• Tidak ada hasil yang ditemukan

RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI (RPZ) SUAKA ALAM PERAIRAN (SAP) KABUPATEN ACEH BESAR TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI (RPZ) SUAKA ALAM PERAIRAN (SAP) KABUPATEN ACEH BESAR TAHUN"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

RENCANA

PENGELOLAAN DAN ZONASI (RPZ)

SUAKA ALAM PERAIRAN (SAP)

KABUPATEN ACEH BESAR TAHUN 2020 – 2040

DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN ACEH

2019

(2)

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah – Nya kepada kita semua, sehingga dokumen”

Rencana Pengelolaan dan Zonasi Suaka Alam Perairan Kabupaten Aceh Besar Tahun 2020 - 2040” dapat diselesaikan dengan baik.

Shalawat beriring salam kita kirimkan keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah mengubah pola pikir manusia dari pola pikir jahiliyah kepada pola pikir yang berilmu pengetahuan.

Dokumen ini merupakan salah satu luaran yang sangat penting untuk menetapkan SAP Kabupaten Aceh Besar. Dokumen ini terdiri dari Rencana Pengelolaan dan Zonasi Suaka Alam Perairan Kabupaten Aceh Besar Tahun 2020 – 2040 dalam 9 (sembilan) wilayah Panglima Laot Lhok di 5 (lima) Kecamatan pesisir di Kabupaten Aceh Besar.

Dokumen ini masih memiliki berbagai kekurangan, untuk itu saran dan masukan sangat diharapkan ke depan. Akhir kata, penyusun ingin menyampaikan terima kasih kepada Kepala Seksi Konservasi, Bidang Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Besar, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh, Badan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Padang, Wildlife Conservation Society-Marine Program Aceh, Yayasan Lamjabat, Ocean Diving Club-Universitas Syiah Kuala, Flora Fauna International-Aceh, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Pusat Kajian Satwa Liar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala, Fakultas Perikanan Universitas Abulyatama, Panglima Laot Kabupaten Aceh Besar, Para Panglima Laot Lhok yang wilayahnya termasuk ke dalam Suaka Alam Perairan Kabupaten Aceh Besar, serta berbagai pihak yang telah memberikan berbagai bantuan dan masukan dalam penyusunan dokumen ini.

Banda Aceh, November 2019

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Dr. Ir. ILYAS, MP.

Pembina Utama Muda NIP: 19640123 1995 1 001

(3)

Daftar Isi

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GRAFIK ix

DAFTAR LAMPIRAN x

I. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 2

1.2 Tujuan 4

1.3 Ruang Lingkup Penyusunan Rencana Pengelolaan 4 II. POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN 5

2.1 Potensi 6

2.1.1 Potensi Ekologis 7

2.1.1.1 Ekosistem Terumbu Karang 7

2.1.1.2 Ekosistem Mangrove 15

2.1.1.3 Ekosistem Lamun 17

2.1.1.4 Spesies-Spesies Penting 19

2.1.2 Potensi Ekonomi 27

2.1.2.1 Mata Pencaharian Masyarakat 27 2.1.2.2 Sektor Sumber Daya Kelautan dan Perikanan 28

2.1.2.3 Sektor Pariwisata 29

2.1.2.4 Sektor Pertanian 30

2.1.2.5 Sektor Perkebunan 30

2.1.2.6 Sektor Peternakan 30

2.1.2.7 Sektor Industri 31

2.1.2.8 Sektor Pertambangan 31

2.1.3 Potensi Sosial Budaya 34

2.1.3.1 Jumlah Penduduk 34

2.1.3.2 Jumlah Rumah Tangga Perikanan 34 2.1.3.3 Kebudayaan dan Kearifan Lokal 35 2.1.3.4 Kegiatan Destructive Fishing di SAP 36 2.1.3.5 Armada Tangkap dan Jenis Alat Tangkap 36 2.1.3.6 Kegiatan Penelitian dan Pendidikan di SAP 36 2.1.3.7 Infrastruktur Penunjang di SAP 37

2.2 Permasalahan Pengelolaan 38

2.2.1 Aspek Ekologis 39

2.2.1.1 Penggunaan Alat Tangkap yang Tidak Ramah Lingkungan. 39 2.2.1.2 Degradasi Ekosistem Pesisir 39 2.2.1.3 Kurangnya Vegetasi pantai 39

2.2.1.4 Pencemaran Limbah dan Sampah 40

2.2.1.5 Pemanfaatan/ Eksploitasi Spesies Langka 40 2.2.2 Aspek Kelembagaan (Tata Kelola) 41 2.2.2.1 Kurangnya kapasitas SDM (Jumlah dan Kualitas SDM) 41 2.2.2.2 Belum Adanya Strategi Menuju Kemandirian Lembaga

(Management Keuangan dan Pendanaan Berkelanjutan) 41 2.2.2.3 Belum Adanya Mekanisme Kerja Yang Jelas 41 2.2.2.4 Belum Adanya Sarana dan Prasarana 42 2.2.3 Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya 42 2.2.3.1 Belum Optimalnya Penerapan Hukum Adat Laot 42 2.2.3.2 Konflik Pemanfaatan Daerah Penangkapan dan Ruang 42 2.2.3.3 Menurunnya Hasil Tangkapan Nelayan 43 2.2.3.4 Belum Maksimalnya Pemanfaatan dan Pengelolaan Jasa

Lingkungan (Wisata) 44

2.2.3.5 Belum Teridentifikasinya Mekanisme Pendanaan Berkelanjutan 44

III. PENATAAN ZONASI 45

3.1 Umum 46

3.2 Zona Inti 48

3.2.1. Rancangan Zonasi (Peta) dan Koordinat 48

3.2.2. Potensi 52

3.2.3. Peruntukan/Tujuan Zona 52

3.2.4. Kegiatan yang boleh dan Tidak 53

3.3 Zona Perikanan Berkelanjutan 54

3.3.1. Rancangan Zonasi (Peta) dan Koordinat 54

3.3.2. Potensi 58

3.3.3. Peruntukan/Tujuan Zona 58

3.3.4. Kegiatan yang boleh dan Tidak 59

3.4 Zona Pemanfaatan 60

3.4.1. Rancangan Zonasi (peta) dan Koordinat 60

3.4.2. Potensi 64

3.4.3. Peruntukan/Tujuan Zona 64

(4)

3.4.4. Kegiatan yang boleh dan Tidak 64

3.5 Zona Lainnya 66

3.5.1. Rancangan Zonasi (Peta) dan Koordinat 66

3.5.2. Potensi 68

3.5.3. Peruntukan/Tujuan Zona 68

3.5.4. Kegiatan yang boleh dan Tidak 68

IV. RENCANA PENGELOLAAN 69

4.1 Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan 70

4.1.1. Visi dan Misi 71

4.1.2. Tujuan dan Sasaran Pengelolaan 71

4.2 Strategi Pengelolaan 72

4.2.1. Penguatan Kelembagaan 72

4.2.2. Penguatan Pengelolaan Sumberdaya Kawasan 73 4.2.3. Penguatan Sosial, Ekonomi dan budaya 73

4.3 Rencana Jangka Menengah 74

4.3.1. Umum 74

4.3.2. Rencana Jangka Menengah I (5 Tahun Pertama) 74

4.3.2.1. Penguatan Kelembagaan 75

1. Penatakelolaan Kelembagaan 75

2. Peningkatan Kapasitas Unit Organisasi Pengelola dan

Masyarakat 75

3. Pembangunan dan Peningkatan Sarana dan Prasarana

Pendukung Pengelolaan SAP 77

4. Pengesahan dan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan dan

Zonasi 77

4.3.2.2. Penguatan Pengelolaan Sumberdaya Kawasan 77 1. Perlindungan Ekosistem dan Biota 77 2. Rehabilitasi Ekosistem dan Biota 78 3. Pengawasan Pemanfaatan Sumberdaya 78 4. Penguatan Penyadaran masyarakat 78 5. Pelaksanaan Rencana Pengelolaan dan Zonasi 78 4.3.2.3. Penguatan Sosial, Ekonomi dan Budaya 79 1. Penguatan Adat (Sosial Budaya) 79

2. Penguatan Ekonomi 79

3. Pemanfaatan Kawasan 79

4. Pelaksanaan Rencana Pengelolaan dan Zonasi 79 4.3.3. Rencana Jangka Menengah II (5 Tahun Kedua) 80

4.3.3.1. Penguatan Kelembagaan 81

1. Penatakelolaan Kelembagaan 81

2. Peningkatan Kapasitas Unit Organisasi Pengelola dan

Masyarakat 81

3. Pembangunan dan Peningkatan Sarana dan Prasarana

Pendukung Pengelolaan SAP 81

4.3.3.2. Penguatan Pengelolaan Sumberdaya Kawasan 82 1. Perlindungan Ekosistem dan Biota 82 2. Rehabilitasi Ekosistem dan Biota 82 3. Pengawasan Pemanfaatan Sumberdaya 82 4. Penguatan Penyadaran masyarakat 82 5. Pelaksanaan Rencana Pengelolaan dan Zonasi 83 4.3.3.3. Penguatan Sosial, Ekonomi dan Budaya 83 1. Penguatan Adat (Sosial Budaya) 83

2. Penguatan Ekonomi 83

3. Pelaksanaan Rencana Pengelolaan dan Zonasi 83 4.3.4. Rencana Jangka Menengah III (5 Tahun Ketiga) 84

4.3.4.1. Penguatan Kelembagaan 84

1. Penatakelolaan Kelembagaan 84

2. Pembangunan dan Peningkatan Sarana dan Prasarana

Pendukung Pengelolaan SAP 85

4.3.4.2. Penguatan Pengelolaan Sumberdaya Kawasan 85 1. Perlindungan Ekosistem dan Biota 85 2. Rehabilitasi Ekosistem dan Biota 85 3. Pengawasan Pemanfaatan Sumberdaya 85 4. Penguatan Penyadaran masyarakat 86 5. Pelaksanaan Rencana Pengelolaan dan Zonasi 86 4.3.4.3. Penguatan Sosial, Ekonomi dan Budaya 86 1. Pelaksanaan Rencana Pengelolaan dan Zonasi 86 4.3.5. Rencana Jangka Menengah IV (5 Tahun Ke-Empat) 88

4.3.5.1. Penguatan Kelembagaan 88

1. Penatakelolaan Kelembagaan 88

2. Pembangunan dan Peningkatan Sarana dan Prasarana

Pendukung Pengelolaan SAP 89

4.3.5.2. Penguatan Pengelolaan Sumberdaya Kawasan 89 1. Perlindungan Ekosistem dan Biota 89 2. Rehabilitasi Ekosistem dan Biota 89 3. Pengawasan Pemanfaatan Sumberdaya 89 4. Penguatan Penyadaran masyarakat . 90 5. Pelaksanaan Rencana Pengelolaan dan Zonasi 90 4.3.5.3. Penguatan Sosial, Ekonomi dan Budaya 90 1. Pelaksanaan Rencana Pengelolaan dan Zonasi 90

(5)

V. RENCANA RISET, MONITORING DAN EVALUASI 91 5.1 Cakupan Riset, Monitoring dan Evaluasi 92 5.2 Sumberdaya Hayati Ekosistem Pesisir (Terumbu Karang,

Mangrove, Lamun, Penyu dan Sidat 95

5.2.1 Sumberdaya Hayati Ekosistem pesisir (Terumbu Karang,

Mangrove, dan Lamun) 95

5.2.2 Sumberdaya Spesies Terancam Punah, Langka dan

atau Dilindungi (Penyu dan Sidat) 97

5.3 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan 98

5.4 Sosial Ekonomi Masyarakat 99

VI. PENUTUP 100

VII. DAFTAR PUSTAKA 102

VIII.LAMPIRAN 106

Daftar Gambar

Halaman

Gambar 1 Peta Sebaran Mangrove di Kabupaten Aceh Besar Tahun 2010 15 Gambar 2 Peta Sampling Survei Mangrove DKP Aceh Tahun 2018 15 Gambar 3 Pengambilan Data Mangrove di Kabupaten Aceh Besar 16 Gambar 4 Peta Sebaran Lamun di Perairan Kabupaten Aceh Besar

(RZWP3K) Aceh Tahun 2018 17

Gambar 5 Peta Sampling Survei Lamun DKP Aceh Tahun 2018 18 Gambar 6 Kerapatan Lamun di Perairan Aceh Besar 18 Gambar 7 Dugong yang di jumpai di Perairan Ujung Pancu 21

Gambar 8 Feeding Trel Dugong di Amat Ramanyang Krueng Raya 19

Gambar 9 Dugong Mati di Alue Naga 20

Gambar 10 Peta Sebaran dan Ruaya Dugong di Perairan

Kabupaten Aceh Besar 21

Gambar 11 Peta Lokasi Penampakan Spesies-Spesies Penting

di Perairan Kab. Aceh Besar 22

Gambar 12 Peta Sebaran Spesies Langka/ Penting di Perairan

Aceh Besar 26

Gambar 13 Pantai Lampuuk Kabupaten Aceh Besar 29 Gambar 14 Pantai Pasie Lange Lampuuk Kabupaten Aceh Besar 32 Gambar 15 Pantai Pasie Jalang Lhoknga Kabupaten Aceh Besar 32 Gambar 16 Pantai Babah Kuala dan Pulo Kapok Lhoknga

Kabupaten Aceh Besar 33

Gambar 17 Tuan Di Pulo Ujung Pancu Peukan Bada

Kabupaten Aceh Besar 33

Gambar 18 Pulau Bunta Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar 33 Gambar 19 Peta Suaka Alam Perairan (SAP) Kabupaten Aceh Besar 47 Gambar 20 Peta Zona Inti SAP Kabupaten Aceh Besar 51 Gambar 21 Peta Zona Perikanan Berkelanjutan SAP

Kabupaten Aceh Besar 57

Gambar 22 Peta Zona Pemanfaatan SAP Kabupaten Aceh Besar 63 Gambar 23 Peta Zona Lainnya SAP Kabupaten Aceh Besar 67

(6)

Daftar Tabel

Halaman Daftar Grafik

Halaman

Grafik 1 Persentase Rerata Tutupan Karang Hidup di

Perairan Pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar Tahun 2014 7 Grafik 2 Persentase Rerata Tutupan Karang Hidup di

Perairan Kabupaten Aceh Besar Tahun 2018-2019 8 Grafik 3 Persentase Rerata Tutupan Karang Hidup di

Perairan Kabupaten Aceh Besar Tahun 2019 9 Grafik 4 Nilai Rata-Rata Kelimpahan Famili Ikan Karang di

Masing-Masing Lokasi Kawasan Suaka Alam Perikanan (SAP)

Aceh Besar Tahun 2019 10

Grafik 5 Kelimpahan Ikan Karang di Masing-Masing Lokasi Kawasan Suaka Alam Perairan (SAP)

Aceh Besar Tahun 2019 11

Grafik 6 Kelimpahan Ikan Karang di Masing-Masing Lokasi

Kawasan Suaka Alam Perairan (SAP) Aceh Besar Tahun 2019 13 Grafik 7 Nilai Rata-Rata Kelimpahan (no.ha-1) dan Biomassa (kg.ha-1)

Ikan Karang di Kawasan Suaka Alam Perairan (SAP)

Aceh Besar 2019 13

Grafik 8 Nilai Rata-Rata Kelimpahan dan Biomassa Ikan Karang Berdasarkan Lokasi Penelitian di Kawasan Suaka Alam

Perairan (SAP) Aceh Besar Tahun 2019 14 Grafik 9 Nilai Rata-Rata Kelimpahan dan Biomassa Ikan Karang di

Kawasan Suaka Alam Perairan (SAP) Aceh Besar Tahun 2019 14 Grafik 10 Jumlah Penyu Berdasarkan Tahun (2012-2014) 22

Tabel 1 Index dan Kelimpahan Ikan Karang Tahun 2018 10 Tabel 2 Kelimpahan Glass Eel Berdasarkan Tanggal Pengambilan Sampel 24 Tabel 3 Jumlah Kecamatan, Mukim, Lhok, Gampong, Luas Perairan Lhok,

Jumlah Penduduk dan Jumlah KK di sekitar Kawasan Konservasi

Perairan Daerah Kabupaten Aceh Besar 34 Tabel 4 Rencana Riset, Monitoring dan Evaluasi Kawasan Suaka Alam

Perairan (SAP) Kabupaten Aceh Besar 92 Tabel 5 Rencana Riset dan Monitoring Ekosistem Terumbu Karang,

mangrove, padang lamun dan Ikan Karang 95

Tabel 6 Rencana Riset dan Monitoring Spesies Terancam Punah,

Langka dan/ atau Dilindungi 97

Tabel 7 Rencana Riset dan Monitoring Pemanfaatan

Sumber Daya Ikan 98

Tabel 8 Rencana Riset dan Monitoring Terhadap Sosial Ekonomi

Masyarakat Dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan 99

(7)

I

PENDAHULUAN

Daftar Lampiran

Lampiran 1 Jenis-Jenis Ikan Karang yang di Jumpai di

Perairan Kabupaten Aceh Besar 107

Lampiran 2 Matriks Isu, Permasalahan, Visi, Misi, Tujuan dan

Sasaran Kawasan Suaka Alam Perairan (SAP) Aceh Besar 108 Lampiran 3 Matriks Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Kawasan

Suaka Alam Perairan (SAP) Aceh Besar 2020-2040 109 Lampiran 4 Matriks Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Kawasan

Suaka Alam Perairan (SAP) Aceh Besar 2020-2025 112 Lampiran 5 Titik Koordinat Batas Luar Suaka Alam Perairan (SAP)

Kabupaten Aceh Besar 116

Lampiran 6 Titik Koordinat Zonasi Suaka Alam Perairan (SAP)

Kabupaten Aceh Besar 117

Lampiran 7 Peta Kawasan Suaka Alam Perairan (SAP)

Kabupaten Aceh Besar 122

Lampiran 8 Peta Batas Luar Kawasan Suaka Alam Perairan (SAP)

Kabupaten Aceh Besar 123

Lampiran 9 Peta Zonasi Kawasan Suaka Alam Perairan (SAP)

Kabupaten Aceh Besar 123

Lampiran 10 Berita Acara 126

Halaman

(8)

Sebagian pesisir dan perairan Kabupaten Aceh Besar telah dicadangkan sebagai kawasan Suaka Alam Perairan (SAP). Inisiasi dan usulan pencadangan kawasan sebagai SAP di dukung oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dan Pemerintah Aceh melalui :

Sehingga selanjutnya pada tanggal 26 November 2018, perairan Kabupaten Aceh Besar ditetapkan pencadangannya melalui Keputusan Gubernur Aceh Nomor 523/ 1297/

2018 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Aceh. Kawasan Suaka Alam Perairan (SAP) Kabupaten Aceh Besar ini dicadangkan seluas 29.615,63 ha. Selain itu, Kawasan SAP Aceh Besar juga telah dimasukkan dalam Qanun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Aceh.

Surat Keputusan Bupati Aceh Besar Nomor 43 Tahun 2010 tentang pembentukan Kawasan Bina Bahari (KABARI) Lhok Lampuuk sebagai Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD);

Surat Usulan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh Besar kepada Bupati Aceh Besar Nomor 523/ 127/ 2011 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD);

Surat Keputusan Bupati Aceh Besar Nomor 190 Tahun 2011 tentang pembentukan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD);

Peraturan Bupati Aceh Besar Nomor 11 Tahun 2011 tentang Investasi Hijau Bidang Perikanan;

Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 4 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Aceh Besar Tahun 2012-2032;

Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh Tahun 2013-2033;

Keputusan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh Besar Nomor 018 Tahun 2015 tentang Penunjukkan Tim Fasilitasi Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Aceh Besar;

Keputusan Gubernur Aceh Nomor 602/ 760 Tahun 2017 tentang Pembentukan Tim Harmonisasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) di Aceh;

Keputusan Gubernur Aceh Nomor 523/ 824 Tahun 2018 tentang Pembentukan Tim Pengelolaan Pembentukan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) di Aceh;

Keputusan Gubernur Aceh Nomor 523/ 528 Tahun 2019 tentang Pembentukan Tim Penyusun Dokumen Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Aceh.

02 01

03 04 05 06 07 08 09 10

K

abupaten Aceh Besar merupakan Kabupaten yang terletak paling barat di Indonesia, termasuk ke dalam Provinsi Aceh. Posisi Kabupaten Aceh Besar sangat strategis yang terletak di ujung Pulau Sumatera di antara pertemuan 3 (tiga) lautan yaitu Samudera Hindia, Laut Andaman dan Selat Malaka serta berbatasan dengan beberapa negara tetangga seperti India, Maladewa dan Thailand.

Perairan Kabupaten Aceh Besar memiliki potensi sumber daya hayati laut dan pesisir yang cukup melimpah, terutama dari sektor perikanan tangkap, hal ini terbukti dengan banyaknya armada perikanan dari Kabupaten/

Provinsi lain yang menangkap ikan di wilayah perairan Kabupaten Aceh Besar.

Kabupaten Aceh Besar memiliki 21 (dua puluh satu) pulau, dengan 2 (dua) pulau diantaranya merupakan pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, yaitu Pulau Benggala dan Pulau Rusa (Bakosurtanal, 2011).

Pesisir dan laut Kabupaten Aceh Besar juga terdapat keanekaragaman hayati yang begitu bervariasi, dimana Aceh Besar mempunyai tutupan terumbu karang seluas 1.155 ha, ekosistem mangrove seluas 133,94 ha (DKP Aceh, 2010) dan ekosistem lamun di beberapa spot, antara lain perairan Meulingge Lhok Pulau Breuh Utara, Seurapong, Gugop, Lampuyang Lhok Pulau Breuh Selatan, Lamteng Lhok Pulau Nasi, Ujung Pancu Lhok Kuala Bieng Lamteungoh Peukan Bada dan Amat Ramanyang Lhok Krueng Raya.

Namun demikian, kondisi ekosistem di pesisir dan perairan Kabupaten Aceh Besar telah mengalami degradasi karena adanya aktifitas manusia yang tidak ramah lingkungan, seperti pembukaan lahan mangrove untuk pertambakan, penangkapan ikan dengan metode yang merusak, serta penangkapan ikan tanpa adanya batasan jumlah armada dan lain-lain. Selain faktor manusia tersebut, terdapat juga faktor alami seperti sedimentasi dan pemangsaan oleh bintang laut berduri yang berlebihan (Baird et al. 2005).

Terumbu karang di perairan Aceh Besar juga mengalami peristiwa pemutihan karang secara massal yang disebabkan oleh perubahan iklim pada tahun 2010 lalu (Rudi dan Fadli, unpublished data). Hasil pengamatan Baird et al. (2005) dan Campbell et al. (2007) juga memperlihatkan bahwa terumbu karang di Pulo Aceh Kabupaten Aceh Besar khususnya berada dalam ancaman dengan kondisi penutupan karang keras <40% serta keragaman dan biomassa ikan karang yang rendah terutama bila dibandingkan dengan Pulau Weh Kota Sabang.

1.1 Latar Belakang

(9)

Pasca ditetapkan pencadangannya, dalam rangka mewujudkan pengelolaan kawasan yang efektif dan berkelanjutan, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh selaku Unit Organisasi Pengelola kawasan sementara, sambil menunggu pengesahan UPTD Konservasi Perairan Daerah yang definitif akan menyusun Dokumen Rencana Pengelolaan dan Zonasi (RPZ) Suaka Alam Perairan (SAP) Kabupaten Aceh Besar dengan mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/

MEN/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan.

1.2 Tujuan

1.3 Ruang Lingkup Penyusunan Rencana Pengelolaan dan Zonasi (RPZ)

Tujuan dari penyusunan Rencana Pengelolaan dan Zonasi Suaka Alam Perairan (SAP) Kabupaten Aceh Besar ini adalah sebagai acuan dan panduan dalam :

1. Pelaksanaan program dan kegiatan di dalam kawasan;

2. Upaya perlindungan dan pelestarian kawasan;

3. Pemanfaatan kawasan sesuai dengan zonasi dan peruntukannya; dan 4. Tolak ukur evaluasi efektifitas pelaksanaan pengelolaan kawasan.

Ruang lingkup penyusunan Rencana Pengelolaan dan Zonasi (RPZ) Suaka Alam Perairan (SAP) Kabupaten Aceh Besar ini meliputi wilayah kajian yang terletak di pesisir barat dan timur perairan Kabupaten Aceh Besar. Wilayah tersebut terdiri dari 5 (lima) wilayah Kecamatan di Aceh Besar yaitu ; Pulo Aceh, Peukan Bada, Lhoknga, Mesjid Raya dan Seulimuem seluas 29.615,63 hektar. SAP Kabupaten Aceh Besar ini juga termasuk dalam 9 (sembilan) Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat Laut, antara lain Lhok Pulau Breuh Utara, Lhok Pulau Breuh Selatan, Lhok Kuala Bieng Lamteungoh Peukan Bada, Lhok Pulau Nasi, Lhok Lampuuk, Lhok Krueng Raba Lhoknga, Lhok Krueng Raya, Lhok Lampanah dan Lhok Leungah.

Lingkup materi yang dijabarkan dalam dokumen ini antara lain potensi dan permasalahan pengelolaan, penataan zonasi dan arahan rencana pengelolaan kawasan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, jangka waktu 5 (lima) tahun dan tahunan.

Data terkait zonasi kawasan dan rencana pengelolaan di SAP Kabupaten Aceh Besar ini akan di susun dengan melaksanakan beberapa langkah, antara lain:

(1). Pembentukan tim kerja dan persiapan ke lapangan; (2). Pengumpulan data dan informasi; (3). Musyawarah dengan masyarakat; (4). Analisis data (5). Penyusunan rencana pengelolaan dan zonasi kawasan; (6). Konsultasi Publik; dan (7). Penyusunan dokumen final RPZ.

II

POTENSI DAN

PERMASALAHAN

PENGELOLAAN

(10)

2.1 Potensi

2.1.1 Potensi Ekologis

2.1.1.1 Ekosistem Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem pesisir yang ada di perairan Aceh Besar. Terumbu karang terdapat di sebagian besar kawasan pesisir barat Aceh Besar. Fadli et al. (2014) menyatakan kondisi terumbu karang di Perairan Pesisir Barat Aceh Besar umumnya dalam kondisi sedang dengan persentase tutupan karang rata-rata lebih dari 59 %. Persentase tutupan karang tertinggi terdapat di kawasan Meulingge (80%), sedangkan kawasan dengan persentase tutupan karang terendah terdapat di kawasan Lampuuk, dengan persentase tutupan 34%. Selanjutnya, berdasarkan kategori yang dibuat oleh English et al. (1997), 67%

kawasan terumbu karang yang diamati masuk dalam katagori baik dan 33% sisanya masuk kedalam katagori sedang. Persentase tutupan karang hidup di beberapa lokasi perairan Kabupaten Aceh Besar disajikan pada Grafik 1.

01

Grafik

Persentase Rerata

Tutupan Karang Hidup di Perairan Pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar Tahun 2014.

Sumber : ODC, WCS, FFI (2014)

Persentase tutupan

karang tertinggi terdapat di kawasan Meulingge

(80%), sedangkan kawasan dengan persentase tutupan karang terendah terdapat di kawasan Lampuuk, dengan persentase tutupan 34%

S

elain terumbu karang, perairan Kabupaten Aceh Besar juga memiliki ekosistem padang lamun. Selanjutnya, di kawasan pesisir Aceh Besar juga terdapat ekosistem mangrove dan vegetasi pantai yang cukup baik. Selain itu, kawasan pantai Aceh Besar juga merupakan tempat pendaratan dan peneluran beberapa jenis penyu. Hal ini menunjukkan Kabupaten Aceh Besar terutama di kawasan pesisir kaya akan potensi sumberdaya hayati laut.

Selain potensi ekologis, Kabupaten Aceh Besar juga memiliki potensi ekonomi dan budaya masyarakat yang cukup potensial untuk dikembangkan, terutama untuk sektor pariwisata.

(11)

02

Gr afik

Sumber : DKP Aceh (2018-2019)

Persentase Rerata Tutupan Karang Hidup di Perairan Kabupaten Aceh Besar Tahun 2018-2019.

Berdasarkan survey ekologi terumbu karang yang dilaksanakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh pada tahun 2018 dan 2019, didapatkan informasi sebagai berikut, persentase tutupan karang di Lhok Me Lhok Krueng Raya 10,2%

(2019), Batee Puteh Lhok Lampanah 14,2% (2019), Lhok Udeung Lhok Krueng Raba Lhoknga 52,54% (2018), Amat Ramanyang Lhok Krueng Raya 54% (2019), Pulau Tuan Lhok Kuala Bieng Lamteungoh Peukan Bada 55,88% (2018) dan 58,8% (2019), Lamteng Lhok Pulau Nasi 58,06% (2018), Blang Ulam Lhok Krueng Raya 58,82%

(2018), Mong-Mong Lhok Lampuuk 59,67% (2018), Meulingge Lhok Pulau Breuh Utara 65,62% (2018), Inong Balee Lhok Krueng Raya 68,30% (2018) dan 55,8% (2019) serta Blang Situngkoh Lhok Pulau Breuh Selatan 71,73% (2018). Persentase tutupan karang hidup di beberapa lokasi perairan Kabupaten Aceh Besar yang dilaksanakan oleh DKP Aceh disajikan pada Grafik 2.

Selanjutnya berdasarkan survey ekologi terumbu karang yang dilaksanakan oleh Wildlife Conservation Society – Indonesia Program (WCS - IP) pada tahun 2019, didapatkan informasi sebagai berikut, persentase tutupan karang di Deudap Lhok Pulau Nasi 27,9%, Pulau Tengkorak Lhok Pulau Nasi 31,7%, Lheun Balee 2 Lhok Pulau Breuh Utara 33,4%, Paloh Lhok Pulau Breuh Selatan 34,7%, Kontrol Teunom 2 (Dua) Lhok Pulau Breuh Selatan 35,7%, Lapeng Lhok Pulau Breuh Utara 41,3%, Pulau Tuan Lhok Kuala Bieng Lamteungoh Peukan Bada 43%, Kontrol Teunom Lhok Pulau Breuh Selatan 44,4%, Lheun Balee 1 (Satu) Lhok Pulau Breuh Utara 53,9%, Lamtadoh Alue Reuyeung Lhok Pulau Nasi 55,7%, Zona Inti Pulau Bunta Lhok Kuala Bieng Lamteungoh Peukan Bada64,4%, Pulau Batee Lhok Kuala Bieng Lamteungoh Peukan Bada 65%, Deudap 2 (Dua) Lhok Pulau Nasi 72,2% dan Lhok Keutapang Lhok Kuala Bieng Lamteungoh Peukan Bada 73,3%. Persentase tutupan karang hidup di beberapa lokasi perairan Kabupaten Aceh Besar yang dilaksanakan oleh WCS - IP disajikan pada Grafik 3.

Persentase Rerata Tutupan Karang Hidup di Perairan Kabupaten Aceh Besar Tahun 2019.

03

Grafik

Sumber : WCS-IP (2019)

Ikan karang yang umum dijumpai di perairan Aceh Besar disajikan pada Tabel 1. Terdapat lebih kurang 150 spesies ikan karang yang berada di perairan Aceh Besar.

Jenis-jenis ikan karang yang umum dijumpai di perairan Aceh Besar dapat di lihat di lampiran 1.

Jumlah jenis ikan dan komposisi ikan yang ditemukan di perairan Kabupaten Aceh Besar sebanding dengan temuan Campbell et al. (2005). Berdasarkan Campbell et al. (2005), tercatat jenis ikan karang di perairan Aceh tidak lebih dari 110 spesies yang umumnya terdiri dari ikan famili Acanthuridae, Serranidae, Labridae and Chaetodontidae.

Ikan karang memiliki hubungan yang sangat erat dengan keberadaan ekosistem terumbu karang.Campbell et al. (2005), melaporkan kelimpahan ikan karang lebih tinggi di kawasan Pulau Weh Kota Sabang yang memiliki kondisi ekosistem terumbu karang dalam keadaan ”baik” dan ”sangat baik”. Umumnya kondisi karang yang baik di Pulau Weh Kota Sabang ditemukan di lokasi yang pengawasan dan pengelolaanya relatif baik(Baird et al. 2005), dengan demikian kawasan dengan pengelolaan dan pengawasan baik akan memiliki kelimpahan ikan karang yang lebih baik.

Berdasarkan survey ekologi terumbu karang yang dilkakukan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh tahun 2018, total ikan yang ditemukan pada perairan Kabupaten Aceh Besar di Kecamatan Mesjid Raya, Pulo Aceh, Peukan Bada, Lhoknga sebanyak 4590 individu dengan jumlah 97 spesies pada seluruh lokasi, Spesies yang mendominasi adalah Chromis analis dari family Pomacentridae dan diikuti oleh spesies Dascillus trymuculatus yang juga berasal dari kelompok family Pomacentridae. Lokasi yang memiliki jumlah individu dan jenis ikan paling banyak adalah lokasi pengamatan T6 (Lamteng Lhok Pulau Nasi) yang mencapai 1300 individu yang terdiri dari 17 jenis sedangkan yang paling sedikit pada lokasi T7 (Blang Ulam Lhok Krueng Raya)

(12)

sejumlah 213 individu yang terdiri dari 6 jenis. Lokasi pengamatan T7 yang memiliki tutupan terumbu karang sangat baik tidak berbanding lurus dengan jumlah ikan yang ditemukan, beberapa faktor yang dapat menjadi penyebabnya antara lain ikan yang bersifat criptic mudah bersembunyi dan kurangnya alga pada ekosistem sehingga ikan herbivore tidak mendiami lokasi tersebut. Dari hasil pengamatan, sangat sedikit bahkan hampir tidak dijumpai ikan target yang tinggal di daerah tersebut.

Tabel di atas menunjukkan index keanekaragaman ikan karang pada lokasi pengamatan T1 (Lhok Udeung Lhok Krueng Raba Lhoknga) sebesar 1.28, T2 (Mong- Mong Lhok Lampuuk Lhoknga) 1,23, T3 (Pulau Tuan Lhok Kuala BIeng Lamteungoh Peukan Bada ) 1,16, T4 (Meulingge Lhok Pulau Breuh Utara) 1,26, T5 (Blang Situngkoh Lhok Pulau Breuh Selatan) 1,22, T6 (Lamteng Lhok Pulau Nasi) 1,18, T7 (Blang Ulam Lhok Krueng Raya) 1,20 dan T8 (Inong Balee Lhok Krueng Raya) 1,14, nilai keanekaragaman ini tergolong sedang karena berkisar antara 1-3 Odum (1971).

Keseragaman ikan pada lokasi pengamatan T1 mencapai 0.89, T2 0,78, T3 0,83, T4 0,72, T5 0,76, T6 0,88, T7 0,90 dan T80,84,hal ini menunjukkan index keseragaman tinggi dan komunitas stabil. Kelimpahan ikan yang diperoleh pada lokasi pengamatan T1 sejumlah 100 (Ind/ha), T2 300 (Ind/ha), T3 100 (Ind/ha), T4 200 (Ind/ha), T5 90 (Ind/ha), T6 700 (Ind/ha), T7 80 (Ind/ha) dan pada lokasi T8 sejumlah 100 (ind/ha).

Sedangkan pada survey ekologi terumbu karang pada tahun 2019 yang dilaksanakan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh, kelimpahan ikan karang tertinggi terdapat pada site Pulau Tuan dengan nilai sebesar 2500 ind/ Ha. Sedangkan kelimpahan ikan terendah terdapat di Benteng Inong Balee dengan nilain 601 ind/ Ha.

Tabel 1

Index dan Kelimpahan Ikan Karang Tahun 2018

Sumber : DKP Aceh (2018

04

Grafik Nilai Rata-Rata Kelimpahan Famili Ikan Karang di Masing-Masing Lokasi Kawasan Suaka Alam Perikanan (SAP)

Aceh Besar Tahun 2019

Sumber : DKP Aceh (2019)

Kelimpahan ikan karang tertinggi terdapat pada site Pulau Tuan Lhok Kuala Bieng Lamteungoh Peukan Bada dengan nilai sebesar 2500 ind/ Ha. Sedangkan kelimpahan ikan terendah terdapat di Benteng Inong Balee Lhok Krueng Raya dengan nilain 601 ind/ Ha.

05

Grafik

Kelimpahan Ikan Karang di Masing-Masing Lokasi Kawasan Suaka Alam Perairan (SAP) Aceh Besar

Tahun 2019 Sumber : DKP Aceh (2019)

(13)

Berdasarkan survey ekologi terumbu karang yang dilakukan oleh Wildlife Conservation Society – Indonesia Program (WCS - IP) pada tahun 2019, jenis ikan karang di perairan kawasan Suaka Alam Perairan (SAP) Aceh Besar tercatat sebanyak 302 jenis dari 36 famili dan 99 genus. Kelimpahan ikan karang tertinggi berdasarkan kelompok terdapat pada kelompok Pomacentridae sebesar 8883,58 no.ha-1+ 1802,42 SE, sedangkan Biomassa ikan karang tertinggi terdapat pada kelompok Acanthuridae sebesar 109,56no.ha-1+ 19,99 SE (Grafik 6).

Kelimpahan ikan karang tertinggi terdapat pada lokasi Deudap 2 (Dua) sebesar 33.733,33 no.ha-1+ 4982,7 SE dan kelimpahan terendah terdapat pada lokasi Kontrol teunom sebesar 7740 no.ha-1+ 1796,25 SE. Sedangkan biomassa ikan karang terdapat pada lokasi Leun Bale 1 (Satu) sebesar 765,58 kg.ha-1+ 164,32 SE dan biomasa ikan karang terendah terdapat di Kontrol teunom sebesar 448,71 kg.ha-1+ 90,94 SE yang disajikan pada grafik 7.

Kelompok ikan karang terbagi menjadi tujuh kelompok yaitu bentik invertivora, karnivora, koralivora, detrivora, herbivora, omnivora dan Planktivora. Kelimpahan kelompok ikan karang di KKPD Aceh besar tertinggi terdapat pada kelompok ikan karang Planktivora sebesar 25.816,67 no.ha-1+ 4383,56 SE dan Biomassa kelompok ikan karang tertinggi terdapat pada Bentik Invertivora sebesar 326,20 kg.ha 1+ 143,04 SE (Grafik 8). Sementara kelimpahan ikan karang tertinggi berdasarkan selang ukuran terdapat pada selang ukuran 0-5 cm.

Grafik

Kelimpahan Ikan Karang di Masing-Masing Lokasi Kawasan

Suaka Alam Perairan (SAP) Aceh Besar Tahun 2019

06

Sumber : WCS-IP (2019)

Grafik 07

Nilai Rata-Rata

Kelimpahan (no.ha-1) dan Biomassa (kg.ha-1) Ikan Karang di Kawasan Suaka Alam Perairan (SAP) Aceh Besar Tahun 2019

Sumber : WCS-IP (2019)

Kelimpahan ikan karang tertinggi terdapat pada site Pulau Tuan Lhok Kuala Bieng Lamteungoh Peukan Bada.

(14)

Nilai Rata-Rata

Kelimpahan dan Biomassa Ikan Karang Berdasarkan Lokasi Penelitian di Kawasan Suaka Alam Perairan (SAP) Aceh Besar Tahun 2019.

Sumber : WCS-IP (2019)

Grafik 08

09 Grafik

Nilai Rata-Rata

Kelimpahan dan Biomassa Ikan Karang di Kawasan Suaka Alam Perairan (SAP) Aceh Besar

Tahun 2019

Sumber : WCS-IP (2019)

2.1.1.2. Ekosistem Mangrove

Kabupaten Aceh Besar memiliki hutan mangrove dengan luasan ±133, 94 Ha yang tersebar di 12 (Dua Belas) Kecamatan (Gambar 3) (DKP, Aceh Besar 2012).

Setidaknya terdapat 5 spesies mangrove sejati yang ditemukan di pesisir Aceh Besar yaitu: Sonneratia alba, Bruguiera cylindrica, Excoecaria agallocha, Avicennia marina, dan Rhizophora mucronata.Selanjutnya juga ditemukan 8 spesies mangrove ikutan yaitu: Barringtonia asiatica, Cleorodendrum inerme, Xylocarpus rumphii, Pongamia pinnata, Terminalia catappa, Cerbera mangas, Calophyllum inophyllum, dan Morinda citrifolia. Selain mangrove sejati dan ikutan juga ditemukan sedikitnya 5 jenis vegetasi pantai di wilayah pesisir Aceh Besar yaitu: Casuarina equisetifolia Calotropis gigantea Wedelia biflora Cocos nucifera dan Pandanus odoratissima (Fadli et al, in preparation).

Berdasarkan kajian data series keanekaragaman hayati pada ekosistem mangrove di Aceh Besar meliputi 8 (delapan) titik sampling di 4 (empat) Kecamatan, adapun sebaran titik sampling tersebut dapat di lihat pada gambar 2.

Sumber : DKP Aceh (2010)

01

Gambar

Peta Sebaran Mangrove di

Kabupaten Aceh Besar

Tahun 2010

Mangrove M1 = Lhoknga M2 = Lamguron M3 = Lapeng

M4 = Blang situngkoh M5 = Lamteng M6 =Amat Ramayang M7 = Beureu

Sumber : DKP Aceh (2018)

Gambar 02

(15)

Gambar 03

Pengambilan Data Mangrove di Aceh Besar

Kerapatan individu mangrove di M1 (Lhoknga) pada tahapan pertumbuhan pohon sebesar 148 individu/ha.

Distribusi jenis mangrove tidak merata dan didominasi oleh : Avicennia.Marina.

Tegakan mangrove di lokasi penelitian setinggi 1 m hingga 1,5 m. Lokasi Penelitian M2 (Lamguron) pada tahapan pertumbuhan sebesar 93 individu/ha. Distribusi jenis mangrove ada beberapa jenis, yaitu : Rhizopora apiculata dan Bruguiera Gymnorrhiza. Tegakan mangrove di lokasi penelitian setinggi 0,5 m hingga 1,5 m. Hasil pengukuran individu mangrove di lokasi M3 (Lapeng) pada tahapan pertumbuhan sebesar 103 individu/ha. Distribusi jenis mangrove ada beberapa jenis, yaitu : Avicennia Officinalis dengan tegakan 1 m hingga 4 m dan Bruguiera Sexangula memiliki Tegakan setinggi 1 m hingga 2 m.

Kerapatan individu mangrove di M4 (Blang Situngkoh) pada tahapan pertumbuhan pohon sebesar 110 individu/ha. Distribusi jenis mangrove tidak merata dan didominasi oleh : Rhizopora mucronata Tegakan mangrove di lokasi penelitian setinggi 1 m hingga 2 m. Lokasi Penelitian M5 (Lamteng) pada tahapan pertumbuhan sebesar 118 individu/ha. Distribusi jenis mangrove di dominasi : Rhizopora apiculata. Tegakan mangrove di lokasi penelitian setinggi 1 m hingga 1,5 m. Hasil pengukuran individu mangrove di lokasi M6 (Aramanyang) pada tahapan pertumbuhan sebesar 104 individu/

ha. Distribusi jenis mangrove ada beberapa jenis, yaitu : Avicennia Officinalis dengan tegakan 0,5 m hingga 1 m dan Bruguiera Gymnorrhiza memiliki Tegakan setinggi 1 m hingga 1,5 m. Kerapatan individu mangrove di M7 (Beureunut) pada tahapan pertumbuhan pohon sebesar 173 individu/

ha. Distribusi jenis mangrove tidak merata dan didominasi oleh : Bruguiera Gymnorrhiza Tegakan mangrove di lokasi penelitian setinggi 1,5 m hingga 2 m

2.1.1.3. Ekosistem Lamun

Lamun (Seagrass) merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang mampu beradaptasi di perairan yang salinitasnya tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, serta akar sejati. Kabupaten Aceh Besar juga memiliki ekosistem lamun di perairan lautnya. Namun demikian penyebaran lamun tersebut terbatas hanya di kawasan perairan Meulingge Pulau Breuh Utara, Seurapong, Gugop,Lampuyang Pulau Breuh Selatan, Lamteng Pulau Nasi,Ujung Pancu Peukan BadadanKrueng Raya (Gambar 3).Setidaknya tercatat 3 jenis lamun yang ada di Aceh Besar yaitu: Thalassia sp. Syringodium sp. Halophila sp (Dewiyanti, unpublished data).

Berdasarkan kajian data series keanekaragaman hayati pada ekosistem mangrove di Aceh Besar meliputi 8 titik sampling di 4 kecamatan, adapun sebaran titik sampling tersebut dapat di lihat pada gambar 4.

Gambar

04

Peta Sebaran

Lamun di SAP

Kabupaten

Aceh Besar

(RZWP3K-Aceh

Tahun 2018)

(16)

Lamun :

L1 = Pulau Tuan, L2 = Amat Ramanyang, L3 = Gugop,

L4 = Lamteng Tahun 2018

Gambar

05

Komposisi spesies di L1 (Pulau Tuan) di dominasi oleh Halodule pinifolia yang memiliki ketinggian rata-rata 10,30 cm. Tutupan jenis Halodule pinifolia yang mendominasi lokasi ini adalah 37,12 %. Persen tutupan algae lainnya juga di lakukan pengukuran yaitu 5,58 %. Lokasi Penelitian L2 (Amat Ramanyang) memiliki komposisi jenis Halodule ovalis dan Halodule Pinifolia dengan rata-rata ketinggian 4,6 cm.

Tutupan padang lamun di lokasi ini adalah 27,87 % yang terdiri dari 26,21 % tutupan Halodule Pinifolia dan 1,36 % Halodule ovalis. Persen tutupan algae lainnya juga di lakukan pengukuran yaitu 4,12 %.

Lokasi Penelitian L3 (Gugop) memiliki komposisi jenis Halodule ovalis dan Halodule Pinifolia dengan rata-rata ketinggian 3,6 cm. Tutupan padang lamun di lokasi ini adalah 61,45 % yang terdiri dari 26,21 % tutupan Halodule Pinifolia dan 61 % Halodule ovalis. Persen tutupan algae lainnya juga di lakukan pengukuran yaitu 2,42

%.Lokasi Penelitian L4 (Lamteng) memiliki komposisi jenis Enhalus acoroides dan Cymodocea Serrulata dengan rata-rata ketinggian 23 cm. Tutupan padang lamun di lokasi ini adalah 76,36 % yang terdiri dari 38,63 % tutupan Enhalus acoroides dan 35

% Cymodocea Serrulata. Persen tutupan algae lainnya juga di lakukan pengukuran yaitu 5,15 %.

Kerapatan

Lamun di Perairan Aceh Besar

Gambar

06

2.1.1.4. Spesies-spesies Penting

Selain ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang lamun, perairan Kabupaten Aceh Besar juga merupakan habitat bagi beberapa spesies penting (kharismatik) yang sudah tergolong langka dan bisa menjadi daya tarik bagi pengembangan ekowisata, antara lain:

Spesies duyung (Dugong dugon) ditemukan di perairan Kabupaten Aceh Besar, khususnya di wilayah perairan sekitar Ujung Pancu dan Krueng Raya. Para nelayan di Gampong Lampageu, Ujung Pancu telah melihat dugong diperairan ini selama lebih kurang 50 tahun. Sebelum tsunami daerah ini memiliki hamparan pasir dangkal dan sedikit tanaman bakau, sebagian wilayah perairan Ujung Pancu juga merupakan muara dari beberapa Alue (sungai kecil) dan merupakan laguna tempat berkumpulnya air hujan yang turun dari perbukitan di sekitar Ujung Pancu.

Selain itu, nelayan di Lhok Krueng Raya dan anggota Ocean Diving Club (ODC) Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Syiah Kuala sering melihat munculnya dugong di perairan Krueng Raya. Berikut beberapa dokumentasi bukti adanya dugong di wilayah perairan Kabupaten Aceh Besar :

(Foto diambil tanggal 17 Juni 2015 ©Linda North, Yayasan Lamjabat

Gambar

07

(17)

Gambar 08 Feeding Trail Dugong di

Amat Ramanyang Krueng Raya

(9 Maret 2017 (ODC Unsyiah)

Gambar

09

Terakhir pada bulan September 2019, Dugong terlihat kembali muncul di Perairan Lamreh Krueng Raya Aceh Besar sebanyak 1 ekor.

Gambar 10

Peta Sebaran dan Ruaya Dugong di Perairan Aceh Besar

(Yayasan Lamjabat, 2018)

Hiu Paus (Rinchodon typus) atau lebih dikenal sebagai Ye Tilam dalam bahasa aceh, terdapat di Perairan Aceh Besar pada waktu-waktu dan musim tertentu. Berdasarkan survei Mega Fauna yang dilakukan oleh WCS pada tahun 2008 dan 2010, dilaporkan bahwa spesies ini pernah terlihat di wilayah perairan Pulo Aceh, tepatnya si perairan sebelah barat Pulau U, Sekitar Perairan Ujung Peuneung, Sebelah Utara dan Selatan Pulau Teunom, sebelah utara Pulau Bunta serta di Teluk Lambaro. (WCS, 2010).

Terakhir Hiu Paus muncul pada bulan September 2019 di Perairan sekitar Amat Ramanyang Krueng Raya Aceh Besar.

Dokumentasinya dapat dilihat pada lampiran video kemunculan Hiu Paus di Aceh Besar.

Pari Manta (Manta birostris) dapat di jumpai pada waktu-waktu tertentu dan lokasi-lokasi tertentu saja di wilayah perairan Aceh Besar. Pari Manta, sebagaimana keluarga mobulidae lainnya di sebut sebagai Juhang dalam bahasa aceh, pernah terlihat di perairan Pulo Aceh, tepatnya di perairan sekitar Pulau Sidom, Selatan Pulau Teunom, Utara Pulau Batee (Dekat Arus Cut) dan di perairan di depan Gampong Lapeng (timur

Pulau Breuh). Berdasarkan data hasil survei megafauna WCS, Pari Manta umumnya di jumpai para responden (nelayan dan dive operator) pada bulan Januari hingga Maret, meski demikian beberapa responden juga pernah melihatnya di bulan Mei, September dan Oktober. Secara umum jenis spesies ini lebih sering ditemukan pada waktu musim angin timur. (WCS, 2010). Selain itu, Pari Manta juga muncul di sekitar Pulau Bunta, Lhok Lamteungoh Kecamatan Peukan Bada.

Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) atau Bayeum Goh dalam bahasa setempat, juga terdapat di perairan pesisir barat Kabupaten Aceh Besar, meskipun populasinya relatif sedikit dan hanya dapat ditemukan di beberapa lokasi saja. Dari hasil survei WCS pada tahun 2009, beberapa responden menyatakan pernah melihat Ikan Napoleon di dalam kawasan ini, antara lain di wilayah perairan Ujong Pancu dan Pulo Aceh. Di wilayah Pulo Aceh, khususnya di Pulau Breuh ditemukan di sekitar utara Gampong Meulingge, ujung barat Pantai Balue, sekitar Pulo Tuan di Pait (dekat Gampong Paloh) dan di selat sempit antara Pulau Breuh dan Pulau Teunom.

(WCS, 2010).

Ditemukan Dugong mati terdampar di Pantai Alue Naga,

13 Desember 2015

(18)

Peta Lokasi Penampakan Spesies-Spesies Penting di Perairan Aceh Besar

(WCS, 2010)

Gambar

11

Di pesisir Kabupaten Aceh Besar ditemukan 4 (empat) jenis penyu dari 6 (enam) jenis yang ditemukan di Indonesia. Data kelimpahan populasi hasil pemantauan dalam kurun waktu lebih dari 7 tahun hanya ada untuk beberapa lokasi peneluran seperti Pantai Lange, Lampuuk, Lhoknga, Ujong Pancu dan Pulau Breuh .

10

Grafik

Jumlah Penyu Berdasarkan Tahun (2012-2014)

Dari gambar di atas dapat di interpretasikan bahwa kelimpahan penyu yang bersarang di tahun 2012 yaitu 3,44 ± 5,17 induk, jumlah ini berkisar 32, 14

% dari total induk yang bersarang selama periode 2012-2014. Tahun 2013 terjadi peningkatan induk yang bersarang dengan jumlah 4,00 ± 2,66 induk, yaitu 50,00

% dari total populasi induk yang bersaraoooong periode 2012-2014. Di tahun 2014 terjadi penurunan jumlah induk yang bersarang berjumlah 5,40 ± 4,56 induk dengan persentase 17,85 % dari total jenis Induk penyu yang bersarang periode 2012-2014.

(Muhardie, A., 2015). Selain di tempat yang disebutkan di atas, Penyu Belimbing juga dilaporkan bertelur di Pantai Pasie Weung, Gampong Alue Raya, Kemukiman Pulau Breuh Utara, Kecamatan Pulo Aceh. (WCS, 2010).

Berdasarkan data dari Kelompok Konservasi Penyu Lembaga Ekowisata Pulo Aceh (LEPA) yang mendata di Pasie Lambaro, Pasie Genteng dan Pasie Balu Gampong Gugop dari tahun 2016 - 2018, didapatkan data bahwa di pesisir pantai tersebut bertelur juga penyu hijau.

Sidat di Kabupaten Aceh Besar terdapat di beberapa lokasi, salah satunya yang sudah dilakukan penelitian adalah di Kuala Ie Mameh Desa(Gampong) Beurenut Lhok Lampanah Kecamatan Seulimuem. Migrasi glass eel yang terjadi di Kuala Ie Mameh Desa Beurenut merupakan yang tertinggi dari segi jumlah berbanding dengan perairan lainnya di Provinsi Aceh. Total sampel yang tertangkap jaring selama 3 malam observasi mencapai 946 ind, dimana pada puncak migrasi glass eel yang tertangkap dapat mencapai 650 ind semalam sampling (Tabel 2). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muchlisin et al. (2016) menyebutkan bahwa observasi yang dilakukan di sungai Lambeuso, Kab. Aceh Jaya ditemukan 131 sampel glass eel selama 12 kali penyamplingan selama 3 bulan penelitian. Hasil tersebut jauh lebih rendah dari penelitian yang dilakukan di Kuala Ie Mameh DesaBeurenut, bahkan dengan waktu penyamplingan yang lebih rendah (3 malam). Selanjutnya Penelitian lainnya yang dilakukan di Kab. Aceh Barat Daya pada bulan September 2017 (tidak dipublikasi) selama 3 malam observasi hanya ditemukan 57 sampel glas eel tersebar pada muara sungai Desa Lama Muda dan Muara Sungai Pantai Jilbab.

“Sidat di Kabupaten Aceh Besar terdapat di beberapa lokasi,

salah satunya yang sudah dilakukan penelitian adalah di Kuala Ie Mameh

Desa(Gampong) Beurenut Lhok Lampanah

Kecamatan Seulimuem.”

(19)

Tabel 02

Kelimpahan glass eel berdasarkan tanggal pengambilan sampel.

Warna putih dan hijau menunjukkan warna jaring trap glass eel yang digunakan.

Selanjutnya selama survey sidat yang dilakukan pada tahun 2016 menunjukkan bahwa potensi sidat dewasa dipesisir dan dataran tinggi Aceh bahwa dominasi sidat jenis A. bicolor bicolor ditemukan di Pesisir dengan Kab. Singkil mendominasi dari segi jumlah, sedangkan kawasan dataran tinggi (Kab. Bener Meriah, Kab. Aceh Tengah, Kab. Gayo Lues dan Kab. Aceh Tenggara) jenis Anguilla marmorata mendominasi dari segi jumlah dan Kab. Aceh Tenggara ditemukan sebaran tertinggi pada spesies tersebut (Muchlisin et al., 2017).

Penelitian sebelumnya di Perairan Kuala Ie Mameh Desa Beurenut terdapat 3 jenis sidat berdasarkan 25 sampel glass eel yang di uji genetik, yaitu A. marmorata (nama local Denung), A. bicolor bicolor (nama local Dundong/

Ileh) dan A. bengalensis bengalensis (Muchlisin et al., 2017). Pada penelitian tersebut juga disebutkan jarak genetik antara A. bicolor bicolor dan A. marmorata mencapai 5,0%. Selanjutnya jarak genetik antara A. bicolor bicolor dan A.

bengalensis bengalensis mencapai 7,0% (COI).

Hal serupa dihasilkan pada penelitian Arai dan Wong (2016) menyebutkan bahwa jarak genetik antara A. bicolor bicolor dan A. bengalensis bengalensis yang dikoleksi dari Pulau Langkawi, Malaysia mencapai 7,0% (COI) dan 2.4% (16S rRNA). Jarak genetik antara A. bengalensis bengalensis dan A. marmorata mencapai 4,0%.

Selanjutnya Muchlisin et al. (2017) juga menyebutkan bahwa Pada 3 spesies yang teramplifikasi menunjukkan jarak genetik terjauh sebesar 7,0% yaitu pada spesies A. bicolor bicolor dengan A. bengalensis bengalensis.

Nilai tersebut menunjukkan bahwa dua individu tersebut tergolong pada spesies yang berbeda jika jarak genetiknya lebih dari 3%

(Hebert, 2003). Jika nilai jarak genetik semakin mendekati 0 maka hubungan kekerabatan semakin dekat. Jika menjauhi nilai 0 maka jarak genetik antar spesies semakin jauh.

Pada penelitian ini jarak genetik 3 spesies yang

paling dekat antara spesies A. bengalensis bengalensis dengan spesies A. marmorata dengan nilai 4,0%. Sedangkan jarak genetik antara spesies A. bicolor bicolor dengan A.

marmorata memiliki nilai 5,0%. Nilai jarak genetik yang diperoleh tidak terlalu jauh sehingga masih tergolong pada genus yang sama.

Hasil identifikasi penelitian sebelumnya di Indonesia terdapat 2 subspesies A. bicolor yaitu A. bicolor bicolor dan A. bicolor pasifica (Affandi, 2005; Sugeha dan Suharti, 2008;

Muchlisin dan Siti-Azizah, 2009; Chino dan Arai, 2010; Tanaka et al.,2014). Menurut Sugeha dan Suharti (2008) mengemukakan bahwa sebaran A. bicolor bicolor meliputi Sumatera dan Jawa, Sedangkan A. bicolor pasifica tersebar dari Sulawesi dan Papua.

Selanjutnya A. bicolor terdistribusi sangat luas dimana ditemukan di Bolgoda (Rupasinghe dan Attygalle, 2006), Philippine (Tanaka et al., 2014), Taiwan (Leander et al., 2012), Vietnam (Tseng, 2012), Pulau Reunion (Robinet dan Feunteun,2002), India (Moravec et al., 2013) dan Malaysia (Arai dan Wong, 2016) serta Afrika dan oAustralia (Arai et al., 2012).

Menurut Arai dan Siow (2013) menyebutkan bahwa terdapat 4 populasi ikan sidat yang telah ditemukan diantaranya yaitu Utara Pasifik, Selatan Pasifik, Samudera Indiadan Wilayah Guam. Adapun populasi A.

bicolor bicolor yang tetangkap di Aceh merupakan Populasi Samudera India. Selanjutnya menurut Minegishi et al. ( 2011) bahwa A. bicolor bicolor yang terdistribusi di Samudera India tersusun dari satu struktur genetik yang sama (single genetically homogeneous population).

Penelitian sebelumnya belum pernah ditemukan spesies A. bengalensis bengalensis di Indonesia dari dua belas spesies yang pernah ditemukan diantaranya A. celebesensis, A. marmorata, A. borneensis, A. interioris, A.

obscura, A. bicolor bicolor, A. bicolor pacifica, A. nebulosa nebulosa, A. megastoma dan A.

(20)

luzonensis (Sugeha et al., 2008: Sugeha, 2015).

Keberadaan A. bengalensis bengalensis di Aceh kemungkinan dapat terjadi akibat perubahan pola migrasi ikan tersebut, dimana hasil senada dinyatakan oleh Arai dan Wong (2016) bahwa untuk pertama kalinya ditemukan spesies A.

bengalensis bengalensis di Pulau Langkawi, Malaysia berdasarkan hasil analisis morfologi dan genetik. Menurut Moravec et al. (2012) A.

bengalensis bengalensis (Indian Mottled Eel) merupakan spesies asli India dan penyebarannya meliputi India, Pakistan, Srilanka, Burma, Nepal dan Bangladesh. Adapun A. bengalensis bengalensis di India sering ditemukan pada waduk, sungai, kanal dan danau (Sarkar et al., 2015). Selanjutnya Tsutsui et al. (2015) menyebutkan bahwa terdapat 2 subspesies dari A. bengalensis, yaitu A. bengalensis bengalensis dan A. bengalensis labiata.

Penelitian sebelumnya telah ditemukan A. marmorata di Provinsi Aceh (Muchlisin dan Siti-Azizah, 2009). Arai dan Siow (2013) menyatakan keberadaan A. marmorata di Aceh dikarenakan Pulau Sumatera termasuk area pemijahan dan penyebaran glass eel ikan tersebut. Selain itu Aoyama (2009) menyebutkan bahwa distribusi A. marmorata di Indo-Pasifik

meliputi bagian timur Afrika dan Tahiti.

Selanjutnya penelitian sebelumnya A.

marmorata terdistribusi pada Sungai Reunion danPulau Mauritius (Robinet dan Feunteun, 2002; Robinet et al., 2007), Vietnam (Tseng, 2012), Philippine (Arai et al., 1999), Taiwan (Lin et al., 2002) dan Malaysia (Arai dan Siow, 2013). Distribusi yang luas pada A.

marmorata disebabkan dalam siklus hidupnya melakukan pola migrasi. Namun sesuatu yang tidak biasa terjadi, dimana ditemukan A.

marmorata di Kepulauan Hawaiian, Hawai yang sebelumnya tidak pernah ditemukan (James dan Suzumoto, 2006). Pada saat bermigrasi A. marmorata membentuk system fisiologi meliputi sensitifitas visual, sensor penciuman dan toleransi salinitas (Wang et al., 2014).

Peta Sebaran

Spesies Langka/ Penting di Perairan Aceh Besar (YL, 2018)

Gambar 12

2.1.2 Potensi Ekonomi

2.1.2.1 Mata Pencaharian Masyarakat

Selain memiliki potensi ekologi, wilayah pesisir Kabupaten Aceh Besar juga memiliki potensi ekonomi dari sektor sumber daya kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan,industri dan pertambangan.

Mata pencaharian sebagian besar masyarakat di Kabupaten Aceh Besar adalah bertani dan beternak, namun tidak sedikit juga yang berdagang. Khusus di bagian pesisir, mata pencaharian masyarakatnya adalah petani kebun,petani sawah, nelayan dan peternak.

Masyarakat di Wilayah Pulo Aceh umumnya adalah nelayan dan petani kebun dengan komoditi tanaman tahunan berupa cengkeh, kemiri, pinang dan kelapa.

Sedangkan tanaman muda yang di tanam umumnya berupa cabai rawit, mentimun dan ubi rambat.Sebagian kecil masyarakat di Pulo Aceh juga berprofesi sebagai petani sawah, pembudidaya ikan dan peternak.

Masyarakat di wilayah KecamatanPeukanBada umumnya bermata pencaharian sebagai petani ladang, petani sawah, peternak dan nelayan, serta sebagian kecil berdagang, sedangkan masyarakat di Kecamatan Lhoknga umumnya bertani di sawah, berkebun dan beternak. Khusus masyarakat yang tinggal di daerah pesisir Lhoknga dan Lampuuk sebagian kecil juga bekerja di sektor pariwisata. Kemudian di Kecamatan Lhoknga terdapat satu industri yaitu pabrik semen, dimana sebagian pekerjanya adalah masyarakat yang tinggal di daerah Kecamatan Lhoknga.

Selain itu masyarakat di sekitar Krueng Raya Kecamatan Mesjid Raya bermata pencaharian sebagainelayan, petani kebun dan peternak. Kemudian di KecamatanMesjid Raya merupakan Kawasan Ekonomi Khusus di Aceh Besar, salah satu kegiatan yang sudah berjalan yaitu di Pelabuhan Malahayati Krueng Raya.

Masyarakat di wilayah Kecamatan Seulimuem antara lain Lampanah dan Leungah umumnya bermata pencaharian sebagai petani kebun, petani sawah, peternak dan nelayan, serta sebagian kecil berdagang.Selain itu kawasan LhokMe, Lampanah dan Leungahmerupakan kawasan HGU beberapa Perusahaan tambang dengan hasil tambang pasir besi, kars dan bahan mineral lainnya, dan ini perlu kebijakan untuk mengukur keterlibatan masyarakat dari sektor pertambangan ini dengan keterlibatan masyarakat dari pengembangan Kawasan Konservasi Perairan.

(21)

Potensi Wisata Alam yang ada di pesisir dan perairan Kabupaten Aceh Besar antara lain : Pantai Lampuuk, Pantai Mong- MongLampuuk, Pasie Lange, Pantai Babah Kuala, Pulo Kapok, Pasie Jalang dan Pucok Krueng Lhoknga di Kecamatan Lhoknga;

Pantai Ujong Pancu, Pantai Lamteungoh, Lhok Mata Ie, Lhok Keutapang, Pulau Bunta dan wisata snorkling di Tuan di Pulo di Kecamatan Peukan Banda; Air Terjun Suhom di Desa Kala dan Pantai Kaki Gunung Geurute di Gampong Meunasah Lhok Kecamatan Lhoong; Pemandian Brayeun, Lhok Seudu dan Pantai Penyu di Kecamatan Leupung; Pantai Lambaro, Balue, Pasie Weung, Lhok Kruet, Meulingge, Rinon dan Ujung Peuneung di Pulau Breuh;

Pantai Pasie Raya, Mata Ie, Deudap dan Pantai Alue Reuyeung di Pulau Nasi; serta Pantai Ujung Batee, Pemandian Air Panas di Ie Seuum Krueng Raya dan Pantai Lhok Me Lamreh Krueng Raya Kecamatan Mesjid Raya.

Selain objek wisata alam, Kabupaten Aceh Besar juga memiliki beberapa objek wisata sejarah dan budaya antara lain

; Rumoh Cut Nyak Dhien di Gampong Lampisang Kecamatan Lhoknga; Rumah kelahiran Cut Nyak Dhien di Gampong Lamteh, Situs peninggalan sejarah kerajaan kuno Indra Purwa dan Balai Ikrar Lamteh di Kecamatan Peukan Bada; Pemakaman Di Kandang di Alue Reuyeung Pulau Nasi, Mercusuar Willem Torens di Pulau Breuh, Kecamatan Pulo Aceh; Situs peninggalan sejarah kerajaan kuno Indra Patra, kerajaan Lamuri, Pulau Amat Ramanyang dan Benteng Inong Balee di Krueng Raya Kecamatan Mesjid Raya.

2.1.2.2 Sektor Sumber Daya Kelautan dan Perikanan

Potensi sumber daya kelautan dan perikanan, antara lain :

1. Sumber dayahayati, meliputi berbagai hasil perikanan laut, ekosistem mangrove, terumbu karang dan padang lamun (berpotensi untuk dilakukan pengembangan) serta beragam jenis biota laut lainnya.

2. Sumber daya non hayati, antara lain pasir laut, pasir besi dan bahan tambang mineral, serta

3. Jasa – jasa lingkungan (environmental services), seperti media transportasi dan komunikasi serta energi laut.

Jumlah nelayan penangkap ikan berjumlah sebanyak 4.577 orang dan nelayan tambak/kolam yang tercatat adalah sebanyak 575 orang nelayan tambak dan 187 orang nelayan pembudidaya kolam. Jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2017 adalah sebanyak 984 armada, dengan rinian jukung sebanyak 30 armada, perahu motor temple sebanyak 158 armada, kapal motor ukuran 0 - 5 GT sebanyak 706 armada, kapal motor ukuran 5 - 10 GT sebanyak 62 armada, kapal motor ukuran 10-20 GT sebanyak 8 armada dan kapal motor ukuran di atas20 GT sebanyak 20 armada. Jumlah alat penangkap ikan adalah 929 unit dengan rincian pukat pantai sebanyak 30 unit, pukat cincin sebanyak 26 unit, jaring angkat bagan sebanyak 53 unit, jaring insang sebanyak 151 unit, pancing tonda sebanyak 42 unit dan pancing biasa sebanyak 627 unit (BPS Aceh Besar, 2018).

Produksi perikanan tangkap Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2018 adalah sejumlah 8.607 ton dan produksi perikanan budidaya Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2018 adalah sejumlah 860ton (DKPAceh, 2018). Sarana dan prasarana perikanan yang dimiliki Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2017 adalah TPI sebanyak 7 unit, PPI sebanyak 2 unit, dermaga sebanyak 11 unit dan balai nelayan sebanyak 18 unit.(BPS Aceh Besar, 2018).

Selain sumber daya hayati, di dalam dan sekitar kawasan SAP Kabupaten Aceh Besar terdapat juga sumber daya non hayati, seperti kars, pasir laut, pasir besi dan bahan tambang mineral lainnya. Bahan tambang yang sudah di eksploitasi adalah kars di Lhoknga dan pasir besi di pesisir pantai dari Lhok Me sampai ke arah Lampanah – Leungah secara manual, sedangkan pasir besi yang berada di perairan tidak diizinkan penambangan, karena bertentangan dengan prinsip – prinsip konservasi dan keberlanjutan lingkungan.

Selanjutnya, dalam kawasan SAP Kabupaten Aceh Besar terdapat juga sumber daya yang dapat dijadikan sebagai sumber jasa lingkungan, antara lain jasa transportasi untuk masyarakat Pulau Bunta Kecamatan Peukan Bada dan Pulo Aceh,

jasa komunikasi untuk masyarakat Pulau Bunta Kecamatan Peukan Bada dan Pulo Aceh serta energi laut di Arus Cut dan Arus Lampuyang.

2.1.2.3 Sektor Pariwisata

Gambar 13

Pantai Lampuuk

(22)

14

Gambar

Pasie Lange Lampuuk

Pantai Pasie Jalang Lhoknga

Gambar

15

Pantai

Babah Kuala dan Pulo Kapok Lhoknga

Gambar

16

Tuan di Pulo Peukan Bada

Gambar

Gambar

17

18

Pulau Bunta

Peukan Bada

(23)

2.1.2.4 Sektor Pertanian

2.1.2.5 Sektor Perkebunan

2.1.2.6 Sektor Peternakan

Sektor pertanian merupakan sektor andalan bagi Kabupaten Aceh Besar, masyarakat pesisir di dalam calon SAP Aceh Besar umumnya menanam tanaman keras (perkebunan) seperti cengkeh, kemiri, kelapa dan pinang. Namun pada saat musim penghujan masyarakat pesisir juga menanam tanaman muda berupa cabai rawit, jagung, kacang hijau dan beberapa jenis sayuran. Sebagian kecil masyarakat yang bermukim di Pulau Nasi dan Pulau Breuh ada juga yang menanam padi di sawah, begitu juga yang bermukim di kecamatan Lhoknga, Peukan Bada dan Lampanah Kecamatan Seulimuem.Pada tahun 2017, sektor pertanian (termasuk peternakan) masih merupakan penyumbang terbesar dengan presentase 22,44 % kontribusi PDRB Kabupaten Aceh Besar

(BPS A.Besar, 2018).

Produksi kelapa dalam Kabupaten Aceh Besar sepanjang tahun 2017 berjumlah 5.908 ton, di mana daerah penghasil terbanyak adalah Kecamatan Pulo Aceh sebanyak 668,16 ton atau 11,31 % dari total produksi di Kabupaten Aceh Besar.

Untuk cengkeh Kecamatan Lhoknga menjadi penghasil terbanyak dari 684 ton, Kecamatan Lhoknga menyumbang 153,5 ton untuk produksi cengkeh Aceh Besar atau sebesar 22,44 %.

Produksi tanaman kopi pada tahun 2017 berjumlah 639 ton. Daerah penghasil terbanyak adalah Kecamatan Seulimuem sejumlah 140,5 ton atau 21,98 % dari total produksi di Aceh Besar.Kecamatan Seulimuem juga menjadi penghasil pinang dan kemiri di Kabupaten Aceh Besar. Produksi pinang dan kemiri di Kabupaten Aceh Besar adalah 1.558 ton dan 1.395 ton. Sedangkan produksinya di Kecamatan Seulimuem adalah 235,2 ton (15,09 %) dan 364 ton (26,09 %).

Jenis ternak yang menjadi usaha masyarakat di kawasan SAP Kabupaten Aceh Besar adalah Sapi, Kerbau, Kambing, Domba, Ayam Ras Pedaging/ Petelur, Ayam Buras dan Itik. Populasi ternak di Kabupaten Aceh Besar tahun 2017 terdiri dari ternak besar dan kecil yaitu Sapi berjumlah 122.712 ekor, Kerbau sebanyak 37.952 ekor, Kambing 86.162 ekor dan Domba sebanyak 6.797 ekor. Sedangkan untuk populasi jenis ternak unggas seperti Ayam Ras Pedaging/ Petelur ada sebanyak 12.331.577 ekor dan Ayam Buras berjumlah 13.825.316 ekor, serta Itik sebanyak 3.183.139 ekor.

Banyaknya pemotongan ternak pada tahun 2017 tercatat untuk ternak Sapi sebanyak 21.518 ekor, Kerbau sebanyak 8.671 ekor, Kambing sejumlah 34.993 ekor

dan Domba sebanyak 3.169 ekor. Untuk produksi telur yang paling banyak dihasilkan adalah telur Itik berjumlah 1.513.458 kg, kemudian disusul dengan Ayam Ras Petelur yaitu sebanyak 1.362.043 kg, dan telur Ayam Buras berjumlah 526.357 kg.Banyaknya kelompok tani ternak pada tahun 2017 tercatat 623 kelompok yang aktif. Kelompok tani ternak terbanyak ada di Kecamatan Seulimeum dengan jumlah 81 kelompok.

Nilai investasi pada sektor Industri Kecil Formal di Kabupaten Aceh Besar Tahun 2017 memiliki jumlah yang cukup besar pada Industri Kerajinan yaitu sekitar 44,94 miliar rupiah kemudian disusul dengan Industri Kimia dan Bahan Bangunan sekitar 37,74 miliar rupiah. Sedangkan industri Sandang memiliki nilai investasi yang paling sedikit yaitu sekitar 1,69 miliar rupiah.Untuk sektor Industri Kecil Non Formal nilai investasinya juga didominasi oleh Industri Pangan yaitu sekitar 13,3 miliar rupiah. Sedangkan nilai investasi terkecil yaitu Industri Sandang sekitar1,36 miliar rupiah.

Unit usaha terbanyak pada sektor Industri Formal berada pada Industri Pangan yaitu 1.257 unit usaha dengan tenaga kerja yang diserap sebanyak 3.499 orang. Sedangkan untuk sektor Industri Non Formal unit usaha terbanyak adalah juga Industri Pangan sebanyak 284 unit usaha yang mampu menampung tenaga kerja sebanyak 1.252 orang.Produksi Semen pada PT Lafarge Cement Indonesia Kabupaten Aceh Besar tahun 2017 berjumlah 1.300.095 ton.

2.1.2.7 Sektor Industri

2.1.2.8 Sektor Pertambangan

Potensi sektor pertambangan terdapat di Kecamatan Lhoknga, Lhoong, Pulo Aceh, Mesjid Rayadan Seulimuem. Deposit bijih besi dapat dijumpai dalam bentuk primary deposit dan secondary deposit. Bijih dalam bentuk batuan banyak ditemukan di Kecamatan Lhoong (Krueng Geunteut, Krueng Lhoong) dan Pulau Breuh Selatan.

Selain bijih besi, juga terdapat potensi molybdenum di Krueng Geunteut dan Krueng Lhoong.

Bahan tambang lain yang terdapat di dalam kawasan adalah tembaga, bahan galian logam ini dapat ditemukan di Pulau Breuh (Pulo Aceh), di lokasi ini tembaga ditemukan dalam bentuk senyawa berupa malakhit. Berikutnya di daerah Krueng Kala dan Gle Bruek Kecamatan Lhoong. Selain itu, di kawasan Lhok Me Krueng Raya, Lampanah dan Leungah Kecamatan Seulimuem terdapat bahan tambang antara lain pasir besi, karst dan bahan mineral lainnya

(24)

2.1.3 Potensi Sosial Budaya

2.1.3.1 Jumlah Penduduk

2.1.3.2 Jumlah Rumah Tangga Perikanan

Jumlah penduduk Kabupaten Aceh Besar menurut estimasi BPS Aceh Besar tahun 2017 adalah 409.109jiwa, penduduk laki-laki berjumlah 209.593 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 199.516 jiwa dengan sex ratio 105. Jika dilihat dari jumlah penduduk ditingkat kecamatan, kecamatan yang paling banyak jumlah penduduknya adalah Kecamatan Darul Imarah yang berjumlah 54.264jiwa, sedangkan kecamatan yang paling sedikit jumlah penduduknya adalah Kecamatan Leupung yaitu sebanyak 2.978 jiwa.

Kepadatan Penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Krueng Barona Jaya dengan kepadatam 2.362jiwa/km2. Darul Imarah menjadi kecamatan terpadat kedua dengan rata- rata 2.229 jiwa/km2. Sedangkan yang terjarang terdapat di Kota Jantho, yaitu hanya 17 jiwa/km2 (BPS Aceh Besar, 2018).

Khusus Kecamatan Pulo Aceh, Peukan Bada, Lhoknga, Mesjid Raya dan Seulimuem. Jumlah Penduduk adalah sebagai berikut :

Jumlah Kecamatan, Mukim, Lhok, Gampong, Luas Perairan Lhok, Jumlah Penduduk dan Jumlah KK di sekitar Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Aceh Besar.

Jumlah Rumah Tangga Perikanan(RTP) tangkap Kabupaten Aceh Besar Pada tahun 2018 adalah 3.185 RTP. Sedangkan Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) budidaya Kabupaten Aceh Besar Pada tahun 2018 adalah 753 RTP (DKP Aceh, 2018).

2.1.3.3 Kebudayaan dan Kearifan Lokal

Masyarakat Aceh, terutama yang tinggal di Kabupaten Aceh Besar, memiliki kearifan lokal berupa adat isitiadat dan lembaga-lembaga tradisional yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan dan lestari serta mengedepankan asas keadilan.

Secara historis di dalam budaya masyarakat Aceh yang tinggal di pesisir berlaku sistem dan aturan pengelolaan pesisir yang bersumber pada kearifan lokal dan telah berlangsung turun-temurun beratus-ratus tahun lamanya yaitu hukum adat laot dan sistem Panglima Laôt. Wilayah pesisir yang dikelola oleh hukum adat laut ini biasanya disebut Lhok, dan di pimpin seorang Panglima Laôt Lhok . Hukum adat laut tersebut memiliki aturan adat laut yang telah disepakati bersama oleh masyarakat yang tinggal di dalamnya.

Panglima Laôt merupakan pemimpin adat kaum nelayan yang mengatur segala praktek kenelayanan dan kehidupan sosial yang terkait di sebuah wilayah pesisir yang dikenal dengan istilah Lhok. Lhok sendiri adalah kawasan pesisir dimana terdapat satu atau lebih lokasi tempat nelayan melabuhkan perahunya yang disebut Teupin. Wilayah Lhok memiliki batas-batas wilayah tertentu yang telah disepakati masyarakat serta memiliki aturan adat melaut tersendiri dalam kawasan tersebut dan dipimpin oleh seorang Panglima Laôt.

Selain merupakan tokoh, Panglima Laôt juga sekaligus merupakan istilah untuk lembaga hukum adat tradisional di masyarakat pesisir Aceh yang mengurusi segala hal; terkait aktifitas penangkapan ikan, termasuk aturan-aturan penangkapan dan adat sosial di antara para nelayan. Dalam hal penangkapan ikan, nelayan luar yang ingin bersandar atau menangkap ikan di dalam wilayah lhôk tertentu harus mengikuti aturan-aturan hukum adat Laôt yang menaungi wilayah tersebut.

Panglima Laôt telah ada sejak zaman Kerajaan Samudera Pasai, abad ke- 14. Hukôm Adat Laôt mulai dikenal pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1637) dari Kesultanan Samudra Pasai. Di masa lalu, Panglima Laôt merupakan perpanjangan kedaulatan Sultan atas wilayah maritim di Aceh. Dalam mengambil keputusan, Panglima Laôt berkoordinasi dengan ulee balang, yang menjadi penguasa wilayah administratif. Struktur kelembagaan Panglima Laôt bertahan selama masa penjajahan Belanda (1904-1942), pendudukan Jepang (1942-1945) hingga sekarang.

Struktur ini mulanya dijabat secara turun temurun, meski ada juga yang dipilih dengan pertimbangan senioritas dan pengalaman dalam bidang kemaritiman.

Di masyarakat pesisir di Kabupaten Aceh Besar masih berlaku ketentuan hukom adat laot, yang mengatur adat istiadat/kebiasaan pemanfaatan sumber daya alam di laut beserta interaksi antara para pelakunya meliputi; adat sosial, adat barang hanyut, adat kenduri laut dan adat pemeliharaan lingkungan. Secara keseluruhan,

Tabel 03

Referensi

Dokumen terkait

Kawasan aliran dan muara Sungai Reuleng sulit ditemukan larva Geloina erosa, akan tetapi banyak dijumpai kerang muda (spat) yang masih hidup dan telah mati serta induk kerang

Beberapa perubahan terhadap struktur organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Aceh Tenggara terakhir kali ditetapkan dengan Peraturan Bupati Aceh Tenggara Nomor 43 Tahun

Dalam rangka mewujudkan arah perencanaan pembangunan yang tepat, terpadu dan berkelanjutan, perlu disusun Rencana Strategis (RENSTRA) Dinas Peternakan, Perikanan dan

Dengan mengacu kepada Matrik Modifikasi Conservation for Development Program IUCN 1984, maka kesesuaian Zona Perikanan Berkelanjutan pada Kawasan MMA Kabupaten Bintan pada tahap

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis tumbuhan anggrek epifit yang terdapat di Kawasan Cagar Alam Jantho Kabupaten Aceh Besar.. METODE PENELITIAN Tempat dan

30 Tahun 2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan (RPZ KKP). RPZ KKP merupakan salah satu instrumen pengelolaan dalam mendukung kawasan laut dan

Dalam upaya peningkatan kinerja SKPD Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Selatan yang mengacu pada Renstra, maka untuk tahun yang akan datang perlu adanya

Harga standar ditetapkan oleh bupati yang diajukan kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (mempertimbangkan usul camat) Pemanfaatan uang hasil lelang Menjadi pendapatan