• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Landasan Teor i

2.1.1. Sur at kabar

“Setiap masyarakat membutuhkan berita”, kata penulis Inggris Dame Rebecca West, “seperti orang membutuhkan mata, ia ingin tahu segala sesuatu yang terjadi”. Tapi berita tidak selamanya demikian, menurut William Radolf Hearts salah satu tokoh penerbitan di Amerika punya sinisme. Berita, menurutnya ialah seseorang yang menghentikan sesuatu yang hendak dicetak, karena iklan lebih penting (Santana, 2005:86).

Dua hal tersebut menyertai perkembangan dunia surat kabar modern. Sejalan dengan daya rengkuhnya terhadap jutaan pembaca di berbagai belahan dunia, serta persaingannya dengan radio dan televisi. Teknologi elektronik yang memasok televisi hampir di setiap rumah, ikut mendorong perkembangan proses percetakan surat kabar. Kehadiran televisi membuat kemunculan Koran atau surat kabar di bagikan secara gratis (di Negara – Negara Eropa dan Amerika). Iklan telah menutup biaya produksi cetak (Santana, 2005:86)

kesegarannya, karakteristik headline – nya dan keaneragaman liputan yang menyangkut berbagai topik isu dan peristiwa. Hal ini terkait dengan kebutuhan pembaca, akan sisi menarik informasi yang ingin dibacanya dari surat kabar yang menjadi langganannya. Walau demikian surat kabar bukan sekedar pelopor kisah – kisah human interst dari berbagai peristiwa (Santana, 2005:85).

Pada abad ke – 19, surat kabar independent pertama memberikan kontibusi signifikan bagi penyebaran keaksaraan – membuat khalayak keluar dari buta huiruf – dan berbagai konsep hak asasi manusia dan kebebasan demokratis. Surat kabar terus menerus mengasah pandangan – pandangan ihwal “global village”, perkampungan dunia di akhir abad ke – 20. Setiap kejadian internasional terkait erat dengan kepentingan tiap orang di belahan dunia manapun ia berada. Setiap kisah tragedi perseorangan menjadi milik tiap orang untuk mempersoalkannya ke dalam drama persoalan internasional (Santana, 2005:87).

Asumsinya, setiap orang memiliki hak untuk mengetahui segala pernak – pernik kejadian. Karena dari bekal informasi itulah setiap orang dapat turut urun rembuk – berpatisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mendapatkan kepastian informasi dan kemampuan urun rembuk tersebut, tiap orang membutuhkan wartawan surat kabar yang bertugas

sebagai wakil masyarakat untuk mencari dan memberi tahu tentang segala peristiwa yang terjadi dan dibutuhkan masyarakat. Pada sisi inilah, mengapa wartawan memiliki hak untuk “tahu” pada segala informasi publik, dan diberi keleluasaan untuk mencari ke mana pun informasi itu berada. Sebab, wartawan bertanggung jawab pada kebutuhan masyarakat akan informasi yang ada di lingkungannya (Santana, 2005:87).

Surat kabar harian sendiri terbit untuk mewadahi keperluan tersebut. Informasi menjadi instrument penting dari masyarakat industri. Maka itulah, surat kabar harian bisa disebut sebagai produk dari industri masyarakat. Di samping itu, dalam bentuknya yang independen (dalam kemandirian), surat kabar biasanya integral dengan perkembangan paham demokrasi di sebuah masyarakat. Hal itu bisa terlihat dari kondisi kebebasan pers yang terdapat pada suatu masyarakat, dan tingkat keaksaraan membuat khalayak keluar dari buta huruf (Santana, 2005:87).

Perkembangan surat kabar sendiri menurut ENCYCLOPEDIA BRITANNICA bisa dilihat dari tiga fase :

1. Fase pelapor yang mengawali penerbitan surat kabar yang muncul secara sporadis, dan secara gradual kemudian menjadi penerbitan yang regular, teratur waktu terbit dan materi pemberitaannya, serta khalayak pembacanya. Berbagai surat kabar, ketika awal terbit di

masyarakat belum benar – benar memahami fungsi media ; ditambah kesulitan membaca huruf – huruf berita cetak, karena keterbiasaan retorika oral jadi penghubung antar individu sosial. Namun, perkembangan masyarakat akhirnya membuat pertumbuhan surat kabar menjadi institusi penerbitan mapan yang diakui masyarakat.

2. Pertumbuhan kemapanan jurnal – jurnal regular yang masih rentan terhadap berbagai tekanan masyarakat. Sistem otokrasi yang masih menguasai masyarakat membuat surat kabar kerap ditekan kebebasan menyampaikan laporan pemberitaannya. Penyensoran terhadap berbagai subjek materi informasinya kerap diterima surat kabar. Setiap pendirian surat kabar mesti memiliki izin lisensi pihak yang berkuasa, semua itu akhirnya mengurangi independensi surat kabar sebagai instrument media informasi.

3. Masa penyensoran telah tiada namun berganti dengan berbagai bentukkan pengendalian. Kebebasan pers memeng telah diperoleh, berbagai pemberitaan sudah leluasa disampaikan. Akan tetapi, system kapitalisasi industry masyarakat kerap jadi pengontrol. Ini dilakukan antara lain melalui pengenaan pajak, penyuapan, dan

sanksi hukum yang dilakukan kepada berbagai media dan pelaku – pelakunya (Santana, 2005;87-88).

2.1.2. Kar tun Editor ial

Kartun Editorial adalah kolom visual sindirin di media massa yang mengomentari berita dan isu yang sedang ramai dibicarakan masyarakat, karena pengaruhnya yang signifisikan. Sebagai editorial visual, karikatur mencerminkan kebijakan dan garis politik, dan ideologi media yang memuatnya (Oetama, 2001;158).

Dalam kebanyakan surat kabar Indonesia penulis tajuk dan pojok sering bergantian. Sebaliknya pengisi karikatur jelas nama dan sosoknya. Karikatur, prosesnya karya kreatif, tetapi barangkali juga bentuk dan sosoknya akhirnya merupakan karya kreasi interaktif ke dalam, yakni dengan sesama rekan wartawan, interktif dengan visi dan nilai bersama lembaga, interakif keluar, dengan lingkungan luar, masyarakat, Negara, juga dengan pemerintah. Sekalipun prosesnya kreasinya interaktif, bahkan tidak pula dapat dilepaskan dari institusi surat kabar yang merupakan panggungnya, bobot pribadi wartawan hadir kuat dan karena itu sang karikaturis menjadi terkenal (Oetama, 2001;159).

Sejak awal abad ke – 18, karikatur dan kartun dikenal sebagai lahan kreatif seniman dank arena sejak semula dimuat di penerbitan, maka

karikatur dapat diperdebatkan karena sifatnya yang kritis, menusuk, cerdas, dan tentunya lucu sedangkan terdapat pertanyaan antara beda kartun dan karikatur. Maka dapat dijelaskan bahwa karikatur lebih mengarah pada sosok tokoh. Sedangkan kartun lebih pada kejadian atau persoalan. Pada kartun, kita melihat semacam summing up, semacam kepadatan dari sosok, peristiwa atau permasalahan. Deskripsi panjang lebar sudah dibaca pada berita, komentar, artikel dan foto. Namun ketika dijumpai sebuah karikatur, aktualitas dan kepadatan peristiwa dan permasalahan itu,terasa sangat intensif dan mengejutkan (Oetama, 2001;160).

Kariakaturis atau kartunis dapat dikategorikan sebagai wartawan. Tentu bukan karena karya mereka dimuat di pentas surat kabar, namun karena karya mereka aktual, seperti wartawan lainnya. Karyanya berupa opini atau komentar, yaitu komentar mengenai sosok pribadi seseorang, kejadian atau permasalahan yang aktual, yang sedang berlangsung, yang sedang menjadi pembicaraan, perhatian dan kerisauan banyak pihak. Sosok pribadi maupun kejadian menjadi lahan pemberitaan seperti komentar atau opini, artikel, pojok, dan foto – foto jurnalistik juga menjadi lahan bagi karikaturis. dengan demikian, maka karikaturis dapat dikatagorikan sama dengan wartawan umumnya, hanya karyanya berupa

humor visual (Oetama, 2001;160).

Kelebihan kartun atau karikatur opini adalah visual, padat, berunsur satir, ada nilai kejelian, kecenderungan berlebihan, mengemukakan atau mengeksploitasi segi – segi tertentu yang khas dan menarik. Ada unsur kritik, memperolok, mengajak bercanda, dan bila berhasil ada faktor kejutan, sesuatu yang oleh kebanyakan orang tidak terbayangkan (Oetama, 2001;160).

2.1.3. Kar ikatur

Karikatur merupakan tanggapan atau opini secara subyektif terhadap suatu kejadian, tokoh, suatu persoalan, pemikiran, atau pesan tertentu. Gambar karikatur merupakan symbolic speech (komunikasi tidak langsung) artinya penyampaian pesan yang terdapat dalam gambar karikatur tidak dilakukan secara langsung tetapi dengan menggunakan bahasa symbol. Dengan kata lain makna yang terkandung dalam karikatur adalah makna yang terselubung. Simbol – symbol dalam karikatur tersebut merupakan symbol yang disertai maksud (signal) yang digunakan dengan sadar oleh orang yang mengirimnya (komuniator) dan mereka yang menerimanya (komunikan) (Van Zoest, 1996;3).

Karikatur menurut Junaedhie adalah gambar kartun yang menggambarkan atau memiripkan subjeknya dengan gaya satiris atau

mengolok –olok. Subjeknya bisa gaya seseorang atau tindakan seseorang (Panuju, 2005;85). Sedangkan karikatur sendiri adalah produk suatu keahlian seorang karikaturis, baik dari segi pengetahuan, intelektual, teknik melukis, psikologi, cara melobi, referensi, bacaan, maupun bagaimana ia memilih topic yang tepat. Karana itu, seseorang bisa mendeteksi tingkat intelektual karikaturis dari sudut ini. Selain itu seorang karikaturis dapat dinilai dari cara mengkritik yang secara langsung membuat orang yang dikritik justru tersenyum (Sobur, 2004;140)

Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam bentuk gambar – gambar khusus. Semula, karikatur ini hanya merupakan selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangan selanjutnya, karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat. Dikatakan kritik yang sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar – gambar lucu dan menarik (Sobur, 2004;140).

Penggambaran suara (onomatopetica) merupakan unsur penting dalam bahasa kartun. Teks ini menirukan suara atau gerak yang selama ini tidak mungkin dituliskan, seperti pedang beradu, gerimis, binatang yang tidak ada di dalam kamus mengaum, dada kena tinju dan sebagainya (Sobur, 2004;141).

kekurangan waktu untuk membaca uraian tajuk dan justru sangat gembira serta merasa memperoleh cukup waktu untuk istirahat dengan menikmati karikatur yang disuguhkan dalam halaman tajuk surat kabarnya. Bertahun – tahun karikatur telah mengembangkan kekuatannya dalam bentuk opini public (Suhandang, 2004;159).

Benyamin Franklin, seorang pembaharu jurnalistik adalah orang pertama yang menerbitkan sketsa “kerjasama atau mati”. Sketsa tersebut menggambarkan ukiran kayu yang berbentuk seekor ular dipotong menjadi delapan bagian, dan tiap bagiannya melukiskan kelompok masyarakat pesisir. Kartunis inggris David Lowe dan kartunis Amerika Bill Mauldin mengatakan bahwa karikatur menyimpan kekuatan sebagai jenis tajuk yang efektif. Setiap tahun penghargaan bidang jurnalistik yang disebut pulizer diberikan kepada kartun terkemuka di dunia. Criteria yang disyaratkan oleh komisi adalah “kartun harus mewujudkan suatu ide yang nyata, memperlihatkan gambar yang bagus, dan memiliki efek gambar yang membongkar, serta memberi pertolongan dalam memecahkan masalah yang dihadapi public.” (Suhandang, 2004:159).

Jean Ramnicianu (1996) mengatakan bahwa seni kartun dan karikatur adalah seni yang sulit , kejam, berbahaya, sekaligus bermanfaat. Disebut sulit karena jenis seni ini menurut sang seniman untuk mencari

kekurangan dan kebutaan suatu masyarakat yang notabene dia sendiri merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Kejam karena tawa (menertawakan orang lain) seolah – olah tawa bukan manifestasi kesenangan belaka, melainkan pertahanan melawan kepedihan. Berbahaya karena menghina atau berkomentar secara tajam, namun disini karikatur adalah cara terbaik dan mudah dipahami atas sesuatu yang tidak normal di masyarakat (Suhandang, 2004;145).

Besarnya fungsi kartun di media sebagai kontrol sosial, maka harian Jawa Pos menyediakan kolom khusus untuk memuat opini. Kolom ini digunakan untuk segala permasalahan yang sedang hangat diperdebatkan dalam masyarakat umum ataupun pada strata elit politik. Opini ini biasa dibuat dalam bentuk artikel, seperti tajuk rencana, dan gambar karikatur. Karikatur di harian Jawa Pos di muat setiap hari selasa,

kamis, dan sabtu, biasa disebut clekit

(http://www.jawapos.co.id/cv/l.html/230208).

Clekit merupakan opini redaksi Jawa Pos yang dituangkan dalam bentuk gambar karikatur yang membahas beragam permasalahan masyarakat seperti masalah social, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, dan lain – lain. Isi pesan dari gambar kartun ataupun karikatur biasanya ditujukan untuk mengkritik kebijakan atau langkah pemerintah

atau lembaga lain terkait usaha atau tindakan yang dilakukan lembaga – lembaga tersebut. Opini yang dibuat merupakan opini yang sifatnya membangun. Tujuan redaksi Jawa Pos memberikan kritik agar terjadi

perubahan kearah perbaikan bersama.

(http://www.jawapos.co.id/cv/l.html/230208). 2.1.4. Kar ikatur Sebagai Kr itik Sosial

Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai sumber kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat, dalam konteks inilah kritik sosial merupakan unsur penting dalam memelihara sistem sosial. Dengan kata lain, kritik sosial dalam hal ini berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan reproduksi sebuah sistem sosial atau masyarakat (Masoed, 1999 : 47).

Kritik sosial juga dapat berarti sebuah inovasi sosial, bahwa kritik sosial menjadi sarana komunikasi, gagasan baru, sembari menilai gagasan yang lama untuk suatu perubahan sosial. Persepsi kritik sosial yang demikian lebih banyak dianut oleh kaum kritis dan strukturalis. Mereka melihat kritik sosial adalah wahana komunikatif untuk suatu tujuan perubahan sosial. Kritik sosial yang murni kurang didasarkan pada peneropongan kepentingan diri saja, melainkan justru melibatkan dan

mengajak masyarakat atau khalayak untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan nyata dalam masyarakat. Suatu kritik sosial kiranya didasarkan pada rasa tanggung jawab bahwa manusia bersama-sama bertanggung jawab atas perkembangan lingkungan sosialnya. (Masoed, 1999 : 49)

Kritik memiliki fungsi taktis dan peranan strategis dalam menumbuhkan berbagai kepentingan dan kebutuhan masyarakat dan pemerintahannya. Kontrol sosial dan kritik sosial merupakan dua sisi dari mata uang yang sama, yang selalu ada di dalam masyarakat manapun. Dengan demikian, apabila kontrol sosial cenderung dipahami sebagai aktivitas pengendalian, kritik sosial cenderung dianggap sebagai aktivitas pembebasan dari segala bentuk kontrol dan pengendalian.

Kritik sosial sebenarnya bagian yang sangat penting dalam kemajuan jalannya pemerintahan, karena kritik menciptakan cambuk bagi pemerintahan agar mampu dan sebisa mungkin mengerti apa yang diinginkan masyarakat dan juga merupakan apresiasi dari masyarakat terhadap pemerintahan, lewat karikatur media cetak yang di produksi para desaigner media dalam hal ini majalah. Kritik sosial sering kali ditemui di dalam berbagai media cetak, seperti surat kabar, majalah dan tabloid. Kritikan-kritikan yang jenaka disampaikan secara jenaka tidak begitu dirasakan melecehkan atau mempermalukan (Wijana, 2004 : 4).

2.1.5. Semiotika

Semiotika adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda – tanda adalah perangkat yang digunakan manusia dalam usaha mencari segala sesuatu dalam kehidupannya. Tanda – tanda hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam system yang bersangkutan (Sobur, 2004:15-17).

Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna menandakan hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda. Konsep dasar tersebut mengikat bersama seperangkat teori yang sangat luas, terkait dengan symbol, bahasa, wacana, bentuk – bentuk non verbal, dan teori – teori yang menjelaskan bagaimana tanda disusun. Secara umum studi tentang tanda merujuk pada semiotika (Sobur, 2004:15-16). Menurut Pines apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah mengajarkan manusia menguraikan aturan – aturan tersebut dan membawanya pada sebuah kesadaran (Sobur, 2001:16).

Lechte mengatakan semiotika adalah teori tentang tanda, lebih jelasnya semiotika adalah satu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana sign “tanda – tanda” dan

berdasarkan sign system “sistem tanda”. Hjelmslev (dalam Christomy, 2001:7) mendefinisikan tanda sebagai suatu keterhubungan antara wahan ekspresi dan wahana isi. Cobley dan Jansz menyebutkannya sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi. Charles Sanders Pierce (dalam Littlejhon, 1996:64) mendefinisikan semiosis sebagai suatu hubungan diantara tanda, objek dan makna. Sedangkan Charles Moris (dalam Segers, 2000:5) menyebut semiosis sebagai suatu proses tanda, yaitu proses ketika sesuatu merupakan tanda bagi berbagai organism (Sobur, 2004:16). Kata “semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti tanda, atau seme yang berarti penafsir tanda. Semiotika sendiri berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika (Kurniawan, 2001:49 dalam Sobur, 2004:17).

Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam factor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode, pesan, saluran komunikasi, dan acuan (Jakobson, 1963 dalam Hoed, 2001:140). Sedangkan semiotika signifikasi memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam konteks tertentu. Pada semiotika signifikasi mengutamakan segi

pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisi (pengetahuan) pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasinya (Sobur, 2004:15).

Sebuah teks apakah itu surat cinta, makalah, iklan, cerpen, puisi, pidato presidan, poster politik, komik, karikatur, dan semua hal yang mungkin menjadi tanda bisa dilihat dalam aktivitas penanda : yakni suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan interpretasi. Tanda dalam pandangan Pierce adalah suatu yang hidup dan dihidupi. Ia hadir dalam proses interpretasi yang mengalir (Sobur, 2004:17).

Pada dasarnya semiosis dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang dapat diberikan. Dalam istilah semiotika sebagai sebuah hubungan antara lima istilah :

Gb. 2.1 Istilah semiotika

S untuk semiotic relation (hubungan semiotic); s untuk sign (tanda); I untuk interpreter (penafsir); e untuk effect (pengaruh); r untuk reference (rujukan); dan c untuk context (konteks) atau conditions (kondisi). (Sobur, 2004:17)

2.1.6. Char les Sander s Pier ce

Pierce menekankan pada hubungan antara tanda, objek, dan peserta komunikasi atau interpretan. Hubungan antara ketiga unsure tersebut untuk mencapai suatu makna (signifikkasi), karena itu hubungan antara ketiga hal tersebut disebut hubungan makna. Bagi Pierce, “is something which stands to somebody for something in some respector capacity.” Pertandaan terhadap suatu makna selalu terdapat dalam hubungan triadic, yaitu sign, object, interpretant. Berdasarkan hubungan ini Pierce mengadakan klarifikasi tanda. (Sobur, 2004:41)

Gb. 2.2 Hubungan Tanda, Objek dan Interpretant Pierce Sign

Tanda yang dikaitkan dengan sign dibagi atas qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, Sinsign merupakan eksistensi actual benda atau peristiwa yang ada tanda. Sedangkan Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda (Sobur, 2004:41).

Berdasarkan objeknya, Pierce membagi atas ikon, indeks, dan symbol. Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kuasal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Sedangkan symbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. (Sobur, 2004:41-42).

Icon

Gb. 2.3 Model Kategori Tanda Oleh Pierce

Berdasarkan interpretant, tanda dibagi atas rheme, dicent sign atau dicisign, dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Dicisign adalah tanda sesuai kenyataan. Sedangkan argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu (Sobur, 2004:42).

Berdasarkan berbagai klasifikasi tersebut, Pierce membagi tanda menjadi sepuluh jenis :

1. Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda.

2. Iconic Sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan. 3. Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman

lansung, secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan sesuatu.

4. Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang sesuatu.

5. Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma atau hukum.

6. Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada objek tertentu.

7. Dicent Indexical Legisign, tanda yang bermakna informassi dan menunjuk subjek informasi.

8. Rhematic Symbol, yakni tanda yang dihubungkan dengan objeknya melalui asosiasi ide umum.

9. Dicent Symbol atau proposition (proposisi), yakni tanda yang langsung menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak.

10.Argument, yakni tanda yang merupakan iferens seseorang terhadap sesuatu berdasarkan alasan tertentu.

(Sobur, 2004:42-43) 2.1.7. Komunikasi Politik

Politik seperti halnya dengan komunikasi yaitu merupakan suatu proses, komunikasi politik melibatkan pembicaraan. Pembicaraan dalam hal ini bukanlah pembicaraan dalam arti sempit seperti kata yang diucapkan melainkan pembicaraan dalam arti kata yang lebih inklusif, yang berarti segala cara orang berrtukar simbol, kata-kata yang dituliskan dan diucapkan, gambar, gerakan, sikap tubuh dan pakaian.

Komunikasi politik itu lebih bermuara sharring (berbagi) simbol, gagasan, kepentingan dan sebagainya diantara sejumlah pihak. Komunikator dalam proses komunikasi politik memainkan peran sosial, terutama dalam

pembentukan opini politik. Mark Roelofs mengemukakan peran komunikator politik sebagai pemimpin public opinion, karena mereka berhasil membuat beberapa gagasan yang mula-mula di tolak, kemudian dipertimbangkan dan akhirnya di terima massa (Ali dalam Marliani, 2004 : 13).

2.1.8. Per siapan SEA GAMES 2011

Pesta Olahraga Negara-Negara Asia Tenggara (Southeast Asian Games) atau biasa disingkat SEA Games adalah ajang olahraga yang diadakan setiap dua tahun dan melibatkan 11 negara Asia Tenggara. Peraturan pertandingan di SEA Games dibawah naungan Federasi Olahraga Asia Tenggara (Southeast Asian Games Federation) dengan pengawasan dari Komite Olimpiade Internasional (IOC) dan Dewan Olimpiade Asia (OCA).

Thailand, Burma (sekarang Myanmar), Malaysia, Laos, Vietnam dan Kamboja (dengan Singapura dimasukkan kemudian) adalah negara-negara pelopor. Mereka setuju untuk mengadakan ajang ini dua tahun sekali. Selain itu dibentuk juga Komite Federasi SEAP Games. SEAP Games pertama diadakan di Bangkok dari 12 sampai 17 Desember 1959, diikuti oleh lebih dari 527 atlet dan panitia dari Thailand, Burma,

olahraga.( http://id.wikipedia.org/wiki/Pesta_Olahraga_Negara-Negara_Asia_Tenggara)

Sejak Palembang ditunjuk sebagai tuan rumah SEA Games lewat perpres pada Oktober 2010. Kota Palembang jadi sorotan karena sejumlah venue (arena) SEA Games XXVI/2011 masih terus dibangun dan belum rampung. pekerja mempersiapkan SEA Games kurang dari setahun. Untuk menyulap rawa menjadi venue berstandar internasional, tidak punya pengalaman dan tidak punya dana. Maka, mengajak pihak ketiga dengan sistem BOT (build, operate and transfer), hibah, CSR (program tanggung jawab sosial perusahaan), serta investasi. Pasti juga ada dari APBN dan sebagian kecil dari APBD.

Pembangunan sarana fisik untuk menggelar SEA Games XXVI di Palembang memerlukan dana Rp 2,2 triliun. Sebanyak Rp 1,6 triliun di antaranya mengandalkan dana pihak ketiga. Sisanya dari APBN dan APBD Sumsel. (http://olahraga.kompas.com/read/2011/10/13/06194777/.)

Hingga hari ini baru lima arena pertandingan SEA Games di kompleks Jakabaring Sport City yang kelar. Ini karena sebagian besar arena baru memasuki tahap akhir, yang ditargetkan rampung akhir bulan ini. Ketua Komite Pembangunan Venue SEA Games Sumatera Selatan,

Dokumen terkait