• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

B. Purnawirawan Polri

Kepolisian Negara Republik Indonesia atau biasa disingkat Polri merupakan salah satu alat pemerintahan negara yang kedudukannya berada langsung dibawah Presiden. Dalam struktur Pemerintahan Indonesia Polri memiliki peran dan fungsi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (UU No 2 Tahun 2002). Selanjutnya peran dan fungsi tersebut, berdasarkan UU dijadikan sebagai tugas pokok Polri. Untuk dapat melaksanakan tugas pokok melindungi dan melayani (to protect and to serve) masyarakat tersebut, Presiden dan DPR–RI memberikan wewenang-wewenang kepada setiap anggota Polri, yang kesemuanya tercantum dalam UU No 2 Tahun 2002 pasal 15 (1,2), 16 (1). Wewenang yang

dimiliki seorang anggota Polri ternyata sangat luas bila dibandingkan dengan masyarakat sipil pada umumnya. Maka sosok anggota Polri yang memiliki wewenang luas itu harus mampu menyelesaikan berbagai masalah yang muncul di tengah–tengah masyarakat.

Dalam tubuh Polri terdapat lima golongan kepangkatan, yaitu: a. Perwira Tinggi, yang terdiri dari:

- Jenderal Polisi : Jenderal Polisi

- Komisaris Jenderal Polisi : d/h Letnan Jenderal Polisi - Inspektur Jenderal Polisi : d/h Mayor Jenderal Polisi - Brigadir Jenderal Polisi : Brigadir Jenderal

b. Perwira Menengah, yang terdiri dari:

- Komisaris Besar Polisi : d/h Kolonel Polisi

- Ajun Komisaris Besar Polisi : d/h Letnan Kolonel Polisi - Komisaris Polisi : d/h Mayor Polisi

c. Perwira Pertama, yang terdiri dari:

- Ajun Kepala Polisi : d/h Kapten Polisi - Inspektur Polisi Satu : d/h Letnan Satu Polisi - Inspektur Polisi Dua : d/h Letnan Dua Polisi d. Bintara, yang terdiri dari:

- Ajun Inspektur Polisi Satu : d/h Pembantu Letnan Satu Polisi - Ajun Inspektur Polisi Dua : d/h Pembantu Letnan Dua Polisi - Brigadir Polisi Kepala : d/h Sersan Mayor Polisi

- Brigadir Polisi Satu : d/h Sersan Satu Polisi - Brigadir Polisi Dua : d/h Sersan Dua Polisi e. Tamtama, yang terdiri dari:

- Bhayangkara Utama Muda : d/h Kopral Kepala Polisi - Bhayangkara Utama Satu : d/h Kopral Satu Polisi - Bhayangkara Utama Dua : d/h Kopral Dua Polisi - Bhayangkara Kepala : d/h Prajurit Kepala Polisi - Bhayangkara Satu : d/h Prajuri Satu Polisi - Bhayangkara Dua : d/h Prajurit Dua Polisi

Bertindak sebagai petugas pelaksana yang langsung terjun ke lapangan adalah anggota dari golongan kepangkatan Bintara dan Tamtama. Adanya prinsip “local boy for the local job” dalam tubuh Polri, membuat anggota Polri golongan Bintara dan Tamtama direkrut dari penduduk asli suatu daerah. Sedangkan bagi golongan perwira penugasannya tidak terkait kepada daerah asal, tapi diarahkan dalam rangka memperluas wawasan, meningkatkan rasa kebangsaan serta mempersiapkan sebagai kader pimpinan (Sutanto, 2005).

2. Pensiunan/ Purnawirawan Polri

Di Indonesia segala macam hal yang menyangkut bidang kepolisian telah diatur oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang–Undang No 2 Tahun 2002. Undang–Undang ini selain mengatur apa dan siapa saja yang berhak bergabung dengan lembaga Polri, juga mengatur siapa saja anggota Polri yang telah berhak menerima dan memasuki masa pensiun. Masa pensiun anggota Polri

tercantum pada Undang–Undang No 2 Tahun 2002 pasal 30 ayat 2, yang berbunyi:

“Usia maksimum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia 58 (lima puluh delapan) tahun dan bagi anggota yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutukan dalam tugas kepolisian dapat dipertahankan sampai dengan 60 9enam puluh) tahun”

Meskipun sejak tanggal 18 Agustus 2000 Kepolisian Negara Republik Indonesia telah resmi terpisah dari tubuh TNI, dan bukan lagi komponen dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, akan tetapi sebutan bagi para anggotanya yang telah memasuki masa pensiun masih tetap menggunakan istilah purnawirawan. Hal ini disebabkan karena tugas–tugas yang diemban oleh seorang anggota Polri masih berkisar seputar masalah keamanan dan ketertiban negara, sehingga sedikit banyak masih ada sangkut pautnya dengan bidang kemiliteran.

Purnawirawan dan pensiunan pada dasarnya memiliki persamaan arti, yaitu karyawan yang sudah memasuki masa purna bakti. Akan tetapi yang membedakan keduanya adalah jenis pekerjaan yang mereka jalani sebelum memasuki masa purna bakti. Purnawirawan adalah pensiunan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Sedangkan pensiunan adalah 1) karyawan yang sudah pensiun; 2) orang yang menerima pensiun (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988). Karyawan dalam hal ini diartikan sebagai seseorang yang bekerja pada sebuah instansi pemerintah atau kantor swasta non militer. Sedangkan instansi dimana seorang purnawirawan bekerja sebelum pensiun adalah instansi militer milik pemerintah, seperti Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sehingga dalam penelitian ini penggunaan kata “purnawirawan” sama saja artinya dengan pensiunan.

Pada tanggal 30 Juni 1999 tepatnya di Kota Jakarta, melalui suatu musyawarah nasional telah lahir sebuah organisasi yang khusus beranggotakan para Purnawirawan Polri. Organisasi ini bernama Persatuan Keluarga Besar Purnawirawan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang disingkat PP Polri (AD PP Polri Bab I pasal 1, 2006). Susunan organisasi PP Polri ini terdiri dari empat tingkatan, yaitu: a) tingkat pusat; b) tingkat daerah; c) tingkat cabang; dan d) tingkat ranting. Seluruh aturan yang mengikat setiap anggota PP Polri termuat dalam sebuah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga atau AD/ART PP Polri.

Pensiunan sendiri berasal dari kata pensiun, yang berarti 1) uang tunjangan yang diterima tiap–tiap bulan oleh karyawan sesudah ia berhenti bekerja atau oleh istri (suami) dan anak–anaknya, yang belum dewasa kalau ia meninggal dunia; 2) tidak bekerja lagi dengan menerima uang tunjangan bulanan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988). Dalam kehidupan nyata ternyata pensiun tidak hanya sekedar diartikan sebagai berhenti bekerja saja dan menerima uang tunjangan setiap bulan, tetapi pensiun memiliki arti yang lebih komplek terlebih bagi individu yang mengalaminya. Pensiun berarti kehilangan apa yang dimiliki antara lain: status sosial, jabatan, kekuasaan, penghasilan, dan penghormatan, sehingga pada tingkat yang parah akan memicu munculnya gejala perasaan bahwa dirinya sudah tidak bermakna lagi (Sukiat; dalam Djaini, 1997; dalam Purnamasari, 2003).

Parnes dan Nessel (dalam Corsini, 1987; dalam Eliana, 2003) mengemukakan bahwa pensiun adalah suatu kondisi dimana individu telah berhenti bekerja pada suatu pekerjaan yang biasa dilakukan. Selanjutnya pensiun juga diartikan sebagai

proses pemisahan individu dari pekerjaannya, dimana dalam menjalankan perannya seseorang digaji (Corsini, 1987; dalam Eliana, 2003). Dan menurut pandangan psikologi perkembangan pensiun dianggap sebagai suatu masa transisi ke pola hidup baru, ataupun merupakan akhir dari pola hidup (Schawrz; dalam Hurlock, 1983; dalam Eliana, 2003). Transisi ini meliputi perubahan peran dalam lingkungan sosial, perubahan minat, nilai, dan perubahan dalam segenap aspek kehidupan seseorang (Eliana, 2003). Tidak mudah untuk hidup di masa transisi, karena pada masa ini seorang pensiunan harus mampu melakukan proses penyesuaian diri kembali dengan identitas barunya, termasuk dengan peran, status, dan fungsi soasialnya sebagai seorang pensiunan.

Dari beberapa ulasan dan tinjauan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Purnawirawan Polri adalah mantan anggota Polri, yang berusia 58 tahun atau lebih dan telah memasuki masa purna bakti atau pensiun, sehingga mereka berhak menerima uang tunjangan setiap bulan, yang jumlahnya beragam disesuaikan dengan pangkat terakhir dan lamanya masa kerja mereka.

3. Fase – Fase Pensiun

Ilmuwan–ilmuwan sosial meyakini bahwa manusia mengalami serangkaian fase sebelum dan selama mereka pensiun (Hoyer & Roodin, 2003). Salah satu ahli yang sejalan dengan pernyataan tersebut adalah Robert Atchley (1983). Atchley (1983; dalam Hoyer & Roodin, 2003) mengungkapkan bahwa ada tujuh fase yang dialami individu sebelum dan selama menjalani masa pensiun, yaitu:

a. Remote Phase

Pada saat seseorang mulai bekerja, fase ini kerap kali terjadi dalam diri mereka. Mereka tidak membayangkan atau bahkan melakukan persiapan untuk memasuki masa pensiun. Pensiun masih dianggap sesuatu yang sangat jauh bagi seseorang yang sedang berada di fase ini. Dalam diri seorang anggota Polri fase ini terjadi pada waktu mereka baru saja menyelesaikan jenjang kependidikan calon polisi mereka. Pada saat ini mereka hanya memikirkan tentang jenjang karier mereka di masa depan.

b. Near Phase

Seseorang yang berada pada fase ini umumnya mulai menyadari bahwa mereka akan segera memasuki masa pensiun dan mereka harus mulai belajar menyesuaikan diri. Kadang–kadang mereka mengikuti beberapa program persiapan masa pensiun. Instansi–instansi yang ada di Indonesia umumnya mempersiapkan para karyawannya yang akan pensiun dengan memberikan MPP atau Masa Persiapan Pensiun.

Dalam tubuh Polri tidak ada istilah MPP atau Masa Persiapan Pensiun. Pihak Polri memiliki kebijakkan sendiri untuk mempersiapkan masa pensiun bagi tiap-tiap anggotanya, dan kebijakkan ini diatur oleh masing-masing Polda dimana anggota Polri tersebut bergabung. Seorang anggota Polri yang berada pada fase ini umumnya mulai menyadari bahwa sebentar lagi mereka akan memasuki masa pensiun, dan mereka juga mulai memikirkan sambil mempersiapkan masa pensiun mereka.

c. Honeymoon Phase

Sesuai dengan namanya honeymoon (bulan madu), biasanya masa pensiun disambut dengan gembira oleh individu yang menjalaninya, karena mereka terbebas dari pekerjaan dan rutinitas yang selama ini menjadi tanggung jawabnya. Pada fase ini biasanya dilalui individu yang pensiun dengan melakukan segala macam kegiatan yang tidak dapat ia lakukan selama masih bekerja. Bagi individu yang merasakan kepuasan kerja umumnya fase ini akan dilalui dengan baik, mereka akan mudah mencari kegiatan–kegiatan baru selama menjalani masa pensiun. Tetapi bagi individu yang pensiun karena tidak merasakan kepuasan selama bekerja atau terpaksa harus mau menerima pensiun umumnya cenderung enggan mencari aktifitas lain yang lebih menyenangkan.

Seorang Purnawirawan Polri yang merasa puas dengan kerja mereka selama bergabung dengan Kesatuan Polri akan merasa bahagia dengan datangnya masa pensiun mereka, karena hal itu berarti mereka dapat melakukan banyak hal yang sebelumnya tidak dapat mereka lakukan, termasuk melakukan hobi mereka. Tetapi lain halnya dengan Purnawirawan yang semasa bekerja tidak merasa puas dengan kerja mereka dalam kesatuan. Purnawirawan ini akan merasa tidak bahagia menjalani masa pensiun mereka, sehingga berada pada fase bulan madu ini akan dirasakannya sebagai sebuah siksaan.

d. Disenchantment Phase

Pada fase ini banyak pensiunan yang mulai merasa depresi dan kosong. Bagi beberapa orang pada fase ini mulai merasa kehilangan, yaitu kehilangan kekuasaan, martabat, status, penghasilan, dan cita–cita. Menurut Myers (1999;

dalam Hoyer & Roodin, 2003) banyak pensiunan yang merasa kehilangan rutinitas aturan–aturan kerja (dan kepentingan pribadi mereka), serta teman– teman kerja.

Seorang Purnawirawan Polri yang telah berada pada fase ini umumnya mulai merasa jenuh dengan hari-hari pensiun mereka. Pada fase ini mereka mulai menyadari bahwa dengan hilangnya wewenang, pangkat, dan jabatan mereka maka kedudukan mereka saat ini adalah sama dengan warga sipil lainnya. Pada beberapa orang ada yang mulai merasa kosong, depresi, dan merasa kehilangan martabat serta kehormatan mereka ketika menjalani hari-hari dengan status sebagai seorang pensiunan.

e. Reorientation Phase

Pensiunan yang merasa depresi dengan masa pensiun mereka, pada fase ini mulai berusaha untuk melaluinya dengan cara mengeksplorasi, mengevaluasi, dan memutuskan kira–kira kegiatan apa yang mampu mendatangkan kepuasan hidup selama menjalani masa pensiun.

Pada fase ini seorang Purnawirawan Polri mulai mempertimbangkan dan membuat sebuah keputusan kira-kira aktivitas apa yang hendak mereka jalani setelah memasuki masa pensiun. Pada fase ini pula umumnya mulai banyak para Purnawirawan Polri yang memutuskan untuk bekerja kembali, baik menjadi tenaga satuan keamanan ataupun menjalani bidang lain, yang sesuai dengan kemampuan fisik mereka.

f. Stability Phase

Pada fase ini individu mulai dapat memutuskan kegiatan yang akan mereka lakukan dengan sebaik–baiknya selama menjalani masa pensiun. Pada beberapa kasus, bagi pensiunan yang mampu menyesuaikan diri dengan baik fase ini sudah terjadi setelah honeymoon phase, tetapi ada juga pensiunan yang kesulitan dan cukup lama melalui masa transisi ini.

Beberapa orang Purnawirawan Polri ada yang sudah memulai kegiatan pasca pensiun mereka sejak mereka memasuki masa pensiun (pada fase bulan madu). Kegiatan yang dipilih oleh seorang Purnawirawan Polri itu, pada fase ini mulai mereka jalani dengan sebaik-baiknya.

g. Termination Phase

Seorang pensiunan pada fase ini biasanya mulai diserang dengan penyakit, sehingga mereka tidak mampu lagi mengurus diri mereka sendiri. Mereka hanya bisa bergantung pada orang lain, baik secara fisik maupun secara ekonomi.

Pada fase ini seorang Purnawirawan Polri sudah benar-benar tidak mampu lagi melakukan berbagai macam aktivitas. Kondisi fisik mereka pada fase ini sudah benar-benar menurun drastis. Tubuh mereka sudah mulai diserang oleh penyakit-penyakit, sehingga praktis pada fase ini mereka hanya tinggal menggantungkan hidup mereka pada anak-anak mereka dan orang-orang yang ada di sekitar mereka.

4. Perubahan – Perubahan Pasca Pensiun

Turner dan Helms (1982; dalam Eliana, 2003) mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang berubah dan menuntut penyesuaian diri yang baik dalam menjalani masa pensiun, antara lain:

a. Masalah keuangan

Dengan datangnya masa pensiun berarti jumlah pemasukan juga akan berkurang, karena gaji pensiunan yang diterima setiap bulan tidak akan sebanyak dulu ketika masih bekerja. Kondisi ini tentu sulit bagi pensiunan, apalagi jika mereka masih harus menanggung biaya pendidikan anak–anak mereka.

b. Berkurangnya harga diri (self esteem)

Bengston (1980; dalam Eliana, 2003) mengemukakan bahwa harga diri seorang pria biasanya dipengaruhi oleh pensiunnya mereka dari pekerjaan. Dalam hal ini berkurangnya harga diri dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti feeling of belonging (perasaan memiliki), feeling of competence (perasaan mampu), dan

feeling of worthwhile (perasaan berharga). Ketiga hal tersebut mampu mempengaruhi harga diri seseorang di tempat kerja.

c. Berkurangnya kontak sosial yang berorientasi pada pekerjaan

Kontak dengan orang lain membuat pekerjaan semakin menarik, sehingga pekerjaan itu mampu menjadi reward sosial bagi beberapa pekerja. Kontak sosial ini juga dapat berbentuk dukungan berupa penilaian dan penghargaan dari teman kerja, bawahan, ataupun pimpinan atas hasil kerja yang dilakukan. Ketika memasuki masa pensiun waktu untuk bertemu dengan teman kerja menjadi berkurang.

d. Hilangnya makna suatu tugas

Sekecil apapun pekerjaan yang dijalani oleh seseorang pastilah sangat memiliki arti baginya. Ketika memasuki masa pensiun pekerjaan itu sudah bisa lagi ia jalani.

e. Hilangnya kelompok referensi yang bisa mempengaruhi self image

Biasanya ketika masih aktif bekerja seseorang akan menjadi anggota sebuah kelompok tertentu. Pada waktu pensiun keanggotaan itu akan hilang dengan sendirinya, maka hal itu akan membuat individu harus mulai menilai kembali dirinya.

f. Hilangnya rutinitas

Bagaimanapun rutinitas atau pekerjaan tersebut mampu menumbuhkan perasaan berguna dalam diri individu. Seseorang yang memasuki masa pensiun berarti ia tidak lagi melakukan rutinitas kerja yang sehari–hari biasa dijalani, perubahan ini mampu membuat mereka merasa tidak produktif lagi. Apabila mereka tidak mampu beradaptasi dengan kondisi ini, maka gangguan psikologis dan fisiologis akan menyerangnya.

C. KEPERCAYAAN DIRI 1. Definisi Kepercayaan Diri

Bandura (dalam Kumara, 1988) mengungkapkan bahwa kepercayaan diri merupakan suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa dirinya mampu berperilaku seperti yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil seperti yang diharapkan. Menurut Bandura orang yang memiliki rasa percaya diri umumnya

merasa yakin bahwa ia dapat menyebabkan sesuatu terjadi sesuai dengan harapan–harapannya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Davies (2004) mengungkapkan bahwa percaya diri adalah mempunyai keyakinan pada kemampuan–kemampuan sendiri, keyakinan pada adanya suatu maksud di dalam kehidupan, dan kepercayaan bahwa, dengan akal budi, mereka akan mampu melaksanakan apa yang mereka inginkan, rencanakan dan harapkan. Selain itu percaya diri juga diartikan sebagai kemampuan untuk mengarahkan akal pikiran, tubuh serta semangat kita untuk sepenuhnya mengatasi tantangan apapun yang ada di hadapan kita (Susanti, 1988).

Seseorang yang ingin berpartisipasi di dalam kehidupan publik dan bergabung dengan suatu masyarakat, umumnya harus selalu memiliki rasa percaya diri ini, karena rasa percaya diri dapat membuat seseorang mempunyai sikap luwes dan santai di dalam situasi–situasi sosial (Davies, 2004). Hal ini juga disebabkan karena orang yang percaya diri akan selalu memiliki perasaan adekuat, merasa diterima, percaya pada diri sendiri, dan mempunyai sikap tenang dalam situasi sosial (Guilford, 1959).

Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri atau

self confidence adalah sebuah kondisi yang tampak dimana seseorang memiliki perasaan adekuat yaitu perasaan mampu melakukan berbagai macam aktifitas, merasa diterima, merasa percaya pada diri sendiri yaitu perasaan menerima terhadap diri sendiri tanpa melihat apa dan bagaimana mereka saat ini, dan mampu bersikap tenang dalam situasi sosial.

2. Aspek–Aspek Kepercayaan Diri

Lauster (1990) mengemukakan bahwa aspek–aspek kepercayaan diri individu antara lain:

a. Punya rasa aman

Merupakan perasaan seorang Purnawirawan Polri dimana ia merasa terbebas dari perasaan takut dan ragu–ragu terhadap situasi dan kondisi baru atau orang lain yang ada di sekitarnya serta mampu menghadapi segala permasalahan dengan tenang pasca purna tugas.

b. Yakin pada kemampuan sendiri

Merupakan suatu perasaan dimana seseorang merasa tidak perlu membandingkan dirinya dengan orang lain dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain. Seorang Purnawirawan Polri tahu betul bahwa dirinya sekarang tidaklah sama dengan yang dulu ketika masih aktif dalam kesatuan, sehingga mereka sadar betul kekurangan dan kelebihan diri mereka kini.

c. Tidak mementingkan diri sendiri dan cukup toleran

Tidak mementingkan diri sendiri dan cukup toleran di artikan sebagai mengerti posisi diri sendiri di tengah masyarakat dimana dengan identitas baru mereka seorang Purnawirawan Polri cukup mengetahui hak dan kewajiban mereka dalam lingkup publik saat ini. Mereka juga mampu beranggapan bahwa bagaimanapun di tengah–tengah mereka masih ada orang lain yang mungkin memiliki pandangan yang berbeda dengan mereka dan mereka mampu menghargainya.

d. Memiliki ambisi yang normal

Memiliki ambisi yang normal berarti ambisi yang dimiliki oleh seorang Purnawirawan Polri harus disesuaikan dengan kemampuan dirinya setelah mereka tidak lagi aktif sebagai anggota Polri, sehingga mereka tetap dapat melanjutkan hidup dengan baik sebaik ketika mereka menjalani tugas dalam dinas kepolisian.

e. Mandiri

Merupakan sikap tidak tergantung dan tidak selalu membutuhkan dukungan maupun simpati dari orang–orang yang ada di sekitar individu, meskipun ketika menyandang status sebagai Purnawirawan masih cukup banyak hal yang harus menjadi tanggung jawabnya.

f. Optimis

Optimis adalah memiliki pandangan dan harapan yang positif mengenai diri dan masa depannya meskipun sekarang mereka tidak lagi memiliki pangkat, jabatan, dan wewenang yang luas seperti dulu.

Selanjutnya menurut Guilford (1959) bahwa aspek–aspek kepercayaan diri manusia antara lain:

a. Merasa adekuat

Orang yang percaya diri akan merasa bahwa dirinya mampu melakukan berbagai macam hal yang ingin ia lakukan dan menyelesaikan tugas–tugas yang berguna bagi lingkungan sekitarnya.

b. Merasa diterima

Orang yang percaya diri selalu merasa yakin bahwa orang lain menyukai diri mereka.

c. Percaya pada diri sendiri

Orang yang percaya diri tidak benci terhadap diri mereka sendiri apapun serta bagaimanapun kondisi mereka.

d. Punya sikap tenang dalam situasi sosial

Orang yang percaya diri tidak akan merasa malu atas perbuatan dan perkataan mereka yang kadang–kadang keliru.

Untuk selanjutnya aspek kepercayaan diri yang dikemukakan oleh J.P Guilford (1959) inilah yang akan dijadikan sebagai indikator acuan penyusunan skala dalam penelitian ini. Pertimbangannya adalah bahwa untuk mengungkap tingkat kepercayaan diri Purnawirawan Polri dalam hidup bermasyarakat, aspek– aspek kepercayaan diri yang dikemukakan Guilford ini dirasakan oleh penulis lebih pas atau sesuai bila dibandingkan dengan aspek kepercayaan diri yang diungkapkan oleh ahli–ahli yang lain.

3. Faktor–Faktor yang Membentuk Rasa Percaya Diri

Tingkat kepercayaan diri individu dipengaruhi oleh kesehatan, pengalaman– pengalaman masa lampau individu itu sendiri, bagaimana individu melihat dirinya, dan bagaimana individu merasa orang lain melihat dirinya. Maka rasa percaya diri dianggap penting tatkala individu ingin berpartisipasi di dalam

kehidupan publik, seperti ketika bergabung dengan suatu masyarakat (Davies, 2004).

Brecht (2001) mengungkapkan ada dua faktor yang sangat penting dalam pembentukan rasa percaya diri, antara lain:

a. Self esteem

Harga diri atau perasaan berharga. Umumnya individu yang merasa dirinya berharga bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi.

b. Self efficacy

Perasaan mampu melakukan sesuatu. Individu yang mampu melakukan sesuatu yang belum tentu orang lain mampu melakukannya akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi pula.

Sejalan dengan pendapat Brecht, Angelis (2001) menambahkan bahwa rasa percaya diri tidak bisa dibentuk hanya dari penampilan fisik saja. Karakter di dalam diri seseorang disertai self esteem (perasaan berharga) dan self efficacy

(perasaan mampu melakukan sesuatu) lebih menentukan.

Dokumen terkait