• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 Puskesmas PONED minimal 4 Puskesmas PONED % Kabupaten yang memiliki

Indonesia Kalimantan Sumatera IBT Jawa Bali Sulawesi Indonesia IBT Kalimantan Sumatera Sulawesi Jawa Bali 13% 61% 42% 54% 55% 66% 75% 0% 6% 11% 17% 36% 0% 10% 20% 30% 40% 0% 20% 40% 60% 80%

Pelayanan Fasilitas Puskesmas PONED

Puskesmas PONED sesuai defi nisi adalah pelayanan kegawatdaruratan terhadap kasus emergensi obstetri dan neonatal yang dapat dilakukan di puskesmas, artinya harus memberikan pelayanan sesuai ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam standar. Pelayanan yang diberikan oleh Puskesmas PONED berdasarkan region dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Secara nasional, dari 1674 Puskemas PONED, tidak semua memberikan pelayanan 24 jam. Sebanyak 78% Puskesmas PONED dapat memberikan pelayanan 24 jam, sedangkan 28% Puskesmas PONED tidak dapat memberikan pelayanan 24 jam. Bila dilihat secara regional, persentase Puskesmas PONED yang paling sedikit melakukan pelayanan 24 jam adalah region IBT (71%) yang tidak berbeda jauh dengan Region Sumatera (73%) (Tabel 16). Akan tetapi bila dilihat ratio kematian ibu pada Region IBT dan Region Sumatera terjadi kesenjangannya cukup jauh. Ini dapat diartikan bahwa walaupun tersedia pelayanan 24

Tabel 16. Ratio kematian ibu (Data SP2010) dengan pelayanan Puskesmas PONED berdasarkan 5 region di Indonesia (Data Rifaskes 2011)

Sumber data : Rifaskes 2011

*Tenaga terlatih =tersedia dokter, bidan dan perawat terlatih PONED

Region

Indonesia

Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi IBT

Ratio kematian ibu 261 227 340 459 434 278

Pelayanan 24 jam 73% 82% 75% 83% 71% 78%

Tenaga terlatih 50% 41% 55% 39% 48% 45%

Alat -alat Lengkap

80% lengkap 10% 14% 11% 7% 7% 12% 40-79% lengkap 44% 55% 36% 45% 40% 48% <40% lengkap 46% 31% 54% 48% 53% 40% Obat-obat Lengkap 80% lengkap 2% 5% 1% 2% 1% 3% 40-79% lengkap 28% 35% 31% 17% 23% 30% <40% lengkap 70% 60% 68% 81% 76% 66% 100% (N= 390) (N=709)100% (N=132)100% (N=238)100% (N=205)100% (N=1674)100%

jam, tetapi bila pelayanan tersebut secara akses dijangkau sulit dan tidak tersedia alat serta obat, maka resiko kematian tetap tinggi. Kesimpulannya Puskesmas PONED dapat mengurangi resiko ibu bila akses Puskesmas PONED dapat terjangkau.

Dalam Rifaskes telah dikumpulkan informasi ketersediaan petugas PONED yang dilatih PONED dalam periode tahun 2009 dan 2010. Definisi tenaga terlatih adalah ketersediaan minimal 1 tenaga dokter, 1 tenaga bidan dan 1 tenaga perawat yang terlatih PONED. Jika dilihat secara regional, Jawa-Bali mempunyai persentase tenaga terlatih yang terendah kedua (41%) dibanding region lainnya. Tetapi jika dilihat jumlah Puskesmas PONED yang berada di Jawa-Bali adalah yang tertinggi dibandingkan region lainnya dan bila dilihat ratio di Jawa-Bali adalah yang terendah dibanding region lainnya. Artinya walaupun secara persentase jumlah tenaga terlatihnya termasuk rendah, namun bila jumlah tersebut equal terhadap penduduknya dan akses yang lebih mudah dijangkau di Region Jawa-Bali, maka risiko kematian ibu dapat diturunkan.

Alat dan obat yang lengkap adalah syarat dasar agar kasus komplikasi dapat ditangani. Bila ditinjau secara regional cukup jelas terlihat bahwa region Sulawesi dan IBT yang mempunyai ratio kematian ibu tertinggi dibanding region lainnya, juga mempunyai alat dan obat secara kelengkapan paling rendah dibanding region lainnya. Kesimpulannya adalah ketersediaan alat dan obat yang lengkap dapat mengurangi resiko kematian ibu.

Kesiapan Puskesmas PONED dalam Menangani Kasus Preeklamsi/Eklamsi dan Perdarahan Post Partum

Penyebab kematian maternal terbesar adalah perdarahan postpartum dan pre eklamsi/eklamsi atau hipertensi dalam kehamilan. Puskesmas PONED seharusnya dapat memberikan penanganan kedua kasus ini, setidaknya dapat memberikan pertolangan pertama sebelum merujuk pasien ke fasilitas PONEK jika tidak dapat ditangani. Kesiapan puskesmas PONED dalam memberikan pelayanan kasus ini dapat dilihat ketersediaan alat dan obat yang sangat penting dalam penanganan kasus tersebut. Misalnya untuk kasus preeklamsi/eklamsi dapat dilihat ketersediaan injeksi MGSO4 20% dan 40%. Tabel berikut memperlihatkan ketersediaan MGSO4 dan alat vakum sebagai penanganan pre eklamsi dan eklamsi. Alat vakum yang dipergunakan untuk dapat mengeluarkan bayi. Pengeluaran bayi dengan segera pada ibu komplikasi eklampsi dapat menurunkan kematian ibu, sehingga peralatan tersebut sangat dibutuhkan dalam menyelamatkan bayi dan ibunya.

Tabel 17. Persentase Puskesmas PONED yang menyediakan obat dan alat utama pelayanan pre-eklamsi/eklamsi (Data Rifaskes 2011)

Region

Indonesia

Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi IBT

Jumlah PONED 390 709 132 238 205 1674

MgSO4 20% 35% 46% 44% 35% 23% 42%

MgSO4 40% 34% 51% 46% 39% 24% 47%

Dari tabel di atas terlihat 52% puskesmas PONED tersedia alat vakum ekstraksi sedangkan 48% tidak tersedia. Ketersediaan alat vakum ekstraksi terendah ditemukan pada Regional IBT (39%) dan begitu juga dengan ketersediaan obat MgSO4 20% dan MgSO4 40% lebih rendah dibandingkan ketersediaaan di region lainnya.

Dari tabel 18 di atas, tergambar ketersediaan obat-obatan dalam penanganan emergensi kasus perdarahan. Secara umum ketersediaan obat tidak lebih dari 80% dan secara regional tidak terlihat perbedaan kesenjangan. Akan tetapi bila dilihat dari ratio terdapat perbedaan kesenjangan yang cukup jauh pada region IBT dengan region lainnya. Hal ini menandakan bahwa ketersediaan obat saja tidak cukup yang paling utama adalah persediaan darah yang harus diberikan segera. Pada perdarahan hebat akan berisiko terjadi kematian hanya dalam waktu tidak lebih dari 1 jam. Sedangkan pemberian transfusi darah tidak tersedia di Puskesmas PONED. Pemberian tranfusi hanya diberikan di rumah sakit. Sedangkan pada analisis tempat meninggal kasus Perdarahan Post Partum tempat meninggal dalam perjalanan terekam (lainnya) sebanyak 33,3%. Kesimpulannya kebijakan pemberian tranfusi tersebut perlu dipertimbangkan kembali.

Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) RSU Pemerintah

Sebagai upaya menurunkan kematian ibu di RS, dilakukan pelayanan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK). Gambaran regional, terlihat bahwa terjadi kesenjangan pelayanan PONEK. Pada region Jawa Bali memiliki RSU Pemerintah dengan proporsi kemampuan pemenuhan kriteria PONEK yang lebih baik daripada regional lainnya, termasuk dalam hal keberadaan Tim PONEK Esensial. Pada region Jawa Bali, sekitar 57,1% dari 233 RSU Pemerintah, memiliki Tim PONEK Esensial. Tim PONEK ini ditetapkan dengan SK Direktur dan terdiri dari 1 dokter spesialis kebidanan dan kandungan, 1 dokter spesialis anak, 1 dokter di Unit Gawat darurat, 3 orang bidan (1 koordinator dan 2 penyelia), dan 2 orang perawat. Hasil Rifaskes 2011, terlihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 18. Persentase Puskesmas PONED yang menyediakan obat dan alat utama pelayanan post partum haemorrhage (Data Rifaskes 2011)

Region

Indonesia

Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi IBT

Jumlah PONED 390 709 132 238 205 1674

Dektrose 5% 64% 79% 73% 64% 72% 76%

NaCl 0,9% 66% 77% 70% 65% 68% 75%

Ergometrin inj. 57% 80% 70% 71% 69% 74%

Berdasarkan kajian ini, penyebab kematian ibu tertinggi adalah karena komplikasi HDK. Region yang mempunyai ratio kematian ibu tertinggi karena komplikasi HDK adalah Region Sulawesi. Jika dilihat dari sisi pelayanan fasilitas pada puskesmas PONED, region yang ketersediaanya obat untuk mengatasi HDK secara proporsi paling rendah, adalah Region Sulawesi, sehingga terjadi kemungkinan upaya merujuk ke rumah sakit. Kajian ini memperlihatkan bahwa kematian kasus HDK banyak terjadi di RS Pemerintah. Dan pada tabel diatas menunjukkan konsistensi, antara data ratio kematian ibu di region Sulawesi yang tinggi dengan cakupan kriteria PONEK pada Region Sulawesi yang rendah. Dari 9 kriteria PONEK, 6 diantaranya, Region Sulawesi menjadi yang terendah cakupannya, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kematian ibu pada tingkat regional karena komplikasi HDK berhubungan dengan sarana PONED dan PONEK yang rendah cakupannya.

Sistem emergensi yang segera sangat dibutuhkan dalam penanganan komplikasi perdarahan post partum. Persentase kesiapan dalam emergensi di IBT tidak berbeda jauh dengan region Sulawesi, dari 9 kriteria emergensi, 6 kriteria dengan persentase yang rendah. Hal yang paling utama dalam penanganan perdarahan post partum adalah tranfusi darah. Hasil kajian menunjukkan region IBT mempunyai ratio kematian ibu karena perdarahan post partum yang tertinggi. Jika melihat kesiapan unit pelayanan darah 24 jam, Region IBT yang paling rendah persentasenya, sehingga dapat disimpulkan bahwa penyediaan tranfusi darah sangat utama pada rumah sakit, utamanya RS pemerintah sebagai rumah sakit rujukan.

Tabel 19. Proporsi RSU Pemerintah berdasarkan pemenuhan kriteria PONEK menurut 5 region di Indonesia (Data Rifaskes 2011)

No. Kriteria PONEK Sumatera Jabal Kalimantan Sulawesi IBT

N % N % N % N % n %

1 Kamar ops siap 24 jam 208 69.7 233 81.1 74 67.6 90 62.2 80 62.5

2 Tim siap ops 24 jam 208 70.2 233 84.1 74 63.5 90 45.6 80 62.5

3 Pelayanan darah 24 jam 208 50.5 233 63.1 74 56.8 90 46.7 80 43.8

4 Laboratorium 24 jam 208 61.1 233 75.1 74 63.5 90 52.2 80 52.5

5 Radiologi 24 jam 208 56.3 233 70.0 74 55.4 90 41.1 80 47.5

6 Farmasi dan alat penunjang siap 24 jam 208 60.1 233 77.3 74 67.6 90 60.0 80 55.0

7 Ruang Pemulihan siap 24 jam 208 49.0 233 68.7 74 44.6 90 40.0 80 35.0

8 Unit Pelayanan darah 24 jam 208 43.3 233 37.8 74 47.3 90 44.4 80 36.3

Jika dilihat pada ketersediaan tenaga dokter spesialis kandungan pada Region Sulawesi mempunyai persentase yang cukup baik setelah Region Jawa Bali. Tetapi ratio kematian ibu pada Region Sulawesi tinggi dibanding region lainnya. Hal ini menujukkan bahwa kompetensi pendidikan, pelatihan dan kompetensi operasional sumber daya manusia harus perlu didukung kompetensi fasilitas dan sarana, karena bila kompetensi itu semua diabaikan maka tetap beresiko mempunyai kematian ibu yang tinggi.

Keterkaitan emergensi dengan sumber listrik adalah vital, karena kasus yang membutuhkan operasi segera dibutuhkan listrik yang terjamin menyala 24 jam. Bila dilihat secara persentase secara keseluruhan di atas 90%. Akan tetapi tidak semua RS demikian, sehingga bila sedang melakukan operasi sectio, kemudian listrik mati, maka akan berakibat fatal. Pada hasil kajian ini, kasus PPP sebagaian besar disebabkan oleh retensio placenta yang membutuhkan penanganan operasi segera. Kasus PPP terbanyak terjadi di Region IBT dan tampak konsisten dengan hasil sarana pendukung pelayanan kesehatan, dimana di Region IBT memiliki listrik 24 jam yang terendah (Tabel 21).

Tabel 20. Proporsi RSU Pemerintah berdasarkan keberadaan spesialis anestesi, bedah, anak, dan kebidanan dan kandungan menurut 5 region di Indonesia (Data Rifaskes 2011)

Tabel 21. Proporsi RSU Pemerintah berdasarkan keberadaan sarana pendukung pelayanan kesehatan ibu dan anak menurut 5 region di Indonesia

Sumber data: Rifaskes, 2011

Jenis Spesialis Sumatera Jabal Kalimantan Sulawesi IBT

N % N % N % N % N %

Sp Anestesi 208 37.5 233 74.2 74 35.1 90 38.9 80 27.5

Sp Bedah 208 76.4 233 91.0 74 71.6 90 82.2 80 58.8

Sp Anak 208 76.0 233 86.7 74 68.9 90 71.1 80 52.5

SpOG 208 82.2 233 90.6 74 82.3 90 87.8 80 57.5

Sarana Pendukung KIA Sumatera Jabal Kalimantan Sulawesi IBT

N % N % N % N % N %

Air bersih 24 jam 208 90.9 233 99.1 74 91.9 90 87.8 80 91.3

Reservoir air 208 91.8 233 98.7 74 97.3 90 93.3 80 96.3

Kecukupan air bersih 208 82.7 233 97.4 74 89.2 90 81.1 80 86.3

Listrik 24 jam 208 98.6 233 100 74 97.3 90 97.8 80 91.3

Generator listrik 208 98.1 233 98.7 74 100.0 90 95.6 80 92.5

Telepon 208 100.0 233 100 74 94.6 90 84.4 80 85.0

Ambulan 208 99.0 233 100 74 98.6 90 98.9 80 98.8

Secara nasional, unit penyediaan darah di RS pemerintah sebanyak 47,9%, dan unit tersebut dipimpin oleh dokter 33,5% dan yang siap melakukan pelayanan 24 jam hanya 40,9%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel diagram dibawah ini :

Dalam analisis sebelumnya telah disebutkan cakupan ANC, K4, Linakes dan KF saja, tidak cukup untuk mencegah kematian ibu. Diperlukan upaya penyediaan darah dalam waktu cepat dan terjangkau dalam mengatasi komplikasi PPP yang berat, yang tidak lebih dari 1 jam. Berdasarkan informasi dan pengalaman dari Kepala IGD Obstetri dan Ginekologi RSU Cipto Mangunkusumo, yang berhasil menurunkan case fatality rate pada komplikasi perdarahan, dibutuhkan sekitar 3-5 labu unit darah per pasien yang harus disiapkan untuk kasus perdarahan agar dapat survive.

Grafi k 7. Proporsi jumlah rumah sakit (RS) berdasarkan penanganan emergensi (Data Rifaskes 2011)

50 40 30 20 10 0

47.9

Unit penyediaan darah

Dipimpin dokter Pelayanan 24 jam

33.5

1. Hasil kajian berdasarkan jumlah kematian ibu dan kelahiran hidup yang diperoleh dari Sensus penduduk 2010, menghasilkan uncorrected ratio kematian ibu di Indonesia sebesar 121 per 100.000 kelahiran hidup. Disebut uncorrected ratio kematian ibu karena angka tersebut belum dikoreksi sehingga belum bisa disebut sebagai rasio kematian ibu. Koreksi perlu dilakukan karena terdapat underreporting pada pengumpulan data SP2010.

2. Dalam kajian ini, untuk mendapatkan ratio kematian ibu perlu dilakukan dikoreksi dengan perhitungan completeness sebesar 0,4352; sehingga diperoleh MMR sebesar 278 per 100.000 kelahiran hidup. 3. Ratio kematian ibu secara berurutan dari yang tertinggi menurut region adalah :

• Region Sulawesi (459/ 100.000 kelahiran hidup)

• Region IBT (434/100.000 kelahiran hidup)

• Kalimantan (340/100.000 kelahiran hidup)

• Sumatera (261/100.000 kelahiran hidup)

• Jawa Bali (227/100.000 kelahiran hidup) Indonesia : 278/100.000 kelahiran hidup.

4. Terdapat disparitas pada ratio kematian ibu di 5 region, namun antara Region Sulawesi dengan Region IBT hanya terdapat sedikit perbedaan, sehingga bila region pada IBT antara Nusa Tenggara dengan Maluku dan Papua terpisah kemungkinan bisa terjadi salah satunya mempunyai jumlah kematian ibu yang lebih tinggi dari Region Sulawesi.

5. Penyebab kematian ibu direk sebesar 77,2 %, sedangkan kematian ibu indirek sebesar 22,8%.

6. Pada Region Jawa-Bali dan IBT, penyebab indirek lebih tinggi dibanding region lainnya. Indirek pada Region Jawa Bali lebih banyak disebabkan oleh kasus kardiovaskular dan kasus TB, sedangkan pada Region IBT lebih banyak disebabkan oleh kasus TB dan kasus Malaria.

7. Pola penyebab kematian di 5 region berdasarkan kelompok penyebab kematian tidak terdapat perbedaan. Penyebab kematian ibu tertinggi pada 5 region adalah hipertensi dalam kehamilan (HDK) sebesar 32,4% dan perdarahan post partum (PPP) sebesar 20,3%.

8. Terdapat konsistensi antara ratio kematian ibu yang tinggi (data SP2010) dengan pelayanan kinerja yang rendah (Data Riskesdas 2010) dan ketersediaan alat dan obat yang rendah (Data Rifaskes 2011). 9. Region Sulawesi mempunyai ratio kematian kasus HDK tertinggi dan konsisten dengan hasil cakupan

pelayanan kinerjanya, yaitu pemeriksaan nakes, kualitas kunjungan ANC K4, persalinan oleh nakes yang terendah dibanding region lainnya (Data Riskesdas 2010), disertai dengan tenaga terlatih paling sedikit, kelengkapan obat lengkap rendah, dan dari 9 kriteria PONEK, 6 kriteria terendah berada pada Region Sulawesi (Data Rifaskes 2011)

10. Ratio kematian ibu karena HDK tertinggi pada Region Sulawesi dan konsisten dengan hasil kualitas cakupan pada pemeriksaan ANC, tidak diperiksa urin, dan tidak diperiksa darah juga tertinggi di region ini dibandingkan dengan region lain.

11. Pemeriksaan urin menjadi indikator penting sebagai upaya preventif agar tidak terjadi kematian ibu akibat komplikasi yang parah.

12. Ketersediaan obat HDK menjadi sangat penting untuk menekan case fatality rate (CFR) pada HDK. 13. Pada kasus HDK, 0-48 jam pasca persalinan merupakan masa kritis yang harus diwaspadai pada

perawatan. Upaya melengkapi obat HDK pada PONED dan PONEK harus menjadi prioritas.

14. Ratio kematian ibu karena PPP tertinggi di Region IBT dan konsisten dengan hasil kinerja pelayanan yang berupa cakupan kunjungan nifas yang terendah dibandingkan region lain.

15. Case fatality rate (CFR) PPP dapat dicegah dengan penyediaan dan kelangsungan stok darah.

16. Walaupun cakupan ANC, K4, Linakes dan kunjungan nifas (KF) baik, tetapi jika persalinan tidak dilakukan di fasilitas kesehatan yang dapat menyediakan darah secara cepat tidak lebih dari 1 jam, maka kematian karena komplikasi perdarahan post partum sulit dihindari.

17. Khusus pada tersedianya tenaga dokter kandungan yang tinggi, seperti pada Region Sulawesi tidak menjamin ratio kematian ibu rendah, karena tersedianya SDM tanpa adanya kompetensi dari fasilitas RS dan SDM, kematian ibu akan tetap tinggi.

18. Terdapat kesenjangan sarana dan fasilitas PONED dan PONEK di 5 region.

19. Secara keseluruhan, disparitas yang terjadi antar region erat kaitannya dengan akses dan kualitas layanan.

• Menurunkan AKI dengan mengurangi disparitas akses dan kualitas pada layanan kesehatan ibu • Pada kondisi fasilitas yang minimal, maka diperlukan improving coloboration

• Diupayakan pencegahan kehamilan sebelum usia 20 tahun dan setelah 35 tahun, tetapi bila terjadi kehamilan pada usia tersebut diperlukan peningkatan cakupan dan pelayanan ANC yang lebih baik. • Case fatality rate pada HDK dan PPP sangat tinggi, sehingga upaya yang utama adalah preventif. • Upaya preventif :

- Terjamin pemeriksaan urin dan tekanan darah dan darah yang berkualitas - Fungsi laboratorium ditingkatkan

• Upaya kuratif :

- Tersedianya obat eklampsia di Puskesmas dan Rumah Sakit - Akses tranfusi darah dipermudah

- SC/vakum: upaya mengurangi kejadian kematian

• Berdasarkan regulasi, Pemerintah bertanggung jawab terhadap kebijakan peningkatan kualitas dan akses layanan darah. Untuk itu perlu ditingkatkan kerjasama Komite Nasional Pelayanan Darah dengan lintas sektor lainnya dalam upaya terjaminnya kesediaan darah.

• PONED dan PONEK harus menjamin atau berprinsip pada 3A (available, accesible and aceptable) • Penelitian lanjutan yaitu intervensi HDK dan PPP sebagai operasional research–implementasi research.

1 UNFPA. 2012. Akses Universal untuk Pelayanan Kesehatan Reproduksi: Pekerjaan Rumah yang Belum Tuntas. Dalam rangka Hari Kependudukan Dunia 11 Juli 2012. Jakarta : UNFPA

2 UNFPA. 2011. Laporan Hasil Kajian Pelaksanaan Program Jampersal di 6 Kabupaten (A Working Document). Jakarta : UNFPA dan Kemenkes RI

3 UNDP. Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia. Tujuan 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu. Jakarta : UNDP

4 Afi fah, Tin., Tejayanti, Teti., Usman, Yuslely., et al. Laporan Awal Penelitian Studi Tindak Lanjut Data SP2010 untuk Mendapat Penyebab Kematian Maternal dan Penilaian Daerah Sistem Regristrasi. Jakarta : Badan Litbangkes RI

5 WHO. 2007. Dibalik Angka. Pengkajian Kematian Maternal dan Komplikasi untuk Mendapatkan Kehamilan yang Lebih Aman. Jakarta : WHO

6 Hartanto,Wendy.2012. Presentation in Bangkok.

7Soemantri, Soeharsono. 2012. General Death Completeness (Brass Growth Balance Method) by Diff erent Set Data Fitting.

8 Bappenas. 2009. Pembangunan Kesehatan dan Gizi di Indonesia. Overview dan Arah Ke Depan, Background Study RPJMN 2010-2014, hal.235. Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional

9 WHO. 2010. Packages of Interventions for fammily Planning, Safe Abortion care, Maternal Newborn and Child Health.

10 Harrison, K.A. 1985. Child bearing, Health and Social Prioritis.A survey of 22.774 consecutive births in Zaria, Northen, Nigeria. British Journal of Obtetries and Gynecology.

11 Santoso, Budi Iman. 2012. Kinerja IGD Obstetri-Ginekologi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Jakarta : JNPK RSUP Cipto Mangunkusumo

12 Neutra, R.A. 1973. Cases control study for estimating the risk of eclampsia in call, Colombia.Am.J. Obstetry Gynaecology:894-903

13 Royton, Erica. 1989. (Division of Family Health Word Health , Organization), Geneva, Switzerland & Sw. Amstrong(freelance Journalis London, England)

14 Balitbangkes. 2010. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

15 Kemenkes RI. 2010. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

16 Balitbangkes. 2011. Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) tahun 2011. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

17 Bappenas. 2010. Summary of The Roadmap to Accelerate Achievement of The MDGs in Indonesia. Jakarta : Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional

18 Kemenkes RI. 2010. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

19 Kemenkes RI. 2010. Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) Tahun 2011. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

20 Hill, Kenneth. 2001. Measuring Maternal Mortality from a Census: Guidelines for Potential Users. Measure Evaluation Manual Series No.4. USA: WHO, Measure Evaluation, USAID.

Dokumen terkait