Kepangkatan Bintara di Kota Madiun
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
YOPIE ARIE WAHYUNI 999114148
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
Kepangkatan Bintara di Kota Madiun
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
YOPIE ARIE WAHYUNI 999114148
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2007
Motto
Kahanan donya iki ora langgeng, tansah
owah gingsir. Yen sira kebeneran
katunggonan bandha lan kasinungan
pangkat, aja banjur rumangsa “Sapa sira
sapa ingsun”, tansah ngendelake
panguwasane tumindak degsura marang
sapadha-padha. Elinga yen bandha iku
gampang ilang (sirna). Pangkat
sawayah-wayah bisa oncat.
(Ki Sondhong Mandali).
Karya sederhana ini kupersembahkan untuk:
Allah SWT dan junjunganku Nabi Besar
Muhammad SAW.
Mama dan Mbah Ibukku, serta
tercinta.
Yogyakarta, Juni 2007
Penulis.
Madiun. Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kepercayaan diri para Purnawirawan Polri dalam hidup bermasyarakat. Latar belakang dari penelitian ini adalah adanya berbagai macam perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang setelah memasuki usia pensiun. Satu hal yang menarik bagi penulis adalah bagaimana tingkat kepercayaan diri Anggota Polri dalam hidup bermasyarakat setelah mereka pensiun dari dinas, dimana pada saat itu mereka tidak lagi memiliki hak dan wewenang luas yang sah secara hukum dan termuat dalam Undang-Undang. Penulis memilih Purnawirawan Polri dari golongan kepangkatan Bintara sebagai subyek penelitian karena anggota Polri dari golongan kepangkatan ini adalah petugas pelaksana lapangan, sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak berinteraksi secara langsung dengan masyarakat baik dalam kapasitas mereka sebagai petugas Kepolisian maupun sebagai anggota masyarakat. Selain itu dengan hak dan wewenang yang luas, mereka sering dianggap sebagai problem solver bagi masalah-masalah yang ada dalam masyarakat. Maka bagaimana tingkat kepercayaan diri mereka dalam hidup bermasyarakat setelah tidak lagi memiliki hak dan wewenang yang luas.
Subyek penelitian ini adalah Purnawirawan Polri dari golongan kepangkatan Bintara yang tinggal di Kota Madiun sebanyak 75 orang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala yang disusun oleh penelitian berdasarkan teori kepercayaan diri J.P Guildford. Korelasi aitem total bergerak antara 0,3413 sampai 0,9311 dengan Koefisien reliabilitas skala sebesar 0,9399.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 66,67% subyek memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi dalam hidup bermasyarakat, 33,33% subyek memiliki tingkat kepercayaan diri yang sedang, dan tidak ada subyek yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah dalam hidup bermasyarakat.
Madiun. Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
This research aims to know the Retired Police Officer self confidence degree in society life of Madiun. There are several changes which happen in someone after they entering a period of pension are the background of this research. Writer’s interesting is: how is the self confidence degree of police officers in society life when they have been retired, where at that moment they do not have wide authority and rights anymore which judicially valid and included in code of law. The writer choose retired police from petty officer rank as research subject, because police officer from this rank is the officer of field executor, so that in daily life they have many directly interaction with society in their capacities as police officer and also as society member. Besides, wide authority and rights makes them considered to be problem solver for society problems. Hence, how is their self confidence degree in society life after they don’t have wide authority and rights anymore.
The subject of this research is the Retired Police Officer from petty officer rank who life in Madiun, with total number of 75 people. The measuring tool of this research is the scale which arranged by researcher according to J.P Guildford self confidence theory. The total item correlation moves from 0,3413 to 0,9311, with coefficient reliability in the amount of 0,9399.
The research result shows that 66,67% of the subjects have high self confidence degree in society life, 33,33% of the subjects have medium self confidence degree in society, and there is no subject with low self confidence degree in society life.
yang ingin penulis persembahkan kepada Allah SWT dan shallawat serta salam kepada junjunganku Nabi Muhammad saw, karena pada akhirnya berkat semua limpahan rahmat dan karunia-Nya skripsi ini akhirnya dapat selesai. Tentunya skripsi ini juga tidak akan dapat selesai tanpa bantuan orang-orang yang ada di sekitar penulis, maka sudah sepantasnyalah pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada:
1. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. Selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang dengan sabar, tidak bosan-bosannya memberikan dorongan moril kepada kami angkatan 99 untuk cepat-cepat menyelesaikan studi kami.
2. Ibu Sylvia Carolina MYM, S.Psi., M.Si. Selaku Kaprodi dan dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini. terima kasih bu….., untuk menjadi pembimbing sekaligus teman curhat saya.
3. Koh Agung, tempat bertanya tentang SPSS yang selalu tidak bosan bertanya “gimana skripsimu?”. terima kasih Pak Agung.
4. Mas Mudji, Mas Gandung, Mas Doni, dan Mbak Nanik, terima kasih untuk semua pelayanannya selama penulis menjalani studi di psikologi,
5. Pak Gi’, yang dengan senyum khasnya selalu menyapa kami. matur nuwun pak Gi’.
7. Bapak Mayor (Purn) Redhy, BBA. Selaku Wakil Ketua Cabang Organisasi PP Polri Kota Madiun. Terima kasih atas semua waktu luang dan bantuan informasi selama penulis melakukan penelitian di PP Polri.
8. Pihak Polres Kota Madiun yang berkenan meminjamkan beberapa sumber bacaan tentang Polri.
9. Mama Setyo Murtini dan Mbah Ibuk Kasmi Mulyadi. Mam…., Buk….., ternyata aku tidak bisa menulis kata-kata yang pas untuk melukiskan perjuangan mama dan ibuk. Terima kasih untuk rangkuman doa yang pernah putus untukku dan maaf kalo selama ini banyak membuat air mata kalian tertumpah sia-sia untuk aku. Semua ini untuk mama dan ibuk.
10.Eyang Kakung J. Soekasno beserta eyang putri. Terima kasih atas bantuan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan tinggi. maaf bila ternyata tidak semulus yang Eyang kakung dan Eyang putri harapkan.
11.Almarhum Bapak Mulyadi. Terima kasih untuk perhatian dan kasih sayangmu selama 21 tahun. Semoga bapak bisa melihatku lulus dari atas sana.
12.Suamiku, Andreas Ari Kristyanto, untuk kesediaanmu menerima kekurangan-kekuranganku, menjalani sisa hidupmu bersama aku, dan menjalani proses kita yang tidak mudah. Terima kasih cinta……, untuk mau berada di sisiku.
untukmu, maaf juga selama ini kadang mama harus meninggalkanmu selama berhari-hari atau berminggu-minggu. Terima kasih sayang telah menjadi semangat mama dalam menyelesaikan studi mama.
14.Mbakku-Bulikku, Ch Dian Indrawati. Terima kasih ya yu telah mau menjadi teman curhat yang paling bisa diandalkan. thank’s sist…….
15.Mbah Gumini, Mbah Wagiyo, mas Iwan dan mas Heri.
16.Ade’ku Selvi Meilia, Ibuk Umi Syahadatin, Bapak Suryanto, untuk semua dukungan dan doa-doa kalian.
17.My father and mother in law, Bapak FL. Budi Haryono dan Mama H. Endang Lestari.
18.My brother and sister in law, mas velix, mbak nina, dan mas agung.
19.Elisabeth Haksi Mayawati. Makasih ya de’ udah diajari bikin skala, u’r the best, untuk masalah kuliah kamu memang paling bisa diandalkan.
20.Aiptu Sutrianto dan Tante Erwin. Terima kasih untuk bantuan om dan tante, meski informasi tentang Polri di saat-saat terkahir penyelesaian skripsi cukup membuat panik penulis tapi akhirnya dari situ pula penelitian ini berlanjut hingga selesai. Sekali lagi terima kasih untuk om dan tante.
21.Teman-teman kostku yang paling baru dan paling sebentar tapi justru paling banyak memberikan makna untuk belajar menghayati keterbatasan hidup, Nutan, Erik, Hande, dan Yudi. Nut-Er thank’s untuk menjadi teman-teman
23.Teman-teman di Krodan 49A dan sekitarnya. Cemonk n Erni, Arod, Bintara, Ari Grindink, Toni, dan Temi.
24.Semua anggota PP Polri yang telah bersedia menjadi subyek dalam penelitian ini.
25.Dua kaki bundarku “Ade AE 5943 AG” untuk kesedianmu mengantarku kemanapun aku pergi.
26.Makhluk berkaki 4 dengan lirikan mata dan mantel bulu coklatnya, Betapa Timoti Jumper-ku, untuk semua kegembiraan dan ketulusanmu dalam menyayangiku.
27.Sosok yang pernah datang kemudian pergi untuk sekedar menyempurnakan proses kedewasaanku dengan sesuatu yang sakit dan pahit.
28.Bapak Wahyu Sujoko Santoso. Terima kasih untuk membuatku hadir di dunia dengan bekal kepahitan hidup, terima kasih atas pinjaman nama untuk kuisikan di ijazah-ijazahku. Ternyata tanpa adamu aku justru menjadi mampu, tapi jangan pernah meratapi “ketidakberdayaan dalam sendirimu” kelak karena jalan itu memang pilihanmu.
HALAMAN PERSETUJUAN……….. ii
HALAMAN PENGESAHAN………...iii
MOTTO………. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN……… .v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………vi
ABSTRAK……….vii
ABSTRACT………. viii
KATA PENGANTAR………... .ix
DAFTAR ISI……….. xiii
DAFTAR TABEL………..xvii
BAB I. PENDAHULUAN ……….1
A. Latar Belakang ………..………....1
B. Rumusan Masalah ……….………6
C. Tujuan Penelitian ………..………6
D. Manfaat Penelitian .………...6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………8
A. Pengantar ………..…..8
B. Purnawirawan Polri………...8
1. Polri ………..………8
2. Purnawirawan Polri ………..………10
1. Definisi Kepercayaan Diri ………....19
2. Aspek-aspek Kepercayaan Diri ………..………....21
3. Faktor-faktor yang membentuk Rasa Percaya Diri ..…………....23
D. Hidup Bermasyarakat ……….………....24
E. Dinamika Psikologis Purnawirawan Polri dalam HIdup Bermasyarakat di Kota Madiun ………...27
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ………...………...29
A. Jenis Penelitian ………...………...29
B. Identifikasi Variabel ………...……….30
C. Definisi Operasional ………...………...30
D. Subyek Penelitian ………...………...33
E. Metode dan Alat Penelitian ………...34
F. Pertanggung Jawaban Mutu ………...………...36
1. Validitas ………...36
2. Seleksi Aitem ………...37
3. Reliabilitas ………...40
G. Analisis Data ……….………...41
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …...………45
A. Hasil Penelitian ………..………...45
1. Uji Normalitas ………...………45
B. Pembahasan ……….50
BAB V. PENUTUP ……….………58
A. Kesimpulan ……….58
B. Saran ………...……….58
1. Bagi Peneliti Selanjutnya ……….……….58
2. Bagi Instansi Terkait (Polri) ……….………59
3. Bagi Organisasi yang Bersangkutan (PP Polri) ……….60 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
A. Instrumen Penelitian 1. Skala Pra Seleksi 2. Skala Pasca Seleksi B. Uji Reliabilitas
1. Reliabilitas 56 Skala 2. Reliabilitas 44 Skala C. Uji Asumsi
D. Deskripsi Data Penelitian E. Data Penelitian Pra Seleksi F. Data Penelitian Pasca Seleksi G. Surat-Surat
Undang-Undang No 2/ Tahun 2002
Tabel 2 Blue Print Skala KepercayaanDiri ………36
Tabel 3 Daftar Aitem yang Valid dan Aitem yang Gugur ………..38
Tabel 4 Distribusi Nomor Aitem Valid ………...39
Tabel 5 Distribusi Aitem Valid yang Disederhanakan (aitem skala baku penelitian sesungguhnya) ………..40
Tabel 6 Norma Kategori Jenjang ……….41
Tabel 7 Norma Kategorisasi dengan Batasan Angka – Angka ………...43
Tabel 8 Norma Kategorisasi Skala ………..44
Tabel 9 Gambaran Responden Penelitian ………...46
Tabel 10 Deskripsi Data Penelitian ………...48 Tabel 11 Kategori Tingkat Kepercayaan Diri Purnawirawan Polri
dalam Hidup Bermasyarakat ………
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Bekerja atau memiliki pekerjaan yang layak merupakan suatu hal yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Namun demikian, pekerjaan itu sendiri memiliki makna yang berbeda bagi masing–masing individu. Hampir sebagian besar manusia bekerja karena alasan ekonomi (Lemme, 1995). Dalam hal ini pekerjaan dijadikan sebagai sumber penghasilan untuk memenuhi semua kebutuhan fisik manusia, yang meliputi sandang, pangan, dan papan. Selain sebagai sumber penghasilan, pekerjaan juga merupakan simbol identitas diri individu (Troll; dalam Hendrati, 2003). Individu yang memiliki identitas diri berarti telah diakui oleh masyarakat bahwa ia adalah individu dengan status, fungsi dan peran sosial yang jelas. Individu tersebut akan merasa berharga dan bermakna ketika mereka mampu menyebutkan dimana mereka bekerja dan apa posisinya (Eliana, 2003). Perasaan berharga dan bermakna inilah yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri seseorang dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
Salah satu bidang pekerjaan yang ada di Indonesia dan hampir ada di setiap negara adalah Polisi. Sulit dibayangkan suatu negara tanpa polisi (Siahaan, 2005), karena polisi adalah salah satu badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum–menangkap orang yang melanggar undang-undang – (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988). Di Indonesia profesi polisi tergabung dalam sebuah institusi bernama Kepolisian Negara Republik Indonesia,
atau umumnya biasa disingkat Polri. Dalam Tap MPR RI No VII/MPR/2000 pasal 6 ayat 1, disebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Berangkat dari peran tersebut, maka tugas pokok Polri meliputi: a.] memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, b.] menegakkan hukum, dan c.] memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (UU No 2 Tahun 2002, pasal 13), yang diapresiasikan melalui motto
“to protect and to serve” (Tabah, 2004). Sebagai bekal melaksanakan tugas-tugas pokok, maka Presiden dan DPR RI memberikan wewenang–wewenang kepada institusi Polri yang seluruhnya termuat dalam UU No 2 Tahun 2002 pasal 15 ayat 1 dan 2; serta pasal 16 ayat 1. Dari bunyi kedua pasal beserta masing–masing ayatnya tampak bahwa Polri memiliki wewenang dan kekuasaan yang cukup luas untuk menegakkan hukum, mengatur ketertiban dan keamanan masyarakat. Termasuk melakukan tindakan–tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh warga sipil, seperti menangkap dan menahan orang lain, atau menggeledah dan menyita barang milik orang lain. Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Herbert. T. Siahaan -seorang pengamat kepolisian- yang mengungkapkan bahwa:
Dengan wewenang-wewenang yang dimilikinya, seorang anggota Polri atas nama hukum diakui mampu berperan sebagai problem solver oleh masyarakat.
Wewenang yang luas tersebut tentu akan mampu membuat seorang anggota Polri menjadi percaya diri, tetapi rasa percaya diri itu tidak semata-mata muncul dalam diri seorang anggota Polri karena adanya wewenang yang luas saja. Lebih dari itu sejak masih duduk dalam bangku pendidikan calon polisi, seorang anggota Polri telah dituntut untuk mampu bersikap profesional dan percaya diri ketika menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang abdi Negara dan pengayom masyarakat.
Perubahan identitas diri yang diakibatkan oleh masa pensiun ini memerlukan penyesuaian diri (Eliana, 2003). Ini disebabkan karena masa pensiun akan membuat seseorang kehilangan peran sosialnya dalam masyarakat, prestise, kekuasaan, kontak sosial, bahkan harga diri akan berubah juga karena kehilangan peran (Eyde; dalam Eliana, 2003). Adanya penyesuaian diri yang baik menjelang datangnya masa pensiun, akan membuat seorang Purnawirawan Polri tidak merasa kehilangan harga diri mereka. Seseorang yang masih merasa tidak kehilangan harga diri maka dengan sendiri akan mampu mengembangkan rasa percaya pada diri mereka sendiri. Menurut Davies (2004) rasa percaya diri penting tatkala seseorang ingin berpartisipasi di dalam kehidupan publik seperti ketika bergabung dengan suatu masyarakat.
Rasa percaya diri merupakan komoditas yang berharga, karena seseorang yang memilikinya akan merasa lebih mudah untuk mempelajari keahlian–keahlian baru, menjalin persahabatan, menikmati hubungan-hubungan yang bahagia, beradaptasi dengan perubahan, dan mencapai apa yang mereka inginkan di dalam kehidupan (Davies, 2004). Seorang Purnawirawan Polri yang memiliki rasa percaya diri akan mampu berhadapan dengan segala macam ketidakpastian, mampu melihat tantangan–tantangan sebagai kesempatan, mampu mengambil resiko–resiko yang selalu dapat diperhitungkan, dan mampu membuat sebuah keputusan yang tepat (Davies, 2004).
positif antara tingkat depresi dengan pangkat purnawirawan ABRI ketika pensiun. Maka, dari penelitian tersebut penulis ingin mengembangkan sebuah penelitian baru yang nantinya hendak mengukur tingkat kepercayaan diri para Purnawirawan Polri dalam hidup bermasyarakat.
daerah akan membuat seorang anggota Polri dari golongan kepangkatan Bintara memiliki jaringan pergaulan yang luas dari berbagai lapisan golongan dan usia bila dibandingkan dengan mereka yang pendatang.
Penelitian ini mengambil lokasi di Kotamadya Madiun, karena sebagai Kota Karesidenan, Kota Madiun tergolong kota kecil di Propinsi Jawa Timur, sehingga penghargaan masyarakat terhadap profesi Polri masih tergolong cukup tinggi. Selain itu di sekitar Kota Madiun juga terdapat Markas TNI-AD Batalyon 501 dan Pangkalan Udara Militer Iswahyudi milik TNI-AU. Ini membuat kompetisi dalam mencari kerja bidang security pasca purnawirawan semakin tinggi.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas dapat diambil satu rumusan masalah, yaitu “Seberapa tingkat kepercayaan diri para Purnawirawan Polri dalam Hidup Bermasyarakat di Kota Madiun?”.
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah untuk melihat tingkat kepercayaan diri para Purnawirawan Polri dalam hidup bermasyarakat di Kota Madiun.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini secara teoretis diharapkan mampu memberikan sebuah wacana baru didalam bidang psikologi tentang kepercayaan diri, khususnya tentang kepercayaan diri para Purnawirawan Polri dalam hidup bermasyarakat.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi institusi Polri khususnya di Kota Madiun tentang bagaimana tingkat kepercayaan diri para purnawirawannya dalam hidup bermasyarakat. Sehingga pihak Polri akan mampu memberikan dukungan moral yang lebih baik kepada para anggotanya yang akan memasuki masa pensiun. Dukungan moral itu diharapkan dapat memupuk kebermaknaan dalam diri setiap anggota Polri yang akan memasuki masa purna tugas, sehingga mereka akan tetap merasa percaya diri untuk hidup bermasyarakat setelah berstatus purnawirawan.
A. PENGANTAR
Dalam penelitian ini terdapat 3 konsep utama, yaitu Kepercayaan Diri, Purnawirawan Polri, dan Hidup Bermasyarakat. Sedangkan variabel penelitian dalam penelitian ini adalah kepercayaan diri. Dalam Bab II ini akan diuraikan berbagai macam hal yang berkaitan erat dengan konsep–konsep utama penelitian, yang kemudian akan dijadikan sebagai bahan acuan dan landasan teori dalam penelitian.
B. PURNAWIRAWAN POLRI 1. Polri
Kepolisian Negara Republik Indonesia atau biasa disingkat Polri merupakan salah satu alat pemerintahan negara yang kedudukannya berada langsung dibawah Presiden. Dalam struktur Pemerintahan Indonesia Polri memiliki peran dan fungsi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (UU No 2 Tahun 2002). Selanjutnya peran dan fungsi tersebut, berdasarkan UU dijadikan sebagai tugas pokok Polri. Untuk dapat melaksanakan tugas pokok melindungi dan melayani (to protect and to serve) masyarakat tersebut, Presiden dan DPR–RI memberikan wewenang-wewenang kepada setiap anggota Polri, yang kesemuanya tercantum dalam UU No 2 Tahun 2002 pasal 15 (1,2), 16 (1). Wewenang yang
dimiliki seorang anggota Polri ternyata sangat luas bila dibandingkan dengan masyarakat sipil pada umumnya. Maka sosok anggota Polri yang memiliki wewenang luas itu harus mampu menyelesaikan berbagai masalah yang muncul di tengah–tengah masyarakat.
Dalam tubuh Polri terdapat lima golongan kepangkatan, yaitu: a. Perwira Tinggi, yang terdiri dari:
- Jenderal Polisi : Jenderal Polisi
- Komisaris Jenderal Polisi : d/h Letnan Jenderal Polisi - Inspektur Jenderal Polisi : d/h Mayor Jenderal Polisi - Brigadir Jenderal Polisi : Brigadir Jenderal
b. Perwira Menengah, yang terdiri dari:
- Komisaris Besar Polisi : d/h Kolonel Polisi
- Ajun Komisaris Besar Polisi : d/h Letnan Kolonel Polisi - Komisaris Polisi : d/h Mayor Polisi
c. Perwira Pertama, yang terdiri dari:
- Ajun Kepala Polisi : d/h Kapten Polisi - Inspektur Polisi Satu : d/h Letnan Satu Polisi - Inspektur Polisi Dua : d/h Letnan Dua Polisi d. Bintara, yang terdiri dari:
- Ajun Inspektur Polisi Satu : d/h Pembantu Letnan Satu Polisi - Ajun Inspektur Polisi Dua : d/h Pembantu Letnan Dua Polisi - Brigadir Polisi Kepala : d/h Sersan Mayor Polisi
- Brigadir Polisi Satu : d/h Sersan Satu Polisi - Brigadir Polisi Dua : d/h Sersan Dua Polisi e. Tamtama, yang terdiri dari:
- Bhayangkara Utama Muda : d/h Kopral Kepala Polisi - Bhayangkara Utama Satu : d/h Kopral Satu Polisi - Bhayangkara Utama Dua : d/h Kopral Dua Polisi - Bhayangkara Kepala : d/h Prajurit Kepala Polisi - Bhayangkara Satu : d/h Prajuri Satu Polisi - Bhayangkara Dua : d/h Prajurit Dua Polisi
Bertindak sebagai petugas pelaksana yang langsung terjun ke lapangan adalah anggota dari golongan kepangkatan Bintara dan Tamtama. Adanya prinsip “local boy for the local job” dalam tubuh Polri, membuat anggota Polri golongan Bintara dan Tamtama direkrut dari penduduk asli suatu daerah. Sedangkan bagi golongan perwira penugasannya tidak terkait kepada daerah asal, tapi diarahkan dalam rangka memperluas wawasan, meningkatkan rasa kebangsaan serta mempersiapkan sebagai kader pimpinan (Sutanto, 2005).
2. Pensiunan/ Purnawirawan Polri
tercantum pada Undang–Undang No 2 Tahun 2002 pasal 30 ayat 2, yang berbunyi:
“Usia maksimum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia 58 (lima puluh delapan) tahun dan bagi anggota yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutukan dalam tugas kepolisian dapat dipertahankan sampai dengan 60 9enam puluh) tahun”
Meskipun sejak tanggal 18 Agustus 2000 Kepolisian Negara Republik Indonesia telah resmi terpisah dari tubuh TNI, dan bukan lagi komponen dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, akan tetapi sebutan bagi para anggotanya yang telah memasuki masa pensiun masih tetap menggunakan istilah purnawirawan. Hal ini disebabkan karena tugas–tugas yang diemban oleh seorang anggota Polri masih berkisar seputar masalah keamanan dan ketertiban negara, sehingga sedikit banyak masih ada sangkut pautnya dengan bidang kemiliteran.
Pada tanggal 30 Juni 1999 tepatnya di Kota Jakarta, melalui suatu musyawarah nasional telah lahir sebuah organisasi yang khusus beranggotakan para Purnawirawan Polri. Organisasi ini bernama Persatuan Keluarga Besar Purnawirawan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang disingkat PP Polri (AD PP Polri Bab I pasal 1, 2006). Susunan organisasi PP Polri ini terdiri dari empat tingkatan, yaitu: a) tingkat pusat; b) tingkat daerah; c) tingkat cabang; dan d) tingkat ranting. Seluruh aturan yang mengikat setiap anggota PP Polri termuat dalam sebuah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga atau AD/ART PP Polri.
Pensiunan sendiri berasal dari kata pensiun, yang berarti 1) uang tunjangan yang diterima tiap–tiap bulan oleh karyawan sesudah ia berhenti bekerja atau oleh istri (suami) dan anak–anaknya, yang belum dewasa kalau ia meninggal dunia; 2) tidak bekerja lagi dengan menerima uang tunjangan bulanan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988). Dalam kehidupan nyata ternyata pensiun tidak hanya sekedar diartikan sebagai berhenti bekerja saja dan menerima uang tunjangan setiap bulan, tetapi pensiun memiliki arti yang lebih komplek terlebih bagi individu yang mengalaminya. Pensiun berarti kehilangan apa yang dimiliki antara lain: status sosial, jabatan, kekuasaan, penghasilan, dan penghormatan, sehingga pada tingkat yang parah akan memicu munculnya gejala perasaan bahwa dirinya sudah tidak bermakna lagi (Sukiat; dalam Djaini, 1997; dalam Purnamasari, 2003).
proses pemisahan individu dari pekerjaannya, dimana dalam menjalankan perannya seseorang digaji (Corsini, 1987; dalam Eliana, 2003). Dan menurut pandangan psikologi perkembangan pensiun dianggap sebagai suatu masa transisi ke pola hidup baru, ataupun merupakan akhir dari pola hidup (Schawrz; dalam Hurlock, 1983; dalam Eliana, 2003). Transisi ini meliputi perubahan peran dalam lingkungan sosial, perubahan minat, nilai, dan perubahan dalam segenap aspek kehidupan seseorang (Eliana, 2003). Tidak mudah untuk hidup di masa transisi, karena pada masa ini seorang pensiunan harus mampu melakukan proses penyesuaian diri kembali dengan identitas barunya, termasuk dengan peran, status, dan fungsi soasialnya sebagai seorang pensiunan.
Dari beberapa ulasan dan tinjauan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Purnawirawan Polri adalah mantan anggota Polri, yang berusia 58 tahun atau lebih dan telah memasuki masa purna bakti atau pensiun, sehingga mereka berhak menerima uang tunjangan setiap bulan, yang jumlahnya beragam disesuaikan dengan pangkat terakhir dan lamanya masa kerja mereka.
3. Fase – Fase Pensiun
a. Remote Phase
Pada saat seseorang mulai bekerja, fase ini kerap kali terjadi dalam diri mereka. Mereka tidak membayangkan atau bahkan melakukan persiapan untuk memasuki masa pensiun. Pensiun masih dianggap sesuatu yang sangat jauh bagi seseorang yang sedang berada di fase ini. Dalam diri seorang anggota Polri fase ini terjadi pada waktu mereka baru saja menyelesaikan jenjang kependidikan calon polisi mereka. Pada saat ini mereka hanya memikirkan tentang jenjang karier mereka di masa depan.
b. Near Phase
Seseorang yang berada pada fase ini umumnya mulai menyadari bahwa mereka akan segera memasuki masa pensiun dan mereka harus mulai belajar menyesuaikan diri. Kadang–kadang mereka mengikuti beberapa program persiapan masa pensiun. Instansi–instansi yang ada di Indonesia umumnya mempersiapkan para karyawannya yang akan pensiun dengan memberikan MPP atau Masa Persiapan Pensiun.
Dalam tubuh Polri tidak ada istilah MPP atau Masa Persiapan Pensiun. Pihak Polri memiliki kebijakkan sendiri untuk mempersiapkan masa pensiun bagi tiap-tiap anggotanya, dan kebijakkan ini diatur oleh masing-masing Polda dimana anggota Polri tersebut bergabung. Seorang anggota Polri yang berada pada fase ini umumnya mulai menyadari bahwa sebentar lagi mereka akan memasuki masa pensiun, dan mereka juga mulai memikirkan sambil mempersiapkan masa pensiun mereka.
c. Honeymoon Phase
Sesuai dengan namanya honeymoon (bulan madu), biasanya masa pensiun disambut dengan gembira oleh individu yang menjalaninya, karena mereka terbebas dari pekerjaan dan rutinitas yang selama ini menjadi tanggung jawabnya. Pada fase ini biasanya dilalui individu yang pensiun dengan melakukan segala macam kegiatan yang tidak dapat ia lakukan selama masih bekerja. Bagi individu yang merasakan kepuasan kerja umumnya fase ini akan dilalui dengan baik, mereka akan mudah mencari kegiatan–kegiatan baru selama menjalani masa pensiun. Tetapi bagi individu yang pensiun karena tidak merasakan kepuasan selama bekerja atau terpaksa harus mau menerima pensiun umumnya cenderung enggan mencari aktifitas lain yang lebih menyenangkan.
Seorang Purnawirawan Polri yang merasa puas dengan kerja mereka selama bergabung dengan Kesatuan Polri akan merasa bahagia dengan datangnya masa pensiun mereka, karena hal itu berarti mereka dapat melakukan banyak hal yang sebelumnya tidak dapat mereka lakukan, termasuk melakukan hobi mereka. Tetapi lain halnya dengan Purnawirawan yang semasa bekerja tidak merasa puas dengan kerja mereka dalam kesatuan. Purnawirawan ini akan merasa tidak bahagia menjalani masa pensiun mereka, sehingga berada pada fase bulan madu ini akan dirasakannya sebagai sebuah siksaan.
d. Disenchantment Phase
dalam Hoyer & Roodin, 2003) banyak pensiunan yang merasa kehilangan rutinitas aturan–aturan kerja (dan kepentingan pribadi mereka), serta teman– teman kerja.
Seorang Purnawirawan Polri yang telah berada pada fase ini umumnya mulai merasa jenuh dengan hari-hari pensiun mereka. Pada fase ini mereka mulai menyadari bahwa dengan hilangnya wewenang, pangkat, dan jabatan mereka maka kedudukan mereka saat ini adalah sama dengan warga sipil lainnya. Pada beberapa orang ada yang mulai merasa kosong, depresi, dan merasa kehilangan martabat serta kehormatan mereka ketika menjalani hari-hari dengan status sebagai seorang pensiunan.
e. Reorientation Phase
Pensiunan yang merasa depresi dengan masa pensiun mereka, pada fase ini mulai berusaha untuk melaluinya dengan cara mengeksplorasi, mengevaluasi, dan memutuskan kira–kira kegiatan apa yang mampu mendatangkan kepuasan hidup selama menjalani masa pensiun.
Pada fase ini seorang Purnawirawan Polri mulai mempertimbangkan dan membuat sebuah keputusan kira-kira aktivitas apa yang hendak mereka jalani setelah memasuki masa pensiun. Pada fase ini pula umumnya mulai banyak para Purnawirawan Polri yang memutuskan untuk bekerja kembali, baik menjadi tenaga satuan keamanan ataupun menjalani bidang lain, yang sesuai dengan kemampuan fisik mereka.
f. Stability Phase
Pada fase ini individu mulai dapat memutuskan kegiatan yang akan mereka lakukan dengan sebaik–baiknya selama menjalani masa pensiun. Pada beberapa kasus, bagi pensiunan yang mampu menyesuaikan diri dengan baik fase ini sudah terjadi setelah honeymoon phase, tetapi ada juga pensiunan yang kesulitan dan cukup lama melalui masa transisi ini.
Beberapa orang Purnawirawan Polri ada yang sudah memulai kegiatan pasca pensiun mereka sejak mereka memasuki masa pensiun (pada fase bulan madu). Kegiatan yang dipilih oleh seorang Purnawirawan Polri itu, pada fase ini mulai mereka jalani dengan sebaik-baiknya.
g. Termination Phase
Seorang pensiunan pada fase ini biasanya mulai diserang dengan penyakit, sehingga mereka tidak mampu lagi mengurus diri mereka sendiri. Mereka hanya bisa bergantung pada orang lain, baik secara fisik maupun secara ekonomi.
Pada fase ini seorang Purnawirawan Polri sudah benar-benar tidak mampu lagi melakukan berbagai macam aktivitas. Kondisi fisik mereka pada fase ini sudah benar-benar menurun drastis. Tubuh mereka sudah mulai diserang oleh penyakit-penyakit, sehingga praktis pada fase ini mereka hanya tinggal menggantungkan hidup mereka pada anak-anak mereka dan orang-orang yang ada di sekitar mereka.
4. Perubahan – Perubahan Pasca Pensiun
Turner dan Helms (1982; dalam Eliana, 2003) mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang berubah dan menuntut penyesuaian diri yang baik dalam menjalani masa pensiun, antara lain:
a. Masalah keuangan
Dengan datangnya masa pensiun berarti jumlah pemasukan juga akan berkurang, karena gaji pensiunan yang diterima setiap bulan tidak akan sebanyak dulu ketika masih bekerja. Kondisi ini tentu sulit bagi pensiunan, apalagi jika mereka masih harus menanggung biaya pendidikan anak–anak mereka.
b. Berkurangnya harga diri (self esteem)
Bengston (1980; dalam Eliana, 2003) mengemukakan bahwa harga diri seorang pria biasanya dipengaruhi oleh pensiunnya mereka dari pekerjaan. Dalam hal ini berkurangnya harga diri dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti feeling of belonging (perasaan memiliki), feeling of competence (perasaan mampu), dan
feeling of worthwhile (perasaan berharga). Ketiga hal tersebut mampu mempengaruhi harga diri seseorang di tempat kerja.
c. Berkurangnya kontak sosial yang berorientasi pada pekerjaan
d. Hilangnya makna suatu tugas
Sekecil apapun pekerjaan yang dijalani oleh seseorang pastilah sangat memiliki arti baginya. Ketika memasuki masa pensiun pekerjaan itu sudah bisa lagi ia jalani.
e. Hilangnya kelompok referensi yang bisa mempengaruhi self image
Biasanya ketika masih aktif bekerja seseorang akan menjadi anggota sebuah kelompok tertentu. Pada waktu pensiun keanggotaan itu akan hilang dengan sendirinya, maka hal itu akan membuat individu harus mulai menilai kembali dirinya.
f. Hilangnya rutinitas
Bagaimanapun rutinitas atau pekerjaan tersebut mampu menumbuhkan perasaan berguna dalam diri individu. Seseorang yang memasuki masa pensiun berarti ia tidak lagi melakukan rutinitas kerja yang sehari–hari biasa dijalani, perubahan ini mampu membuat mereka merasa tidak produktif lagi. Apabila mereka tidak mampu beradaptasi dengan kondisi ini, maka gangguan psikologis dan fisiologis akan menyerangnya.
C. KEPERCAYAAN DIRI 1. Definisi Kepercayaan Diri
merasa yakin bahwa ia dapat menyebabkan sesuatu terjadi sesuai dengan harapan–harapannya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Davies (2004) mengungkapkan bahwa percaya diri adalah mempunyai keyakinan pada kemampuan–kemampuan sendiri, keyakinan pada adanya suatu maksud di dalam kehidupan, dan kepercayaan bahwa, dengan akal budi, mereka akan mampu melaksanakan apa yang mereka inginkan, rencanakan dan harapkan. Selain itu percaya diri juga diartikan sebagai kemampuan untuk mengarahkan akal pikiran, tubuh serta semangat kita untuk sepenuhnya mengatasi tantangan apapun yang ada di hadapan kita (Susanti, 1988).
Seseorang yang ingin berpartisipasi di dalam kehidupan publik dan bergabung dengan suatu masyarakat, umumnya harus selalu memiliki rasa percaya diri ini, karena rasa percaya diri dapat membuat seseorang mempunyai sikap luwes dan santai di dalam situasi–situasi sosial (Davies, 2004). Hal ini juga disebabkan karena orang yang percaya diri akan selalu memiliki perasaan adekuat, merasa diterima, percaya pada diri sendiri, dan mempunyai sikap tenang dalam situasi sosial (Guilford, 1959).
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri atau
2. Aspek–Aspek Kepercayaan Diri
Lauster (1990) mengemukakan bahwa aspek–aspek kepercayaan diri individu antara lain:
a. Punya rasa aman
Merupakan perasaan seorang Purnawirawan Polri dimana ia merasa terbebas dari perasaan takut dan ragu–ragu terhadap situasi dan kondisi baru atau orang lain yang ada di sekitarnya serta mampu menghadapi segala permasalahan dengan tenang pasca purna tugas.
b. Yakin pada kemampuan sendiri
Merupakan suatu perasaan dimana seseorang merasa tidak perlu membandingkan dirinya dengan orang lain dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain. Seorang Purnawirawan Polri tahu betul bahwa dirinya sekarang tidaklah sama dengan yang dulu ketika masih aktif dalam kesatuan, sehingga mereka sadar betul kekurangan dan kelebihan diri mereka kini.
c. Tidak mementingkan diri sendiri dan cukup toleran
d. Memiliki ambisi yang normal
Memiliki ambisi yang normal berarti ambisi yang dimiliki oleh seorang Purnawirawan Polri harus disesuaikan dengan kemampuan dirinya setelah mereka tidak lagi aktif sebagai anggota Polri, sehingga mereka tetap dapat melanjutkan hidup dengan baik sebaik ketika mereka menjalani tugas dalam dinas kepolisian.
e. Mandiri
Merupakan sikap tidak tergantung dan tidak selalu membutuhkan dukungan maupun simpati dari orang–orang yang ada di sekitar individu, meskipun ketika menyandang status sebagai Purnawirawan masih cukup banyak hal yang harus menjadi tanggung jawabnya.
f. Optimis
Optimis adalah memiliki pandangan dan harapan yang positif mengenai diri dan masa depannya meskipun sekarang mereka tidak lagi memiliki pangkat, jabatan, dan wewenang yang luas seperti dulu.
Selanjutnya menurut Guilford (1959) bahwa aspek–aspek kepercayaan diri manusia antara lain:
a. Merasa adekuat
b. Merasa diterima
Orang yang percaya diri selalu merasa yakin bahwa orang lain menyukai diri mereka.
c. Percaya pada diri sendiri
Orang yang percaya diri tidak benci terhadap diri mereka sendiri apapun serta bagaimanapun kondisi mereka.
d. Punya sikap tenang dalam situasi sosial
Orang yang percaya diri tidak akan merasa malu atas perbuatan dan perkataan mereka yang kadang–kadang keliru.
Untuk selanjutnya aspek kepercayaan diri yang dikemukakan oleh J.P Guilford (1959) inilah yang akan dijadikan sebagai indikator acuan penyusunan skala dalam penelitian ini. Pertimbangannya adalah bahwa untuk mengungkap tingkat kepercayaan diri Purnawirawan Polri dalam hidup bermasyarakat, aspek– aspek kepercayaan diri yang dikemukakan Guilford ini dirasakan oleh penulis lebih pas atau sesuai bila dibandingkan dengan aspek kepercayaan diri yang diungkapkan oleh ahli–ahli yang lain.
3. Faktor–Faktor yang Membentuk Rasa Percaya Diri
kehidupan publik, seperti ketika bergabung dengan suatu masyarakat (Davies, 2004).
Brecht (2001) mengungkapkan ada dua faktor yang sangat penting dalam pembentukan rasa percaya diri, antara lain:
a. Self esteem
Harga diri atau perasaan berharga. Umumnya individu yang merasa dirinya berharga bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi.
b. Self efficacy
Perasaan mampu melakukan sesuatu. Individu yang mampu melakukan sesuatu yang belum tentu orang lain mampu melakukannya akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi pula.
Sejalan dengan pendapat Brecht, Angelis (2001) menambahkan bahwa rasa percaya diri tidak bisa dibentuk hanya dari penampilan fisik saja. Karakter di dalam diri seseorang disertai self esteem (perasaan berharga) dan self efficacy
(perasaan mampu melakukan sesuatu) lebih menentukan.
D. HIDUP BERMASYARAKAT
itu dapat diartikan sebagai sejumlah manusia dalam arti seluas–luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama (KBBI, 1988).
Sebagai seorang anggota masyarakat, individu umumnya menempati minimal satu posisi sosial. Menurut Krech, Crutchfield, dan Ballachey (1962) sedikitnya ada lima kategori yang digunakan untuk menentukan posisi sosial individu dalam masyarakat, yaitu berdasarkan:
1. Kelompok umur–jenis kelamin
Posisi sosial ini adalah yang pertama kali dimiliki oleh individu, dan diperoleh karena memang sesuai dengan kodrat dan fase perkembangan individu. Contoh: kanak–kanak, remaja, dewasa, laki–laki, perempuan, dll
2. Kelompok biologis atau keluarga (kekerabatan)
Posisi sosial berdasarkan kategori ini diperoleh individu karena hubungan kekerabatan secara biologis maupun melalui sebuah proses pernikahan.
Contoh: Togar Hutabarat adalah anak dari Marpaung Hutabarat. Sedangkan Ibu Hj. Ani Yudhoyono adalah istri dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. 3. Kelompok pekerjaan
Berdasarkan kategori ini, posisi sosial individu diperoleh karena pekerjaan yang ia jalani sehari–hari.
Contoh: PNS, Polri, ABRI, guru, dokter, dosen, dll
4. Kelompok dengan persamaan minat pada suatu hal tertentu
Pada kelompok ini, posisi sosial mereka diperoleh dari kesamaan minat pada sesuatu yang pada akhirnya menjadi dikenal oleh khalayak luas.
5. Kelompok status sosial atau prestise
Posisi sosial yang dimiliki oleh kelompok ini umumnya diperoleh karena memang status sosial mereka sudah tergolong tinggi atau biasa dikenal dengan kalangan high class atau kalangan jet zet.
Contoh: anggota kelompok arisan berlian
Memiliki posisi sosial dalam sebuah masyarakat ternyata membawa banyak pengaruh pada diri individu. Menurut Krech, Crutchfield, dan Ballachey (1962) posisi sosial seseorang mampu menunjukkan fungsi dan peran sosial mereka dalam masyarakat. Lebih dari itu, posisi sosial individu yang diperoleh dari jenis pekerjaannya juga mampu membedakan status dan kelas sosial ekonomi individu dengan individu yang lain. Ini disebabkan karena pekerjaan yang dijalani oleh individu tersebut selalu berkaitan erat dengan tingkat pendidikan, jumlah penghasilan, dan derajat pekerjaan individu itu sendiri (Dutton & Levine, dalam Lemme, 1995). Maka dari itu, individu yang memiliki pekerjaan akan merasa bermakna dalam menjalani hidup dan berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya, karena sebagai anggota masyarakat fungsi, peran, dan status sosial ekonomi mereka telah diakui oleh orang lain yang ada di sekitar mereka.
pelayanan kepada masyarakat (UU No 2 Tahun 2002). Selanjutnya UU No 2 Tahun 2002 juga menyebutkan wewenang apa saja yang dimiliki oleh seorang anggota Polri.
E. DINAMIKA PSIKOLOGIS PURNAWIRAWAN POLRI DALAM HIDUP BERMASYARAKAT DI KOTA MADIUN
A. JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif.
Penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok
manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu
kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir, 1988). Dengan pendekatan secara
kuantitatif, penelitian ini menekankan analisisnya pada data–data numerikal
(angka) yang diolah dengan metode statistika. Data yang dikumpulkan semata–
mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji
hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi (Azwar, 2005).
Penelitian deskriptif merupakan salah satu jenis penelitian yang bertujuan
untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik
mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu (Azwar, 2005). Dalam
penelitian ini fakta yang hendak digambarkan adalah tingkat kepercayaan diri
Purnawirawan Polri.
Penelitian ini menggunakan metode survai, artinya penyelidikan diadakan
untuk memperoleh fakta–fakta dari gejala–gejala yang ada dan mencari
keterangan–keterangan secara faktual dari suatu kelompok atau suatu daerah
(Nazir, 1988).
B. IDENTIFIKASI VARIABEL
Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang akan menjadi objek
pengamatan penelitian, yang meliputi faktor–faktor yang berperan dalam
peristiwa atau gejala yang akan diteliti (Narbuko & Achmadi, 2005). Dalam
penelitian ini variabel yang akan diteliti adalah variabel bersambung, yaitu
variabel yang nilai-nilainya merupakan suatu skala, baik bersifat ordinal maupun
rasio, dimana nilai yang lebih besar memiliki kualitas yang lebih besar
(Singarimbun & Effendi, 1989). Besar atau kecilnya nilai variabel bersambung
sangat berkaitan erat dengan banyak kondisi yang ada di sekitar variabel itu
sendiri. Variabel bersambung dalam penelitian ini adalah tingkat kepercayaan diri,
sedangkan kondisi-kondisi yang mampu mempengaruhi besar kecilnya tingkat
kepercayaan diri seorang Purnawirawan Polri antara lain apa angkat terakhir
mereka ketika pensiun, berapa usia mereka pada saat pengambilan data dilakukan,
dan berapa lama mereka telah menjalani masa pensiun.
C. DEFINISI OPERASIONAL
Dalam pelaksanaan penelitian, batasan atau definisi suatu variabel tidak dapat
dibiarkan ambiguous, yakni memiliki makna ganda, atau tidak menunjukkan
indikator yang jelas. Untuk menghindari hal itu terjadi maka perlu suatu definisi
yang memiliki arti tunggal dan diterima secara objektif bilamana indikator yang
bersangkutan itu tampak, yang dinamakan definisi operasional (Azwar, 2005).
Kepercayaan diri: sebuah kondisi yang tampak dalam diri seorang
merasa percaya pada diri sendiri, dan mampu bersikap tenang dalam situasi sosial
ketika mereka terlibat dalam hidup bermasyarakat.
Dengan penjabaran secara lebih lengkap sebagai berikut:
1. Merasa adekuat
Aspek yang pertama ini berhubungan erat dengan masalah potensi atau
kemampuan (ability) yang dimiliki oleh seseorang. Merasa adekuat berarti
seorang Purnawirawan Polri memiliki kemampuan melakukan berbagai
macam hal yang ingin ia lakukan dan menyelesaikan tugas–tugas yang
berguna bagi lingkungan sekitarnya. Mereka yakin bahwa keberadaan mereka
masih diperlukan di tengah masyarakat, meskipun sekarang mereka bukan lagi
anggota Kesatuan Polri. Perubahan status bagi mereka tidak akan menghalangi
langkah mereka dalam melakukan berbagai macam aktifitas kemasyarakatan,
bahkan aktifitas yang baru sekalipun.
2. Merasa diterima
Berarti seorang Purnawirawan Polri merasa bahwa orang–orang yang ada di
sekitar mereka menyukai dan tidak pernah berusaha untuk menolak
keberadaan mereka, meskipun sekarang status mereka telah menjadi
Purnawirawan Polri.
3. Merasa percaya pada diri sendiri
Aspek ini mengacu pada komponen afeksi dan self-esteem yang dimiliki oleh
seseorang. Berarti seorang Purnawirawan Polri tidak benci terhadap diri
mereka sendiri apapun serta bagaimanapun kondisi mereka. Mereka tidak
menjadi Purnawirawan Polri. Mereka tidak meratapi pangkat, jabatan, serta
wewenang yang hilang dari mereka seiring berubahnya status mereka menjadi
Purnawirawan Polri. Status baru tersebut tidak akan membuat mereka
kehilangan harga diri untuk menjalani hidup di tengah–tengah masyarakat.
4. Mampu bersikap tenang dalam situasi sosial
Berarti seorang Purnawirawan Polri dalam bergaul dan bersosialisasi dengan
lingkungan tidak pernah merasa malu dengan perbuatan dan perkataan mereka
yang kadang–kadang keliru. Mereka mampu menerima dan menyikapi
perubahan status sebagai Purnawirawan Polri dengan sabar dan tenang.
Mereka mampu menganggap bahwa semua itu merupakan bagian dari sebuah
proses kehidupan yang cepat atau lambat akan mereka alami.
Penelitian ini mengungkap tingkat kepercayaan diri dengan menggunakan
skala kepercayaan diri. Nilai skor total dari skala kepercayaan diri menjadi acuan
penggolongan tingkat kepercayaan diri yang dimiliki oleh subyek. Asumsinya
semakin tinggi nilai skor total skala kepercayaan diri yang diperoleh subyek maka
akan semakin tinggi pula tingkat kepercayaan diri yang mereka miliki.
D. SUBYEK PENELITIAN
Subyek dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan teknik
purposive sampling, yaitu sebuah teknik pengambilan sampel dengan didasarkan
erat dengan ciri–ciri atau sifat–sifat yang ada dalam populasi yang sudah diketahui
sebelumnya (Narbuko & Achmadi, 2005).
Subyek penelitian ini adalah para Purnawirawan Polri baik yang tergabung
dalam organisasi PP Polri maupun tidak, dengan spesifikasi sebagai berikut:
1. Dari golongan kepangkatan Bintara, yaitu para Purnawirawan Polri dengan
pangkat terakhir Ajun Inspektur Polisi Satu, Ajun Inspektur Polisi Dua,
Brigadir Polisi Kepala, Brigadir Polisi, Brigadir Polisi Satu, dan Brigadir
Polisi Dua. Hal ini dilakukan karena anggota Polri dari golongan kepangkatan
Bintara merupakan petugas lapangan, sehingga sehari – hari mereka lebih
banyak berinteraksi dengan masyarakat baik di tempat tugas maupun di
lingkungan tempat tinggal. Tujuan penelitian ini adalah hendak mengukur
tingkat kepercayaan diri Purnawirawan Polri dalam hidup bermasyarakat,
maka subyek yang dipakai adalah yang dulunya dalam bekerja banyak
berhubungan dengan masyarakat secara langsung.
2. Tinggal di lingkungan Kota Madiun Jawa Timur. Pertimbangan memilih Kota
Madiun adalah karena sebagai kota kecil, di Madiun terdapat lapangan udara
militer Iswahjudi miliki TNI–Angkatan Udara, markas Batalyon 501 miliki
TNI–Angkatan Darat, dan kantor Polwil atau Polisi Wilayah Madiun yang
membawahi seluruh Polres dan Polresta se–karesidenan Madiun, sehingga
persaingan untuk mendapatkan pekerjaan kembali sebagai petugas satuan
pengamanan akan memiliki banyak saingan.
E. METODE DAN ALAT PENELITIAN
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah skala, yaitu skala
kepercayaan diri yang disusun sendiri oleh penulis dengan mengacu pada
aspek-aspek kepercayaan diri yang diungkapkan oleh J.P Guildford (1959), yaitu merasa
adekuat, merasa diterima, merasa percaya pada diri sendiri, dan mampu bersikap
tenang dalam situasi sosial. Pengumpulan data dalam penelitian ini memakai
metode try out terpakai, artinya skala yang berperan sebagai alat pengumpul data
diberikan hanya sekali saja kepada subyek atau dengan kata lain peneliti hanya
sekali saja melakukan proses pengambilan data. Hal ini disebabkan karena
kelangkaan atau keterbatasan jumlah populasi subyek dalam penelitian ini sendiri.
Subyek diharapkan melakukan pengisian skala tersebut sesuai dengan kondisi
yang sungguh terjadi pada diri mereka, sehingga skala tersebut akan dapat dipakai
untuk mengukur dan mengungkap tingkat kepercayaan diri Purnawirawan Polri
dalam hidup bermasyarakat.
Skala yang disusun dalam penelitian ini mempergunakan metode rating yang
dijumlahkan (method of summated rating), atau biasa dikenal dengan nama
penskalaan model Likert. Summated rating merupakan salah satu metode
penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respon sebagai dasar
penentuan nilai sikapnya (Gable dalam Azwar, 1999). Dalam skala yang
menggunakan metode summated rating ini, subyek diminta untuk merespon
pernyataan–pernyataan yang dirumuskan secara favorabel dan unfavorabel
Pernyataan favorabel adalah pernyataan yang bersifat mendukung secara
teknis atau memihak obyek (sikap) yang akan diukur. Sedangkan pernyataan yang
unfavorabel adalah pernyataan yang bersifat tidak mendukung obyek (sikap) yang
akan diukur. Setiap butir memuat empat kategori pilihan jawaban, yaitu Tidak
Pernah (TP), Jarang (J), Sering (S), dan Sering Sekali (SS).
Penskoran yang dipergunakan pada tiap kategori jawaban dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Tabel 1
Kategori Penskoran Tiap Aitem
Pernyataan TP J S SS
1. Favorabel 1 2 3 4
2. Unfavorabel 4 3 2 1
Skor setiap aitem pada skala penelitian kemudian dijumlahkan untuk
mendapatkan skor total. Semakin tinggi skor total yang diperoleh, maka tingkat
kepercayaan diri yang dimiliki oleh akan menjadi semakin tinggi. Sebaliknya,
semakin rendah skor total yang dimiliki oleh subyek, maka tingkat kepercayaan
diri yang dimiliki oleh subyek akan menjadi semakin rendah.
Berikut ini disajikan blue print skala kepercayaan diri yang akan dijadikan
Tabel 2
Blue Print Skala Kepercayaan Diri
BUTIR ITEM
3. Merasa percaya pada diri
sendiri
F. PERTANGGUNG JAWABAN MUTU 1. Validitas
Dalam pengertian yang paling umum, validitas adalah ketepatan dan
kecermatan skala dalam menjalankan fungsi ukurnya, artinya sejauh mana skala
itu dapat mampu mengukur atribut yang ia dirancang untuk mengukurnya. Skala
yang mampu mengungkap seluruh aspek yang seharusnya mereka ukur dikatakan
sebagai skala yang memiliki validitas yang tinggi. Sebaliknya bila skala skala
lain, maka skala tersebut akan dianggap sebagai skala yang memiliki validitas
rendah (Azwar, 1999).
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content
validity), yaitu validitas yang diukur melalui pengujian terhadap isi tes dengan
melakukan analisis rasional terhadap isi tes serta didasarkan pada penilaian
(judgement) yang bersifat subyektif (Supratiknya, 1998). Dalam penelitian ini
Dosen Pembimbing Skripsi bertindak sebagai pihak yang dianggap kompeten
melakukan proses analisis rasional terhadap isi tes, sehingga diharapkan setiap
aitem merupakan aitem yang berkualitas untuk dijadikan sebagai alat pengumpul
data penelitian.
2. Seleksi Aitem
Sebelum masuk pada tahap seleksi aitem, skala kepercayaan diri yang telah
disusun, dibagikan kepada para subyek untuk kemudian diisi dengan jawaban
yang paling sesuai dengan keadaan diri mereka masing – masing. Tahap seleksi
aitem ini dilakukan untuk mengoreksi apakah aitem–aitem yang telah ditulis
berdasarkan kaidah–kaidah penyusunan aitem yang benar itu, pada kenyataannya
memang sudah berfungsi dengan baik dalam hal mengukur suatu atribut tertentu
(Azwar, 1999).
Proses pengambilan data dilakukan pada tanggal 1 – 15 Maret 2007 di Kota
Madiun. Skala dibagikan kepada para Purnawirawan Polri dari golongan
yang dipakai dalam penelitian ini sebanyak 75 orang dan semua data dari subyek
memenuhi syarat untuk masuk dalam tahap olah data.
Jumlah aitem dalam penelitian ini adalah 56 aitem. Proses seleksi aitem ini
dilakukan dengan menggunakan analisis statistik Reliability Analysis–Scale Alpha
dari SPSS for windows versi 11.5. Sebagai kriteria pemilihan aitem yang terbaik
digunakan batasan 0,30 dengan taraf signifikansi 5%. Semua aitem yang
mencapai koefisien korelasi ≥ 0,30 dianggap valid. Namun sebaliknya bila
koefisien korelasi aitem ≤ 0,30, maka aitem tersebut dianggap gugur.
Setelah melalui tahap seleksi aitem maka terpilihlah 46 butir aitem yang
dianggap valid dan 10 aitem yang dinyatakan gugur.
Berikut ini adalah tabel yang memuat nomor–nomor aitem skala yang valid dan
aitem skala yang gugur.
Tabel 3
Daftar Aitem yang Valid dan Aitem yang Gugur
NOMOR PERNYATAAN
3. Merasa percaya pada diri sendiri
7, 12, 15, 21, 23, 27, 37, 45, 48, 51, 56
11 4, 31, 39 3
Dari 56 aitem yang diberikan kepada subyek, menunjukkan bahwa terdapat 46
butir aitem yang dinyatakan valid, yaitu sebagai berikut:
Tabel 4
Distribusi Nomor Aitem Valid
NOMOR PERNYATAAN NO ASPEK – ASPEK
FAVORABEL UNFAVORABEL JML
1. Merasa adekuat 1, 11, 18, 30, 44, 50 6, 26, 40, 47, 54 11
2. Merasa diterima 8, 22, 28, 38, 46, 49 10, 24, 32, 34, 42, 52 12
3. Merasa percaya pada diri sendiri
7, 15, 23, 37, 48, 56 12, 21, 27, 45, 51 11
4. Mampu bersikap tenang dalam situasi sosial
3, 9, 17, 29, 43, 55 5, 13, 25, 33, 41, 53 12
JUMLAH 24 22 46
Setelah diketahui aitem yang dinyatakan valid, maka skala tersebut
disederhanakan lagi dengan hanya menyertakan sejumlah 44 butir aitem saja. Hal
ini dilakukan untuk menyeimbangkan jumlah aitem tiap indikator dalam
penelitian, karena masing–masing indikator tersebut memiliki fungsi yang sama
pentingnya untuk mengungkap tingkat kepercayaan diri Purnawirawan Polri
dalam penelitian ini. Butir aitem yang tidak disertakan adalah aitem nomor 3 dan
49, dengan distribusi setelah disederhanakan (skala baku penelitian
Tabel 5
Distribusi Aitem Valid yang Disederhanakan (aitem skala baku penelitian sesungguhnya)
NOMOR PERNYATAAN
3. Merasa percaya pada diri sendiri
7, 15, 23, 37, 48, 56 12, 21, 27, 45, 51 11
4. Mampu bersikap tenang dalam situasi sosial
9, 17, 29, 43, 55 5, 13, 25, 33, 41, 53 11
JUMLAH 22 22 44
3. Reliabilitas
Reliabilitas adalah tingkat keterpercayaan hasil suatu pengukuran. Pengukuran
yang memiliki reliabilitas tinggi adalah pengukuran yang mampu memberikan
hasil ukur yang terpercaya. Tinggi rendahnya reliabilitas, secara empirik
ditunjukkan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas, artinya tinggi
rendahnya reliabilitas dicerminkan oleh tinggi rendahnya korelasi antara dua
distribusi skor dari dua alat ukur yang paralel yang dikenakan pada sekelompok
individu yang sama (Azwar, 1995). Alat ukur yang memiliki reliabilitas tinggi
adalah alat ukur yang memiliki koefisien korelasi mendekati nilai satu (1,00).
Pengukuran reliabilitas pada penelitian ini dilakukan dengan penghitungan
reliability analysis–scale (alpha) dari program SPSS 11.5 for Windows.
Reliabilitas pada skala kepercayaan diri sebanyak 56 item adalah α = 0,9311.
dapat dikatakan bahwa skala kepercayaan diri dalam penelitian ini memiliki
reliabilitas yang tinggi karena koefisien korelasinya mendekati nilai satu (1,00).
G. ANALISIS DATA
Penelitian ini merupakan sebuah penelitian deskriptif, maka analisis statistik
yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yang meliputi
penyajian data melalui tabel, penghitungan nilai maksimum dan minimum, mean
teoretis, mean empiris dan standar deviasi, serta penghitungan prosentase.
Penentuan kategori tingkat kepercayaan diri Purnawirawan Polri dalam hidup
bermasyarakat didasarkan pada kategori jenjang. Hal ini bertujuan untuk
menempatkan individu ke dalam kelompok–kelompok yang terpisah secara
berjenjang menurut suatu kontinum berdasar atribut yang diukur (Azwar, 1999).
Menurut Azwar (1999) penentuan kategorisasi jenjang adalah berdasarkan standar
deviasi dan mean teoretik sebagai berikut:
Tabel 6
Norma Kategori Jenjang
NORMA KATEGORI
(μ + 1,0σ) ≤ X TINGGI
(μ – 1,0σ) ≤ X < (μ + 1,0σ) SEDANG
Keterangan:
X : Skor total subyek
μ : Mean teoretik, yaitu rata – rata teoretis dari skor maksimum
dan skor minimum.
σ : Standar deviasi, yaitu luas jarak sebaranyang dibagi 6 satuan
standar deviasi.
Berikut ini disajikan tahap penghitungannya:
• X minimum teoretik :
= jumlah aitem x skor terendah yang mungkin diperoleh subyek pada skala
= 44 x 1
= 44
• X maksimum teoretik :
= jumlah aitem x skor tertinggi yang mungkin diperoleh subyek pada skala
= 44 x 4
= 176
• Range :
= X maksimal – X minimum
= 176 – 44
= 132
• Mean :
= X maksimum + X minimum
=
2 44 176+
= 110
• Standar Deviasi :
=
4
range
=
4 132
= 33
Dari beberapa penghitungan – penghitungan tersebut diatas, maka dapat dibuat
sebuah norma pengkategorisasian dengan batasan angka–angka sebagai berikut:
Tabel 7
Norma Kategorisasi dengan Batasan Angka – Angka
NORMA KATEGORI
(110 + 1,0 . 33) ≤ X TINGGI
(110 – 1,0 . 33) ≤ X < (110 + 1,0 . 33) SEDANG
X < (110 – 1,0 . 33) RENDAH
Tabel 8
Norma Kategorisasi Skala
NORMA KATEGORI
143 – 176 TINGGI
77 – 142 SEDANG
A. HASIL PENELITIAN 1. Uji Normalitas
Sebelum data penelitian dianalisis, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yaitu uji normalitas, untuk mengetahui apakah sampel yang diambil berasal dari sebuah distribusi normal, dengan mengetahui apakah sebaran skor memenuhi asumsi distribusi normal. Uji normalitas pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tehnik Kolmogorov Smirnov, yang menyatakan bahwa jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 (p > 0,05) maka sebarannya normal, tetapi sebaliknya, bila nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (p < 0,05) maka sebaran skornya tidak normal.
Berdasarkan dari hasil analisis dengan menggunakan tehnik Kolmogorov Smirnov dari SPSS versi 11.5, diperoleh hasil signifikansi sebesar 0,313. Angka tersebut menunjukkan bahwa penelitian ini memiliki sebaran yang tergolong normal karena nilai p (0,313) masih berada di atas atau lebih dari 0,05.
2. Deskripsi Data Penelitian
Sebelum disajikan tabel yang berisi deskripsi data penelitian berdasarkan perhitungan komputasi dengan menggunakan program SPSS versi 11.5, berikut ini akan disajikan deskripsi dari subyek penelitian itu sendiri.
Tabel 9
Gambaran Responden Penelitian
58 tahun 56 orang
59 tahun 9 orang
USIA
60 tahun 10 orang
10 tahun 7 orang
9 tahun 5 orang
8 tahun 4 orang
7 tahun 4 orang
6 tahun 15 orang
LAMA PENSIUN
5 tahun 45 orang
Aiptu 49 orang
Aipda 10 orang
Bripka 7 orang
Bripol 9 orang
Briptu - PANGKAT
TERAKHIR
Bripda -
JENIS KELAMIN Seluruh subyek dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki.
berlaku. Dari 75 orang subyek tidak ada seorangpun subyek yang memasuki masa pensiun dengan pangkat terakhir Bripda ataupun Briptu, karena bagi seorang Bintara dihitung sesuai dengan masa kerja tidak akan mungkin memasuki usia pensiun dengan pangkat tersebut.
Tabel 10
Deskripsi Data Penelitian
N 75 Skor Minimum Teoretik 44
Skor Minimum Empirik 104 Skor Maksimum Teoretik 176 Skor Maksimum Empirik 174
Mean Teoretik 110
Mean Empirik 148,93
Median 152 Mode 152
Standar Deviasi 18,231
Varians 332,387
Keterangan:
# N menunjukkan jumlah subyek penelitian yaitu 75 orang.
# Skor Minimum Teoretik adalah skor paling rendah yang mungkin diperoleh
subyek pada skala; yaitu 1 x 44 = 44.
# Skor Minimum Empirik adalah skor paling rendah yang diperoleh dari data
penelitian; yaitu 104.
# Skor Maksimum Teoretik adalah skor paling tinggi yang mungkin diperoleh
subyek pada skala; yaitu 4 x 44 = 176.
# Skor Maksimum Empirik adalah skor paling tinggi yang diperoleh dari data
penelitian; yaitu 174.
# Mean Teoretik adalah rata – rata teoretik dari skor maksimum dan minimum, yang
merupakan titik tengah dari range; yaitu sebesar 110.
# Mean Empirik adalah rata – rata dari skor subyek yang diperoleh dari data
penelitian; yaitu sebesar 148,93.
# Median adalah nilai tengah yang dihasilkan; yaitu sebesar 152.
# Mode atau modus adalah skor subyek yang frekuensi kemunculannya paling
# Standar Deviasi atau simpangan baku adalah suatu penghitungan statistik yang
digunakan untuk menggambarkan variabilitas dalam suatu distribusi; yaitu sebesar
18,231.
# Varians adalah kuadrat dari SD; yaitu sebesar 332,387.
Dari deskripsi data–data penelitian yang dijabarkan pada tabel 9 menunjukkan bahwa skor minimum empirik besarnya jauh melebihi skor minimum teoretik. Besarnya skor maksimum empirik mendekati jumlah skor maksimum teoretik. Mean empirik juga lebih tinggi dibandingkan dengan mean teoretik. Dari semua hal tersebut tampak bahwa skor yang diperoleh subyek cenderung tinggi dengan variasi skor yang tergolong tinggi pula, (terlihat dari skor Standar Deviasi).
3. Kategorisasi Tingkat Kepercayaan Diri Purnawirawan Polri dalam Hidup Bermasyarakat
Tabel 11
Kategori Tingkat Kepercayaan Diri Purnawirawan Polri dalam Hidup Bermasyarakat
Kategori Jumlah Subyek Persentase Tinggi
143 – 176
50 66,67 %
Sedang 77 – 142
25 33,33 %
Rendah 44 - 76
- 0 %
TOTAL 75 100%
Tabel 10 menunjukkan bahwa dari 75 orang Purnawirawan Polri, terdapat 50 orang Purnawirawan yang masuk pada kategori tinggi dan 25 orang Purnawirawan yang masuk pada kategori sedang. Tidak ada satu pun Purnawirawan yang masuk pada kategori rendah. Jumlah Purnawirawan yang masuk pada kategori tinggi juga jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah Purnawirawan yang masuk pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa hampir semua Purnawirawan memiliki kepercayaan diri yang tergolong cukup tinggi dalam hidup bermasyarakat.
B. PEMBAHASAN
Purnawirawan Polri dari golongan kepangkatan Bintara di lingkungan Kota Madiun memiliki rasa percaya diri yang tinggi dalam menjalani kehidupan bermasyarakat mereka. Hanya sebanyak 25 % saja Purnawirawan Polri dari golongan kepangkatan Bintara yang menjalani kehidupan bermasyarakat mereka dengan rasa percaya diri yang sedang.
Dalam penelitian ini, skor Standar Deviasi Empirik lebih kecil kalau dibandingkan dengan skor Standar Deviasi Teoretik (SD Empirik = 18,231 ; SD Teoretik = 33). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat variasi jawaban subyek pada kelompok data penelitian lebih rendah dari tingkat variasi jawaban teoretik, artinya dalam penelitian ini subyek adalah kelompok yang homogen, yaitu kelompok Purnawirawan Polri dari golongan kepangkatan Bintara (anggota Persatuan Purnawirawan Polri) yang menjalani hidup bermasyarakat di lingkungan Kota Madiun.
meski ada juga beberapa Purnawirawan Polri dari golongan kepangkatan Bintara yang belum memanfaatkan sifat percaya diri dalam diri mereka secara maksimal.
Adanya anggapan yang menyatakan bahwa tidak sedikit orang tua yang menunjukkan gejala tidak percaya diri ketika memasuki masa pensiun (Hakim, 2002) tidaklah selamanya dapat dibenarkan. Hal ini tampak dari 75 orang Purnawirawan Polri dari golongan kepangkatan Bintara yang menjadi subyek dalam penelitian ini tidak satu orang pun memiliki rasa percaya diri yang rendah dalam menjalani hidup di tengah-tengah masyarakat. Justru sebaliknya hampir sebagian besar dari mereka memiliki rasa percaya yang tinggi (66,67 %) dan sedang (33,33 %) dalam menjalani hidup bermasyarakat.
Tingginya rasa percaya diri yang dimiliki oleh para Purnawirawan Polri dari golongan kepangkatan Bintara membuat mereka mampu melalui tahap
referensi yang bisa mempengaruhi self image, dan hilangnya rutinitas (Turner dan Helms; dalam Eliana, 2003). Sehingga mereka tidak sampai mengalami depresi dan merasa kosong ketika menjalani masa pensiun mereka. Sebagai gantinya, purnawirawan ini akan memiliki rasa aman di dalam diri mereka, dimana mereka merasa terbebas dari perasaan takut dan ragu-ragu terhadap situasi dan kondisi baru atau orang lain yang ada di sekitarnya (Lauster, 1990).
Rasa aman dalam diri Purnawirawan Polri yang muncul karena rasa percaya diri yang tinggi, membuat mereka mampu bersikap tenang, luwes, dan santai dalam situasi-situasi sosial (Guilford, 1959), termasuk menganggap bahwa pensiun bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebagai bagian dari sebuah proses kehidupan yang akan dialami oleh semua yang pernah bekerja. Selain itu purnawirawan dengan rasa percaya diri yang tinggi tidak mementingkan diri sendiri dan cukup toleran (Lauster, 1990). Sebagai seorang Purnawirawan Polri yang memiliki rasa percaya diri tinggi, mereka menjadi lebih mudah menjalin persahabatan dan menikmati hubungan-hubungan yang bahagia (Davies, 2004). Hingga kemudian mereka menjadi mampu memahami posisi diri mereka sendiri sebagai seorang purnawirawan yang hidup di tengah masyarakat, memahami hak dan kewajiban baru mereka sebagai warga sipil, serta menghargai adanya perbedaan pandangan dan pendapat dengan orang lain atau masyarakat yang ada di sekitarnya.