• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga (studi komparatif teori Al-Ghazali dan teori Komadt)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga (studi komparatif teori Al-Ghazali dan teori Komadt)"

Copied!
246
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN KARAKTER

MELALUI

PENDIDIKAN KELUARGA

(Studi Komparatif Teori Al-Ghazali dan Teori Kornadt)

Disertasi

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat memperoleh

gelar doktor dalam Kajian Islam

Oleh

Charletty Choesyana Sofat

98.3.00.1.09.01.0065

Promotor:

Prof. Dr. Zakiah Daradjat

Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

(2)

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Charletty Choesyana Soffat NIM : 98.3.00.1.09.01.0065 Tempat /Tgl Lahir : Jakarta, 07 Maret 1957

Pekerjaan : Dosen di Fakultas Agama Islam

Universitas Islam Asy-Syafi’iyah, Jatiwaringin Alamat : Perumahan Buaran Regency, Blok C No. 10 Kel. Pondok Kelapa. Kec.Duren Sawit.

Jakarta Timur

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi yang berjudul: “PENGEMBANGAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN KELUARGA” (Studi Komparatif Teori Al-Ghazali dan Teori Kornadt), adalah benar-benar merupakan karya asli saya, kecuali kutipan yang dijelaskan sumbernya.

Apabila ternyata di kemudian hari terbukti tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi yang berakibat pada pencabutan gelar Doktor.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, 10 Mei 2008 Yang membuat pernyataan,

(3)

BUKTI PENYERAHAN DISERTASI

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Charletty Choesyana Soffat NIM : 98.3.00.1.09.01.00065 Konsentrasi : Kajian Islam

Judul : PENGEMBANGAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN KELUARGA

(Studi Komparatif Teori Al-Ghazali dan Teori Kornadt)

Dengan ini menyampaikan bahwa guna memenuhi persyaratan administratif, saya telah menyerahkan disertasi kepada pihak-pihak yang tertera di bawah ini:

Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA (...) (Ketua Sidang/Merangkap Penguji)

Prof. Dr. Zakiah Daradjat (...) (Pembimbing/Merangkap Penguji)

Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono (... ) (Pembimbing/Merangkap Penguji)

Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA (...) (Penguji)

Prof. Dr. Suwito, MA (...) (Penguji)

Perpustakaan SPs UIN Jakarta (...) (beserta CD Disertasi bentuk file PDF)

Perpustakaan Pusat UIN Jakarta (...) (beserta CD Disertasi bentuk file PDF)

Demikian bukti penyerahan ini dibuat dengan sesungguhnya agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, Maret 2010

Yang menyatakan,

(4)

ABSTRAK

Fenomena kehidupan sosial kemasyarakatan di Indonesia pada masa kini yang diwarnai dengan maraknya tindakan agresi, merupakan indikasi tengah terjadi krisis karakter atau krisis akhlak bangsa Indonesia. Beberapa ahli di bidang agresi berpendapat bahwa agresi adalah tingkah laku yang mempunyai potensi untuk melukai secara fisik atau merusak sesuatu yang dimiliki orang lain seperti harga diri, status sosial dan hak milik. Menurut Kornadt (1981), tindakan melanggar tabu dan pelanggaran hukum yang berlaku serta menolak konsensus kelompok, termasuk dalam definisi agresi.

Ditinjau dari segi dakwah, pendidikan, sosial, politik, ekonomi dan hukum, “Pengembangan Karakter melalui Pendidikan Keluarga” penting untuk diteliti. Kondisi lingkungan yang berubah cepat dan dinamis memerlukan pemikiran-pemikiran baru dalam pendidikan keluarga terutama pada era digital ini. Kehidupan keluarga sebenarnya lebih kompleks dibanding dunia pendidikan, tetapi pendekatan psikologis terhadap masalah-masalah keluarga masih sedikit sekali yang dilakukan secara profesional. Mengkaji pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga adalah bermanfaat. bagi keislaman, keilmuan, keindonesiaan dan kemanusiaan.

Hasil penelitian Achmad Mubarok (1999) membuktikan kualitas tingkah laku manusia sangat dipengaruhi oleh kualitas nafs. Sistem nafs yang dimiliki manusia menyebabkan tingkah laku manusia dapat diukur dengan kriteria tanggungjawab. Selain itu, hasil penelitian Charletty Choesyana Soffat (1998) membuktikan, antara lain: Ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara praktik pengasuhan yang meningkatkan motif agresi dari orang tua dengan motif agresi anak Ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara praktik pengasuhan yang meningkatkan hambatan agresi dari orang tua dengan hambatan agresi anak

(5)

Masalah pokok yang diteliti: “Apakah pemikiran al-Ghazali cenderung kurang aplikatif dibanding dengan pemikiran Kornadt dalam hal perkembangan motif agresi kaitannya dengan praktik pengasuhan anak?”. Hasil pokok penelitian adalah “Pemikiran al-Ghazali cenderung kurang aplikatif dibanding dengan Pemikiran Kornadt dalam hal perkembangan motif agresi kaitannya dengan praktik pengasuhan anak.”. Adapun argumen yang mendasari kesimpulan penelitian yakni: pemikiran al-Ghazali bersifat deduktif sedangkan pemikiran Kornadt bersifat induktif; teori al-Ghazali tidak menggunakan data empirik sedangkan teori Kornadt menggunakan data empirik. Hasil penelitian juga membuktikan adanya kemungkinan teori al-Ghazali dan teori Kornadt dapat diperbandingkan dan dapat diintegrasikan pada tataran praktis sehingga memberi kontribusi keilmuan di bidang Kajian Islam dan Psikologi Agama.

(6)

KATA PENGANTAR

O

¡ ˛ 0

« ! $ #

˙ ‘ » u H q § 9 $ #

O ˇ m § 9 $ #

Syukur alhamdulillah, setelah perjalanan panjang selama kurun waktu delapan belas semester lebih (1998-2008), menempuh pendidikan jenjang Strata-3 (program doktor) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis mendapat berbagai macam ilmu pengetahuan dalam Kajian Islam dari para Dosen dan Guru Besar. Akhirnya dengan rahmat dan pertolongan Allah swt, penulis dapat memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar doktor.

Karya disertasi ini merupakan salah satu wujud bimbingan dan transformasi ilmu pengetahuan sebagai salah satu kualifikasi bagi penulis untuk menyelesaikan program doktor dalam Kajian Islam. Dalam proses penyelesaian disertasi ini sejak awal hingga akhir, penulis memperoleh banyak masukan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Dari hati yang paling dalam, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Zakiah Daradjat sebagai Promotor dan Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono sebagai Ko-Promotor. Penulis dan keluarga berdoa semoga budi baik mereka mendapat balasan Allah swt.

Selain itu, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tinginya kepada Tim Penguji yakni: (1) Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, (2) Prof. Dr. Zakiah Daradjat, (3) Prof. Dr.

Sarlito Wirawan Sarwono, (4) Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA, (5) Prof. Dr. Suwito, MA. Tiada kata selain doa semoga mereka mendapat limpahan rahmat dan perlindungan Allah swt.

Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada suami, H. Soffatturrachman dan anak-anak kami (drg. Febyna Annastasya; Albar Aljabbar, SH, MM; Kapten Laut (P) Rasyid Al-Hafiz; Chaerul Charles, SH; Sofia Fahrani, MA; Takbiratul Ichram, SE; Safira Fannisa, S.Ked; Sultan Fatahillah; dan Kaisar Akhir) atas bantuan dan dukungan doa restu sehingga penulisan disertasi ini dapat selesai.

Ucapan terima kasih penulis haturkan pula kepada H. Tarub, H. Ary Ginanjar Agustian, dan Dr. Dewi Motik atas motivasi dan doa yang diberikan.

Harapan penulis, semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat luas dan dunia pendidikan utamanya pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga. Semoga Allah meridhoi usaha penulis.

Jakarta, 10 Mei 2008

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PERSETUJUAN PROMOTOR KETERANGAN

PENGESAHAN PENGUJI SURAT PERNYATAAN ABSTRAK

TRANSLITERASI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Permasalahan... 16

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan...23

D. Tujuan Penelitian...26

E. Manfaat Penelitian...27

F. Metodologi Penelitian...28

G. Sistematika Penulisan...29

BAB II AGAMA DAN PSIKOLOGI A. Keterkaitan Agama dan Psikologi...31

B. Psikoanalisis dan Agama...34

C. Behaviorisme dan Agama... 46

D. Psikologi Humanistik dan Agama...52

BAB III TINJAUAN UMUM JIWA, AKHLAK DAN PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PERSPEKTIF ILMU AGAMA ISLAM A. Jiwa/Nafs dan Akhlak... 60

B. Perkembangan Keagamaan Remaja...73

C. Pendidikan Akhlak Melalui Keluarga... 81

BAB IV TINJAUAN UMUM MOTIF, AGRESI DAN PRAKTIK PENGASUHAN ANAK DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI A. Remaja dan Perkembangan Perilaku... ... 90

B. Motif dan Perkembangan Perilaku Agresif... 97

(8)

BAB V TEORI AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK BERDASARKAN KONSEP TAZKIYAT AL-NAFS

A. Jiwa dan Akhlak dalam Pandangan Al-Ghazali... 118

B. Manusia dalam Perspektif Al-Ghazali...124

C. Pendidikan Akhlak menurut Al-Ghazali...134

D. Konsep Tazkiyat al-Nafs dalam Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn...141

BAB VI TEORI KORNADT TENTANG AGRESI BERDASARKAN TEORI MOTIVASI A. Teori Kornadt tentang Sistem Motif Agresi...162

B. Perkembangan Agresivitas dalam Perspektif Kornadt ... 172

C. Praktik Pengasuhan Anak dan Motif Agresi Anak ...182

BAB VII PERBANDINGAN TEORI AL-GHAZALI DAN TEORI KORNADT A. Sistem Motif sebagai Penggerak Tingkah Laku...192

B. Tingkah Laku Hasil Interaksi Sosial ... 195

C. Orientasi Nilai...197

D. Peranan Amarah/Frustrasi dalam Perilaku Agresif... .199

E. Aspek-Aspek Praktik Pengasuhan Anak - Berkaitan Pengembangan Karakter... 202

BAB VIII PENUTUP A. Kesimpulan...208

B. Saran...220

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Angka kriminalitas di dunia terus meningkat termasuk kriminalitas dengan kekerasan.1 Tambahan pula, berdasarkan catatan Statistik Kriminalitas yang dikeluarkan oleh Kepolisian Internasional diperoleh informasi bahwa kriminalitas dengan kekerasan di dunia terus meningkat dalam angka dan keragaman bentuk.2 Begitu pula di Indonesia, dalam kurun waktu tahun 1985–1994 peningkatan angka jumlah laki–laki pelaku tindakan kriminal kelompok umur 18–25 tahun (remaja akhir). Kelompok umur 18–25 tahun tersebut merupakan kelompok terbanyak dibandingkan dengan kelompok umur lainnya.3 Pengertian kriminalitas dengan kekerasan (Violent-Crime) menurut Dinas Penelitian dan Pengembangan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia meliputi sembilan jenis kriminalitas, yaitu : pemerasan, penodongan, pembajakan, penjambretan, perampokan, pencurian kendaraan bermotor, pembunuhan, penganiayaan berat dan perkosaan.4

1

lihat Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), hal.58

2

Lihat Supra Wimbarti, Child-rearing Practices and Temperament of Children dalam Psikologika Nomor 2 Tahun II Januari 1997.

3

Data Direktorat Reserse POLRI dalam Angka, 2000 4

(10)

Fenomena kehidupan sosial kemasyarakatan di Indonesia pada masa kini, seperti krisis moral, krisis ekonomi (tingkat korupsi tinggi), krisis penegakan hukum dan krisis sosial budaya, memberi gambaran adanya realita perilaku sosial di kalangan umat Islam Indonesia (penduduk mayoritas) yang secara empirik berlawanan atau tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai Islam. Dengan maraknya tindakan agresi5 yang terjadi di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa tengah terjadi krisis karakter atau krisis akhlak bangsa Indonesia. Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa metode pendidikan akhlak di kalangan umat Islam Indonesia terutama pendidikan keluarga perlu ditingkatkan. Pada umumnya, ajaran agama Islam belum dijadikan pedoman hidup dalam berperilaku sebagai individu/muslim, anggota masyarakat, warga negara, pemimpin (termasuk pemimpin dalam keluarga) dan pejabat negara.

Pendapat umum mengatakan para remaja adalah kelompok sosial yang paling rentan terhadap tingkah laku agresi dan kriminalitas. Tambahan pula, hasil penelitian membuktikan bahwa masa remaja adalah masa yang rawan terhadap perbuatan kriminal dan dapat dikatakan merupakan masa puncak keterlibatan seseorang dengan beberapa tipe agresivitas tertentu terutama tindak kekerasan.6 Remaja merupakan suatu periode di mana individu mengalami perubahan, baik fisik maupun mental dari seorang anak yang menjadi dewasa. Masa remaja (adolescent) dibagi menjadi dua, yaitu early adolescent (remaja awal) dan late adolescent (remaja akhir), di mana perubahan tingkah laku terjadi lebih cepat pada masa awal daripada masa akhir tersebut.

5

Beberapa ahli di bidang agresi berpendapat bahwa agresi adalah tingkah laku yang mempunyai potensi untuk melukai secara fisik atau merusak sesuatu yang dimiliki orang lain seperti harga diri, status sosial dan hak milik. Menurut Kornadt, tindakan melanggar tabu dan pelanggaran hukum yang berlaku serta menolak konsensus kelompok, termasuk dalam definisi agresi.

6

Lihat Moffitt dalam Rutter, M. & Hay, D. F. Development through life. (Great Britain: Blackwell Scientific Publications. 1994), hal. 506. Lihat pula Wolfgang dalam Durkin, K.

(11)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Achmad Mubarok (1999) menunjukkan Kualitas tingkah laku manusia sangat dipengaruhi oleh kualitas nafs. Tingkah laku positif yang dikerjakan secara berkesinambungan oleh

sesorang berperan dalam menumbuh suburkan dorongan-dorongan kepada kebaikan dan menekan dorongan-dorongan kepada keburukan. Usaha mengubah tingkahlaku manusia dapat diukur dengan mengubah kualitas nafs, yakni dengan mengubah cara berfikir dan cara merasanya. Sistem nafs yang dimiliki manusia menyebabkan tingkahlaku manusia dapat diukur dengan kriteria tanggungjawab.7 Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Charletty Choesyana Soffat (1998) menghasilkan beberapa kesimpulan, antara lain: Ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara praktik pengasuhan yang meningkatkan motif agresi dari ibu dengan motif agresi anak Ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara praktik pengasuhan yang meningkatkan hambatan agresi dari ibu dengan hambatan agresi anak Ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara praktik pengasuhan yang meningkatkan motif agresi dari ayah dengan motif agresi anak. Ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara praktik pengasuhan yang meningkatkan hambatan agresi dari ayah dengan hambatan agresi anak.8 Tambahan pula, hasil penelitian yang dilakukan oleh Ponpon Harahap (1987) membuktikan bahwa terdapat sejumlah korelasi positif yang sangat signifikan antara perlakuan orang tua yang meningkatkan maupun perlakuan orang tua yang menghambat, baik dari ayah maupun ibu, dengan kedua komponen sistem motif agresi pada remaja dan nilai-nilai budaya Batak9

7

Achmad Mubarok, Konsep Nafs dalam Al-Qur’an, Suatu Kajian tentang Nafs dengan Pendekatan Tafsir Maudu’i, Disertasi, Jakarta, 1999

8

Charletty Choesyana, Sistem Motif Agresi Remaja, Studi Perbandingan Mengenai Pembentukan Sistem Motif Agresi pada kelompok Remaja Pelaku Tindakan Kriminal dan Remaja Non Pelaku Tindakan Kriminal di Jakarta dalam kaitannya dengan Prakti Pengasuhan Anak, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok, 1998.

9

(12)

Adalah suatu hal yang menarik untuk mengkaji pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga. Karakter merupakan tema sentral dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia di segala bidang kehidupan, baik kehidupan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara. Keberhasilan pembangunan nasional ditentukan oleh kualitas karakter bangsa Indonesia. Kualitas karakter generasi penerus bangsa amat berperan dalam menentukan kualitas bangsa Indonesia mendatang. Adapun yang dimaksud dengan karakter menurut bahasa Indonesia adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak. Berkarakter diartikan mempunyai kepribadian.10 Sementara menurut psikologi, karakter (character) adalah istilah yang dikaitkan dengan standar moral (moral standard) atau sistem nilai (value system) yang digunakan dalam mengevaluasi tingkah laku seseorang. Selain itu,

karakter dapat pula diartikan sebagai kepribadian yang dinilai.11 Penggunaan kata karakter menjadi permasalahan semantik dalam teori kepribadian (personality theory). Seringkali makna kata karakter disamakan dengan makna kata

kepribadian (personality) dan watak/ciri sifat (trait).12 Sebenarnya karakter bukanlah sinonim dari kepribadian. Karakter menggambarkan standar moral yang dianut dan nilai yang diyakini.13

Ajaran Islam memiliki hubungan yang erat dan mendalam dengan ilmu jiwa/psikologi dalam soal pendidikan akhlak, pengembangan karakter dan pembinaan mental karena keduanya sama-sama bertujuan untuk mencapai kesehatan psikis dan tingkah laku baik (good behavior). Kerasulan Nabi Muhammad S.A.W – kalau ditinjau dari pandangan pendidikan secara luas –

10

Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1996) 11

Lihat Allport G.W dalam Hjelle, L.A. Personality Theories. Third Edition. (Singapore: McGraw Hill, Inc. 1992), hal. 291

12

Lihat Allport G.W dalam Corsini, R.J. Personality Theories, Research, & Assessment, (USA : F.E. Peacock Publishers, 1983), hal. 5

13

Mengenai penjelasan Personality versus Character lihat Hurlock, E. B. Personality Development. Fifth edition (New Delhi : Tata McGraw-Hill, Publishing Company LTD, 1980), hal. 8

(13)

adalah bertujuan untuk mendidik dan mengajar manusia, memberi petunjuk mensucikan jiwa, memperbaiki dan menyempurnakan akhlak, serta membina kehidupan mental spiritual. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau dalam ajaran Islam banyak terdapat petunjuk dan ketentuan yang berhubungan dengan soal pendidikan akhlak dan kesehatan mental. Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam adalah petunjuk (hudâ), obat ( syifâ’ ), rahmat dan pengajaran (mau’izhat) bagi manusia dalam membangun kehidupannya yang berbahagia di dunia dan akhirat.. Hal ini diisyaratkan oleh al-Qur’ân surat al-Isrâ’/17:82 dan surat Yûnus/10:57:

ª A˝ i

t \

R u r

z ‘ ˇ B

¨ b # u

) ł 9 $ #

$ t B

u q Ł d

! $ x

ˇ '

p u H q u

u r

t ß ˇ Z ˇ B s J ø= ˇ j 9

wu r

t

t ß ˇ J ˛ = » '

9 $ #

w˛ )

# Y

$ | ¡ y z

˙

¸ ¨

14

$ p k

r ’ fl » t

¤ $ ¤ Z 9 $ #

s%

N 3 ł ? u

! $ y _

p s ˇ ª

q ¤ B

‘ ˇ i B

N 6˛ n /

§

! $ x

ˇ ' u r

$ y J ˇ j 9

˛ ß

˝

r

` 9 $ #

Y

Ł d u r

p u H q u

u r

t ß ˇ Y ˇ B s J ø= ˇ j 9

˙ ˛ —¨

15

Dapat dikatakan bahwa semua misi ajaran Islam yang berintikan pada ajaran akidah, ibadat, syariat dan akhlak pada dasarnya adalah mengacu kepada pendidikan akhlak (pengembangan karakter).16 Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat dan mendalam antara ilmu agama Islam dengan psikologi.

14

Q.S 17:82, artinya: dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian.

15

Q.S 10:57, artinya: Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.

16

(14)

Al-Ghazali adalah seorang filosof yang agung dan juga seorang ahli pendidikan yang menonjol. Dengan menerapkan filsafat kepada pendidikan dan memasukkan pendidikan ke dalam filsafat, Ghazali membuat keduanya sebagai dua disiplin ilmu yang terintegrasi. Menurut Hasan Langgulung pandangan Al-Ghazali mengenai jiwa erat hubungannya dengan ilmu jiwa (psikologi). Pemikiran- pemikirannya tentang kejiwaan dan pengembangan akhlak dalam Islam kalau dikaji secara mendalam, maka dapat disimpulkan bahwa Al-Ghazali adalah seorang “Psikolog Muslim Terbesar”. Memiliki pengaruh besar dalam psikologi dan pemikirannya tentang pembagian jiwa dan fungsinya mempengaruhi psikologi modern. Pendapatnya tentang motivasi, pembentukan kebiasaan, kemauan, pengamatan dan ingatan, merupakan sumbangan yang besar terhadap perkembangan psikologi modern. Lebih daripada itu ia mampu mengkaji jiwa sebagai substansi rohani dari manusia, suatu kajian yang belum mampu dilakukan para psikolog modern dewasa ini.17

Disamping itu, Zakiah Daradjat juga mengatakan bahwa kalau dikaji ajaran Islam mengenai kejiwaan, dan dibandingkan dengan pemikiran Al-Ghazali tentang kejiwaan, maka hasil dari pengkajian itu nanti akan sampai kepada kesimpulan bahwa ia adalah tokoh penting dalam ilmu jiwa atau “Psikolog Agung”, yang karya-karyanya tentang ilmu jiwa bersumberkan pada Alquran dan Hadis.18 Pendapat kedua ahli ilmu jiwa ini tidak bisa dipisahkan dari ketinggian konsepsi Al-Ghazali tentang manusia, serta pendapatnya tentang jiwa dan akhlak. Sebab ia tidak saja menganggap ilmu jiwa sebagai ilmu tingkah laku, tetapi menganggapnya sebagai suatu ilmu yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam hal ini aspek ketuhanan (agama) termasuk bagian ilmu jiwa di samping ilmu akhlak.

17

Lihat Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung : Al Ma’arif, 1980), hal. 132

18

(15)

Ditinjau dari segi dakwah, pendidikan, sosial, politik, ekonomi dan hukum, penulis memandang “Pengembangan Karakter melalui Pendidikan Keluarga” penting untuk diteliti. Dari segi dakwah, adanya kaum muslimin Indonesia yang memiliki karakter baik/akhlak terpuji (tingkah laku non agresif) merupakan salah satu indikator keberhasilan dakwah, mengingat tugas dakwah Nabi Muhammad S.A.W adalah menyempurnakan akhlak manusia.19 Dari segi pendidikan, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan akhlak merupakan prasyarat keberhasilan pendidikan lainnya.20 Dari segi sosial, karakter berperan penting dalam membangun kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.21 Dari segi politik, implementasi kebijakan-kebijakan publik amat bergantung pada kualitas karakter para pelaku politik. Dari segi ekonomi, karakter yang berkaitan dengan pola hidup berperan penting bagi peningkatan kesejahteraan umat. Dari segi hukum, karakter berperan penting bagi implementasi penegakan hukum.

Karakter adalah hasil pendidikan melalui pembiasaan, pengamatan, pembelajaran, pemberian stimulus, dan belajar sosial. Pengembangan Karakter melalui Pendidikan Keluarga merupakan hal yang penting untuk diteliti. Keluarga terutama orang tua adalah lingkungan yang paling berpengaruh dalam perkembangan anak, karena keluarga adalah tempat dimana relasi–relasi kemanusiaan dicontohkan, kepribadian–kepribadian dibentuk, tujuan–tujuan dan pandangan–pandangan hidup dibentuk. Kondisi lingkungan yang berubah cepat dan dinamis memerlukan pemikiran-pemikiran baru dalam pendidikan keluarga terutama pada era digital ini. Kehidupan keluarga sebenarnya lebih kompleks

19

Fenomena umum dan mencuat yang mencerminkan umat Muslim Indonesia berakhlak terpuji dapat menjaga citra agama Islam dan mendukung syiar dakwah agama Islam (khususnya di Indonesia).

20

Manusia yang berpendidikan tinggi, memiliki intelektualitas yang tingggi, namun memiliki karakter buruk atau bahkan cacat karakter (misal koruptor), bertingkah laku agresif, merupakan indikator kegagalan pendidikan ditinjau dari sudut pandang pendidikan Islam.

21

(16)

dibanding dunia pendidikan, tetapi pendekatan psikologis terhadap masalah-masalah keluarga masih sedikit sekali yang dilakukan secara profesional. Mungkin karena kehidupan berkeluarga merupakan fenomena universal maka para ahli lebih memillih membiarkan kehidupan keluarga berjalan secara alamiah di masyarakat dibanding memikirkannya secara ilmiah profesional.

Ditinjau dari ilmu agama Islam, kedua orangtua memiliki kewajiban penuh dalam mempersiapkan anak menjalani kehidupan dan melindunginya dari kehinaan serta mengarahkannya agar tumbuh menjadi insan Tuhan yang berakhlak terpuji. Pendidikan merupakan hak anak dari orangtuanya, bukan sebagai hadiah atau pemberian dari orangtua kepada anak Dengan kata lain, pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tua. Allah S.W.T telah memerintahkan kepada setiap orangtua untuk mendidik anak-anak mereka, dan bertanggung jawab atas pendidikan anak. Hal ini diisyaratkan oleh al-Qur’ân surat al-Tahrîm/66:6:

$ p k

r ’ fl » t

t ß ˇ %' ! $ #

( # q ª Z t B # u

( #

q Ł %

/

3 | ¡

R r &

/

3

˛ =

d r & u r

# Y

$ t R

$ y d

q Ł %u r

¤ $ ¤ Z 9 $ #

o u

$ y f ˇ t ł : $ # u r

$ p k

n = t

p s3 ˝ · fl » n = t B

x ˇ

# y

ˇ '

w

t b q

`

Ł t

' ! $ #

! $ t B

NŁ d t

t B r &

t b q Ł = y Ł ł

t

u r

$ t B

t b r

sD sª

˙ ˇ ¨

173

Dari sudut pandang psikologi, tingkah laku kriminal adalah tingkah laku melanggar hukum yang berlaku (legal offenses) dan merupakan salah satu bentuk

17

(17)

dari tingkah laku antisosial yang dimunculkan dalam tingkah laku yang nyata.18 Kornadt memandang bahwa tindakan melanggar tabu dan pelanggaran hukum yang berlaku serta menolak konsensus kelompok, termasuk dalam definisi agresi.19 Sementara Gunarsa menyatakan bahwa agresivitas adalah reaksi khas terhadap frustasi yang biasanya dihukum oleh masyarakat, tetapi tidak selalu dilampiaskan secara terbuka dan kadangkala dialihkan pada obyek, orang lain atau diri sendiri.20 Beberapa ahli di bidang agresi berpendapat bahwa agresi adalah tingkah laku yang mempunyai potensi untuk melukai secara fisik atau merusak sesuatu yang dimiliki orang lain seperti harga diri, status sosial dan hak milik.21

Tingkah laku agresif adalah fenomena universal yang ditemukan pada setiap tahap perkembangan kepribadian. Sementara kepribadian melalui tingkah laku yang nyata (overt behavior) adalah fenomena yang dihadapi dalam kehidupan sehari–hari. Pendapat umum mengatakan para remaja adalah kelompok sosial yang paling rentan terhadap tingkah laku agresif dan kriminalitas22 Dalam perspektif psikologi, menurut Sarlito W. Sarwono, agresi merupakan hal yang penting untuk dikaji mengingat pengaruhnya amat besar terhadap individu maupun kelompok, sebagaimana kutipan berikut ini:

Agresi dan altruisme adalah perilaku-perilaku yang sangat penting dalam psikologi, khususnya psikologi sosial, karena pengaruhnya yang sangat besar, baik terhadap individu maupun kelompok. Banyak peristiwa

18

Lihat Wenar, C. Developmental Psychopathology. Third Edition (USA : McGraw-Hill, Inc, 1994), hal. 253 dan 507

19

Kornadt, H. J, Deveploment of Aggressiveness : Motivation Theory Perspective. In : R. M. Kaplan, V. J. Konecni, R. W. Novaco (eds.). Aggression in Children and Youth. (The Hague : Martinus Nijhoff Publishers, 1984), hal. 5

20

Gunarsa, S. D. & Yulia Gunarsa, Psikologi Perawatan (Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 1989), hal. 83

21

Lihat Feshbach dan Bandura dalam Achenbach, T. M, Deveplomental Psychopathology. Second Edition. (New York : John Wiley & Sons, Inc., 1982), hal. 340

22

(18)

bersejarah, baik dalam skala individu, bangsa, maupun dalam skala umat, terjadi karena agresi dan altruisme ini.23

Perkembangan tingkah laku (behavioral deveploment) telah lama menjadi pusat perhatian para ahli. Para ahli telah berhasil menunjukkan bahwa perkembangan tingkah laku adalah sesuatu yang penting diperhatikan dalam usaha memperkembangkan manusia menuju ke keadaan sejahtera dan bahagia. Dalam perkembangan tingkah laku, tampak jelas bahwa lingkungan hidup (ecological environment) anak adalah faktor yang sangat penting, sebagai sumber dari munculnya berbagai perangsangan (stimulation). Lingkungan hidup anak berpengaruh secara bertingkat, yakni dari microsystem, dimana orang tua atau benda secara langsung mempengaruhi anak, kemudian mesosystem dimana lingkungan lebih luas, menghubungkan antara rumah dengan kehidupan sosial yang lebih luas misalnya sekolah yang mempengaruhi anak yang sedang tumbuh dan berkembang. Selanjutnya exosystem yakni latar belakang kekhususan yang dimiliki oleh orang tuanya.24

Untuk meneliti Pengembangan Karakter melalui Pendidikan Keluarga, penulis melakukan studi komparatif teori Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak (tingkah laku non agresif) dan teori Kornadt tentang perkembangan tingkah laku agresif. Dengan membandingkan kedua teori tersebut, penulis berharap akan menghasilkan suatu kontribusi keilmuan. Hal ini dikarenakan penulis memandang perlu mengintegrasikan keislaman, keilmuan dan kemanusiaan. Selain itu, penulis juga berpendapat bahwa adanya realitas konstruk yang lahir dari dua sistem nilai berbeda melahirkan nilai yang sama merupakan suatu hal yang mungkin. Pendapat ini berlawanan dengan pendapat Huntington yang memandang bahwa menyatukan dua sistem nilai yang berbeda (agama dan sekuler) untuk melahirkan nilai yang sama adalah hal yang tidak mungkin. Rasionalisasi, diferensiasi

23

Sarlito W, Sarwono, Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Cet. Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 294

24

Lihat Bronfenbrenner dalam Gunarsa, Child and Adolescent Development in Urban Area :

(19)

struktur dan partisipasi massa adalah prasyarat modernisasi dan dapat memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan modernisasi itu. Nilai-nilai sekuler dan rasionalisasi mendukung pembangunan dan perubahan masyarakat, sedangkan nilai-nilai agama menghambat perubahan masyarakat/modernisasi.25

Pada proses munculnya tingkah laku manusia, sebenarnya tingkah lakunya tersebut digerakkan suatu sistem yang ada di dalam dirinya, yakni sistem nafs. Al-Qur’ân mengisyaratkan bahwa nafs sebagai sisi dalam manusia yang berhubungan dengan dorongan-dorongan tingkah laku. Nafs sebagai penggerak atau dorongan tingkah laku, berhubungan erat dengan tingkah laku manusia. Di dalam sistem nafs manusia ada potensi (potensi positif dan potensi negatif) yang menggerakkan manusia melakukan suatu tingkah laku tertentu. Dengan adanya kemampuan berpikir logis manusia diberi peluang untuk memilih. Manusia bisa mengalahkan tuntutan keinginan bertingkah laku tercela dengan memenangkan keinginan bertingkah laku terpuji. Potensi positif berkembang sejalan dengan pengalaman dan stimulasi hasil interaksi sosial (interaksi manusia dengan lingkungan). Pada dasarnya manusia mempunyai insting atau naluri merusak walaupun manusia memiliki predikat khalifah di muka bumi.25

Dalam ajaran Islam ada beberapa metode (jalan atau cara) yang ditempuh dalam melaksanakan pendidikan akhlak dan pengembangan karakter. Salah satu di antaranya adalah metode tazkiyat al-nafs (pensucian jiwa). Tazkiyat al-nafs sebagai tugas pokok dan terpenting dari para nabi dan rasul Allah, yang sudah tercatat dalam sejarah, ditegaskan Al-Qur’an dalam ayat berikut:

s) s9

£ ‘ t B

“ ! $ #

n ? t ª

t ß ˇ Z ˇ B s J ł 9 $ #

ł

˛ )

y ] y Ł t /

N˝ k

ˇ ø

Z wq

u

‘ ˇ i B

25

Lihat Huntington, S.P, Political Order in Changing Societies, (New Haven: Yale University Press), 1968

25

(20)

M ˛ g ¯ ¡

R r &

( # q Ł =

Gt

N˝ k

n = t

ˇ m ˇ G» t

# u

N˝ k

¯ e 2 t

ª

u r

ª N g

J ˇ k = y Ł ª

u r

| = » t G¯ 3 ł 9 $ #

sp y J

6ˇ t ł : $ # u r

b ˛ ) u r

( # q

R %x .

‘ ˇ B

ª @ 6s%

¯ " s9

9 @» n = | ˚

Aß ˛ 7

B

˙ ˚ ˇ ˝ ¨

26

Berkaitan dengan akhlak, Al-Ghazali mengemukakan konsep tazkiyat al-nafs sebagai metode pendidikan akhlak. Menurut Al-Ghazali, berakhlak baik bisa

diartikan dengan baik secara lahir dan baik secara batin. Yang dimaksud dengan baik secara lahir adalah baik dalam penampilan. Sedangkan baik secara batin adalah menangnya sifat terpuji yang ada pada jiwa/diri seseorang atas sifat tercelanya. Sebagai upaya untuk memenangkan sifat terpuji atas sifat-sifat tercela yang ada pada jiwa seseorang, maka dilakukan tazkiyat al-nafs, dengan cara pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela dan pengisian jiwa dengan sifat-sifat terpuji. Tazkiyat al-nafs berfungsi sebagai penguat motif, penggerak tingkah laku dan memberi warna corak tingkah laku manusia. Adapun pemikiran konsep tazkiyat al-nafs berdasarkan al-Qur’ân surat al-Syams/91:7-10:

< §ł

t R u r

$ t B u r

$ y g 1 §q y

˙ —¨

$ y g y J o l ø; r ’ sø

$ y d u

q Ł g Ø œ

$ y g 1 u q ł ) s? u r

˙

¨

s%

y x n = ł ør &

‘ t B

$ y g 8 ' .

y

˙

¨

s%u r

z > %s{

‘ t B

$ y g 9 ¢

y

˙ ˚

¨

27

Menurut Sa’id Hawwa, kata tazkiyat secara harfiah memiliki dua makna, yakni tathhîr dan al-ishlâh. Tzn dalam pengertian pertama berarti membersihkan

26

Q.S 3:164, artinya. sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

27

(21)

diri dari sifat-sifat tercela, sedangkan dalam pengertian kedua berarti memperbaiki jiwa dengan sifat-sifat terpuji.28 Dengan demikian arti dari tzn tidak saja terbatas pada pembersihan diri, tetapi juga meliputi pembinaan dan pengembangan diri. Kitab-kitab tafsir, seperti Fakhr al-Razi dalam Tafsîr al-Kabîr juga mengartikan tazkiyat dengan tathhîr dan tanmiyat, yang berfungsi untuk menguatkan motivasi seseorang dalam beriman dan beramal saleh. Secara tegas ia mengatakan bahwa tazkiyat adalah ungkapan tentang tathhîr dan tanmiyat.29 Disamping itu, Mufasir Muhammad Abduh mengartikan tzn dengan tarbiyat al-nafs (pendidikan jiwa) yang kesempurnaannya dapat dicapai dengan

tazkiyat al-‘aql (pensucian dan pengembangan akal) dari akidah yang sesat dan

akhlak yang jahat. Kesempurnaan tazkiyat al-‘aql dapat pula dicapai dengan tauhid yang murni.30 Pendapat Abduh ini sejalan dengan arti kata tazkiyat itu sendiri, dan pengertian pendidikan dalam arti yang luas, yang tidak saja terbatas pada tathhîr al-nafs, tetapi juga tanmiyat al-nafs.

Dari segi pendidikan dan ilmu jiwa banyak pula pendapat para ahli tentang tzn, misal Ziauddin Sardar, Muhammad Fazl-ur-Rahman Ansari, dan Hasan

Langgulung. Sardar mengartikan tzn sebagai pembangunan karakter (watak) dan transformasi dari personalitas manusia, di mana seluruh aspek kehidupan memainkan peranan penting dalam prosesnya. Sebagai konsep pendidikan dan pengajaran, tzn tidak saja membatasi dirinya pada proses pengetahuan yang sadar, tetapi lebih merupakan tugas untuk memberi bentuk pada tindakan hidup taat bagi individu yang melakukannya, dan mukmin adalah karya seni yang dibentuk oleh tzn.31 Sedangkan Hasan Langgulung mengartikan tzn sebagai metode penghayatan dan pengamalan nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam.

28

Sa’id Hawwa, al-Mustakhlash Fi Tazkiyat al-Anfus, (Mesir: Dâr al-Salam, 1984) 29

Fakhr al-Razi, Tafsîr al-Kabîr, juz 4, (Teheran: Dâr al-Kutub al-‘ilmiyat, t.t.), hal. 75 dan 143.

30

Muhammad Rasyid Ridha, (ed.), Tafsir al-Manar, juz 4, (Mesir: Maktabat al-Qahirat, t.t.), hal 222-223.

31

(22)

Jika semua nilai Islam itu tersimpul dalam ketakwaan, maka tzn adalah metode pembentukan orang yang bertakwa.32

Kornadt berangkat dari dasar pemikiran bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya digerakkan oleh kekuatan dari dalam diri (innate forces) seperti dorongan biologis, sifat dan disposisi, maupun rangsangan yang berasal dari luar diri (external stimulus) seperti kondisi situasional, tetapi juga diaktifkan oleh motif (learned motive) yang mengarahkan tingkah laku tersebut ke tujuan yang akan dicapai berdasarkan harapan-harapan yang dimiliki. Dengan memahami motif (faktor intrinsik) sebagai salah satu faktor utama penyebab munculnya tingkah laku agresif, maka Kornadt mengusulkan pemakaian kerangka pembahasan teori motivasi mengenai agresi dalam menganalisis permasalahan di bidang agresi. Teori Kornadt tentang agresi mencakup beberapa pendekatan teoretis, yaitu : 1) teori biologis, 2) teori frustrasi-agresi, 3) teori belajar, 4) teori sosial-belajar, dan 5) teori kognitif dari motivasi. Apalagi analisis yang sistematis teori motivasi tentang agresi jarang dilakukan dan kurang digali. 33

Dalam usaha membentuk teori agresi, Kornadt mengembangkan beberapa konsep dasar dengan menggunakan berbagai pendekatan teoretis. Konsep-konsep dasar tersebut adalah bahwa (1) agresi mempunyai akar biologis, tingkah laku agresif didasari oleh fungsi otak khusus (fungsi hypothalamus) dan sistem endokrin sehingga agresi mempunyai komponen herediter; (2) frustrasi dapat mengarahkan manusia pada beberapa bentuk tingkah laku agresif; (3) tingkah laku agresif diperoleh melalui proses belajar dan merupakan akibat pengaruh rangsangan yang berulang kali dari lingkungan ataupun pengalaman yang disertai penguatan; (4) tingkah laku agresif dapat dipelajari dan terbentuk dengan meniru atau mencontoh agresi yang dilakukan oleh model yang diamati; dan (5) pemunculan agresi melibatkan interprestasi kognitif terutama berkaitan dengan

32

Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987), hal. 371-377.

33

(23)

penentuan tujuan yang akan dicapai dan pelaksanaan suatu tingkah laku agresif yang diharapkan.34

Sungguhpun konsep tazkiyat al-nafs yang terdapat dalam kitab Ihyâ’ ‘ulûmudîn tersebut memberikan kontribusi yang berarti bagi pengembangan

karakter dan pendidikan akhlak, namun belum pernah diteliti sebagai suatu konsep untuk pendidikan akhlak dan pengembangan karakter dalam Islam. Apalagi penelitian konsep tersebut dikaji dan dibandingkankan dengan psikologi. Padahal antara tazkiyat al-nafs dan psikologi terdapat hubungan yang erat. Kedua-duanya merupakan kebutuhan pokok hidup manusia dalam mencapai kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Baik tazkiyat al-nafs (ilmu agama Islam) maupun pengembangan perilaku agresif (psikologi), membahas hal-hal yang sama (kesamaan substansi), namun menggunakan istilah yang berbeda. Keduanya dapat saling melengkapi. Dengan menggabungkan teori Al-Ghazali dan teori Kornadt diharapkan akan dapat menghasilkan satu teori baru tentang pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga, teori yang lebih aplikatif dan berpedoman pada nilai-nilai Islam

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa “Pengembangan Karakter melalui Pendidikan Keluarga” adalah penting untuk diteliti. Akhlak (karakter) adalah hasil pendidikan sejak dini. Hal ini bukan hanya untuk kepentingan kehidupan berkeluarga namun juga untuk kepentingan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tingkat harkat kemanusiaan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat kualitas karakter bangsa itu sendiri. Untuk mencapai tingkat kualitas karakter bangsa yang mendukung terbentuknya HANKAMNAS dan keadilan sosial, diperlukan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik, berakhlak terpuji, berbudi pekerti luhur, tidak berperilaku agresif.

34

(24)

Sehubungan dengan itu, penulis tertarik untuk melakukan studi komparatif teori Al Ghazali (ilmu agama Islam) dan teori Kornadt (psikologi/sekuler) dalam kaitannya dengan pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga. Teori Al-Ghazali tentang pengembangan karakter (akhlak) hasil pendidikan orang tua berdasarkan konsep tazkiyat al-nafs, sedangkan teori Kornadt tentang pengembangan karakter (perilaku agresif) hasil praktik pengasuhan orang tua berdasarkan teori motivasi.

Tentunya keinginan penulis melakukan penelitian ini, tidak terlepas dari kajian penelitian-penelitian terdahulu yang relevan. Dengan membandingkan kedua teori yang berlawanan nilai tersebut, penulis berharap dapat memberikan suatu kontribusi yang merupakan perpaduan keislaman, keilmuan, keindonesiaan dan kemanusiaan. Adapun materi utama obyek pembahasan dalam penelitian adalah konsep tazkiyat al-nafs (pensucian jiwa), pendidikan akhlak, sistem motif agresi dan perlakuan orang tua. Selain itu, penelitian ini dilakukan penulis untuk menguji hipotesis: Ada persamaan dan perbedaan persepsi pada pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak dan pemikiran Kornadt tentang perkembangan motif agresi.

B. Permasalahan

Identifikasi Masalah

Fenomena kehidupan sosial kemasyarakatan di Indonesia pada masa kini, seperti krisis moral, krisis ekonomi (tingkat korupsi tinggi), krisis penegakan hukum dan krisis sosial budaya, memberi gambaran adanya realita perilaku sosial di kalangan umat Islam Indonesia (penduduk mayoritas) yang secara empirik berlawanan atau tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai Islam. Dengan maraknya tindakan agresi35 yang terjadi di Indonesia, dapat disimpulkan

35

(25)

bahwa tengah terjadi krisis karakter atau krisis akhlak bangsa Indonesia. Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa metode pendidikan akhlak di kalangan umat Islam Indonesia terutama pendidikan keluarga perlu ditingkatkan. Pada umumnya, ajaran agama Islam belum dijadikan pedoman hidup dalam berperilaku sebagai individu/muslim, anggota masyarakat, warga negara, pemimpin (termasuk pemimpin dalam keluarga) dan pejabat negara.

Pendapat umum mengatakan para remaja adalah kelompok sosial yang paling rentan terhadap tingkah laku agresi dan kriminalitas. Tambahan pula, hasil penelitian membuktikan bahwa masa remaja adalah masa yang rawan terhadap perbuatan kriminal dan dapat dikatakan merupakan masa puncak keterlibatan seseorang dengan beberapa tipe agresivitas tertentu terutama tindak kekerasan.36 Remaja merupakan suatu periode di mana individu mengalami perubahan, baik fisik maupun mental dari seorang anak yang menjadi dewasa. Masa remaja (adolescent) dibagi menjadi dua, yaitu early adolescent (remaja awal) dan late adolescent (remaja akhir), di mana perubahan tingkah laku terjadi lebih cepat pada masa awal daripada masa akhir tersebut.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja meliputi berbagai segi kehidupan. Sebagai masa transisi dalam status biososial individu, perubahan ini meliputi perubahan fisik dan diikuti oleh perubahan mental. Perubahan fisik meliputi perubahan yang cepat dari fisik itu sendiri dan hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan mental si anak. Si anak harus mulai menerima bahwa dirinya dapat dikatakan mulai menjelma menjadi orang dewasa, dan ini membawa akibat terhadap tuntutan akan kewajiban dan tanggungjawab mengalami perubahan. Namun perlakuan orangtua atau orang dewasa lainnya seringkali membuat remaja bingung di satu saat ia diperlakukan seperti

pelanggaran hukum yang berlaku serta menolak konsensus kelompok, termasuk dalam definisi agresi.

36

Lihat Moffitt dalam Rutter, M. & Hay, D. F. Development through life. (Great Britain: Blackwell Scientific Publications. 1994), hal. 506. Lihat pula Wolfgang dalam Durkin, K.

(26)

anak, tetapi jika bertindak seperti anak-anak ia akan ditegur dan dituntut bertingkahlaku sesuai dengan usianya. Tetapi bila ia berusaha untuk kelihatan dewasa, ia disalahkan karena bertindak tidak sesuai dengan usianya.

Tampaknya orangtua sering menolak untuk mengubah konsepnya tentang kemampuan anak mereka yang telah semakin besar, sehingga perlakuannya tetap seperti ketika mereka masih kecil. Tetapi jika mereka di minta untuk menerima tanggungjawab orangtua mengharapkan anak-anak mereka untuk bertindak sesuai dengan usianya. Sumber konflik lain adalah penggunaan dasar tingkah laku yang berbeda antara remaja dengan masa ketika orangtuanya mereka masih remaja, misalnya orang tua tumbuh di daerah yang berbeda dengan daerah dimana si remaja tumbuh. Konflik ini akan berkurang jika remaja percaya bahwa orangtua mereka mengerti tentang mereka dan tentang kehidupan mereka.

Ada sebagian orangtua mengalami kesulitan dalam menghadapi remaja mereka seolah-olah tidak mempunyai pegangan bagaimana mereka harus bertindak dalam mendidik anak-anaknya. Akibatnya timbullah berbagai macam sikap orangtua dalam memberikan aturan bagi tingkah laku remaja, disiplin atau pun bentuk hukuman yang harus diberikan. Untuk itu setiap orangtua akan menentukan cara yang dianggap terbaik oleh mereka sendiri, misalnya dengan memanjakannya, dengan sikap kekerasan, dengan sikap acuh tak acuh atau dengan sikap penuh kasih sayang. Sikap-sikap ini bisa menimbulkan ketegangan di rumah atau justru mengurangi ketegangan.

(27)

didirikan pada masa anak-anak seperti kesabaran, pengertian dan bimbingan yang diberikan orangtua.

Pada masa remaja kelompok teman sebaya mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap sikap, minat, nilai dan tingkah laku remaja daripada pengaruh keluarga, sehingga ia lebih banyak menggunakan waktunya di luar rumah daripada di dalam rumah. Hal ini tidak berarti bahwa pengaruh keluarga dirampas oleh kelompok teman sebaya. Pengaruh mana yang lebih besar akan tergantung pada cara remaja memandang orangtuanya sebagai penuntun yang kompeten. Jika masalahnya berhubungan dengan kehidupan pada umumnya, remaja memandang nahwa orang tuanya lebih kompeten, jika masalahnya berhubungan dengan situasi khusus, kelompok teman sebaya dipandang sebagai lebih mampu untuk memberikan saran dan membimbingnya.

(28)

Adapun kenakalan-kenakalan yang biasa dilakukan oleh remaja umumnya lebih bersifat agresif, hal ini dapat dilihat dalam kategori kenakalan remaja yang dinyatakan oleh Hurlock.37 dalam bukunya Adolescent Development yaitu: (1) Tingkah laku merusak diri dan orang lain, misalnya mengacaukan masyarakat,

menimbulkan kerusuhan, merugikan diri sendiri, menikam, menembak, membunuh, dan sebagainya.

(2) Tingkah laku merusak atau menyalahgunakan benda-benda, misalnya merusak barang, merampok, mencuri, membakar dan sebagainya.

(3) Tingkah laku yang tidak dapat dikendalikan, misalnya tidak patuh pada orangtua, sekolah, dan kekuasaan; membolos, melarikan diri dari rumah, mengemudikan mobil/kendaraan tanpa SIM.

(4) Tindakan yang mungkin membahayakan diri dan orang lain, misalnya menyalahgunakan obat (penyalahgunaan narkoba), memakai senjata tanpa ijin.

Berkaitan dengan tugas perkembangan, para remaja terutama remaja akhir, diharapkan sudah mencapai tahap kematangan sosial yakni tumbuh berkembang menjadi individu yang mandiri dengan tetap membina hubungan baik dengan lingkungannya, dan memperoleh keseimbangan antara peranan dan tuntutan sosial, serta mempunyai kemampuan menemukan stabilitas antara situasi sosial yang dihadapi dengan perubahan fisiopsikologis yang terjadi dalam dirinya.

Penduduk mayoritas Indonesia adalah pemeluk agama Islam, namun pada kenyataannya banyak ditemukan muslim (termasuk muslimah) yang berakhlak buruk/berkarakter tidak Islami. Fenomena sosial pada masa kini, memberi gambaran adanya kehidupan di kalangan kaum Muslim Indonesia yang secara empirik berlawanan dengan norma dan nilai Islam (berperilaku agresif dalam arti luas)

37

(29)

Pembatasan Masalah

Berdasarkan pada masalah-masalah yang ditemukan dalam identifikasi masalah, maka masalah yang mendasari penelitian ini, dibatasi pada masalah pendidikan keluarga yang bagaimana yang dapat menghasilkan individu yang berakhlak terpuji, tidak berperilaku agresif. Peranan pendidikan keluarga dalam hal perlakuan orang tua terhadap anak yang berkaitan dengan pengembangan karakter (perilaku non agresif dan agresif) adalah masalah yang penting diteliti, tidak hanya untuk kepentingan keluarga namun juga untuk kepentingan umat, bangsa dan negara.

Sehubungan itu, penulis meneliti pemikiran-pemikiran tentang pengembangan akhlak/karakter yang berkaitan dengan perlakuan orang tua. Adapun yang akan diteliti oleh penulis adalah perbandingan teori Al-Ghazali (ilmu agama Islam) dan teori Kornadt (psikologi/sekuler). Teori Al-Ghazali tentang pengembangan karakter (akhlak) hasil pendidikan orang tua berdasarkan konsep tazkiyat al-nafs, sedangkan teori Kornadt tentang pengembangan karakter (perilaku agresif) hasil praktik pengasuhan orang tua berdasarkan teori motivasi.

Al-Ghazali, seorang ulama yang banyak mengkaji masalah tazkiyat al-nafs dalam Islam. Ia di samping seorang filsuf, mutakallim, fakih, dan sufi juga dikenal sebagai tokoh pendidikan dan ahli jiwa dalam Islam. Al-Ghazali mempelajari tazkiyat al-nafs sebagai salah satu metode pendidikan akhlak dan pembinaan jiwa. Ia menulis kitab tentang adab kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan dan pergaulan terhadap sesama makhluk. Pada prinsipnya, ia berpendapat bahwa pembentukan adat kebiasaan dalam pendidikan keluarga yang berdasarkan konsep tazkiyat al-nafs akan menghasilkan pengembangan akhlak/karakter yang baik.

(30)

akhlak/karakter dan perilaku sosial melalui interaksi sosial sangat erat kaitannya. Al-Ghazali mengemukakan bahwa pendidikan akhlak (perilaku non agresif) anak adalah hasil usaha pendidikan orang tua dan usaha anak itu sendiri.

Kornadt, seorang tokoh psikologi pendidikan, berpendapat bahwa pengembangan perilaku agresif remaja (akhlak buruk) sangat erat kaitannya dengan perlakuan orang tua (ayah dan ibu) terhadap anak. Ia menjelaskan bahwa perlakuan orang tua terhadap anak dapat mempengaruhi perkembangan sistem motif agresi anak. Jelasnya, ia mengemukakan bahwa tingkah laku agresif berkembang sejalan dengan perlakuan orang tua (child rearing practices). Kornadt mengemukakan bahwa ada lima aspek praktik pengasuhan anak, yaitu: kontrol, penolakan, hukuman, kasih sayang dan nilai. Kelima aspek praktik pengasuhan anak tersebut mempengaruhi bentuk perlakuan atau sikap orang tua terhadap anak. Kornadt mengemukakan bahwa perilaku agresif anak berkembang sejalan dengan perlakuan orang tua terhadap anak.

Menurut penulis, terdapat persamaan dan perbedaan persepsi pada pemikiran Al-Ghazali dan Kornadt tentang pengembangan karakter (akhlak baik/non agresif dan agresif) hasil pendidikan/perlakuan orang tua. Dalam pemikiran Al-Ghazali dan pemikiran Kornadt memiliki titik temu yakni pada pemikiran (1) sistem motif sebagai penggerak tingkah laku, (2) tingkah laku hasil interaksi sosial, (3) orientasi nilai (4) peranan amarah/frustrasi dalam tingkah laku agresif dan (5) aspek-aspek praktik pengasuhan anak/perlakuan orang tua. Penulis membandingkan kedua teori tersebut sebagai upaya untuk menemukan kemungkinan menggabungkan keduanya pada tataran praktis di Indonesia.

Perumusan Masalah

Masalah pokok yang diteliti: “Apakah pemikiran al-Ghazali cenderung kurang aplikatif dibanding dengan pemikiran Kornadt dalam hal perkembangan

(31)

Masalah pokok itu tersimpul dari formulasi pertanyaan yang tersusun sebagai berikut:

a. Bagaimana gambaran umum teori al-Ghazali tentang pendidikan akhlak berdasarkan konsep tazkiyat al-nafs?

b. Bagaimana gambaran umum teori Kornadt tentang pengembangan motif agresi remaja dikaitkan dengan praktik pengasuhan anak?

c. Dimana persamaan pemikiran al-Ghazali dan Kornadt berkaitan dengan pengembangan akhlak/karakter melalui pendidikan keluarga? d. Dimana perbedaan pemikiran al-Ghazali dan Kornadt berkaitan

dengan pengembangan akhlak/karakter dalam pendidikan keluarga? e. Dapatkah teori al-Ghazali dan teori Kornadt digabungkan pada tataran

praktis sehingga dapat disusun teori baru tentang pengembangan akhlak/karakter melalui pendidikan keluarga?

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan Beberapa Penelitian di Indonesia:

1. Penelitian tentang Konsep Nafs dalam Al Qur’an (Suatu Kajian Tentang Nafs dengan Pendekatan Tafsir Maudu`i). Penelitian ini dilakukan oleh Achmad Mubarok. Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1999.

Hasil Penelitian:

(32)

qalb (hati), `aql (akal) dan basîrah (hati nurani.). Dalam sistem nafs, qalb

menduduki posisi paling sentral, yakni sebagai alat untuk memahami dan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan, yang dalam proses bekerjanya dibantu oleh subsistem akal yang memiliki kemampuan berfikir dan basîrah yang memilki konsistesi kejujuran. Meski nafs mempunyai dorongan kuat kepada keburukan, tetapi ia bisa ‘dibentuk’ hingga menjadi berkualitas tinggi (suci) atau rendah (kotor). Menurut Al-Quran, pada mulanya nafs manusia itu secara fitri bersifat (nafs zakiyyah), tetapi interaksi dalam proses stimulus dan respons dapat mengantar nafs pada tingkat Lawwâmah, yakni nafs yang senantiasa menyesali diri karena merasa kurang mengambil peluang secara optimal. Selanjutnya nafs dapat meningkat ke martabat nafs mutmainnah, yakni nafs yang telah mencapai tingkat ketenangan di bawah rida Tuhan, atau sebaliknya terjerumus pada tingkat Ammârah, yakni nafs yang lebih cenderung kepada kejahatan. Kualitas tingkah laku manusia sangat dipengaruhi oleh kualitas nafs. Tingkah laku positif yang dikerjakan secara berkesinambungan oleh sesorang berperan dalam menumbuh suburkan dorongan-dorongan kepada kebaikan dan menekan dorongan-dorongan kepada keburukan. Usaha mengubah tingkahlaku manusia dapat diukur dengan mengubah kualitas nafs, yakni dengan mengubah cara berfikir dan cara merasanya. Sistem nafs

yang dimiliki manusia menyebabkan tingkahlaku manusia dapat diukur dengan kriteria tanggungjawab.

2. Penelitian tentang Sistem Motif Agresi Remaja (Studi Perbandingan mengenai Pembentukan Sistem Motif Agresi pada Kelompok Remaja Pelaku Tindakan Kriminal dan Remaja Non Pelaku Tindakan Kriminal di Jakarta dalam Kaitannya dengan Praktik Pengasuhan Anak). Penelitian ini dilakukan oleh Charletty Choesyana Soffat. Program Pascasajana Universitas Indonesia, Jakarta, 1998.

(33)

3 Penelitian tentang Sistem Motif Agresi Pada Remaja (Suatu Studi Mengenai Cerminan Adat dalam Praktek Pengasuhan Anak, terhadap Pembentukan Sistem Motif Agresi, pada Remaja Batak-Toba). Penelitian ini dilakukan oleh Ponpon Harahap. Program Pascasajana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1987.

Hasil Penelitian:

1. Terdapat sejumlah korelasi positif yang sangat signifikan antara perlakuan orang tua yang meningkatkan maupun perlakuan orang tua yang menghambat, baik dari ayah maupun ibu, dengan kedua komponen sistem motif agresi pada remaja

2. Motif Agresi dan kecederungan menyeluruh untuk bertindak agresif pada remaja laki-laki Batak-Toba di Jakarta lebih tinggi daripada remaja laki-laki Batak-Toba di Belige.

3. Remaja Batak-Toba di Belige lebih terikat pada nilai-nilai tradisional daripada remaja Batak-Toba di Jakarta.

Beberapa Penelitian di Luar Negeri

1. Sejumlah penelitian membuktikan ada hubungan antara karakteristik keluarga terutama pola asuh anak dan tingkah laku agresi pada remaja. Konsensus yang muncul dari penelitian - penelitian tersebut adalah bahwa orang tua yang bersikap dingin, menolak dan berorientasi hukuman yaitu menerapkan power-assertive discipline, cenderung untuk mempunyai anak yang memperlihatkan agresi dengan tingkah laku yang lebih tinggi dari tingkat rata–rata.38

2. Penelitian tentang praktik pengasuhan anak (child-rearing practices) yang dilakukan oleh Dan Olweus menghasilkan informasi bahwa prediktor terbaik

38

(34)

bagi agresi para remaja (laki–laki) adalah (1) sikap ibu yang serba membolehkan, toleran terhadap tingkah laku agresif anak pada awal masa kanak–kanak, (2) sikap ibu yang dingin dan menolak terhadap anak dan (3) gerak hati (impulse) anak itu sendiri yang temperamental).39

3. Penelitian tentang praktik pengasuhan anak yang dilakukan oleh Wesley C. Becker menemukan bahwa orang tua yang menggunakan teknik love-oriented cenderung untuk memperkembangkan penerimaan anak terhadap tanggung jawab diri dan memupuk kontrol diri melalui inner mechanisme of guilt.40 Sebaliknya, orang tua yang mengkombinasikan permusuhan dengan

pengizinan dalam praktik pengasuhan anak cenderung membentuk anak yang bertingkah laku agresif dan delinkuen.41

4. Penelitian–penelitian tentang delinkuensi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa delinkuensi adalah lebih umum di kalangan anak–anak yang kekurangan kasih sayang dalam hubungannya dengan orang tua, dan dimana praktik pengasuhan anak yang diterapkan adalah tidak teratur dalam kebiasaan, tidak peduli, keras atau kejam.42 Hasil penelitian di Inggris dan Amerika melaporkan bahwa para orang tua dari remaja–remaja delinkuen (laki–laki) cenderung kurang memperhatikan (poor monitors) aktivitas– aktivitas anak mereka.43

D. Tujuan Penelitian

Penelitian dalam studi ini bertujuan untuk :

39

Lihat dalam Shaffer, Social & Personallity Development. Third Edition. (USA : Wadsworth, Inc, 1994), hal. 349

40

Lihat dalam Zanden, J. W. V., Human Development. Fifth Edition. (USA: Better Graphics, Inc. 1993), hal. 269

41

Lihat Becker dalam Zanden, J. W. V. Human Development. Fifth Edition. (USA: Better Graphics, Inc., 1993), hal. 270

42

Lihat Dishion et al, Wilson, Rutter & Giller, Shaw & Scott, Widom dan Wilson dalam Durkin, K. Development Social Psychology, (Great Britain : T.J. Press Ltd., 1995), hal. 572

43

(35)

Tujuan Umum:

1. Mengetahui apakah terdapat persamaan pandangan tentang proses pengembangan akhlak/karakter melalui pendidikan keluarga menurut teori Al-Ghazali dan teori Kornadt.

2. Mengetahui apakah terdapat perbedaan pandangan tentang proses pengembangan akhlak/karakter melalui pendidikan keluarga menurut teori Al-Ghazali dan teori Kornadt.

3. Menghasilkan suatu kontribusi keilmuan dengan menggabungkan teori Al-Ghazali dan teori Kornadt pada tataran praktis, sebagai suatu kajian Islam

Tujuan Khusus:

Mengetahui apakah terdapat kemungkinan menggabungkan teori Al-Ghazali dan teori Kornadt (agama dan psikologi/sekuler) dalam menyusun teori baru tentang pengembangan akhlak melalui pendidikan keluarga.

E. Manfaat Penelitian

Dengan melakukan studi komparatif teori Al-Ghazali dan teori Kornadt tentang pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga, maka penelitian ini mempunyai beberapa manfaat sebagai berikut:

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk :

1. Menambah pengetahuan tentang pengembangan akhlak/karakter ditinjau dari sudut pandang konsep Tazkiyat al-Nafs dari Al-Ghazali.

2. Menambah pengetahuan tentang pengembangan perilaku agresif ditinjau dari sudut pandang teori motivasi mengenai agresi dari Kornadt.

3. Memperoleh pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan dari teori Al-Ghazali dan teori Kornadt tentang pengembangan karakter dalam kaitannya dengan perlakuan orang tua.

(36)

5. Membuktikan bahwa terdapat kemungkinan adanya realitas konstruk yang dihasilkan oleh dua nilai yang berbeda yang melahirkan nilai yang sama.

Secara praktis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk:

1. Memberikan kontribusi keilmuan yang dapat diaplikasikan di bidang psikologi agama dan psikologi pendidikan terutama kaitannya dengan pembinaan kepribadian anak agar lebih selaras dengan lingkungannya sesuai dengan nilai-nilai agama.

2. Memotivasi dilakukannya penelitian-penelitian dengan mengintegrasikan keislaman, keilmuan, keindonesiaan dan kemanusiaan.

3. Memberi informasi kepada masyarakat luas terutama orang tua mengenai efek perlakuan orang tua terhadap pembentukan motif agresi pada anak, sehingga upaya pengembangan karakter melalui pendidikan keluarga dapat berhasil lebih baik, dapat membentuk akhlak yang baik (perilaku non agresif pada anak.

4. Melaksanakan upaya pendidikan akhlak generasi penerus bangsa di lingkungan keluarga dan masyarakat. Dengan terbentuknya generasi penerus bangsa Indonesia (mayoritas penganut agama Islam) yang berakhlak mulia, berkarakter baik, berbudi pekerti luhur, pada gilirannya akan membentuk bangsa Indonesia yang lebih berwibawa di masa mendatang.

F. Metodologi Penelitian

(37)

pengembangan akhlak/karakter. Dalam perbandingan ini akan diteliti adanya integrasi pemikiran yang menggambarkan persamaan persepsi dalam hal-hal yang menjadi pembahasan, d samping adanya perbedaan dalam hal-hal tertentu. Dalam usaha pemecahan masalah untuk mencari jawaban-jawaban, maka ditempuh metode komparatif dengan pendekatan kualitatif

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan disertasi ini terdiri dari enam bab.

Bab I, yaitu Pendahuluan, berisi uraian tentang (a) latar belakang masalah, (b) permasalahan, (c) penelitian terdahulu yang relevan, (d) tujuan penelitian, (e) manfaat penelitian, (f) metodologi penelitian dan (g) sistematika penulisan.

Bab II, Agama dan Psikologi, meliputi 4 sub bab berisi uraian tentang (a) keterkaitan agama dan psikologi, (b) psikoanalisis dan agama, (c) behaviorisme dan agama, dan (d) psikologi humanistik dan agama

Bab III, Tinjauan Umum Jiwa, Akhlak dan Pendidikan Keluarga dalam Perspektif Ilmu Agama Islam yang mencakup (a) jiwa/nafs dan akhlak (b) perkembangan keagamaan remaja, (c) pendidikan akhlak melalui keluarga.

Bab IV, Tinjauan Umum Motif, Agresi dan Praktik Pengasuhan Anak dalam Perspektif Psikologi yang mencakup (a) remaja dan perkembangan perilaku, (b) motif dan perkembangan perilaku agresif, (c) praktik pengasuhan anak.

(38)

Bab VI, Teori Kornadt tentang Agresi Berdasarkan Teori Motivasi yang mencakup (a) teori Kornadt tentang sistem motif agresi, (b) perkembangan agresivitas dalam perspektif Kornadt, (c) praktik pengasuhan anak dan motif agresi anak.

Bab VII, Perbandingan Teori al-Ghazali dan Teori Kornadt, yang berisikan hal-hal yang dapat diperbandingkan secara komparatif antara pemikiran Al-Ghazali dan pemikiran Kornadt, yakni: (a) sistem motif sebagai penggerak tingkah laku, (b) tingkah laku hasil interaksi sosial, (c) orientasi nilai (d) peranan amarah/frustrasi dalam perilaku agresif dan (e) aspek-aspek praktik pengasuhan anak – berkaitan pengembangan karakter.

(39)

BAB II

AGAMA DAN PSIKOLOGI

A. Keterkaitan Agama dan Psikologi

Pertemuan antara psikologi dan agama dapat terjadi dengan menemukan jawaban bersama atas pertanyaan sederhana: Apa yang dipelajari dalam mengkaji agama? William James memandang bahwa untuk melakukan penelitian agama maka yang diteliti adalah kesadaran keagamaan yang berkembang sejalan dengan pengalaman keagamaan. Dengan demikian, dua tema pokok kajian agama adalah kesadaran keagamaan (religious consciousness) dan pengalaman keagamaan (religious experience). Ia pun berpendapat ada tiga karakteristik agama, yakni: Pribadi (personal), emosionalitas (emotionality)n dan keanekaragaman (Variety). Agama tetap bertahan hidup karena amat bermanfaat bagi manusia di bidang di mana manusia mencari makna hidupnya. Dalam merumuskan agama dengan pendekatan psikologis, William James mengemukakan pengertian agama sebagai:

“Agama adalah perasaan, tindakan dan pengalaman manusia secara individual dalam keheningannya, yang menganggap bahwa mereka berhubungan dengan apa yang dipandang mereka sebagai Tuhan.”1

Perhatian secara psikologis terhadap agama sudah setua umat manusia. Sejak tumbuhnya kesadaran manusia, orang telah merenungkan tentang arti hidup

1

(40)

dan keberadaan di dunia, mengapa manusia berperilaku seperti itu, dan bagaimana arti hidup dan perilaku itu berhubungan dengan dunia yang ilahi, para dewa-dewi. Tetapi baru pada abad ke-19 dan abad ke-20 perhatian itu dilakukan secara ilmiah yaitu lewat psikologi agama. Psikologi agama, sebagai cabang ilmu psikologi, merupakan produk dunia Barat. Psikologi agama lahir sebagai hasil perkembangan ilmu-ilmu sosial pada umumnya dan psikologi pada khususnya.2

Selama masa pengembangan psikologi ilmiah, agama tidak mendapatkan perhatian yang berarti. Karena agama seringkali dianggap membatasi teknik psikologi atau lebih tepatnya agama dipandang sebagai bidang suci yang tabu untuk penyelidikan ilmiah. Apalagi para ahli agama dan para ahli psikologi sendiri menilai studi agama secara psikologis merupakan tindakan masuk ke bidang lain, yang bukan bidangnya dan dengan metode yang bukan metodenya. Penjelasan tentang agama sebaiknya dicari dari sumber-sumber adikodrati. Akibatnya selama paruh kedua abad ke-19 psikologi agama bisa dikatakan hampir tidak ada perkembangannya.3

Sekitar pergantian abad ke-19 dan ke-20 terbit dua buku yang menjembatani jurang antara psikologi dan agama dan banyak mengatasi rasa permusuhan di antara keduanya. Buku pertama adalah buku yang ditulis oleh Edwin D. Starbuck, berjudul The Psychology of Religion, terbit tahun 1899, dan buku kedua adalah buku yang ditulis oleh William James, The Psychology of Religious Experience, terbit tahun 1902. Jika dinilai menurut ukuran sekarang

dari segi metode, dapat dikatakan bahwa kedua buku itu kurang dalam dan terlalu memusatkan perhatian pada pengalaman keagamaan yang luar biasa dengan mengabaikan pengalaman keagamaan yang biasa. Meskipun demikian, kedua karya itu teramat penting dalam perintisan penyelidikan fenomena keagamaan dari segi psikologi dan dalam penciptaan sikap positif terhadap kemungkinannya.

2

Lihat John B. Magee, Religion and Modern Man: A Study of the Religious Meaning of Being Human, New York:Harper & Row, 1967 hal. 175-80

3

(41)

Pada dasawarsa awal abad ke-20 orang seperti James H. Leuba, George Coe, dan G. Stanly Hall yang karya-karyanya mengacu pada karya Starbuck dan James, memberi identitas pada istilah “Psikologi Agama”.4

Tetapi sejak sekitar tahun 1930-an hanya sedikit kemajuan dalam pengembangan karya para perintis bidang studi agama secara psikologis dan menyempurnakan metodenya. Tahun-tahun itu merupakan tahun kemunduran psikologi agama. Alasan pertama adalah karena semacam ketidakacuhan di kalangan ahli agama dan ahli psikologi. Para ahli agama dan para ahli psikologi seolah-olah sepakat berkata bahwa tidak mungkin ada psikologi agama. Kedua, meskipun telah berkembang berbagai metode canggih yang memungkinkan psikologi menyelidiki agama secara lebih tepat, banyak ahli agama tetap tidak yakin bahwa studi agama secara psikologi dapat menghasilkan data yang dapat diandalkan. Ketiga, meskipun agama telah kehilangan sebagian besar bentengnya sebagai bidang suci, banyak ahli psikologi masih bersikap hati-hati dalam hal-hal di mana pembenarannya sepertinya harus bersandar pada yang transenden.

Kecuali alasan-alasan di atas, mundurnya psikologi agama masih diakibatkan oleh dua faktor lain. Di satu pihak, karena pada tahun-tahun itu psikologi cenderung semakin positivistis behavioristis, dan kurang menyediakan kemungkinan untuk menilai agama di luar metode empiris ketat. Di lain pihak, agam

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bahwa yang membahas tentang Konsep Pendidikan Islam Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun belum penulis temukan secara khusus judul yang sama dengan

Dalam penelitian yang telah dilakukan dengan membandingkan dua konsep tentang pola pembelajaran menurut kontruktivistik dan menurut pendidikan Islam yang dispesifikkan pada

Salah satu aspek yang turut memberikan saham dalam terbentuknya corak pemikiran, sikap dan tingkah laku seseorang adalah faktor milieu atau lingkungan di mana seseorang

57 Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, op. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id..

Agar nantinya penerus bangsa ini tidak hanya cerdas secara intelektual dan kinestetik tapi juga mempunyai moral dan tingkah laku yang baik sesuai dengan

Menurut Al-Ghazali Dalam Risalah Ayyuha al-Walad mengenai prinsip pendidikan karakter yaitumenekankan pada pentingnya nilai akhlak yang mengarah pada prinsip

Pokok pertama disiplin adalah peraturan. Peraturan adalah pola yang ditetapkan untuk tingkah laku. Pola tersebut mungkin ditetapkan orang tua, guru, atau teman bermain. Dalam