• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.6. Landasan Teori

1.6.2. Psikologi Sastra

Menurut Rahmanto dan Dick Hatoko (1985: 126-127) psikologi sastra artinya

pendekatan dari sudut psikologi dan sastra. Dari sudut psikologi yang digunakan adalah

psikoanalisis struktur kepribadian dari Sigmund Freud, sedangkan dari sudut sastra, teori

yang digunakan adalah teori struktural yang meliputi tokoh dan latar.

Dari sudut psikologi permasalahan akan dianalisis bedasar teori psikoanalisis struktur

kepribadian dari Sigmund Freud. Dalam pendekatan psikologi terdapat teks sendiri sering

digunakan psikoanalisis dari Freud. Teori Freud ini mempergunakan alam bawah sadar untuk

menerapkan pola kelakuan manusia serta penyimpangan-penyimpangan tertentu. Penelaahan

yang menekankan pada karya bertujuan untuk mengetahui aspek-aspek psikologis yang

tercermin dalam perwatakan tokoh-tokoh dengan menggunakan sumbangan pemikiran dari

psikologi sastra.

1.6.2.1. Teori Psikologi Sastra

Menurut Sukada (1987: 102), unsur kejiwaan seorang tokoh dalam novel merupakan

suatu hal yang menarik untuk dikaji. Psikologi merupakan ilmu yang dapat membantu

memecahkan berbagai masalah kejiwaan. Sastra dan psikologi merupakan dua wajah satu hati

dan sama-sama menyentuh manusia dalam persoalan. Untuk memahami faktor-faktor

kejiwaan tokoh dapat ditelaah menggunakan teori dari Freud mengenai unsur-unsur kejiwaan

yang terdiri dari id, ego, super ego.

Menurut Heerdjan (1987: 31) konflik adalah keadaan pertentangan atau

dorongan-dorongan yang berlawanan, tetapi ada sekaligus bersama-sama pada diri seseorang.

Nurgiyantoro (1995: 124) menjelaskan konflik batin atau konflik internal merupakan

konflik yang terjadi di dalam hatti, jiwa seseorang tokoh cerita. Konflik batin dapat timbul

karena pertentangan antara dorongan-dorongan yang berlawanan, tetapi ada sekaligus

bersama-sama pada diri seseorang. Konflik timbul pada saat ego mendapat dorongan kuat

dari id yang tidak dapat diterimanya sebagai sesuatu yang berbahaya. Heerdjan (1997: 31)

menjelaskan bila kekuatan naluri melebihi kemampuan ego untuk mengeluarkan dan

mengendalikan, muncullah anxietas, rasa cemas. Ini tanda bahaya yang mengatakan bahwa

ego berhasil menyelesaikan konflik.

Selanjutnya masih menurut Heerdjan (1987: 33-36) untuk melenyapkan kecemasan,

ego sering membentuk mekanisme defensi atau mekanisme pertahanan. Tujuannya adalah

untuk mencegah jangan sampai tujuan yang tidak dapat diterima menimbulkan gangguan

yang lebih kuat lagi karena ini akan mengganggu keutuhan ego. Ada beberapa macam

mekanisme pertahanan, yaitu negasi simple, represi, rasionalisasi, projeksi, formasi reaksi,

mekanisme pelarian, regresi, konversi, substitusi, sublimasi, dan konpensasi.

Menurut Endaswara (2003:96), psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang

diyakini mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan. Dalam menelaah suatu karya

psikologis hal penting yang perlu dipahami adalah sejauh mana keterlibatan psikologi

pengarang dan kemampuan pengarang menampilkan para tokoh rekaan yang terlibat dengan

masalah kejiwaan.

Menurut Albertine Mindrop (2010:9), psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal

yaitu pertama, karya sastra merupakan kreasi dari suatu proses kejiwaan dan pemikiran

pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious) yang selanjutnya

dituangkan ke dalam bentuk conscious. Kedua, telaah psikologi sastra adalah kajian yang

menelaah cerminan psikologi dalam diri para tokoh yang disajikan sedemikian rupa oleh

problem psikologis kisahan yang kadang kala merasakan dirinya terlibat di dalam cerita.

menampilkan watak para tokoh, walaupun imajinatif dapat menampilkan berbagai problem

psikologis.

Menurut Bimo Walgito (1980: 5), pengertian psikologi itu berupa ilmu mengenai

kejiwaan, maka persoalan yang pertama-tama timbul ialah apakah yang dimaksud dengan

jiwa itu. Untuk memberikan jawaban ini bukanlah merupakan hal yang mudah searti

diperkirakan orang banyak. Ini telah dikemukanan oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai berikut:

“yang dimaksud dengan „jiwa‟ itu menurut pengajaran pengetahuan yang positif? Menurut

riwayatnya ilmu psikologi sudah ada mulai zaman purba orang memperbincangkan soal ini,

soal tertua di dalam peradaban manusia.

Menurut Minderop (2010: 59) kajian sosiologi maupun psikologi sastra atas dasar

asumsi genesis yang terkait dengan asal-usul kajian sastra. Kajian sosiologi dikaji dalam

kaitannya dengan masyarakat yang menghasilkannya sebagai latar belakang sosialnya. Kajian

psikologi berkaitan dengan aspek kejiwaan pengarang, tokoh, atau pembacanya. Kajian

psikologi diperlukan saat peradaban meningkat, pada saat manusia kehilangan pengendalian

psikologis. Tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung

dalam karya, melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya pengkaji dapat memahami

perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan dalam masyarakat.

Cara yang digunakan untuk memahami hubungan antara psikologi dan sastra, sebagai

berikut :

1.6.2.1.1 Memahami unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis;

1.6.2.1.2 Memahami unsur kejiwaan tokoh-tokoh dalam karya sastra;

1.6.2.1.3 Mamahami unsur kejiwaan pembaca, berkaitan dengan resepsi sastra;

1.6.2.1.4 Melalui pemahaman terhadap teori-teori psikologi, baru melakukan analisis

1.6.2.1.5 Menentukan kajian sastra sebagai objek, lalu dicari teori psikologi yang relevan.

Dalam perkembangannya, kajian psikologi dibedakan menjadi dua prinsip pokok,

yaitu :

Pertama kajian yang mempelajari kondisi psikis manusia di atas ambang kesadaran.

Kajian ini meliputi tema-tema : konflik batin, motivasi, pembentukan identitas diri, keutuhan

dasar manusia, kepribadian tokoh, dan lain-lain. Dalam pengembangannya hal inilah yang

disebut kajian psikologi.

Kedua kajian yang mempelajari kondisi psikis manusia diambang kesadaran dan di

bawah sadar. Kajian ini disebut Psikoanalisis. Misalnya: ketakutan, kecemasan, seksualitas,

kekerasan, dan lain-lain.

Dengan demikian, teori psikologi sastra menjadi landasan konflik batin dengan

memahami unsur kejiwaan tokoh-tokoh dalam karya sastra. Pembahasan tokoh utama dilihat

dari sifat, watak, dan pribadi tokoh Saraswati yang digambarkan oleh Dianing Widya

Yudhistira dalam karyanya novel Sintren.

1.6.2.2 Teori Psikoanalisis Sigmund Freud

Menurut Freud via Dirgagunarsa (1983: 63) teori psikoanalisis yaitu teori struktur

kepribadian digunakan untuk menganalisis konflik batin tokoh Saraswati. Dalam diri

seseorang terdapat tiga system kepribadian yang disebut id atau es, ego atau ich, dan super

ego atau uberich. Id adalah reservoir atau wadah dalam jiwa seseorang yang berisikan

dorongan-dorongan yang disebut Primitif Drive / Inner Forces. Dorongan-dorongan primitif

ini merupakan dorongan yang menghendaki agar segera dipenuhi atau dilaksanakan. Kalau

dorongan ini dipenuhi dengan segera, maka tercapai perasaan senang dan puas. Oleh karena

bertugas untuk dengan secepatnya melaksanakan dorongan-dorongan primitif agar tercapai

parasaan senang tanpa memperdulikan akibatnya.

Dirgagunarsa (1983: 64) mengungkapkan ego bertugas melaksanakan

dorongan-dorongan dari id, dan ego harus menjaga benar bahwa pelaksanaan dorongan-dorongan

primitif ini tidak bertentangan dengan kenyataan dan tuntutan-tuntutan dari super ego. ini

adalah untuk mencegah akibat-akibat yang mungkin tidak menyenangkan bagi ego sendiri,

karena itu ego dalam melaksanakan tugasnya yaitu merealisasikan dorongan-dorongan dari

id, ego selalu berpegang pada psinsip kenyataan atau reality principle.

Menurut Dirgagunarsa (1983: 64) super ego adalah sistem kepribadian yang berisi

kata hati (conscience). Kata hati ini berhubungan dengan lingkungan sosial dan mempunyai

nilai-nilai moral sehingga kontrol atau sensor terdapat dorongan-dorongan yang dipenuhi

dengan id. Super ego menghendaki agar dorongan-dorongan yang tidak sesuai dengan

nilai-nilai moral tetap tidak dipenuhi. Kerena itu ada semacam pertentangan antara id dengan super

ego, sehingga ego berperan sebagai pelaksana yang harus dapat memenuhi tuntutan dari

kedua siste kepribadian tersebut secara seimbang. Kalau ego gagal menjaga keseimbangan

antara dorongan dari id dan larangan-larangan dari super ego, maka individu yang

bersangkutan akan menderita konflik batin yang terus-menerus da konflik ini akan menjadi

neurosa.

Dokumen terkait