• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENERAPAN HUKUM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN

A. Posisi Kasus

5. Putusan

b. Bahan hukum sekunder, yaitu kajian teoritis yang berupa pendapat hukum, ajaran atau doktrin dan teori hukum sebagai penunjang bahan hukum primer yang diperoleh dari hasil penelitian, buku teks, jurnal ilmiah serta penelusuran penulis mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penulisan karya ini di internet.

c. Bahan hukum tersier dan atau bahan non hukum yaitu bahan penelitiana yang dapat menjelaskan bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, yaitu berupa kamus dan dokumen non hukum lainnya38

4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah prosedur sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode mengumpulkan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan.

37 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 156

38 Ibid, hlm, 158

Masalah memberi arah dan mempengaruhi metode pengumpulan data.

Penelitian ini menggunakan Penelitian Hukum Normatif, oleh karena itu Teknik Pengumpulan Data yang digunakan adalah studi Kepustakaan (Library Research) yaitu dengan membaca dan mempelajari berbagai macam literatur yang berkaitan, kemudian berdiskusi dan mendengarkan masukan yang diberikan oleh ahli dalam bidang pembahasan skripsi ini, serta banyak melakukan penelusuran melalui media internet.

Studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif. Tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya adalah menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. Secara singkat studi kepustakaan membantu peneliti dalam berbagai keperluan, misalnya:

a. Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan.

b. Mendapat metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan.

c. Sebagai sumber data sekunder.

d. Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya.

e. Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan.

f. Memperkaya ide-ide baru.

g. Mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasilnya.

Penelitian studi kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan landasan dalam menganalisa data-data yang diperoleh dari berbagai sumber yang validitasnya terjamin. Sehingga akan diperoleh suatu kesimpulan yang relevan dari pokok bahasan. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi dokumen terkait dengan topik penulisan.

5. Analisis Data

Setelah penulis memperoleh data seperti yang dimaksud diatas, maka selanjutnya pengolahan data yang dilakukan adalah dengan metode analisis kualitatif39 yang mengorganisasikan secara sistematis dan deskriptif bahan-bahan hukum yang kompeten dan berkaitan dengan masalah tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak, sehingga dapat dibaca dan diinterpretasikan. Analisis bahan-bahan hukum merupakan kegiatan menguraikan atau menarasikan, membahas temuan-temuan penelitian yang berkaitan dengan perspektif atau sudut pandang tertentu.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini meliputi:

BAB I (Pendahuluan), Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II (Pengaturan Hukum Tentang Tindak Pidana Penganiayaan Terhadap Seorang Pejabat Ketika Menjalankan Tugas Yang Sah), Berisi

39 Ibid, hlm. 160

tentang analisis terhadap tindak pidana penganiayaan di Indonesia berdasarkan Pengertian, jenis-jenis dan unsur-unsur tindak pidana tersebut serta pengaturan dan ketentuan hukum mengenai Tindak Pidana Penganiayaan terhadap seorang Pejabat yang sedang bertugas menurut hukum positif di Indonesia

BAB III (Penerapan Hukum Tindak Pidana Penganiayaan Terhadap Seorang Pejabat Ketika Menjalankan Tugas yang Sah menurut studi kasus keputusan pengadilan negeri Banda Aceh No. 376/Pid.B/2018/PN Bna), Berisi tentang Kronologis kasus dari putusan diatas serta analisi Kasusnya yang berhubungan langsung dengan penerapan hukum terhadap tindak pidana penganiayaan terhadap seorang pejabat ketika menjalankan tugas yang sah berdasarkan putusan di atas.

BAB IV (Penutup), Berisi tentang kesimpulan dari keseluruhan isi karya tulis ini dan memberikan saran atas skripsi “Analisis Yuridis Terhadap Delik Penganiayaan Terhadap Seorang Pejabat Ketika Menjalankan Tugas Yang Sah (Studi Kasus Putusan Nomor 376/Pid.B/2018/PN Bna).

PENGANIAYAAN TERHADAP SEORANG PEJABAT KETIKA MENJALANKAN TUGAS YANG SAH

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dewasa ini masih berlaku, merupakan produk warisan penjajah Belanda di Indonesia. Bahkan dapat dikatakan bahwa KUHP Indonesia itu sebenarnya sama sekali berasal dari Kerajaan Belanda yang diberlakukan Indonesia dengan beberapa penyesuaian di sana-sini, kemudia diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia secara tidak resmi oleh para ahli hukum di Indonesia. Menurut Soedarto, teks resmi KUHP itu sendiri hingga kini secara formil masih dalam Bahasa Belanda. Hal ini terjadi karena awal pertumbuhan hukum Indonesia modern, sangat banyak ditentukan oleh kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia. Jadi pengaruh Belanda sangat besar dalam hukum Indonesia.40 Dan sebenarnya pada awalnya pemberlakuan peraturan-peraturan hukum warisan Pemerintah Kolonial Belanda tersebut dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum (recht vacuum). Hal ini disebabkan untuk mewujudkan system hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia adalah sangat dibutuhkan pembicaraan yang tidak mudah dan waktu yang sangat panjang.41 Melihat uraian tersebut, maka jelas menunjukkan bahwa KUHP yang berasal dari zaman Hindia Belanda seharusnya tidak bertahan lebih lama lagi karena awalnya hanya bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum pada masa kemerdekaan dan seharusnya sudah diganti dengan

40 Jimly Asshiddiqie, Op.cit, hal 23-24

41 Roni Wijayanto, Op.cit, hal 39

KUHP baru yang sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan dan kebudayaan bangsa Indonesia

A. Pengertian dan Jenis-jenis dari Tindak Pidana Penganiayaan di Indonesia

a. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan

Penganiayaan menurut KUHP merupakan istilah yang dipakai untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun, undang-undang tidak memberikan ketentuan yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan

“penganiayaan” (mishandeling) itu. Namun ada beberapa penjelasan yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk memahami apa yang dimaksud dengan penganiayaan, yaitu dari segi tata bahasa, pendapat ahli, doktrin serta yurisprudensi hukum pidana.

Penganiayaan berasal dari kata “aniaya”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “aniaya” diartikan sebagai perbuatan bengis (seperti penyiksaan, penindasan), sedangkan makna penganiayaan diartikan sebagai perlakuan sewenang-wenang (penyiksaan, penindasan, dan sebagainya).42

Menurut Tirtaamidjaja dalam Andi Hamzah pengertian penganiayaan sebagai berikut:

“Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit

42 Kbbi.web.id,diakses pada tanggal 18 Agustus 2019, pukul 16.00 wib

atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan.”43

Selanjutnya, di dalam doktrin atau ilmu pengetahuan hukum pidana mengartikan penganiayaan sebagai “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.”44

Sedangkan yurisprudensi mengartikan penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka. Perasaan tidak enak misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah atau bisa juga menyuruh orang untuk berdiri di bawah terik matahari. Sedangkan rasa sakit yang dimaksudkan di sini misalnya rasa sakit yang timbul karena mencubit, mendupak, memukul atau menempeleng. Sementara untuk luka dapat berupa luka akibat diiris, potong, atau menusuk dengan pisau

b. Jenis-jenis Tindak Pidana Penganiayaan

Tindak pidana penganiayaan terbagi atas beberapa jenis dan diatur pula secara terpisah dalam setiap pasalnya dengan ancaman yang berbeda dari beberapa jenis penganiayaan tersebut. Adami Chazawi membagi jenis-jenis penganiayaan sebagai berikut :45

1) Penganiayaan Biasa

Dikatakan penganiayaan biasa jika penganiayaan tersebut mengakibatkan rasa sakit, luka atau penderitaan pada diri orang lain

43 Laden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan Prevensinya), (Jakarta: Sinar Grafika, cetakan kedua 2002) hal 5

44 Ibid. hal 6

45 Adami Chazawi, op.cit., hlm. 37.

hingga ia terhalang untuk melakukan aktifitasnya sehari-hari. Tetapi tidak sampai mengakibatkan luka berat atau cacat pada orang lain.

Ketentuan pidana yang mengatur mengenai delik penganiayaan biasa diatur dalam :

Pasal 351 KUHP :

1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah

2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun

4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan orang (5).Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana

Setiap perbuatan yang mengakibatkan luka berat atau mati (ayat (2), (3) Pasal 351 KUHP) harus merupakan perbuatan yang akibatnya tidak dikehendaki atau tidak sengaja oleh pelaku. Jika perbuatan yang mengakibatkan luka berat ini dikehendaki atau disengaja oleh pelaku, maka perbuatan tersebut tidak lagi merupakan perbuatan penganiayaan biasa melainkan sudah beralih menjadi kejahatan penganiayaan berat (Pasal 354).

Sementara itu untuk perbuatan yang dengan sengaja merusak kesehatan orang lain, perlu diketahui bahwa jika merusak kesehatan

itu dilakukan dengan memberi makanan atau minuman yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, maka yang diterapkan ialah Pasal 386 KUHP.46

2) Penganiayaan Ringan

Penganiayaan ringan jika penganiayaan tersebut menyebabkan rasa sakit pada diri seseorang tetapi tidak sampai menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan. Misalnya si A menampar si B tiga kali diwajahnya, si B merasa sakit (pijn) tetapi tidak jatuh sakit (ziek) dan masih bisa menjalankan aktifitasnya sehari-hari.

Ketentuan pidana mengenai penganiayaan ringan termuat dalam : Pasal 352 KUHP ;

1) Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.

2) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

R Soesilo memberikan contoh dari peristiwa penganiayaan ringan sebagai berikut: Misalnya A menempeleng B tiga kali di kepalanya. B merasa sakit (pijn), tetapi tidak jatuh sakit (ziek) dan masih bisa melakukan pekerjaannya sehari-hari, maka A berbuat penganiayaan

46 Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu (Specieale Delicten) di dalam KUHP, (Jakarta:

Sinar Grafika, cetakan kedua 2016) hal 67

ringan. Umpanya lagi: A melukai kecil jari kelingking B (seorang tukang biola orkes), maka meskipun luka itu kecil, tetapi penganiayaan ini bukan penganiayaan ringan, karena B terhalang dalam pekerjaannya.47

3) Penganiayaan Berencana

Penganiayaan dikatakan berencana apabila penganiayaan tersebut dilakukan dengan perencanaan terlebih dahulu dan dalam tindakan penganiayaan tersebut ada pemisahan antara timbulnya kehendak / pengambilan keputusan perbuatan, untuk berbuat dengan pelaksanaan peruatan, baik pemisahan berupa jarak waktu (obyektif) maupun pemisahan suasana batin (subyektif). Ketentuan pidana mengenai penganiayaan berencana diatur dalam :

Pasal 353 KUHP :

1) Penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun

2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan penjara paling lama tujuh tahun

3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pada dasarnya penganiayaan yang dimaksud di sini adalah penganiayaan biasa dalam Pasal 351 KUHP, kemudian ditambah dengan dua akibat yang mungkin ditimbulkannya yakni akibat yang berupa luka berat serta akibat yang berupa kematian. Yang

47 R. Soesilo, Op.cit, hal 246

membedakan Pasal 353 dengan Pasal 351 KUHP adalah terdapatnya unsur direncanakan terlebih dahulu dalam Pasal 353 KUHP. Unsur

“dengan rencana terlebih dahulu” menurut M.v.T (Memorie van Toelichting) adalah diperlukan saat pemikiran dengan tenang dan berpikir dengan tenang. Untuk itu sudah cukup jika si pelaku berpikir sebentar saja sebelum melakukan kejahatan. Sementara Tirtaamidjaja dalam Laden Marpaung menyatakan bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berpikir dengan tenang.48

Jika di dalam Pasal 351 KUHP suatu percobaan untuk melakukan delik tersebut tidak dapat dipidana, maka dalam Pasal 353 percobaan untuk melakukan tindak pidana penganiayaan dapat dihukum.49

4) Penganiayaan Berat

Penganiayaan dikatakan berat jika penganiayaan tersebut melukai berat (zwar lichanilijk letseltoebrengt) atau dapat disebut juga menjadikan luka berat pada tubuh orang lain. Penganiayaan berat mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

1. Kesalahannya : kesengajaan (opzettelijk) ; 2. Perbuatan : melukai berat;

3. Objeknya : tubuh orang lain;

4. Akibat : luka berat.

Ketentuan pidana mengenai penganiayaan berat diatur dalam :

48Laden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan Prevensinya), Op.cit, hal 56

49 R. Soesilo, Loc.cit

Pasal 354 :

1) Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun

2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Penganiaayan berat hanya terbagi dalam dua bentuk yang antara lain; Penganiayaan berat biasa ayat (1) dan penganiayaan berat yang menimbulkan kematian ayat (2). Pada penganiayaan berat dapat menimbulkan kematian. Kesengajaan terhadap kematian dalam penganiayaan berat adalah sama dengan kesengajaan terhadap kematian penganiayaan biasa dan penganiayaan berencana yang menimbulkan kematian, dalam arti bahwa kematian ini tidaklah menjadi tujuan / kematian tersebut dikehendaki sebelumnya.

5) Penganiayaan Berat Berencana

Penganiayaan berat berencana adalah berupa bentuk gabungan antara penganiayaan berat ( Pasal 354 ayat (1) ) dengan penganiayaan berencana (Pasal 353 ayat (1)). Dengan kata lain, suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana. Kedua bentuk penganiayaan ini harus terjadi secara serentak / bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur dari penganiayaan berencana.

Ketentuan pidana mengenai penganiayaan berat berencana diatur dalam :

Pasal 355 KUHP :

1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan berencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

6) Penganiayaan Terhadap Orang-orang Berkualitas Tertentu atau Dengan Cara Tertentu yang Memberatkan.

Bentuk khusus penganiayaan ini, sifat yang memberatkan pidana pada penganiayaan biasa (Pasal 351), penganiayaan berencana (Pasal 353), penganiayaan berat (Pasal 354), dan penganiayaan berat berencana (355), terletak pada 2 hal antara lain :

1. Pada kualitas pribadi korban sebagai : a. Ibunya ;

b. Bapak yang sah ; c. Istrinya ;

d. Anaknya ;

e. Pegawai negeri (a) ketika atau (b) karena menjalankan tugasnya yang sah.

2. Pada cara melakukan penganiayaan, yakni dengan memberikan bahan untuk dimakan atau diminum yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan.

Ketentuan pidana mengenai penganiayaan terhadap orangorang berkualitas tertentu atau dengan cara tertentu yang memberatkan diatur dalam :

Pasal 356 :

Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah sepertiga :

1) Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya atau anaknya ;

2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah ;

3) Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.

Diatur pula dalam Bab XXI (penganiayaan) oleh Pasal 358 KUH-Pidana, orang-orang yang turut pada perkelahian / penyerbuan / penyerangan yang dilakukan oleh beberapa orang. Hal ini sangat mirip dengan Pasal 170 KUHP sebab perkelahian didefinisikan sebagai umunya penggunaan kekerasan dimuka umum.

Pasal 358 KUHP:

Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian dimana terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam :

1) Dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika akibat penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat ;

2) Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika akibatnya ada yang mati.

Sedangkan Pasal 170 KUHP menentukan :

1) Barangsiapa dengan terang-terangan dan tenaga bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan 2) Yang bersalah diancam :

1. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika

2. Kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka ; dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekeresan mengakibatkan luka berat ;

3. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun jika kekerasan mengakibatkan maut.

3) Pasal 89 tidak diterapkan

B. Ketentuan Hukum Mengenai Tindak Pidana Penganiayaan Terhadap Seorang Pejabat yang Sedang Bertugas Menurut Hukum Positif di Indonesia

1. Penganturan Mengenai Tindak Pidana Penganiayaan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Secara umum, Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Tubuh disebut sebagai Tindak Pidana Penganiayaan. Aturan ini dibentuk untuk melindung kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan yang

dapat mengakibatkan timbulnya rasa sakit atau luka, cacat pada tubuh, bahkan sampai mengakibatkan kematian.

Atas unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh ada dua macam, yaitu:

a. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Kejahatan yang dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling), dimuat dalam Bab XX buku II, Pasal 351 s/d Pasal 358.

b. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam Pasal 360 Bab XXI yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan orang lain luka.

a. Kejahatan Terhadap Tubuh Yang Dilakukan Dengan Sengaja 1) Tindak Pidana Penganiayaan Biasa.

Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berbunyi:

1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500.

2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.

3) Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.

4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Sulit untuk merumuskan unsur-unsur yang terdapat pada pasal ini, sebab pasal ini memuat norma yang singkat, yakni perbuatannya serta

sanksi terhadap tindak pidana tersebut. Namun, perlu untuk diketahui apa arti dari penganiayaan agar dapat dipahami bahwa tujuan dari norma ini dibentuk adalah untuk melindungi kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan yang dapat mengakibatkan rasa sakit atau luka.

Berdasarkan doktrin, penganiayaan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a) Unsur subyektif : adanya kesengajaan b) Unsur Obyektif :

(1) Adanya perbuatan;

(2) Adanya akibat perbuatan yang dituju, yakni:

(a) Rasa sakit pada tubuh, dan atau (b) Luka pada tubuh.

Pada ayat (4) pasal ini, diberikan pengertian tentang apa yang dimaksud penganiayaan yaitu “dengan sengaja merusak kesehatan orang”. Andi Hamzah berpendapat bahwa defenisi tersebut kurang tepat, karena ada penganiayaan yang tidak merusak kesehatan orang, misalnya menempeleng, meninju yang tidak keras, dan sebagainya.50

Dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana, berdasarkan sejarah pembentukan dari pasal yang bersangkutan, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atau luka (letsel) pada tubuh orang lain.

Unsur subyektif dalam pasal ini ialah harus adanya kesengajaan.

Kesengajaan di sini menurut yurisprudensi adalah “maksud” sifat

50 Andi Hamzah, Op.cit, hal 94

perbuatan yang mengakibatkan cidera pada badan. Jadi, cukuplah jika dalam surat dakwaan dan pembuktian dikatakan ada kesengajaan terdakwa melakukan perbuatan tertentu.

2) Tindak Pidana Penganiayaan Ringan.

Pasal 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berbunyi:

(1) - Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan Pasal 356, maka penganiayaan yang tidak menimbukkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500,-

- Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja kepadanya atau menjadi bawahannya.

(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk melakukan pekerjaan, jabatan atau pencarian. Jika terhalang menjalankan pekerjaan, maka termasuk penganiayaan (biasa). Dengan demikian jika korban sempat diopname di rumah sakit, berarti terhalang untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencarian.

Dalam rumusan ayat (1) terdapat dua ketentuan, yakni:

a) Mengenai batasan dan ancaman pidana bagi penganiayaan ringan.

b) Alasan pemberat pidana pada penganiayaan ringan.

Batasan penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang:

a) Bukan merupakan penganiayaan berencana (Pasal 353);

b) Bukan penganiayaan yang dilakukan:

1) terhadap ibu atau bapak yang sah, istri atau anaknya;

2) terhadap pegawai negeri yang sedang dan atau karena menjalankan tugasnya yang sah;

3) dengan memasukkan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum (Pasal 356);

c) Tidak (1) menimbulkan penyakit atau (2) halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau (3) pencaharian.

3) Tindak Pidana Penganiayaan Berencana.

Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berbunyi: (1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun;

1) Jika perbuatan itu menimbukan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun;

2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

Pada umumnya, norma yang terdapat dalam Pasal 353 ini sama dengan norma yang sebelumnya sudah diatur dalam Pasal 351, hanya saja pada pasal ini dimuat mengenai pemberatan pidana karena adanya unsur perencanaan terlebih dahulu sebelum melaksanakan tindak pidananya.

Unsur “dengan rencana terlebih dahulu” menurut Memorie van Toelichting adalah sebagai berikut: “diperlukan saat pemikiran tenang dan berpikir dengan tenang. Untuk itu si pelaku sudah cukup berpikir sebentar saja sebelum melakukan kejahatan.” Menurut Mr. M.H.

Tirtaatmadjaja arti “direncanakan lebih dahulu” sebagai berikut: “bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berpikir dengan tenang”. 184

4) Tindak Pidana Penganiayaan Berat

Pasal 354 Kitab Undang-Undang Hukum pidana berbunyi:

(1) Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8 tahun;

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.

Adapun yang menjadi unsur-unsur pada pasal ini ialah sebagai

Adapun yang menjadi unsur-unsur pada pasal ini ialah sebagai

Dokumen terkait