• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Psikoanalisis Erich Fromm

bahwa: setiap manusia memiliki kemampuan dan potensi-potensi yang unik dan khas yang berada di dalam dirinya, hal ini tertuang dalam ungkapan “walau sagadang bijo bayam, langik jo bumi ado di dalamnya” (walau sebesar biji sayur bayam, langit dan bumi ada di dalamnya)

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Psikoanalisis Erich Fromm

Erich Fromm (1900-1980) merupakan salah satu dari pemikir mahzab Frankfrut, dilahirkan di Frankfurt, German pada tanggal 23 Maret 1900. Ia belajar psikologi dan sosiologi di Universitas Heidelberg, Frankfurt dan Munich. Setelah mendapatkan gelar Ph.D dari Universitas tersebut pada tahun1922, Fromm lalu belajar psikoanalisis di Munich dan pada Institut Psikoanalisis Berlin. Tahun 1933, ia pindah ke Amerika Serikat dan mengajar di Institut Psikoanalisis Chicago serta melakukan praktik sendiri di kota New York. Fromm pernah mengajar pada sejumlah universitas dan institut di Amerika Serikat hingga Meksiko. Terakhir, Fromm menetap dan meninggal di Swiss, tepatnya di Muralto, pada tanggal 18 Maret 1980. Fromm sangat terpengaruh oleh karya Karl Marx, terutama oleh tulisan Marx yang pertama, The Economic Philosophical Manuscripts. Psikoanalisis yang dijelaskan oleh Fromm ialah usaha dari Fromm sendiri dalam mengintegrasikan gagasan Karl Marx dengan psikoanalisisnya Sigmund Freud. Walaupun harus disadari bahwa Fromm sendiri sebenarnya bukan seorang freudian namun orang banyak menyebut seorang neo-freudian. Analisis yang dikembangkan oleh Fromm banyak mengupas

25

situasi masyarakat kapitalisme yang menekankan kepada hubungan perilaku masyarakat dengan keadaan sosial, politik, dan ekonomi. Penerapan psikoanalisis pemikiran Fromm untuk kebutuhan ini lebih menekankan kepada gagasannya di dalam buku to have or to be.

Tema dasar ulasan Fromm adalah orang yang merasa kesepian dan terisolasi karena dirinya dipisahkan dari alam dan orang-orang lain. Keadaan isolasi ini tidak ditemukan dalam semua spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia. Sebagai seorang psikoanalisis, From dikenal sebagai seorang revisionis pemikiran-pemikiran Freud. Melalui karya-karyanya Fromm meninggalkan teori libido dan oedipus complex Freud. Tipologi libidal Freud antara lain: tipe oral, tipe anal dan genital diganti oleh Fromm dengan tipologi yang didasari oleh dasar relasi interpersonal, relasi yang spesifik antara manusia dengan dunia (tipe karakter non produktif, tipe karakter produktif. Oedipus complex ditinggalkan oleh Fromm karena bentuk tipologi yang dibangun di atas kebudayaan partiarkal yang akhirnya melahirkan kompleks oedipus, mengakibatkan manusia merasa tertekan dan tidak aman oleh kewajiban secara otoriter oleh ayah maupun suara hati. Berangkat dari premis yang demikian akhirnya Fromm sendiri mengusulkan sebagai kebudayaan yang berangkat dari kebudayaan matriarkal sebagai alternatif, karena yang lebih dominan disini adalah cinta kasih. Di lain sisi Fromm juga mengkritik gagasan Freud dikarenakan terlalu mereduksi relasi antar manusia menjadi sarana untuk memperoleh gravitasi individual.

26

Sekitar tahun 1940an sejalan dengan kritiknya atas Freud, hubungan Fromm sendiri dengan teman-teman dari mahzab Frankfrut merenggang yang akhirnya semakin retak. Maka sejak saat itu minat Fromm berkembang ke hal-hal yang lebih luas yaitu analisis atas kondisi eksistensi manusia. Pada fase inilah karya-karya Fromm sangat dipengaruhi oleh konsep alinansi Karl Marx muda. Pemikiran Fromm diwarnai dengan topik-topik disekitar keterasingan, neurotic, sadisme, masokhisme dan sebagainya yang tidak lagi merumuskan kerangka seksualitas seperti apa yang dilakukan oleh kaum Freudian ortodoks, melainkan analisis yang dilakukan Fromm lebih menekankan kepada kerangka hubungan antar pribadi. Akhirnya, minat Fromm yang lebih kepada aspek eksistensial manusia mendorongnya untuk mengembangkan pemikirannya tentang transformasi kemasyarakatan dan bahkan di bidang moral, yang diwarnai oleh pernyataan-pernyataan yang optimis, bahkan cenderung utopis.

Pokok pemikiran Fromm sendiri dalam konteks penelitian ini berdekatan dengan gagasan utamanya di dalam buku “to have or to be”, di dalam bukunya ini Fromm mencoba membandingkan kebudayaan modern yang lebih memiliki kecenderungan untuk memiliki dari pada menjadi atau keberadaanya. Fromm menjelaskan bahwa ada dua cara eksistensi yang sedang bertarung dalam periode krisis dewasa ini : 1. Cara “memiliki” (to have), yang sangat dominan berada di dalam masyarakat industry modern dan industry dewasa ini, baik itu kapitalisme maupun komunisme. Cara yang pertama ini lebih mengutamakan kepemilikan harta benda, citra diri, narsistik, kompetisi, ego dan kekuasaan yang akhirnya berimplikasi kepada keserakahan, kedengkian, dan agresivitas. 2. Cara “mengada” (to be), cara

27

yang kedua ini tampak nyata di dalam kebahagian, oleh karena pengalaman bersama dan aktivitas yang benar-benar produktif dan tidak sia-sia. Dasar dari cara berada adalah cinta dan penghargaan atas nilai-nilai manusiawi di atas nilai-nilai kebendaan. Menurut Fromm cara hidup dengan “cara memiliki” akan membawa manusia kepada bencana ekologis dan psikologis. Bencana atas kemanusiaan itu hanya dapat dihindari kalau manusia dapat mengubah cara hidupnya kepada “cara berada”, di dalam bukunya ini (to have or to be) Fromm juga mengusulkan suatu program untuk perubahan sosial dan perubahan psikologis secara sekaligus guna menuju cara berada atau menjadi (Widodo, 2005: 32).

Bahkan, secara lebih mendalam lagi Fromm akhirnya sampai pada penelusuran terhadap penyakit-penyakit psikis di dalam masyarakat industri dan modern akhir-akhir ini. Penelusuran Fromm menggunakan pendekatan psikoanalisis maka banyak menyoroti persoalan diri dan bawah sadar individu di dalam hubungannya dengan sosial dan lingkungan yang mempengaruhi motif-motif prilaku masyarakat modern. Oleh karenanya Fromm memperoleh kesimpulan seperti yang dijelaskan juga di bukunya yang lain “the art of loving” mengingatkan relasi dan hubugan antar manusia yang berbasis cinta dan hubungan tanpa tuntutan serta maju bersama dalam melakukan kegiatan-kegiatan produktif.

Analisis Fromm ini sangat berkaitan dengan analisis yang diketengahkan di dalam penelitian ini, guna melihat bagaimana posisi urang di dalam paradigma masyarakat Minangkabau sekarang. Penelusuran Fromm digunakan untuk melihat bentukan dan bangunan bawah sadar masyarakat Minangkabau. Selaras dengan apa yang dijelaskan oleh Fromm sendiri, bahwa di Minangkabau juga dipengaruhi oleh kebudayaan modern yang lebih menitik beratkan kepada pencapaian material atau yang dalam kata-kata Fromm sebagai cara memiliki. Konsekuensinya

28

paradigma urang sebagai suatu individu yang memiliki potensi yang selalu hidup dalam manjadi

atau berproses (manjadi) dilupakan. Urang lebih dipandang dari capaian-capaian materialnya dari pada penemuan jati dirinya. Hal ini memperlihatkan bahwa kedudukan manjadi urang terlupakan dikarenakan lebih berorientasi kepada hasil dari pada proses. Singkatnya seperti di dalam konsep Fromm mengenai alienansi atau keterasingan, bahwa urang selalu memproyeksikan dirinya kepada hal-hal di luar dirinya, seperti: menjadi urang dianggap ketika mampu memperoleh kekayaan, sekolah untuk pekerjaan, gelar maupun harta, juga ikut andil dalam meningkatkan harga diri seseorang. Akhirnya seseorang tersebut menjadi asing dengan dirinya sendiri, karena selalu berorientasi kepada yang bukan dirinya tetapi diri sang liyan. Hal ini seperti apa yang dijelaskan masyarakat Minangkabau sebagai bukan urang, atau takahurang yaitu urang yang hanya meniru orang lain dan seolah-olah seperti orang lain, tanpa mengenai potensi dan “bijo” dirinya sendiri. 2.3.2 Teori Identitas- Anthony Giddens

Bagi Giddens (1991) identitas terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri, sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang kontinuitas biografis. Cerita mengenai identitas berusaha menjawab sejumlah pertanyaan kritis. Individu atau agen berusaha mengkonstruksi suatu narasi identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan (Giddens, 1991:75). Jadi, identitas diri bukanlah sifat distingtif, atau bahkan kumpulan sifat-sifat, yang dimiliki oleh individu. Identitas diri ialah bagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks biografinya (Giddens, 1991:53).

29

Opini Giddens sesuai dengan pandangan sebagian masyarakat Minangkabau dalam menafsir, memahami konsep manjadi urang, di mana urang atau identitas manusia di dalam masyarakat Minangkabau merupakan sesuatu yang terus berproses (manjadi). Identitas ini bukanlah kumpulan sifat-sifat yang dimiliki oleh subyek; identitas bukanlah sesuatu yang dimiliki, ataupun entitas atau benda yang bisa ditunjuk. identitas adalah cara berfikir tentang diri. Namun pemikiran atau tindakan refleksi tentang diri selalu berubah dari situasi ke situasi yang lain menurut ruang dan waktunya, itulah sebabnya Giddens menyebut identitas sebagai proyek. Yang dia maksud adalah bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan. Proyek identitas membentuk apa yang dipikirkan tentang diri saat ini dari refleksi tindakan masa lalu dan masa kini, bersama dengan apa yang diinginkan, lintasan harapan ke depan.

Meski identitas-diri bisa dipahami sebagai proyek, diri telah menjadi altruisme sosiologis bahwa I (aku) lahir di dunia yang mendahului I (aku), belajar menggunakan bahasa yang telah digunakan sebelum I (aku) datang dan menjalani hidup dalam konteks hubungan sosial dengan orang lain. Tanpa bahasa, konsep kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti. Singkatnya, subyektivitas tidak bisa dilepaskan dari peranan sosial yang memiliki keteraturan berupa nilai-nilai ideal di mana nilai-nilai ini dibentuk bersama secara sosial, Nilai-nilai ideal ini biasanya tertuang ditiap-tiap unsur kebudayaan yang mempengaruhi individu dalam membangun identitas diri.

30

Tidak ada elemen transedental atau historis terkait dengan bagaimana seharusnya menjadi seseorang. Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural, karena alasan-alasan berikut:

1. Pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah pertanyaan kultural. Sebagai contoh, individualisme adalah ciri khas masyarakat modern.

2. Sumber daya yang membentuk materi bagi proyek identitas, yaitu bahasa dan praktik kultural, berkarakter sosial. Semuanya itu dibentuk secara berbeda pada konteks-konteks kultural yang berbeda pula.

31

Dokumen terkait