• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Landasan Teor i

2.1.1 Fotogr afi

Istilah fotografi atau Photography berasal dari bahasa yunani yang terbagi dalam dua kata yaitu Photos yang berati cahaya dan Graphos yang artinya melukis atau menggambar sehingga fotografi adalah sebuah proses melukis dengan cahaya. Jadi dapat diartikan secara terminologi, fotografi dapat diartikan sebagai upaya menangkap citra dari alam kedalam sebuah media yang menghasilkan sebuah gambar. (Andreas Preinger, The Complete Photografer ; Unsur - unsur fotografi, Pahara Prize, 1999). Fotografi merupakan sebuah perjalanan membuat dan mengambil, tidak terbatas hanya sebagai gambar yang diperlihatkan namun bisa memberikan makna dari gambar tersebut.

(http://www.indonesiakreatif.net/index.php/id/news/read/mengurai-sejarah-fotografi-melalui-filosofi-penghayat-cahaya)

Visualisasi yang ditangkap oleh seorang fotografer, dalam setiap suatu kejadian akan direkam dengan baik. Dalam perkembangannya fotografi tidak akan hanya merekam suatu hal - hal yang bersifat dokumentasi tetapi sudah merambah berbagai bidang kehidupan. Kelebihan yang lain dari sebuah foto adalah di bandingkan tulisan adalah foto dapat mempresentasikan kejadian yang direkamnya secara sempurna,

dia menunjukan kembali realitas yang pernah terjadi. Tiada kata yang

mampu menguraikan kembali suatu kejadian sebaik bahasa gambar,

demikian orang mengutarakan tentang sebuah fungsi dari sebuah foto peristiwa yang berhasil.

Pada dasarnya foto adalah sebuah gambar mati atau beku, yang hanya bisa dilihat dan tidak bisa didengar. Foto dapat memvisualisasikan sesuatu dengan lebih konkrit , lebih realitas, lebih akurat dan lebih dramatis. Membuat setidaknya satu gambar mati atau beku dari bagian - bagian suatu persitiwa merupakan tantangan seorang fotografer. Fotografi tak pernah bisa merekonstruksi suatu peristiwa, tetapi dengan pasti foto sanggup membawa orang untuk tertarik, tahu dan mengimajinasikan suatu peristiwa. Fotografi mempunyai keistimewaan dibanding film maupun televisi, dimana foto merupakan ingatan kolektif dunia dan foto mengabadikan sebuah momen yang kemudian menjadi sebuah simbol sekaligus referensi yang tertancap di benak kita. (Roland Barthes dalam bukunya Camera Lucida).

Dalam prosesnya fotografi menghasilkan sebuah foto yang dibentuk oleh dua unsur, yaitu objektifitas dan subjektifitas. Objektifitas di dalam foto dipandang sebagai repersentasi sempurna dari objeknya atau representasi realitas dari kehidupan sehari - hari. Subjektifitas sendiri merupakan bagimana sebuah realitas direkonstruksikan kembali kemudian direpresentasikan dalam bentuk foto (visual).

1. Foto Lanscape adalah sebuah foto yang di dalamnya menggambarkan tentang alam yang mencakup yaitu langit, tanah, air dan unsur - unsur alam lainnya.

2. Foto Still Life adalah sebuah foto yang di dalamnya menggambarkan sebuah benda yang dalm penggarapannya foto tersebut adalah dengan pendekatan seni yaitu menggabungkan antara seni - seni grafis dan fotografi. Misalnya foto iklan dan sebaginya.

3. Foto Dokumenter adalah foto yang di dalamnya menggambarkan sebuah rangkaian peristiwa. Misalnya foto pernikahan, foto perjalan dalam pariwisata, foto pesta ulang tahun dan lain - lainnya.

4. Foto Arsitektur adalah foto di dalamnya menggambarkan bentuk - bentuk bangunan dan lingkungannya.

5. Foto Jurnalistik atau Foto Berita adlah sebuah foto yang menyampaikan informasi atau sebuah foto yang didalamnya menggandung berita atau pesan.

Foto Jurnalistik sendiri dibagi menjadi dua bagian yaitu : a. Foto Spot yang lebih besifat berita.

b. Foto Feeture lebih memberikan informasi yang tidak mudah basi, misalnya foto essai dan foto story.

2.1.2 Fotogr afi dan Objektifitas

Kemampuan tekgnologi kamera merekam sebuah objek dan mehadirkannya kembali dalam sebuah gambar dua dimensi dipandang sebagai bentuk pengulangan waktu dan kejadian. Fotografi menghadirkannya kembali gambar suatu obyek menyerupai obyek aslinya, hal ini didiukung oleh pernyataan Roland Barthes “ Peristiwa yang disampaikan secara terus menerus oleh fotografi sebenarnya hanya terjadi satu kali, fotografi mengulang secara mekanis sesuatu yang tidak dapat diulang secara nyata. (Katalog Pameran Foto “100 x Fream”).

Teknologi fotografi memang terlahirkan untuk memburu obyektifitas, karena kemampuannya untuk menggambarkan kembali realitas visual dengan tingkat presisi yang tinggi. Sejarah fotografi mencatat, sejak masa pra-fotografi pada abad XVI, para astronom memanfatkan kamera obscura untuk merekam konstelasi bintang - bintang secara tepat. Alat bantu ini kemudian digunakan pula untuk bidang - bidang kegiatan lain, termasuk seni naturalisme, dalam abad XVII dan XIX, sebagai mesen gambar yang sangat berguna dalam merekam dan menghadirkan kembali realitas visual. (Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata (Yogyakarta, Galang Prees, 2001).

Begitu objektifitasnya sebuah foto sehingga apa yang tercetak dalam sebuah gambar foto tidak lain adalah objek yang terekam oleh kamera dengan presisi yang sempurna. Fotografi dipercaya tanpa syarat apapun untuk sebagai pencerminan kembali realitas. Sampai sekarang

asumsi itu masih berlaku dalam kehidupan sehari - hari, sebuah foto secara praktis dapat menghadirkan kembali ralitas visual dan diterima sebagai realitas itu sendiri.

2.1.3 Fotogr afi dan Subyektifitas

Sebuah foto tidak menghadirkan realitas hanya seperti tampak visualnya, yang memang akan tampak analog terhadap objeknya, tapi dalam kontingensinya sebuah foto berada dalam keserbamungkinan penafsiran subyek yang memandang foto itu. Keberadaan sebuah foto tidak ditentukan oleh apa atau siapa objeknya, melainkan oleh bagaimana subyek memandang kemudian mendapat dari dan memberikan makna kepada foto tersebut.

Subyektifitas dalam sebuah foto yaitu seorang fotografer melihat dan memaknai sebuah objek yang kemudian direperesentasikan dalam seebuah foto. Persepsi yang merupakan sebuah rangsangan indrawi akan menentukan bagimana fotografer itu sendiri memaknai objek apa yang akan direkamnya. Mata fotografer yang melihat suatu objek merupakan wacana pengetahuan yang diwakili oleh sebuah kamera dalam rekamannya. Dunia adalah totolitas ide - ide sunyektifitas, pengalaman tidak datang dari dunia luar subyek melainkan hanya kerena subyek mengamatinya.

Dibalik sebuah foto ada gagasan atau ide seoarang fotografer yang melatar belakangi munculnya gambar dari sebuah kamera, sedangkan apa

yang menjadi objek dalam sebuah foto adalah apa yang dilihat oleh fotografer sehingga subyektifitas dan objektifitas akan berlaku dan keduanya sama - sama ada dalam sbuah foto. Subyektifitas dan objektifitas yang ada didalam sebuah foto pada akhirnya melahirkan pemaknaan lain dan seterusnya di maknai berbeda pula bagi yang memandangnya.

Namun demikian, para penikmat foto tidak akan selalu menangkap realitas yang sama dengan fotografernya dalam sebuah foto. Sebuah foto hanya menampilkan proses akhir dari suatu subyektifitas dan objektifitas sebuah foto yang pada akhirnya melahirkan pemaknaan lain pada sebuah foto diluar subyek dan objek foto itu sendiri.

2.1.4 Foto Essai

Cara bercerita atau berkomunikasi melalui gambar telah dikenal sejak jaman mesir kuno yang tertoreh pada dinding - dinding makam. Di dalam fotografi, foto esaai di awali oleh Mathew Brady yang merekam perang Crimean akhir abad ke-18. Sejak itu foto essai mulai berkembang sebagai alternatif cara bercerita atau bertutur. Pada awalnya, foto - foto tersebut tampil sebagai kumpulan foto yang tidak beraturan dan tidak tersusun sehingga tidak dapat bercerita secara runtut. Barulah pada tahun 1915, The Illustrated London News menampilkan perang dunia 1 dalam bentuk essai,dengan memperhitungkan tata letak (walaupun berbentuk mozaik).

Kata essai berasal dari bahasa latin kuno, exagium yang kemudian menjadi exigere = (menimbang dan menguji) yang selanjutnya dimanfatkan orang Perancis yang bermakna hampir sama, menjalani ujian, ternyata didalam salah satu bidang fotografi menjurus pada suatu ujian yang harus dilakukan sang fotografer menyajikan sejumlah foto terbaiknya secara menyeluruh. (Don Hasman, Essai foto tentang Petualangan arikel dalam Dikjut JUFOC 2003). Foto essai secara umum mempunyai sifat yang sama dengan tulisan essai yaitu mengandung opini dari sudut pandangan tertentu.

Defininsi sederhana foto essai adalah menampilkan rancangan sejumlah foto secara berurutan yang masing - masing saling menguatkan yang didalmnya tercetus dari ide - ide awal. Juga opini pribadi sang fotografer ikut “melahirkan” suatu realita. Opini visual yang mencoba ditampilkan secar utuh dan menyeluruh itu harus mampu menceritakan kondisi dari suatu peristiwa maupun yang tidak ada kaitannya dengan foto berita (jurnalistik). Hambatan terbesar pada waktu itu adalah peralatan kamera yang besar dan berat, serta lensa yang berbukaan kecil, mengakibatkan sebagian besar foto tampil adalah foto serdadu mejeng.

Pada tahun 1925, ketika kamera format kecil ditemukan, dengan lensa yang mampu merekam lebih leluasa pada kondisi cahaya yang minim, terbukalah kemungkinan untuk menampilkan aktifitas manusia seperti apa adanya. Karya - karya fotografi candid pun mulai

bermunculan, tokohnya Erich Solomon, untuk pertama kalinya potensi sebenarnya dari sebuah foto essai yang mulai diekploitas.

Dalam foto essai, tata letak tidak tergantung dari urutan - urutan pengambilan foto. Jadi, foto yang mana saja bisa dipakai sebagai pembuka, asalkan memenuhi prasyarat, menarik perhatian dan memiliki muatan pesan. Menggarap foto essai diperlukan jurus untuk fotografer mengerjakan foto essai tersebut, kesabaran, ketekunan kecekatan dan pengetahuan tersendiri. Selain itu dibutuhkan sebuah penelitian terlebih dahulu di dalam merancang sebuah rencana kerja yang matang dan terperinci.

Menciptakan sebuah foto essai, seorang fotografer tidaklah boleh terbatasi keleluasaannya oleh waktu, untuk mencurahkan segala kreatifitas dan keterampilanya dalam menggarap sebuah foto essai, yang baik dan memiliki cita rasa dan dokumentasi yang tinggi. Untuk mewujudkan kreatifitas yang baik seorang fotografer mutlak harus menguasai secara teori dan praktek segala teknik dasar fotografi. Selain itu juga sebaiknya memahami pengetahuan psikologi dan ilmu pengetahuan yang lainnya, serta memiliki teknik pendeketan yang mampu membuat orang yakin dan terpesona, itu merupakan prasyarat mendasar yang dapat dipelajari.

2.1.5 Essai Foto Sebagai Car a Ber komunikasi

Membuat sebuah foto essai yang berkualitas rupanya memang tidak terlalu sederhana. Selain harus dilengkapi bahan riset yang cukup,

yang menjadi pedoman utama sang fotografer harus memiliki konsep dan untuk final touchnya dilakukan setelah pesiapan matang. Namun harus ditekankan pula bahwa sebuah foto essai tidak selalu berangkat dari suatu permasalahan yang besar. Sebgai contoh hadiah Pulitzer tahun 1980, jatuh pada foto essai karya Sketer Hagler dari Dallas Time yang mengangkat foto kehidupan para pengembala sapi di Amerika Serikat. Hagler pun mampu menceritakan kehidupan para pengembala sapi tersebut secara jelas dan menarik. (Foto Media Loc.id hal 43).

Maitland Edey, Editor dan staf Redaksi majalah Life, dadalm bukunya The great Photographic Essay From Life menyatakan essai foto merupakan bentuk yang paling kompleks dan karena itu paling menantang. Pekerjaan ini melibatkan hanya fotografer sekaligus editor sekaligus tata letak atau desainer layout.

Dalam menggarap sebuah essai foto memiliki peraturan dan dibutuhkan seleksi yang tepat, agar foto - foto tersebut mampu bercerita dalam sebuah tema. Dalam masalah yang akan diangkatan seyogyanya secara keseluruhan dapat ditampilkan lebih utuh, lebih dalam, lebih imajinatif dan lebih menyentuh dibandingkan dengan yang dicapai melalui foto tunggal. Cara penuturan pun beragam pula, secara kronologis, tematik atau apa saja, essai foto bentuknya fleksibel yang terpenting dalam keseluruhan foto - foto tersebut saling memperkuat tema.

Kualitas sebuah foto tidak ditentukan pada jumlah fotonya. Melainkan pada bagimana keterkaitan sebuah foto dengan foto yang

lainnya. Pada tahun 1917, seorang fotografer majalah life, Eugine Smith, menyatakan membuat essai foto yang berkualitas adalah membuat beberapa foto dengan perencanan yang amat ketat. Sebenaranya dapat kita katakana bahwa sebuah essai foto telah selesai pada saat baru kita rencanakan.

Pemotretan yang dilakukan hanyalah semacam final touch saja walaupun demikian tak jarang terjadi sedikit perubahan sekenario yang telah disusun akibat situasi, kondisi dan kenyataan yang terjadi atau ditemui di lapangan. Dalam sebuah diskusi fotografi atau workshop, seorang fotografer prefisional di bidang fotografi jurnalistik, Herasmus Huis World Press Photo Poundation (WPP) dan Shahdiul Alam director foto agency “DIRK” menyimpulkan bahwa foto essai terdiri dari foto :

1. Foto pembuka yang bersifat establish (membawa pembaca ke konteks cerita)

2. Portrait (untuk membuat link antara pembaca denagan cerita)

3. Detail Shoot (sesuatu yang tidak terlihat tetapi dapat menunjukakan langsung ke konteks cerita)

4. Foto yang menampilkan hubungan antara subjek utama dengan lingkungan

5. Foto Penutup

Secara umum foto essai disusun menjadi sebuah foto cerita yang mempunyai narasi atau plot - line. Foto pembuka haruslah (eye catching)

sehingga menarik minat pembaca untuk mengetahui selanjutnya yang membangun badan cerita dan mengiringi pemirsa ke foto puncak yang biasanya dicetak besar yang berfungsi sebagai pengikat, sekaligus memperluas kedalam dan arti, serta berfungsi sebagai penutup cerita dan tak selalu dipasang besar.

2.1.6 Pesan Sebagai Penafsir an Lambang

Komunikasi adalah sebuah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Pesan adalah keseluruahan dari apa yang disampaikan oleh komunikator. Sebagai penafsiran lambang menurut Clevenger dan Matthews dalam teori - teori komunikasi, Pesan merupakan peristiwa simbolisasi yang menyatakan suatu penafsiran tentang kejadian fisik baik oleh Komunikator maupun Komunikan, (Aubrey Fisher, 1990:370). Pesan sendiri mempunyai beberapa bentuk dan sifat menurut A.W Widjaja, (1986-14-15) yaitu bersifat :

1. Informatif adalah proses memberikan keterangan - keterangan dan kemudian komunikan dapat mengambil kesimpulan sendiri.

2. Persuaisif adalah proses bujukan, yakin membangkitkan pengertian dan kesadaran seseorang bahwa apa yang kita sampaikan akan memberiakan rupa pendapat atau sikap sehingga ada perubahan, tetapi perubahan yang terjadi atas kehendak sendiri.

3. Coersif adalah proses memaksa dengan menggunakan sanksi - sanksi. Dapat berbentuk perintah, instruksi, agitasi dan sebagainya. Pesan merupakan sebuah rangkaian isyarat atau symbol yang diciptakan oleh seseorang untuk saluran tertentu dengan harapan bahwa pesan itu akan mengutarakan atau menimbulkan suatu makna tertentu dalam diri orang lain yang hendak diajak berkomunikasi, (Kincaid dan Schramm, 1981:99)

2.1.7 Konsep Makna

Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan istilah yang membingungkan. Dalam bukunya The Meaning of

Meaning, (Ogden dan Ricards dalam Kurniawan, 2008 : 27) telah

mengumpulkan tidak kurang dari 22 batasan mengenai makna.

Makna sebagaimana dikemukakan oleh Fisher (dalam Sobur 2004 : 248), merupakan konsep yang abstrak yang telah menarik perhatian para ahli filsafat dan para teoritis ilmu social selama 2000 tahun silam. Semenjak Plato mengkonseptualisasikan makna manusia sebagai salinan “ultarealitas”, para pemeikir besar telah sering mempergunakan konsep itu dengan penafsiran yang sangat luas yang merentang sejak pengungkapan mental dari Locke sampai ke respon yang dikeluarkan dari Skinner. “tetapi”, kata Jerold Katz dalam Kurniawan, 2008 : 47), “setiap usaha untuk memberikan jawaban yang langsunng telah gagal. Beberapa seperti

misalnya Plato, telah terbukti terlalu samar dan spekulatif. Yang lainnya memberikan jawaban salah”.

Menurut Devito, makna terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. “Kita” lanjut Devito, menggunakan kata - kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata-kata ini secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan akan sangat berbeda dengan makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk memproduksi dibenak pendengar dan apa yang ada dalam benak kita.

Ada tiga hal yang dijelaskan para filusuf dan linguis sehubungan dengan usaha menjelaskan istilah makna. Ketiga hal tersebut adalah (1) menjelaskan makna secara alamiah, (2) mendeskripsikan secara alamiah, (3) menjelaskan makna dalam proses komunikasi (Kempson dalam Sobur, 2004 : 258).

Ada beberapa pandangan yang menjelaskan teori atau konsep makna. Model konsep makna (Johnson dalam Devito 1997 : 123-125) sebagai berikut :

1. Makna dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata-kata-kata untuik mendekati makna yang ingin kita komunikasikan, tetapi kata-kata itu tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan. Komunikasi

adalah proses yang kita gunakan untuk memproduksi dibenak pendengar apa yang ada dalam benak kita dan proses ini adalah proses yang bisa salah.

2. Makna berubah. Kata-kata relatif statis, banyak dari kata-kata yang kita gunakan 200 atau 300 tahun yang lalu. Tetapi makna dari kata-kata ini dan berubah dab ini khusus yang terjadi pada dimensi emosional makna.

3. Makna menbutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komunikasi mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal.

4. Penyingkatan berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat dengan gagasan bahwa acuan tersebut kita butuhkan bilamana terjadi masalah komunikasi yang akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkan acuan yang diamati. Bila kita berbicara tentang cerita, persahabatan, kebahagian, kejahatan dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannnya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara.

5. Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu kebanyakan kita mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila ada

sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi.

Makna yang dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian bersifat multi aspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut yang tetap tinggal dalam benak kita, karenanya pemaknaan yang sebenarnya mungkin juga merupakan tujuan yang ingin kita capai tetap tidak pernah tercapai (Sobur, 2003 : 285-289

2.1.8 Pemaknaan War na.

Warna dapatkan didefinisikan secara obyektif atau fisik sebagai sifat cahaya yang dipancarkan atau secara subyektif atau psikologi dari pengalaman indra pengeliatan. (Sanyoto : 9) Warna adalah suatu gelombang atau getaran tertentu yang diterima mata (retina) karna adanya sinar yang langsung diterima mata tanpa adanya cahaya, semua gelap dan menjadi tak berwarna).

2.1.8.1 Klasifikasi War na ber dasar kan Sepektr um War na 1. War na Pr imer

Warna primer merupakan warna petama atau warna pokok, disebut warna primer karena warna tersebut dapat digunakan sebagai pokok percampuran untuk memperoleh warna - warna lain. Termasuk sebagai warna primer adalah : biru, merah dan kuning. Dalam dunia percetakan

warna pokonya adalah CMYK (cyan, magenta, yellow, key sebagai warna

pengunci atau juga bisa disebut black)

2. War na Sk under

Warna skunder atau warna kedua adalah warna jadian dari percampuran dua warna primer atau pokok. Termasuk warna sekunder adalah : jingga atau orenge (pencampuran warna merah dan kuning), ungu atau violet (pencampuran warna merah dan biru), warna green atau hijau ( pencampuran warna biru dan kuning). Ketiga warna sekunder tersebut sering disebut warna standar.

3. War na Tersier

Warna tersier atau warna ketiga adalah warna percampuran dari dua warna sekunder atau warna kedua. Termasuk di dalam warna tersier adalah : coklet dan kuning (disebut juga siena mentah, kuning tersier,

yellow ocher atau olive, yaitu percampuran warna jingga dan hijau), coklt

merah (disebut juga siena bakar, merah tersier, burnt siena atau red brown, yaitu percampuran warna jingga dan ungu), dan coklat b iru (disebut juga siena sepia, biru tersier, zaitun atau navy blue, yaitu percampuran warna hijau dan ungu).

4. War na Komplementer

Warna - warna yang saling berlawanan di dalam lingkaran warna merupakan warna yang komplementer. Warna - warna komplementer selalu berlawanan secara kontras dan jika tercampur, makan akan dihasilkan warna abu - abu netral. Misalnya ungu dan kuning, merah

dengan hijau, biiru dengan orange, dsb. Warna komplementer dapat menetralkan intensitas warna yang terlalu kuat.

5. War na Analogus

Warana – warna yang mempergunakan terang gelap dan intensitas dari warna terdekat, misalnya kuning kehijauan, kuning oreng (dominasi kuning), dsb. Sekalipun lebih berwarna dari pada monocrhomatic, namun warna analogus juga menciptakan keharmonisan dan suasana hati yang tenang karena hubungan yang dekat antara warna - warni yang dipakai.

2.1.8.2 Klasifisikasi War na ber dasa r kan Gambar 1. War na Monochr ome

Warna yang menambahkan atau mengurangi intensitas dari satu warna saja. Warna yang memeliki satu warna (moncrhome), warna kedalamnya tergambarkan pada kwalitas warna terang atau gelap. Warna

monochrome tidak mempresentasikan suatu kenyataan atau realitas yang

ada, namun mengidentifikasi sebuah keseimbangan antara cahaya dan juga gelap dari sebuah objek, bukan warna - warni objek yang sesungguhnya ataupun gradasi dari berbagai warna - wani tersebut. Warna monochrome memeberi kesan dari sebuah warna, memeberikan kesab kelonggaran dan kebebasan bagi pengamatnya untuk memiliki imajinasi tentang objek gambar serta partisipasi di dalam memahami objek.

2. Warna Polychrome atau Optical Color

Warna yang digunakan banyak kandungan warna yang dicampurkan, tidak semata - mata menambah intensitas dan kuat lemahnya seperti halnya monochromatic. Polychrome membuat objek menjadi lebih realis dan ekspresif sebab pencampuran warna didasarkan kepada warna - warna yang sesungguhnya dilihat.

2.1.8.3 Klasifikasi War na ber dasar kan Sensasinya

1. Warna - warna panas atau (hot). Termasuk diantaranya : warna merah, kuning dan percampuran - percampuran di antaranya. 2. Warna - warna dingin atau (cold). Termasuk diantaranya yaitu :

biru dan hijau serta kombinasi - kombinasi di antaranya.

3. Warna - warna netral atau (neutral). Termasuk diantaranya yaitu :

Dokumen terkait