sebaran perbedaan kesejahteraan psikologis ibu orang tua tunggal berdasarkan waktu

Variabel

Paska perceraian

Sig (2-tailed)

6 bulan pertama Saat ini

Kategori

Psikologis Ibu 0.0 55.0 45.0 60.0±12.1 0.0 13.3 86.7 74.4±9.1 0.00** - Tingkat Depresi 46.7 53.3 0.0 39.6±8.8 86.7 13.3 0.0 49.0±6.2 0.00**

-Self esteem 0.0 71.7 28.3 18.6±4.2 0.0 30.0 70.0 23.0±3.7 0.00** - Tingkat

kebahagiaan 40.0 36.7 23.3 1.8 ±0.8 5.0 46.7 48.3 2.4 ±0.6 0.00** Keterangan: Rendah (R), sedang (S), tinggi (T). Tingkat depresi (semakin tinggi skor, semakin baik tingkat depresinya/semakin rendah persentase, semakin baik tingkat depresinya), self esteem dan tingkat kebahagiaan (semakin tinggi skor, semakin baik self esteem dan tingkat kebahagiaannya);*signifikan padasig(2-tailed<0.05; ** signifikan padasig(2-tailed)<0.01.

(34)

(2-24

tailed) yang kurang dari 0.01. Hal ini dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kesejahteraan psikologis enam bulan pertama dan saat ini paska perceraian. Perbedaan kesejahteraan psikologis secara detail dapat dilihat pada Lampiran 11.

Perbedaan Hubungan Sosial Berdasarkan Waktu

Hubungan sosial di kedua kondisi (enam bulan pertama dan saat ini), menunjukkan bahwa hubungan sosial saat ini (38.1) lebih tinggi dibandingkan dengan hubungan sosial yang dirasakan enam bulan pertama (34.7). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan sosial ibu orang tua tunggal lebih baik pada kondisi saat ini dibandingkan enam bulan paska perceraian. Selain itu, dilihat dariSig (2-tailed) dari hubungan sosial yang dua dari tiga dimensinya kurang dari 0.01 yakni 0.00 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara hubungan sosial saat ini dengan hubungan sosial enam bulan pertama paska perceraian. Namun pada dimensi jejaring sosial, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan atau dapat diartikan bahwa kondisi interaksi sosial ibu orang tua tunggal dengan teman pada enam bulan pertama dan kondisi saat ini memiliki kecenderungan yang sama. Perbedaan hubungan sosial secara detail dapat dilihat pada Lampiran 12.

Tabel 5 Sebaran perbedaan hubungan sosial ibu orang tua tunggal berdasarkan waktu

Variabel

Paska Perceraian

Sig (2-tailed)

6 bulan pertama Saat ini

Kategori

Ibu 0.0 96.7 3.3 34.7±4.9 0.0 80.0 20.0 38.1±5.9 0.00**

- Integrasi sosial 25.0 73.3 1.7 6.9 ±1.7 6.7 83.3 10.0 8.0 ±1.8 0.00**

- Dukungan sosial 1.7 96.7 1.6 16.9±2.7 0.0 83.3 16.7 18.4±3.4 0.00**

- Jejaring sosial 1.7 80.0 18.3 11.0±2.1 1.7 66.7 31.7 11.7±2.2 0.06 Keterangan: Rendah (R), sedang (S), tinggi (T). Integrasi sosial, dukungan sosial, dan jejaring sosial (semakin tinggi skor, makin baik integrasi sosial, dukungan sosial, dan jejaring sosialnya).*signifikan padasig(2-tailed<0.05; ** signifikan padasig(2-tailed)<0.01.

Hubungan Karakteristik Ibu Orang Tua Tunggal dan Keluarga dengan Kesejahteraan Psikologis, Dampak Perceraian dan Hubungan Sosial

pada Kondisi Saat Ini

(35)

25

dengan pandangan negatif lingkungan sosial sekitarnya yang kemudian merespon terjadinya perceraian dengan acuh ataupun tidak memberikan dukungan kepada ibu.

Hubungan antara umur ibu saat ini dengan kesejahteraan psikologis dimensi tingkat depresi ditemukan signifikan positif. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi umur ibu saat ini, semakin rendah tingkat depresinya. Ibu dengan umur yang lebih tinggi diketahui mempunyai alasan yang lebih banyak untuk bercerai. Selain itu, ibu dengan umur tersebut juga diketahui memiliki kecenderungan untuk menjadi inisiator dalam perceraian sehingga ketika memutuskan untuk bercerai, kesadaran akan dampak yang diterimanya paska perceraian menjadi lebih tinggi dan menggunakannya sebagai peluang untuk menjadi individu yang lebih baik. Hal inilah yang menyebabkan ibu sebagai orang tua tunggal dengan umur saat ini yang semakin tinggi namun tingkat depresinya makin rendah. Sementara itu, hubungan lainnya yang juga ditemukan yakni hubungan positif signifikan yang ditemukan antara jumlah tanggungan dengan dampak ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah tanggungan ibu dan semakin rendah pendapatan ibu, dampak ekonomi yang dirasakan ibu semakin besar. Dilihat dari riwayat pendapatan ibu rata-rata yang cukup rendah, tidak dapat dipungkiri bahwa dengan keadaan ekonomi tersebut ditambah dengan jumlah tanggungan yang banyak berdampak pada kondisi ekonomi ibu paska perceraian. Hubungan karaktersitik ibu sebagai orang tua tunggal dengan hubungan sosial, dampak perceraian dan kesejahteraan psikologis secara detail dapat dilihat pada Lampiran 7.

Tabel 6 Sebaran hubungan karakteristik ibu orang tua tunggal dan keluarga dengan variabel dependen

Variabel DP HS KP TOTAL

PSI EKO SOS FIS TIS TDS TJS TTD TSE TKE DP HS KP Karakteristik ibu orang tua tunggal

(36)

26

Dampak Perceraian dan Hubungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Paska Perceraian

Dilihat dari keseluruhan Tabel 7, pada intinya menunjukkan bahwa perceraian membawa dampak pada kesejahteraan psikologis ibu di enam bulan pertama maupun saat ini paska perceraian, meskipun dampak yang dirasakan ke arah negatif dan semakin menurun sejalan dengan berjalannya waktu. Hal tersebut ditunjukkan dari dampak perceraian pada enam bulan pertama yang berpengaruh negatif signifikan (p<0.01) terhadap kesejahteraan psikologis dengan beta (β) sebesar 0.76. Nilai beta tersebut menggambarkan bahwa setiap kenaikan satu satuan dampak perceraian akan menurunkan kesejahteraan psikologis sebesar 0.76 poin. Adapun nilai

adjusted R2dampak perceraian terhadap kesejahteraan psikologis yakni 0.58 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sebesar 58.00 persen pada dampak perceraian di enam bulan pertama terhadap kesejahteraan psikologis, sedangkan sisanya yakni 42.00 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti. Dibandingkan dengan kondisi enam bulan pertama, dampak perceraian yang dirasakan saat ini ditemukan signifikan negatif (p<0.01) berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis denganbeta (β) sebesar0.56. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu satuan dampak perceraian akan menurunkan kesejahteraan psikologis sebesar 0.56 poin. Selain itu, nilai adjusted R2dampak perceraian terhadap kesejahteraan psikologis saat ini yakni 0.30. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat dampak perceraian berpengaruh sebesar tiga puluh persen terhadap kesejahteraan psikologis, sedangkan sisanya yaknitujuh puluh persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti.

Hubungan sosial tidak menunjukkan signifikan berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis pada dua kondisi paska perceraian. Walaupun tidak ditemukan signifikan berpengaruh, nilai beta (β) yang positif pada kedua kondisi paska perceraian menunjukkan bahwa peluang terdapatnya pengaruh signifikan pada hubungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis akan mungkin terjadi apabila ibu memaksimalkan terjalinnya hubungan sosial pada paska perceraian.

Tabel 7 Koefisien regresi hubungan sosial dan dampak perceraian terhadap kesejahteraan psikologis paska perceraian

Variabel

Kesejahteraan Psikologis

Enam bulan pertama Saat ini

β P β P

Dampak Perceraian -.76 0.00** -. 56 0.00**

Hubungan sosial .04 0.63 .08 0.50

R2 .59 .32

Adjusted R2 .58 .30

F 41.30 13.42

P 0.00** 0.00**

(37)

27

Pembahasan

Perceraian hidup merupakan permasalahan sosial yang timbul akibat rusaknya pernikahan yang terjalin (Stewart & Alison 2006). Permasalahan tersebut memberikan perubahan tersendiri pada kehidupan ibu sebagai orang tua tunggal, terutama ibu yang hidup dilingkungan pedesaan dan umumnya terlibat dalam kehidupan publik dan domestik (Zaidin 2010) di paska perceraian. Perubahan pada diri ibu tidak terlepas dari proses pengaruh dan memengaruhi lingkungan sekitar kehidupan (Bronfrenbrennner) paska perceraian dan meskipun telah melewati proses tersebut, dampak yang ditimbulkan akibat perceraian, diketahui tidak sepenuhnya memulihkan kondisi kehidupan ibu seperti kondisi sebelum perceraian.

Perubahan yang terjadi pada tingkat hubungan sosial, ekonomi, fisik, psikis, maupun kesejahteraan psikologis ibu dirasakan secara keseluruhan di dua kondisi paska perceraian (enam bulan pertama dan saat ini). Selain itu, penelitian ini juga menemukan bukti bahwa dampak yang dirasakan pada kehidupan ibu paska perceraian umumnya bertolak belakang dengan ekspektasi yang dimiliki ibu pra perceraian bahwa sejalan dengan terjadinya perceraian, dirinya akan mendapatkan dampak positif yang jauh lebih tinggi dibanding dampak negatifnya. Namun faktanya menunjukkan bahwa perceraian berdampak lebih tinggi ke arah negatif dibandingkan dampak ke arah positif. Hal ini secara langsung membuktikan bahwa perceraian berdampak pada kehidupan ibu paska perceraian, walaupun berdampak lebih buruk.

Dampak yang ditimbulkan akibat perceraian diketahui akan menurun sepanjang waktu (Booth & Amato 1991) dan bersifat temporer pada kesejahteraan (Williams & Umberson 2004). Sejalan dengan pernyataan tersebut, dibandingkan dengan kondisi kehidupan ibu pada tingkat hubungan sosial, ekonomi, fisik, psikis, maupun kesejahteraan psikologis, diketahui bahwa kondisi enam bulan pertama jauh lebih rendah dibandingkan saat ini (5 tahun). Hal tersebut menjelaskan bahwa teori yang menyatakan enam bulan pertama merupakan masa kritis untuk beradaptasi merupakan bukti yang benar adanya. Masa kritis yang ditandai dengan penurunan kondisi kehidupan secara keseluruhan di enam bulan pertama paska perceraian menggambarkan bahwa pada masa tersebut ibu sangat labil dan rentan dengan keburukan yang sangat mungkin berdampak padanya. Sementara itu, walaupun secara keseluruhan kondisi kehidupan ibu saat ini lebih baik dibanding enam bulan pertama, tetapi tidak berarti perubahan pada dampak yang dirasakan ibu dari awalnya jauh lebih buruk kemudian berganti secara keseluruhan menjadi baik seperti pra perceraian.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran dampak perceraian dan hubungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis ibu sebagai orang tua tunggal
Gambar 2 Jumlah dan cara pemilillihan contoh
Tabel 1 Sebaran karakteristik ibu dan keluarga
Tabel 2 Sebaran alasan utama perceraian ibu orang tua tunggal
+4

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mencapai tujuan pengembangan ekowisata di Laboratorium Lapangan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Hutan Pendidikan Unhas, disarankan untuk melakukan penelitian

Waduk Dalam Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2010 tentang Bendungan dijelaskan bahwa defenisi bendungan adalah bangunan yang berupa urugan tanah, urugan batu,

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir (LA) dengan judu

Hasil penelitian menunjukkan pendapatan bersih yang diperoleh usaha pembuatan keripik keladi Di Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa dalam melakukan usahanya sebesar Rp

Pembentukan tanda-tanda identitas hibrida ini melalui proses mimikri yang melibatkan peniruan, memunculkan perbedaan melalui keterselipan dan kelebihan dan akhirnya

Dalam merealisasikan alat yang akan dibuat, dilakukan perancangan alat yang meliputi rangkaian dari keseluruhan sistem dan perankitan hasil rancangan spesifikasi kerja

Teori Proses (Process theories) menjawab pertanyaan dengan mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses dari interaksi dinamis di antara orang-orang dengan etika yang

[r]