• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1.2.4 Sektor Pertanian

2.1.2.5 Sektor Perkebunan

2.1.2.6 Sektor Peternakan

Sektor pertanian merupakan sektor andalan bagi Kabupaten Aceh Besar, masyarakat pesisir di dalam calon SAP Aceh Besar umumnya menanam tanaman keras (perkebunan) seperti cengkeh, kemiri, kelapa dan pinang. Namun pada saat musim penghujan masyarakat pesisir juga menanam tanaman muda berupa cabai rawit, jagung, kacang hijau dan beberapa jenis sayuran. Sebagian kecil masyarakat yang bermukim di Pulau Nasi dan Pulau Breuh ada juga yang menanam padi di sawah, begitu juga yang bermukim di kecamatan Lhoknga, Peukan Bada dan Lampanah Kecamatan Seulimuem.Pada tahun 2017, sektor pertanian (termasuk peternakan) masih merupakan penyumbang terbesar dengan presentase 22,44 % kontribusi PDRB Kabupaten Aceh Besar

(BPS A.Besar, 2018).

Produksi kelapa dalam Kabupaten Aceh Besar sepanjang tahun 2017 berjumlah 5.908 ton, di mana daerah penghasil terbanyak adalah Kecamatan Pulo Aceh sebanyak 668,16 ton atau 11,31 % dari total produksi di Kabupaten Aceh Besar.

Untuk cengkeh Kecamatan Lhoknga menjadi penghasil terbanyak dari 684 ton, Kecamatan Lhoknga menyumbang 153,5 ton untuk produksi cengkeh Aceh Besar atau sebesar 22,44 %.

Produksi tanaman kopi pada tahun 2017 berjumlah 639 ton. Daerah penghasil terbanyak adalah Kecamatan Seulimuem sejumlah 140,5 ton atau 21,98 % dari total produksi di Aceh Besar.Kecamatan Seulimuem juga menjadi penghasil pinang dan kemiri di Kabupaten Aceh Besar. Produksi pinang dan kemiri di Kabupaten Aceh Besar adalah 1.558 ton dan 1.395 ton. Sedangkan produksinya di Kecamatan Seulimuem adalah 235,2 ton (15,09 %) dan 364 ton (26,09 %).

Jenis ternak yang menjadi usaha masyarakat di kawasan SAP Kabupaten Aceh Besar adalah Sapi, Kerbau, Kambing, Domba, Ayam Ras Pedaging/ Petelur, Ayam Buras dan Itik. Populasi ternak di Kabupaten Aceh Besar tahun 2017 terdiri dari ternak besar dan kecil yaitu Sapi berjumlah 122.712 ekor, Kerbau sebanyak 37.952 ekor, Kambing 86.162 ekor dan Domba sebanyak 6.797 ekor. Sedangkan untuk populasi jenis ternak unggas seperti Ayam Ras Pedaging/ Petelur ada sebanyak 12.331.577 ekor dan Ayam Buras berjumlah 13.825.316 ekor, serta Itik sebanyak 3.183.139 ekor.

Banyaknya pemotongan ternak pada tahun 2017 tercatat untuk ternak Sapi sebanyak 21.518 ekor, Kerbau sebanyak 8.671 ekor, Kambing sejumlah 34.993 ekor

dan Domba sebanyak 3.169 ekor. Untuk produksi telur yang paling banyak dihasilkan adalah telur Itik berjumlah 1.513.458 kg, kemudian disusul dengan Ayam Ras Petelur yaitu sebanyak 1.362.043 kg, dan telur Ayam Buras berjumlah 526.357 kg.Banyaknya kelompok tani ternak pada tahun 2017 tercatat 623 kelompok yang aktif. Kelompok tani ternak terbanyak ada di Kecamatan Seulimeum dengan jumlah 81 kelompok.

Nilai investasi pada sektor Industri Kecil Formal di Kabupaten Aceh Besar Tahun 2017 memiliki jumlah yang cukup besar pada Industri Kerajinan yaitu sekitar 44,94 miliar rupiah kemudian disusul dengan Industri Kimia dan Bahan Bangunan sekitar 37,74 miliar rupiah. Sedangkan industri Sandang memiliki nilai investasi yang paling sedikit yaitu sekitar 1,69 miliar rupiah.Untuk sektor Industri Kecil Non Formal nilai investasinya juga didominasi oleh Industri Pangan yaitu sekitar 13,3 miliar rupiah. Sedangkan nilai investasi terkecil yaitu Industri Sandang sekitar1,36 miliar rupiah.

Unit usaha terbanyak pada sektor Industri Formal berada pada Industri Pangan yaitu 1.257 unit usaha dengan tenaga kerja yang diserap sebanyak 3.499 orang. Sedangkan untuk sektor Industri Non Formal unit usaha terbanyak adalah juga Industri Pangan sebanyak 284 unit usaha yang mampu menampung tenaga kerja sebanyak 1.252 orang.Produksi Semen pada PT Lafarge Cement Indonesia Kabupaten Aceh Besar tahun 2017 berjumlah 1.300.095 ton.

2.1.2.7 Sektor Industri

2.1.2.8 Sektor Pertambangan

Potensi sektor pertambangan terdapat di Kecamatan Lhoknga, Lhoong, Pulo Aceh, Mesjid Rayadan Seulimuem. Deposit bijih besi dapat dijumpai dalam bentuk primary deposit dan secondary deposit. Bijih dalam bentuk batuan banyak ditemukan di Kecamatan Lhoong (Krueng Geunteut, Krueng Lhoong) dan Pulau Breuh Selatan.

Selain bijih besi, juga terdapat potensi molybdenum di Krueng Geunteut dan Krueng Lhoong.

Bahan tambang lain yang terdapat di dalam kawasan adalah tembaga, bahan galian logam ini dapat ditemukan di Pulau Breuh (Pulo Aceh), di lokasi ini tembaga ditemukan dalam bentuk senyawa berupa malakhit. Berikutnya di daerah Krueng Kala dan Gle Bruek Kecamatan Lhoong. Selain itu, di kawasan Lhok Me Krueng Raya, Lampanah dan Leungah Kecamatan Seulimuem terdapat bahan tambang antara lain pasir besi, karst dan bahan mineral lainnya

2.1.3 Potensi Sosial Budaya

2.1.3.1 Jumlah Penduduk

2.1.3.2 Jumlah Rumah Tangga Perikanan

Jumlah penduduk Kabupaten Aceh Besar menurut estimasi BPS Aceh Besar tahun 2017 adalah 409.109jiwa, penduduk laki-laki berjumlah 209.593 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 199.516 jiwa dengan sex ratio 105. Jika dilihat dari jumlah penduduk ditingkat kecamatan, kecamatan yang paling banyak jumlah penduduknya adalah Kecamatan Darul Imarah yang berjumlah 54.264jiwa, sedangkan kecamatan yang paling sedikit jumlah penduduknya adalah Kecamatan Leupung yaitu sebanyak 2.978 jiwa.

Kepadatan Penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Krueng Barona Jaya dengan kepadatam 2.362jiwa/km2. Darul Imarah menjadi kecamatan terpadat kedua dengan rata- rata 2.229 jiwa/km2. Sedangkan yang terjarang terdapat di Kota Jantho, yaitu hanya 17 jiwa/km2 (BPS Aceh Besar, 2018).

Khusus Kecamatan Pulo Aceh, Peukan Bada, Lhoknga, Mesjid Raya dan Seulimuem. Jumlah Penduduk adalah sebagai berikut :

Jumlah Kecamatan, Mukim, Lhok, Gampong, Luas Perairan Lhok, Jumlah Penduduk dan Jumlah KK di sekitar Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Aceh Besar.

Jumlah Rumah Tangga Perikanan(RTP) tangkap Kabupaten Aceh Besar Pada tahun 2018 adalah 3.185 RTP. Sedangkan Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) budidaya Kabupaten Aceh Besar Pada tahun 2018 adalah 753 RTP (DKP Aceh, 2018).

2.1.3.3 Kebudayaan dan Kearifan Lokal

Masyarakat Aceh, terutama yang tinggal di Kabupaten Aceh Besar, memiliki kearifan lokal berupa adat isitiadat dan lembaga-lembaga tradisional yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan dan lestari serta mengedepankan asas keadilan.

Secara historis di dalam budaya masyarakat Aceh yang tinggal di pesisir berlaku sistem dan aturan pengelolaan pesisir yang bersumber pada kearifan lokal dan telah berlangsung turun-temurun beratus-ratus tahun lamanya yaitu hukum adat laot dan sistem Panglima Laôt. Wilayah pesisir yang dikelola oleh hukum adat laut ini biasanya disebut Lhok, dan di pimpin seorang Panglima Laôt Lhok . Hukum adat laut tersebut memiliki aturan adat laut yang telah disepakati bersama oleh masyarakat yang tinggal di dalamnya.

Panglima Laôt merupakan pemimpin adat kaum nelayan yang mengatur segala praktek kenelayanan dan kehidupan sosial yang terkait di sebuah wilayah pesisir yang dikenal dengan istilah Lhok. Lhok sendiri adalah kawasan pesisir dimana terdapat satu atau lebih lokasi tempat nelayan melabuhkan perahunya yang disebut Teupin. Wilayah Lhok memiliki batas-batas wilayah tertentu yang telah disepakati masyarakat serta memiliki aturan adat melaut tersendiri dalam kawasan tersebut dan dipimpin oleh seorang Panglima Laôt.

Selain merupakan tokoh, Panglima Laôt juga sekaligus merupakan istilah untuk lembaga hukum adat tradisional di masyarakat pesisir Aceh yang mengurusi segala hal; terkait aktifitas penangkapan ikan, termasuk aturan-aturan penangkapan dan adat sosial di antara para nelayan. Dalam hal penangkapan ikan, nelayan luar yang ingin bersandar atau menangkap ikan di dalam wilayah lhôk tertentu harus mengikuti aturan-aturan hukum adat Laôt yang menaungi wilayah tersebut.

Panglima Laôt telah ada sejak zaman Kerajaan Samudera Pasai, abad ke-14. Hukôm Adat Laôt mulai dikenal pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1637) dari Kesultanan Samudra Pasai. Di masa lalu, Panglima Laôt merupakan perpanjangan kedaulatan Sultan atas wilayah maritim di Aceh. Dalam mengambil keputusan, Panglima Laôt berkoordinasi dengan ulee balang, yang menjadi penguasa wilayah administratif. Struktur kelembagaan Panglima Laôt bertahan selama masa penjajahan Belanda (1904-1942), pendudukan Jepang (1942-1945) hingga sekarang.

Struktur ini mulanya dijabat secara turun temurun, meski ada juga yang dipilih dengan pertimbangan senioritas dan pengalaman dalam bidang kemaritiman.

Di masyarakat pesisir di Kabupaten Aceh Besar masih berlaku ketentuan hukom adat laot, yang mengatur adat istiadat/kebiasaan pemanfaatan sumber daya alam di laut beserta interaksi antara para pelakunya meliputi; adat sosial, adat barang hanyut, adat kenduri laut dan adat pemeliharaan lingkungan. Secara keseluruhan,

Tabel 03

hukom adat laot ini sesuai dan mendukung hukum formal negara tentang menjaga kelestarian sumberdaya pesisir dan laut. Hukum adat laot di masing-masing lhok berbeda-beda dan memiliki kekhususan di masing-masing lhok, baik itu berupa aturan pantang melaut, aturan penggunaan alat tangkap maupun kesepakatan sanksi adat.

Hukôm Adat Laôt dikembangkan berbasiskan syariat islam dan mengatur tata cara penangkapan ikan di laut (meupayang), menetapkan waktu penangkapan ikan di laut, melaksanakan ketentuan-ketentuan adat dan mengelola upacara-upacara adat kenelayanan, menyelesaikan perselisihan antar nelayan serta menjadi penghubung antara nelayan dengan penguasa (dulu ulee balang, sekarang pemerintah daerah).

Berdasarkan Qanun Propinsi Aceh nomor 3 tahun 2004, tentang Adat Aceh, Panglima Laôt berada di luar struktur organisasi pemerintahan, dan bertanggung jawab kepada pemimpin adat setempat yaitu Imeum Mukim dan berkoordinasi dengan para Geuchik di wilayah setempat.

2.1.3.4 Kegiatan Destructive Fishing di SAP

2.1.3.5 Armada Tangkap dan Jenis Alat Tangkap

Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan oleh nelayan masih terjadi di perairan Kabupaten Aceh Besar, antara lain pemboman, penggunaan potas-sium dan menyelam kompresor. Selain itu dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan, terkadang nelayan juga dengan tidak sengaja menimbulkan kerusakan terhadap terumbu karang, seperti melempar jangkar boat di areal terumbu karang dan mengin-jak terumbu karang.

Jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2017 adalah sebanyak 984 armada, dengan rinian jukung sebanyak 30 armada, per-ahu motor temple sebanyak 158 armada, kapal motor ukuran 0 - 5 GT sebanyak 706 armada, kapal motor ukuran 5 - 10 GT sebanyak 62 armada, kapal motor ukuran 10-20 GT sebanyak 8 armada dan kapal motor ukuran di atas 20 GT sebanyak 20 armada.

Jumlah alat penangkap ikan adalah 929 unit dengan rincian pukat pantai se-banyak 30 unit, pukat cincin sese-banyak 26 unit, jarring angkat bagan sese-banyak 53 unit, jarring insang sebanyak 151 unit, pancing tonda sebanyak 42 unit dan pancing biasa sebanyak 627 unit (BPS Aceh Besar, 2018).

2.1.3.6 Kegiatan Penelitian dan Pendidikan di SAP

Adapun kegiatan penelitian dan pendidikan di kawasan SAP Kabupaten Aceh Besar sudah dilakukan dengan beberapa mitra kerja dari perguruan tinggi di Aceh, antara lain dengan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala,

2.1.3.7 Infrastuktur Penunjang di SAP

2.1.3.7 Infrastuktur Penunjang di SAP

Dalam rangka menunjang pengelolaan SAP Kabupaten Aceh Besar, DKP Aceh Besar dan DKP Aceh selama inimenyediakan beberapa infrastruktur penunjang sementara untuk mendukung pengelolaan, sambil menunggu pengesahan UPTD Kawasan Konservasi Perairan untuk penyediaan sarana prasarana pengelolaan yang maksimal. Adapun infrastruktur penunjang sementara di kawasan SAP Kabupaten Aceh Besar yang sudah ada antara lain kapal monitoring dan pengawasan serta papan informasi. Sedangkan infrastruktur penunjang lainnya selama ini di dukung oleh pihak mitra kerja.

Dalam rangka menunjang pengelolaan SAP Kabupaten Aceh Besar, DKP Aceh Besar dan DKP Aceh selama ini menyediakan beberapa infrastruktur penunjang sementara untuk mendukung pengelolaan, sambil menunggu pengesahan UPTD Kawasan Konservasi Perairan untuk penyediaan sarana prasarana pengelolaan yang maksimal. Adapun infrastruktur penunjang sementara di kawasan SAP Kabupaten Aceh Besar yang sudah ada antara lain kapal monitoring dan pengawasan serta papan informasi. Sedangkan infrastruktur penunjang lainnya selama ini di dukung oleh pihak mitra kerja.

Pusat Kajian Satwa Liar (PKSL) Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala, Fakultas HukumUniversitas Syiah Kuala dan Fakultas Perikanan Universitas Abulyatama.

Kegiatan penelitian yang sudah dilakukanantara lainpenelitian tentang ekosistem terumbu karang, mangrove, lamun dan sidatdengan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, penelitian tentang spesies penyu, dugong dan pausdengan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, penelitian tentang kualitas air dengan Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala, penelitian tentang hokum adat laot dengan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan penelitian dosen-dosen serta mahasiswa di Universitas Syiah Kuala dan Universitas Abulyatama yang sedang menyelesaikan skripsi, tesis dan disertasi.

Kegiatan pendidikan yang sudah dilakukanantara lainKerja Kuliah Nyata (KKN) mahasiswadan sosialisasi dengan beberapa dosen di Universitas Syiah Kuala dan Universitas Abulyatama.

2.2 Permasalahan Pengelolaan

Berdasarkan hasil survei lapangan dan pengumpulan informasi melalui konsultasi public di seluruh wilayah Lhok dalam kawasan SAP Kabupaten Aceh Besar oleh Tim Penyusun Dokumen Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Aceh.

Permasalahan pengelolaan dalam kawasan SAP Kabupaten Aceh Besar dapat dikelompokkan dalam tiga aspek, yaitu aspek ekologis, aspek kelembagaan dan aspek sosial, ekonomi dan budaya.

2.2.1 Aspek Ekologis

2.2.1.1 Penggunaan Alat Tangkap Yang Tidak Ramah Lingkungan

2.2.1.2 Degradasi Ekosistem Pesisir

Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan oleh nelayan masih terjadi di perairan Kabupaten Aceh Besar, antara lain pemboman, penggunaan potassium dan menyelam kompresor. Selain itu dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan, terkadang nelayan juga dengan tidak sengaja menimbulkan kerusakan terhadap terumbu karang, seperti melempar jangkar boat di areal terumbu karang dan menginjak terumbu karang.

Ekosistem pesisir di Kabupaten Aceh Besar terdiri dari ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang lamun. Setelah beberapa tahun berjalan inisiasi pembentukan Kawasan Konservasi Perairan di Kabupaten Aceh Besar, ekosistem pesisir terus terdegradasi yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti penggunaan alat tangkap yang merusak, aktivitas nelayan dan masyarakat yang tidak sengaja merusak ekosistem serta aktivitas lainnya dari pengunjung wisata yang secara tidak sengaja juga merusak ekosistem, selain ada dampak cuaca ekstrim.

Selain itu di Kabupaten Aceh Besar juga terdapat budidaya air payau (tambak) dan budidaya air tawar (kolam). Namun dari aktivitas kedua jenis budidaya tersebut, pembudidaya ikan dan udang belum menggunakan manajemen pakan dan kualitas air yang sesuai dengan kaidah – kaidah yang diperbolehkan.

Seluruh tambak tersebut di atas berada di pesisir pantai dan daerah aliran sungai yang terjadinya sirkulasi pergantian air. Kasus yang terjadi, dimana dari sirkulasi air tersebut terjadinya pencemaran air laut akibat dari pergantian air yang mengandung pestisida di buang ke laut, dan ini sangat mengganggu ekosistem di sekitar seperti terumbu karang, biota laut dan keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan aliran sungai tersebut.

2.2.1.3 Kurangnya Vegetasi Pantai

Pasca musibah tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, banyak vegetasi pepohonan pantai yang hilang, bahkan sampai dengan sekarang belum kembali pulih seperti semula, hanya di beberapa tempat yang sudah kembali normal, seperti di Lhok Lampuuk Kecamatan Lhoknga, Lhok Krueng Raba Lhoknga dan Lhok Kuala Gigieng Lambada Lhok Kecamatan Baitussalam dengan jenis pohon cemara dan mangrove.

Selain dibeberapa tempat tersebut, masih perlu penanganan untuk memulihkan vegetasi di pesisir dan pantai dengan jenis pepohonan yang berbeda yang disesuaikan dengan kondisi di sekitar pantai tersebut, seperti cemara, mangrove, keutapang, beunot, kelapa dan lain – lain.

2.2.1.4 Pencemaran Limbah dan Sampah

Selain karena pencemaran limbah dari budidaya tambak, pesisir dan perairan Kabupaten Aceh Besar juga tercemar oleh limbah buangan dari Rumah Tangga, namun tidak terlalu mengkhawatirkan. Selain itu, juga pembuangan sampah yang sembarangan oleh masyarakat, baik di laut dan juga di sungai-sungai, sehingga perairan laut Kabupaten Aceh Besar tercemar oleh sampah domestik, dan juga di kawasan Pulo Aceh ditemukan sampah internasional dengan berbagai merk produk dari negara tetangga perbatasan.

Selain itu, pada tahun 2018 terjadi tumpahan batubara dari kapal tongkang yang ingin memasok batubara ke PT. Lafarge Cement Indonesia (LCI) di sekitar perairan Lhok Lampuuk, sehingga tercemar kawasan perairan tersebut. Dan kasus ini pernah terjadi sebelumnya juga.

2.2.1.5 Pemanfaatan/ Eksploitasi Spesies Langka

Spesies langka yang diburu oleh nelayan dan masyarakat pesisir di Kabupaten Aceh Besar adalah hiu appendix, sidat dan penyu. Hiu appendix di buru karena harga di pasaran yang tinggi, apabila tidak dilakukan pengelolaan yang baik untuk penangkapan terhadap spesies tersebut, dikhawatirkan keberlanjutan spesies ini akan hilang dari perairan. Di Aceh Besar, hiu diburu oleh banyak nelayan dari Aceh Besar sendiri, seperti dari Lhok Kuala Gigieng Lambada Lhok Kecamatan Baitussalam, Pulo Aceh dan juga dari Banda Aceh. Sidat juga semakin langka di Aceh Besar, hal ini disebabkan oleh penangkapan ikan sidat yang tidak terkontrol dan pembangunan Daerah Aliran Sungai yang menghambat sidat berkembang dari masa proses lahir dilaut dalam hingga besar di hulu sungai.

Selain itu, spesies lain yang menjadi buruan masyarakat pesisir adalah penyu, dalam perburuan penyu yang diambil adalah telur penyu untuk di konsumsi sendiri dan ada juga yang di jual ke pasaran, tetapi dengan jumlah yang sangat sedikit. Di samping telur tersebut dikonsumsi dan dijual ke pasaran, telur penyu juga diburu oleh predator lainnya, seperti biawak, kepiting, babi, dan anjing. Hal lain yang perlu diwaspadai adalah pemburu penyu untuk dijadikan aksesoris, tetapi itu belum terjadi.

Selain itu, perlu juga diawasi nelayan yang menangkap ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti pengeboman, pembiusan dan penggunaan trawl, memasang jaring di sekitar perairan penyu bertelur, sehingga dapat mengakibatkan penyu mati sebelum sampai ke pantai untuk bertelur. Sepanjang pantai Aceh Besar merupakan pantai penyu bertelur, hal ini dikarenakan pantai – pantai di Kabupaten Aceh Besar berpasir putih dan merupakan alur migrasi penyu dunia, maka perlu penanganan khusus untuk menyelamatkan spesies langka tersebut dari kepunahan.

2.2.2 Aspek Kelembagaan (Tata Kelola)

2.2.2.1 Kurangnya Kapasitas SDM (Jumlah dan Kapasitas SDM)

2.2.2.2 Belum Adanya Strategi Menuju Kemandirian Lembaga (Management Keuangan dan Pendanaan Berkelanjutan)

2.2.2.3 Belum Adanya Mekanisme Kerja Yang Jelas

(SOP: Pengelolaan data, Koordinasi, Komunikasi, Sosialisasi, Publikasi, Pengawasan dan Penegakan Hukum)

Sumber Daya manusia (SDM) pengelola kawasan SAP Kabupaten Aceh Besar masih kurang kapasitasnya dalam hal keahlian dan keilmuan tentang Kawasan Konservasi Perairan. SDM pengelola kawasan yang mengerti tentang Kawasan Konservasi Perairan masih sangat kurang, sehingga perlu peningkatan SDM konservasi ke depan. Selain kapasitas dan jumlah personilnya yang kurang, kualitas SDM pengelola SAP Kabupaten Aceh Besar masih jauh dari harapan.

Lembaga pengelola Kawasan SAP Kabupaten Aceh Besar masih dalam tahapan pembentukan, namun pengalaman dari berbagai Lembaga yang dibentuk, belum ada Lembaga yang berhasil dan mandiri dalam mengelola Lembaga dan kawasannya. Strategi menuju kemandirian Lembaga belum tersusun, dan Pengelola masih berharap pada dana dari Pemerintah, dan belum terpikirkan untuk mendapatkan pendanaan berkelanjutan. Management keuangan pun belum tersusun rapi untuk mengelola semua pendanaan, baik dari Pemerintah dan Pihak Ketiga.

Data base kelautan dan perikanan di Kabupaten Aceh Besar belum akurat, sehingga dalam penyusunan RPJM dan RPJP terjadi penyimpangan yang mengakibatkan tidak tercapainya outcome. Hal tersebut di atas tidak boleh dibiarkan terlalu lama, sehingga diperlukan suatu langkah strategis untuk memperbaiki data tersebut, sehingga ke depan dalam penyusunan RPJM dan RPJP tepat sasaran dan tidak tumpang tindih pembangunannya. Selain itu, koordinasi dan komunikasi belum berjalan lancar dari para pihak, dan ego sectoral sangat tinggi, maka perlu perhatian khusus ke depan untuk membenahi SOP koordinasi dan komunikasi.

Permasalahan pengelolaan dalam

Dokumen terkait