• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II AGAMA DAN PSIKOLOGI

B. Psikoanalisis dan Agama

Berkaitan dengan pemahaman agama, Freud sebagai seorang pemikir kreatif, menggunakan beberapa pandangan. Kadangkala ia menyatakan agama sebagai gangguan pikiran atau obsesi. Di lain kesempatan, ia memandang agama sebagai pemenuhan keinginan masa kanak-kanak. Dan pada kesempatan lain, ia mengatakan agama sebagai khayalan (illusion). Bagi Freud, agama sama halnya dengan pola perilaku yang lain, harus dimengerti secara dinamis, yaitu dalam kerangka perkembangan kepribadian. Ada tiga ide atau gagasan Freud yang merupakan kunci dalam karyanya dan dalam warisannya di bidang psikoanalisis.6 yakni:

Pertama, “perbuatan dan perasaan dapat ditentukan oleh motivasi yang tidak disadari”. Kunci pertama untuk membuka pemikiran Freud adalah

5

Lihat Paul W. Pruyser, A Dynamic Psychology of Religion, (New York: Harper & Row, 1968); dan Wayne E. Oates, The Psychology of Religion, (Waco TX : Word Books, 1973); dan Geoffery E.W. Scobie, Psychology of Religion, (New York: Wiley, 1975)

6

pemahaman bahwa perilaku manusia itu berdimensi dua. Perilaku itu memiliki arti lahiriah (surface meaning) yang jelas tampak tetapi juga arti terdalam (depth meaning) yang kerap tersembunyi tidak disadari. Arti yang tersembunyi itu sama penting dengan arti yang tampak, dan kerap lebih menentukan perilaku manusia. Kita ambil contoh “salah ucap” dalam bicara. Perbuatan salah ucap itu memiliki nilai lahiriah dan dapat diuraikan dengan cara yang jelas. Entah karena lelah, kurang konsentrasi atau kesamaan bunyi kata, orang dapat mengucapkan salah. Orang salah ucap itu mengucapkan kata tidak pada tempatnya sehingga terdengar lucu atau aneh. Waktu menyadari, orang itu dapat menjelaskan mengapa terjadi salah ucap itu. Misalnya:”Dengan kata itu saya sebenarnya bermaksud...”. tetapi secara psikoanalisis perbuatan mengucap salah itu juga harus dimengerti dalam arti yang lebih dalam.

Salah ucap itu terjadi pada waktu hal yang tidak disadari muncul dalam kesadaran. Memperhatikan perbuatan salah ucap itu dan memberinya arti yang lebih dinamis dapat digali dari gambaran pribadi yang pada umumnya tidak disadari. Salah ucap itu sebetulnya bukanlah peristiwa kebetulan, tetapi lebih mendasar, merupakan ungkapan pesan kepribadian yang memiliki unsur yang disadari dan tidak disadari. Perbuatan sesaat yang tampaknya kebetulan dan sambil lalu pada dasarnya merupakan lambang yang mengandung arti yang sudah terbentuk sepanjang proses pertumbuhan keperibadiannya. Hanya arti itu tidak disadari. Dalam pengertian itu, arti bersifat pribadi dan harus digali, kadang-kadang melelahkan, lewat metode katarsis yang sistematis. Bahwa perilaku memiliki arti yang jelas tampak dan tersembunyi merupakan fondasi bagi bangunan pemikiran Freud.

Kedua, gagasan pokok pemikiran Freud adalah “proses psikis adalah ketat ditentukan”. Tidak ada tindakan yang asal-asalan. Tindakan mempunyai penyebab yang mendahului yang menentukan bentuk dan kadar kekuatannya. Terkesan oleh ilmu fisika pada zamannya, yang menekankan konservasi atau pemelihaaan energi, Freud percaya bahwa perilaku manusia juga memiliki sifat

seperti itu.7 Proses pisikis adalah ketat ditentukan seperti fisik. Arti yang terkandung dalam suatu gejala tidak pernah hilang, tetapi terus-menerus mengungkapkan diri dalam berbagai cara dan muncul ke permukaan lewat peristiwa-peristiwa baru yang kadang-kadang menakjubkan. Maka untuk mengerti suatu perilaku tertentu dituntut pencarian perilaku yang mendahului yang memberi arti pada perilaku yang terjadi. Membeberkan arti itu merupakan tujuan utama psikoanalisis ala Freud. Dengan demikian orientasi psikologi adalah menuju ke masa lampau, dan perilaku pada masa kanak-kanak mendapat perhatian sebagai pola awal untuk perilaku selanjutnya.

Ketiga, Freud menyimpulkan “bahwa motivasi yang menggerakkan kita adalah kekuatan emosional”.8 Kata kunci di sisni adalah kata “emosional” yang berlandaskan pada prinsip bahwa kepribadian itu dinamis. Freud memberi penekanan besar kepada dorongan naluriah, yang muncul tak terkendali (impulsive) dan nafsu dalam kepribadian. Nafsu itu menuntut pemuasan entah dalam cara yang diterima maupun dalam cara yang tidak diterima. Dengan demikian, Perilaku khusus tersebut harus dimengerti sebagai pemecahan konflik antara diri manusia apa adanya (libido) dan segala kekuatan sosial yang hendak menjinakkannya.

Freud mengisi karir profesionalnya dengan menciptakan dan menyempurnakan teknik untuk membantu orang dan mengatur perilaku yang sudah ditentukan, yang dinamis dan kerap secara tidak sadar terkendali. Dia juga berusaha mengembangkan kerangka teoretis untuk memahami perilaku semacam itu. Meskipun agak terlalu menyederhanakan psikoanalisis Freud menjadi beberapa pengertian, konsep-konsep dalam sistem teorinya penting untuk mengerti pendekatannya pada agama.

7

lihat, Calvin S. Hall, A Primer of Freudian Psychology, (Chicago: World, 1954), hal. 4 8

Pemikiran Freud tentang kepribadian terdiri dari tiga sistem yang saling berhubungan. Secara tradisional sistem itu disebut id, ego, dan superego. Id merupakan bahan dasar yang membentuk pribadi, semacam energi awal, asli yang mengarah kepada ungkapan bebas tidak terhambat. Id itu bersifat spontan, impulsif, irasional, asosial, dan mencari kepentingan sendiri dan diatur hanya oleh kesenangan. Tetapi tidak selalu mendapatkan penyalurannya. Cara untuk pemuasan langsung mungkin tak tersedia, atau pengungkapan yang tak terkendali mungkin mendatangkan lebih penderitaan daripada yang dapat ditanggung. Jadi, dengan ancaman ketegangan dan penderitaan, kehidupan nyata dengan tak terhindarkan menghambat ungkapan id yang yang pada dasarnya tidak mau dihambat dan menuntut kompromi antara tuntutan id dan standar sosial. Kenyataan pada umumnya menghalangi pemenuhan kesenangan dan menuntut penyesuaian dengan pola yang dapat memenuhi kepuasan. Situasi seperti ini merupakan tahap perkembangan hidup penting bagi pertumbuhan agama.9

Dalam keadaan seperti itulah muncul sistem pengendalian. Ego dan superego berusaha untuk mengendalikan ungkapan id yang tak mau dihalangi untuk menghindari atau sekurang-kurangnya mengurangi ancaman ketegangan dan penderitaan. Dengan proses dinamis penundaan dan penemuan pola-pola baru, ego membuat kebutuhan id tercukupi untuk memungkinkan orang bertahan hidup di dunia nyata. Dalam proses itu superego berperan sebagai penjaga moral dengan menyediakan di depan manusia sasaran ideal (cita-cita ego) atau standar yang diterima masyarakat (hati nurani). Seluruh sistem itu bekerja secara tidak disadari dan mungkin hanya ditemukan secara samar-samar. Impian, ucapan dan kesalahan tak sengaja merupakan hal yang amat menolong dalam menemukan kegiatan id, ego dan superego.

Menurut psikoanalisis klasik, kepribadian muncul sebagai interaksi ketiga sistem itu. Freud menguraikan berbagai pola dinamis dengan mana sistem itu

9

bekerja dan bergerak, dan cara bagaimana kesenangan dan penderitaan itu dikelola. Konteks penting atau masa krisis bagi id, ego dan superego bagi Freud adalah masa kanak-kanak dalam keluarga. Dalam hubungan antara bapak-ibu-anak laki-laki, pada saat bapak-ibu-anak melewati kompleks Oedipus (Oedipus Complex) mengalami ungkapan id dan frustrasi. Pola yang paling khas dalam situasi Oedipus adalah keinginan anak terhadap ibunya, yang menempatkannya dalam persaingan dengan bapaknya. Kekuatan bapak yang lebih besar menghalangi pemenuhan langsung keinginan id, dan frustrasi itu mendorong perkembangan pengendalian ego dan superego.10

Berlatar belakang pengalaman budaya patriarki, Freud memberi banyak perhatian pada pengalaman anak laki-laki dalam persaingan segitiga bapak-ibu-anak laki-laki dalam keluarga. Tetapi Freud juga membahas situasi Oedipus dari sudut pandang anak perempuan. Secara teoretis anak perempuan tak dapat lepas dari proses dinamis yang serupa, tetapi dalam susunan yang terbaik. Proses itu disebut Kompleks Elektra (Electra Complex). Dalam situasi elektra anak perempuan menginginkan bapaknya dan harus belajar mengendalikan penekanan keinginannya, sementara ketakutan dan kebencian ibunya dilihat sebagai ancaman.

Hubungan yang kompleks dalam keluarga, sulit memberi gambaran yang benar tentang situasi Oedipus. Tetapi dalam bentuk yang paling sederhana anak menginginkan orang tua lawan jenis dan diancam oleh orang tua sama jenis, merupakan saat gawat yang melahirkan kepribadian. Dalam usaha untuk mengatasi konflik masa kanak-kanak, baik anak laki-laki maupun perempuan, menggunakan sejumlah mekanisme yaitu identifikasi, sublimasi, displacement, represi, proyeksi, pembentukan reaksi, regresi. Semua itu merupakan cara yang dipergunakan manusia yang tumbuh dalam usaha untuk mengatasi atau menyesuaikan diri terhadap frustrasi, ketidakterpenuhan keinginan, konflik dan

10

kecemasan yang terdapat dalam lingkungan keluarga pada masa kanak-kanak. Mekanisme itu bekerja tanpa disadari dan pola yang dipergunakan untuk melakukan semua itu merupakan bahan dasar yang membentuk kepribadian. Dengan cara itu kepribadian berakar dalam situasi Oedipus dan Elektra. Pada masa kanak-kanak dan anak, pola kepribadian ditetapkan secara mantap. Pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya sebagian besar merupakan pengulangan atau pengaktifan kembali pola masa kanak-kanak. Freud membantu pasiennya ke situasi kanak-kanak dan membangun kembali id, ego, dan superego supaya pasien itu dapat hidup tanpa terlalu dibebani oleh kecemasan, ketegangan, dan penderitaan.

Erik Erikson

Melalui pendekatan psikologis, Erikson merumuskan agama sebagai dorongan atau penggerak utama perkembangan perilaku. Tokoh psikoanalisis dan berpikiran kritis terhadap konsep-konsep pokok Freud. Selama di Amerika Serikat bertahun-tahun Erikson mengajar di Universitas Harvard dan bayak menulis dengan gaya yang dapat dimengerti oleh orang awam di luar bidang psikoanalisis. Gagasan-gagasannya, terutama dinamika kehidupan masa remaja, telah tersebar luas lewat banyak buku, karangan dalam majalah-majalah, dan tafsiran-tafsiran atasnya. Konsep kunci Erikson dapat ditemukan dalam bukunya Childhood and Society, terbitan revisi tahun 1963; Insight and Responsibility, tahun 1964; Identity: Youth and The Life Cycle, tahun 1959; dan Youth: Change and Challenge, tahun 1963, suatu kumpulan karangannya yang diberi pengantar sendiri oleh Erikson.11 Dalam studi biografis, Young Man Luther, terbit tahun 1958, dan Gandhi’s Truth, tahun 1969, Erikson menerapkan teori kepribadiannya pada perkembangan dua tokoh keagamaan yang terkemuka itu.

11

Lihat Erikson, Youth: Change and Challenge, diterbitkan kembali tahun 1965, dengan judul

Dalam Tahap Kehidupan Manusia (The Eight Stages of Man). Sumbangan utama Erikson bagi kemajuan teori psikoanalisis adalah pemahamannya bahwa segala kehidupan itu dinamis. Dia menerima pandangan Freud bahwa masa kanak-kanak merupakan masa penting dalam perkembangan pribadi manusia. Namun Erikson juga melihat bahwa tahap-tahap perkembangan hidup manusia yang kemudian memang tergantung pada perkembangan masa kanak-kanak sebelumnya, tetapi mengandung lebih dari sekedar pengulangan kembali penyelesaian masalah dalam situasi Oedipus. Erikson mengajukan model perkembangan delapan tahap. Dalam model delapan tahap itulah, menurut Erikson, perkembangan kepribadian harus dimengerti. Model itu dibeberkan dalam bukunya Childhood and Society yang sudah direvisi dan diperluas. Uraian dalam buku itu memberi kerangka untuk pengembangan dan penjelasan selanjutnya.12 Setiap tahap memiliki ketegangan psikodinamis, yang pemecahannya melahirkan “keutamaan” nya sendiri, yaitu kekuatan watak. Pertumbuhan tahap-tahap itu dilukiskan oleh Erikson sebagai “diagram epigenetis” (epigenetic diagram).13

Tahap Masalah Keutamaan

1. Oral Percaya x Tidak Percaya Harapan

2. Anal Otonomi x Malu dan Rasa Salah Kekuatan Kehendak

3. Genital Insiatif x Rasa Salah Tujuan 4. Laten Usaha x Rasa Rendah Diri Kemampuan

5. Remaja Identitas x Kekacauan Peran Kesetiaan

12

Lihat Erik H. Erikson, Childhood and Society, rev. Ed., New York: W.W. Norton, 1963, hlm 247-274. lihat juga Richard I. Evans, Dialogue with Erik Erikson, hal. 11-58.

13

Erik H. Erikson, Childhood and Society, rev. Ed., New York: W.W. Norton, 1963, hlm 247-274. lihat juga Richard I. Evans, Dialogue with Erik Erikson, hal. 11-58

6. Pemuda Intimasi x Isolasi Cinta

7. Dewasa Generativitas x Stagnasi Perhatian

8. Tua Integritas Diri x Putus Asa Kebijaksanaan

Keutamaan Epigenetis (Epigenetic Virtue). Dua model Erikson yang penting adalah konsep kembarnya epigenesis (epigenesis) dan keutamaan (virtue). Dengan istilah epigenesis Erikson memaksudkan munculnya tahap hidup yang satu dari tahap hidup yang lain. Delapan tahap itu berkembang berurutan. Penyelesaian secara psikologis atas masalah dalam satu tahap hidup berikutnya. Penyelesaian masalah pada tahap setiap tahap kehidupan itu melahirkan kekuatan dasar manusia, yaitu keutamaan. Istilah “keutamaan” itu tidak dihubung-hubungkan dengan istilah yang sama yang berbau keagamaan, tetapi berkaitan dengan sikap psikologis, kekuatan watak yang merupakan hasil dari perjuangan khas dalam masing-masing tahap kehidupan itu. Keutamaan itu “termaktub dalam jadwal perkembangan kepribadian dan dalam struktur dasar setiap tertib sosial”.14 Dengan demikian pertumbuhan manusia dimengerti sebagai seri atau rentetan delapan tahap yang berhubungan, masing-masing tahap hidup muncul dari tahap hidup sebelumnya dan masing-masing hidup diwarnai dan memiliki warna sendiri. Lepas dari perjuangan masing-masing tahap hidup untuk mengatasi ketegangannya, muncul kekuatan khas dari watak atau keutamaan yang memungkinkan orang bergerak maju ke tahap hidup berikutnya.

Untuk memberi gambaran tentang pola penafsiran Erikson, kita bicarakan tahap hidup pertama, tahap oral. Dalam tahun-tahun pertama hidupnya, bayi memang ada dalam keadaan siap untuk menerima ke dalam dirinya, dengan memasukkan makanan dan menerima kehangatan serta perhatian. Dalam hubungan dengan lingkungan itu, terutama dalam wujud ibu, ada ketegangan

14

awal antara kepercayaan dan ketidakpercayaan. Dalam hubungan dengan lingkungan yang amat terbatas itu si bayi belajar bahwa unsur-unsur lingkungan dapat dipercaya - ibu menyusui, menggendong, dan menentramkan. Tetapi ketidakpercayaan juga penting dalam perkembangan psikososial. Si bayi juga harus belajar apa yang dalam lingkungan tidak dapat dipercaya. Hubungan realisitis apa adanya dengan dunia merupakan hasil “perjumpaan” seimbang dengan pengalaman yang berlawanan itu. Baik percaya maupun tidak percaya dalam dirinya sendiri dapat “baik” atau “buruk”. Menurut Erikson “perbandingan tertentu antara percaya dan tidak percaya merupakan faktor yang menentukan”. Dari pertentangan antara percaya dan tidak percaya, dimana keduanya saling mengimbangi, muncullah keutamaan. Dalam tahap kehidupan pertama, keutamaannya adalah harapan, suatu kepercayaan bahwa orang tahu apa yang dapat datang dari dunia sekitarnya. Harapan bagi Erikson tidaklah ditemukan oleh kaum agamawan untuk menyebut ketakutan, tetapi kepercayaan yang diperoleh bayi dari perjuangan seimbang antara percaya dan tidak percaya. Agama dapat mensucikan harapan dan membuat upacara untuk memberi wujud tampaknya, tetapi harapan itu lahir dan dikembangkan dalam hubungan orang tua dan anak.

Harapan merupakan dasar atau basis bagi segala kekuatan. Sebegitu harapan itu muncul, jalan untuk tahap berikutnya (epigenesis) disiapkan dengan masalah dan kemungkinan khasnya sendiri. Karya Erikson berpusat pada pengembangan delapan tahap hidup manusia. Pemikiran tentang diagram epigenetik ini mendorong munculnya pembicaraan yang hangat, baik secara ilmiah maupun populer tentang identitas dan krisis identitas. Erikson mengerti perjuangan pokok pada masa remaja adalah antara identitas dan kebingungan peran. Pada masa remaja, seseorang menghadapi masalah dalam menemukan siapa dirinya yang sebenarnya atau identitas diri, tumbuhlah kemampuan untuk mengikat kesetiaan pada suatu pandangan, ideologi.

Sumbangan Psikoanalisis untuk Psikologi Agama

Sebagai perintis batas yang kabur antara ilmu dan agama, psikoanalisis jelas sudah menyumbang pemikiran bagi psikologi agama. Psikoanalisis telah membangkitkan cara baru dalam melihat dan membahas gejala lama, yaitu hubungan psikologi dan agama dan memperluas dasar untuk memahami pengalaman keagamaan. Sumbangan penting psikoanalisis bagi psikologi agama adalah bahwa faktor-faktor yang ada di luar bidang kesadaran mempengaruhi pembentukan dan kelanjutan hidup keagamaan. Psikoanalisis menanyakan bagaimana dan sejauh mana perilaku harus dipahami melebihi artinya yang biasa dan jelas.

Pada umumnya teori psikoanalisis skeptis bahwa agama merupakan sesuatu yang lebih sekedar cara yang diterima bersama untuk mengatasi ketegangan, kecemasan dan penderitaan. Agama tertentu jelas sesuai dengan gambaran agama sebagaimana digambarkan oleh psikoanalisis itu. Tetapi jelas pula merupakan kesalahan besar bila mengingkari bahwa agama itu baik menekan maupun menghibur. Kebanyakan agama menuntut pengorbanan atas naluri dan meringankan pengorbanan itu dengan menjanjikan kompensasi atau hadiah yang memberi imbangan atas derita yang diakibatkan oleh pengorbanan itu.15 Psikoanalisis jelas memiliki keterbatasan. Karena bermaksud membangun “jalan emas menuju ketidaksadaran” dimensi agama, beberapa catatan harus dikemukakan.16

Pertama, psikoanalisis telah terlalu menekankan arti terdalam/batiniyah perilaku manusia dengan kecenderungan mengesampingkan arti lahiriahnya yang tampak. Apakah arti perilaku manusia tidak dapat dibahas tanpa mencari-cari arti terdalamnya? Apakah salah satu ucap harus dan selalu mengisyaratkan arti

15

Lihat Robert W. Crapps, An Introduction to Psychology of Religion, (Macon, Georgia: Mercer University Press, 1986), bab 1 dan 2

16

Lihat Robert W. Crapps, An Introduction to Psychology of Religion, (Macon, Georgia: Mercer University Press, 1986), bab 3 dan 4

terdalamnya? Kita harus menjaga kepekaan terhadap arti terdalam yang mungkin terkandung dalam perilaku. Tetapi kepekaan itu tak perlu membuat kita tidak menghargai, lalu tidak memperhitungkan arti lahiriah yang segera tampak yang ada pada perilaku. Bukanlah lebih tepat menemukan arti lahiriah dari perilaku yang kita lihat terjadi, sebelum terlalu cepat mencari arti terdalamnya?

Kedua, psikoanalisis amat berguna untuk menjelaskan agama “alamiah” yang tumbuh dan berkembang berpangkal dari pengalaman hidup manusia, tetapi tidak mampu menanggapi agama yang “diwahyukan”. Secara tak terucap psikoanalisis mempunyai pengandaian bahwa iman atau agama menjadi milik manusia berpangkal pada kodratnya, dan bahwa agama lahir dalam situasi awal dalam kaitan dengan masa kanak-kanak. Dengan cara itu agama dipersempit menjadi sebatas fungsinya saja. Tesis semacam itu menjelaskan salah satu dimensi agama, dimana para penganutnya berhenti, tidak ada peningkatan dan cukup puas dengan kodratnya. Tetapi ada penganut agama yang bertumbuh lebih jauh dari kepercayaan dan praktik agama alamiah itu. Penganut agama itu tidak hanya terdorong secara alamiah untuk sampai pada rasa dan kekuatan hidup yang tak terpahami, tetapi juga merasa dirinya ditangkap dan dipegang oleh pewahyuan dan perjumpaan. Agama yang diwahyukan kerap terurai dalam gambaran-gambaran dan pelukisan-pelukisan yang isinya adalah kenyataan literalisme.

Ketiga, dengan menekankan masa silam sebagai penyebab dan pendorong perilaku manusia, psikoanalisis ada bahaya membuat orang melepaskan tanggung jawabnya. Freud dan para penerusnya sebenarnya memperluas tangung jawab manusia. Meskipun demikian psikoanalisis memberi peluang kepada orang yang tidak bertanggung jawab untuk tidak bertanggung jawab. Bagaimana orang dituntut bertanggung jawab untuk perilaku mereka bila kekuatan hebat di luar penguasaan pengendalian mereka bergerak melawan mereka? Dengan menekankan masa lampau yang dinamis, psikoanalisis dapat membuat orang sulit menerima tanggung jawab pada saat sekarang ini. Kesalahan dalam perilaku

terlalu mudah lalu dicari kambing hitam pada orang tua dan masyarakat. Atau dalam bahasa agama, orang salah karena “ulah setan” lalu mengapa harus bertanggung jawab?

Keterbatasan-keterbatasan psikoanalisis itu tentu saja tidak perlu meniadakan peran pentingnya dalam menjelaskan iman dan gagasan keagamaan, dan kaum agamawan perlu memanfaatkannya. Adapun hasil-hasil usaha psikoanalisis yang dapat dimanfaatkan adalah konsep-konsepnya, sebagai berikut:17

(a) manusia memiliki dorongan dan kekuatan yang mendesak mereka untuk mendapatkan rasa aman dan rasa terpenuhi di bidang keagamaan, dan dalam arti itu manusia adalah bersifat religius dan tampil sebagai homo religius; (b) Perilaku keagamaan ada kesamaan dengan perilaku-perilaku manusia yang

lain, mengandung arti yang lebih mendalam. Maka hanya secara terpotong-potong, parsial, bila diartikan secara fungsional;

(c) Hubungan dengan orang tua ikut memberi bentuk dan emosi dalam pemahaman awal anak tentang Tuhan;

(d) Tanggapan atau reaksi negatif, terutama seks, agresi dan ketakutan, yang ditekan merupakan gejala yang tidak sehat pada (penghayatan) agama;

(e) Tuhan dan agama dapat menjadi khayalan dalam arti lahir karena tuntutan kebutuhan psikologis semata;

(f) Agama autoritarian dapat menghambat perkembangan penuh kemampuan manusia dan memperkecil kemampuan manusia untuk berpikir dan berbagi rasa.

17

Lihat Robert W. Crapps, An Introduction to Psychology of Religion, (Macon, Georgia: Mercer University Press, 1986), bab 3 dan 4

Dokumen terkait