• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas Memenuhi Syarat-syarat Guna. Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas Memenuhi Syarat-syarat Guna. Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh:"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP DELIK PENGANIAYAAN TERHADAP SEORANG PEJABAT KETIKA MENJALANKAN TUGAS YANG SAH

(Studi Kasus Putusan Nomor 376/Pid.B/2018/PN Bna)

SKRIPSI

Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Iman Tondi Ramadhan NIM. 150200510

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)

376/Pid.B/2018/PN Bna) ABSTRAK

Iman Tondi Ramadhan, M. Hamdan, Syafruddin.

*

Dalam kehidupan masyarakat sering ditemui adanya penyimpangan terhadap norma hukum, khususnya hukum pidana. Kejahatan terhadap tubuh merupakan salah satu bentuk kejahatan yang masih sering terjadi. Penganiayaan memiliki beberapa jenis dibagi dari beberapa unsur kejahatannya. Pada kasus ini penganiayaan yang terjadi dilakukan terhadap seorang pejabat yang sedang melakukan tugas yang sah. Berdasarkan pokok pemikiran diatas dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana pengaturan hukum mengenai tindak pidana penganiayaan terhadap seorang pejabat ketika menjalankan tugas yang sah, bagaimana penerapan hukum terhadap pelaku dalam tindak pidana penganiayaan, dan bagaimana analisis yuridis terhadap keputusan hakim terkait. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana pengaturan mengenai tindak pidana penganiayaan terhadap seorang pejabat ketika menjalankan tugas yang sah pada Putusan Pengadilan Negeri Nomor 376/Pid.B/2018/PN Metode yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan pendekatan hukum normatif dengan teknik pengambilan data yaitu penelitian kepustakaan yang menitik beratkan pada data sekunder yaitu memaparkan peraturan perundang-undangan, buku-buku, artikel, majalah/katalog yang berkaitan dengan judul tulisan dan dianalisis secara kualitatif. Pengaturan mengenai tindak pidana penganiayaan dalam hukum pidana positif di Indonesia diatur secara umum dan khusus. tindak pidana penganiayaan secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan terdapat dalam pasal 351 sampai dengan pasal 355, pasal 358 dan pasal 360. Pada kasus yang dibahas dalam tulisan ini pasal yang dikenakan adalah Pasal 351 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 356 Ke-2 KUHP,

Kata Kunci: Delik Penganiayaan, Pejabat

(3)

ABSTRACT

Iman Tondi Ramadhan, M. Hamdan, Syafruddin.*

In people's lives, deviations from legal norms are often encountered, especially criminal law. Crime against the body is a form of crime that still occurs frequently. Persecution has several types divided into several elements of the crime. In this case, the maltreatment occurred against an official who was performing a legitimate task. Based on the above points of thought, several problems were formulated, namely how the legal arrangements regarding the criminal act of mistreatment of an official when carrying out a legitimate task, how the law is applied to the perpetrator in the criminal act of persecution, and how the juridical analysis of the judge's decision concerned. The problem raised in this paper is how to regulate the criminal act of maltreatment against an official when carrying out a legitimate task in District Court Decision Number 376 / Pid.B / 2018 / PN The method used in this writing uses a normative legal approach with data collection techniques, namely library research that focuses on secondary data, namely describing laws and regulations, books, articles, magazines / catalogs related to the title of the article and analyzed qualitatively.

Regulations regarding the criminal act of persecution in positive criminal law in Indonesia are regulated in general and specifically. The criminal act of maltreatment is generally regulated in the Criminal Code and is contained in articles 351 to 355, article 358 and article 360. In the cases discussed in this paper the article imposed is Article 351 Paragraph (1) of the Criminal Code Jo Article 356 2nd KUHP

Keyword: Deliction of Abuse, an Officers

(4)
(5)

atas semua rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis ucapkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah menuntun dan memberikan pedoman kepada kita semua hingga saat ini dan semoga kita semua mendapatkan pertolongan di hari kiamat nanti.

Skripsi ini berjudul “Analisi Yuridis Terhadap Delik Penganiayaan Terdahap Seorang Pejabat Ketika Menjalankan Tugas Yang Sah” yang disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan doa serta motivasi dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.;

2. Bapak Prof. Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.;

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.;

5. Bapak Dr. H.M. Hamdan, SH., MH, selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus Dosen

(6)

6. Ibu Liza Erwina, S.H., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Bapak Syafruddin, S.H., M.H. DFM., selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pemikiran dalam memerikan bimbingan selama proses penyusunan skripsi ini.;

8. Bapak Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum, selaku Dosen Departemen Hukum Internasional dan sekaligus selaku Dosen Penasehat Akademik penulis yang telah memberikan ilmu dan nasehat selama penulis menjalani perkuliahan.;

9. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak Ilmu Pengetahuan Hukum dan mendidik penulis selama di bangku perkuliahan.;

10. Seluruh staf pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.;

11. Terkhusus kepada Kedua Orang Tua, Darry dan Syarita penulis menyampaikan terimakasih dan rasa syukur yang sebesar-besarnya karena telah membesarkan, merawat, dan memberikan kasih sayang serta senantiasa mendoakan penulis dalam menjalani kehidupan ini.;

12. Kepada semua keluarga Opung Tanjung yang telah memberikan dukungan selama ini baik dari segi moril maupun materil kepada penulis.;

13. Fitri Nadiva, Rara Tantawi selaku teman terdekat penulis sedari dulu yang

telah memotivasi dan memberikan semangat kepada penulis di dalam

menyelesaikan skripsi ini;

(7)

sampai saat ini.;

15. Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Departemen Hukum Pidana (IMADANA) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah menjadi bagian keluarga selama penulis memasuki departemen Hukum Pidana.;

16. Teman-teman penulis di Grup B dan juga seluruh stambuk 2015 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Serta seluruh senior-senior, alumni, dan junior mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.;

Medan, Juli 2019 Penulis

Iman Tondi Ramadhan

NIM. 150200510

(8)

ABSTRAK ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 7

1. Pengertian Analisis Yuridis... 7

2. Pengertian Tindak Pidana ... 8

3. Delik dan Jenis-jenisnya ... 20

4. Pengertian Penganiayaan ... 28

5. Pengertian Pejabat Negara ... 29

F. Metode Penelitian... 34

G. Sistematika Penulisan... 38

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP SEORANG PEJABAT KETIKA MENJALANKAN TUGAS YANG SAH ... 40

A. Pengertian dan Jenis-jenis dari Tindak Pidana Penganiayaan di

Indonesia ... 41

(9)

Indonesia ... 51

BAB III PENERAPAN HUKUM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP SEORANG PEJABAT KETIKA MENJALANKAN TUGAS YANG SAH (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDA ACEH NO. 376/Pid.B/2018/PN Bna) ... 64

A. Posisi Kasus ... 64

1. Kronologi Kasus... 64

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 65

3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ... 66

4. Fakta-fakta Hukum... 67

5. Putusan ... 70

B. Analisa Putusan No.376/Pid.B/2018/PN Bna ... 71

1. Analisa Dakwaan ... 71

2. Analisis Tuntutan ... 74

3. Analisis Putusan Hakim No.376/Pid.B/2018/PN Bna ... 74

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(10)

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara Hukum yang hukum-hukumnya berpedoman kepada nilai-nilai Ketuhanan dan bukan negara sekuler atau liberal yang memisahkan antara kehidupan bernegara dengan kehidupan beragama. Nilai-nilai keagamaan serta budaya luhur bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud di atas, meresap ke dalam substansi aturan-aturan hukum yang dibuat oleh bangsa Indonesia, baik itu dalam ranah publik maupun privat. Agar aturan hukum tersebut dapat ditegakkan maka ia akan disertai dengan sanksi.

Apabila saksi hukum lain selain hukum pidana tersebut gagal, hukum pidana haruslah maju kedepan. Hal ini pernah dikemukakan Modderman dengan mengatakn, Negara seyogyanya memidana hal-hal yang bertentangan dengan hukum yang tidak dapat dihambat dengan oleh upaya- upaya lain dengan baik, sehingga pidana tetap merupakan ultimum remedium (merupakan upaya terakhir)

1

. Adapun tujuan pidana menurut Roeslan Saleh yaitu:

2

1. Dari segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan; dan

2. Dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dan reaksi

1

Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian

Kebijakan-kebijakan Kriminalisasi dan Deskriminalisasi, (Jakarta: Pustaka Pelajar 2005), hal. 10

2

Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung: Refika Aditam, 2011), hal. 24 - 25

(11)

atas sesuatu yang bersifat melawan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan melawan hukum.

Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.

Dalam hukum pidana, secara umum yang dipakai untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi bagi yang melanggarnya. Sebagai aturan yang memuat sanksi, hukum pidana tentunya memiliki tujuan dari ditetapkannya sanksi tersebut bagi yang melanggarnya. Sanksi dalam hukum pidana disebut juga dengan sanksi pidana. Tujuan dari sanksi pidana menurut Bemmelen adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat, dan mempunyai tujuan kombinasi untuk menakutkan, memperbaiki, dan untuk kejahatan tertentu membinasakan.

3

Penegakan hukum pidana dalam hal pemberian sanksi merupakan cara yang efektif untuk menekan tindak pidana yang akan muncul selanjutnya. Karena sanksi dapat dimaknai secara luas sebagai hukuman yang mempunyai kombinasi terkait tujuannya baik bersifat preventif maupun bersifat represif.

Adanya penentuan atas pertanggungjawaban hukum mempunyai tujuan yang hampir sama dengan tujuan pidana antara lain adalah penjeraan (detterent), baik ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada

3

J.M van Bemmelen, Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum),

Terjemahan Hasnan, , (Bandung:Bina Cipta, 1987), h. 128.

(12)

mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat, perlindungan terhadap masyarakat dari perbuatan jahat, perbaikan (reformasi) kepada penjahat.

4

Realitanya di lapangan apabila kita melihat tujuan dari pidana yang diungkakan Roeslan Saleh tersebut di atas dan dikaitkan dengan Tindak Pidana Penganiayaan yang telah diatur dalam Hukum Pidana Indonesia (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) ternyata masih jauh dari harapan dan tujuan dari hukum pidana tersebut. Hal ini dapat dilihat dari media massa maupun elektronik yang hampir setiap hari terisi oleh kejadian- kejadian tersebut. Secara lebih khusus kita akan melihat pada kasus penganiayaan, sebagaimana hasil publikasi Badan Pusat Statistik berdasarkan data yang dihimpun oleh kepolisian untuk kejadian kejahatan terhadap fisik/badan (violence) selama periode 2012-2016 berfluktuasi dengan kecendrungan meningkat. Untuk tahun 2012 jumlah kejadian kejahatan terhadap fisik berada pada angka 40.343 kasus, sedangkan tahun 2013-2015 jumlah kasus tersebut semakin meningkat walaupun dalam kadar yang tidak terlalu signifikan, yaitu masing-masing berada pada angka 44.990, 46.366, 47.128 kasus. Sementara itu, pada tahun 2016 terdapat 46.767 kasus, artinya, terjadi penurunan yang tidak terlalu berarti karena hanya berselisih 361 kasus dari jumlah kejadian pada tahun 2015 dan tidak lebih kecil dari jumlah kejadian kejahatan terhadap fisik yang terjadi pada periode 2012-2014.

5

Untuk tahun 2017, sesuai dengan penuturan Kapolri Jenderal Tito Karnavian kepada Detik News beberapa waktu yang lalu bahwa khusus untuk penganiayaan berat berdasarkan data Polri jumlah

4

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana , (Jakarta: Rineka Cipta,2004), h.29.

5

Badan Pusat Statistik, Statistik Kriminal 2017, (Jakarta-Indonesia: Badan Pusat Statistik,

2017) hal. 24

(13)

kasus tersebut naik 12 persen dari angka 11.941 tahun lalu menjadi 13.358 tahun ini.

6

Tindak pidana atau kejahatan sebagai perbuatan manusia selalu mengalami perkembangan sebagaimana perkemabangan dari masyarakat itu sendiri. Berbagai perubahan senantiasa terjadi baik secara perlahan hingga hampir luput dari peninjauan yang biasa, atau terjadi begitu cepat sehingga sukar untuk menyatakan dengan pasti adanya lembaga kemasyarakatan yang menetap, dalam hal ini menangani atau memproses suatu tindak pidana atau kejahatan.

Berbagai macam kejahatan terhadap tubuh dan kejahatan terhadap nyawa atau biasa dikenal dengan penganiayaan dan pembunuhan. Tindakan penganiayaan menjadi salah satu fenomena yang sulit hilang didalam kehidupan bermasyarakat. Berbagai tindakan penganiayaan yang sering terjadi seperti pemukulan dan kekerasan fisik seringkali mengakibatkan luka pada bagian tubuh atau anggota tubuh korban, bahkan tidak jarang membuat korban menjadi cacat fisik seumur hidup kematian. Selain itu tindakan penganiayaan juga tidak jarang menimbulkan efek atau dampak psikis pada si korban seperti trauma, ketakutan, ancaman, bahkan terkadang ada korban pernganiayaan yang mengalami gangguan jiwa dan mental.

Fenomena tindakan penganiayaan bukanlah hal yang baru dalam aksi- aksi kekerasan fisik dan psikis, dan dapat dijumpai dimana-mana seperti di lingkungan rumah tangga atau keluarga, di tempat umum, maupun di

6

Detik.com, Selama 2017, Ada 13.358 Kasus Penganiayaan Berat Ditangani Polri, diakses dari http://m.detik.com/news/berita/d-3790517/selama-2017-ada-13358-

kasuspenganiayaan-berat-ditangani-polri, (akses pada 26 Juni 2019, 15.30 WIB)

(14)

tempat-tempat lainnya serta dapat menimpa siapa saja bisa menghadapi suatu masalah dengan orang lain.

Mencermati fenomena tindakan penganiayaan yang terjadi, tampaknya bukanlah hal yang terjadi begitu saja melainkan diduga terkait dengan berbagai faktor seperti pengaruh pergaulan dan kenakalan, premanisme, kecemburuan sosial, tekanan dan kesenjangan ekonomi ketidakharmonisan dalam hubungan rumah tangga atau dengan orang lain, persaingan, konflik kepentingan dan lainnya.

Dalam beberapa kasus, sebagian orang atau sekelompok orang sengaja melakukan penganiayaan kepada orang lain disebabkan beberapa faktor seperti dendam, pencemaran nama baik, perasaan dikhianati atau dirugikan, merasa harga diri dan martabatnya direndahkan atau dilecehkan dan motf- motif lainnya. Selain itu, tidak sedikit orang juga terlibat perselisihan paham, perkelahian atau pertengkaran yang mendorong dirinya melakukan penganiayaan secara tidak sengaja.

Salah satu jenis penganiayaan yang jarang dijumpai dari jenis-jenis tindak pidana penganiayaan yaitu penganiayaan terhadap seorang pejabat ketika menjalankan tugas yang sah. Kasus ini terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor 376/Pid.B/2018/PN Bna, di dalam putusan tersebut dibahas tentang adanya seorang pejabat negara yang dianiaya ketika sedang menjalankan tugas yang sah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis tertarik

untuk mengkaji lebih jauh mengenai “Analisis Yuridis Terhadap Delik

(15)

Penganiayaan Terhadap Seorang Pejabat Ketika Menjalankan Tugas Yang Sah (Studi Kasus Putusan Nomor 376 / Pid.B / 2018 / PN Bna).”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas,maka permasalahan yang akan penulis angkat dalam penelitian ini ialah :

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang tindak pidana penganiayaan terhadap seorang pejabat ketika menjalankan tugas yang sah?

2. Bagaimana penerapan hukum tentang tindak pidana penganiayaan terhadap seorang pejabat ketika menjalankan tugas yang sah pada Putusan Pengadilan Negeri Nomor 376/Pid.B/2018/PN Bna?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan permasalahan pokok yang telah penulis uraikan diatas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui aturan mengenai tindak pidana penganiayaan terhadap seorang pejabat ketika menjalankan tugas yang sah.

2. Untuk mengetahui penerapan hukum mengenai tindak pidana penganiayaan terhadap seorang pejabat ketika menjalankan tugas yang sah pada Putusan Pengadilan Negeri Nomor 376/Pid.B/2018/PN Bna.

Manfaat penelitian merupakan kegunaan atau potensi dari adanya suatu penelitian. Manfaat penelitian dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian yang dilakukan oleh penulis ialah :

1. Manfaat Teoritis.

(16)

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi baru dalam bidang keilmuan hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pengaturan dan penerapan hukum mengenai tindak pidana penganiayaan terhadap seorang pejabat ketika menjalankan tugas yang sah.

2. Manfaat Praktis.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan masukan bagi aparat penegak hukum, khususnya hakim agar dapat mewujudkan keadilan yang seadil-adilnya berdasarkan hukum yang berlaku dalam memutus suatu perkara hukum.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Delik Penganiayaan Terhadap Seorang Pejabat Ketika Menjalankan Tugas Yang Sah (Studi Kasus Putusan Nomor 376 / Pid.B / 2018 / PN Bna).” merupakan karya yang ditulis oleh penulis sendiri secara murni dan terbebas dari bentuk penjiplakan suatu karya tulis manapun. Skripsi dengan judul yang diangkat oleh penulis juga sebelumnya belum pernah ditulis oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

E. Tinjauan Pustakaan

1. Pengertian Analisis Yuridis

Istilah “Yuridis” berasal dari bahasa Inggris “Yuridicial” yang sering

disinonimkan dengan arti kata hukum atau normative. Jadi tinjauan

yuridis berarti kajian atau analisis suatu masalah berdasarkan hukum dan

(17)

perundang-undangan. Paul Scholten menyatakan bahwa interpretasi, Penafsiran hukum, merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan hukum. setiap Undang-Undang merupakan bagian dari keseluruhan Perundang-undangan. Demikian pula halnya dengan Undang-Undang yang baru, yang segera diserap ke dalam struktur keseluruhan tersebut.dengan demikian, apabila orang ingin memberi arti pada suatu Undang-Undang tertentu, maka ia harus melakukannya dalam konteks yang demikian itu. Dalam hubungan ini maka kata-kata suatu Undang-Undang mungkin tidak hanya baru saja menjadi jelas manakala dipahami dalam hubungannya dengan yang lain, melainkan juga mencoba untuk memahami masing-masing Undang-Undang sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan yang berkaitan satu sama lain.

Suatu Undang-Undang bisa dilihat sebagai suatu penggarapan lebih lanjut, suatu pengisian dan/atau penyimpangan dari yang lain.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tinjauan yuridis memuat analisis melalui interpretasi-interpretasi hukum dan perundang- undangan, penalaran logis, penggunaan dasar-dasar teori hukum dalam mengkaji suatu masalah hukum. Juga memuat delik apa yang terjadi, unsur-unsur,delik terpenuhi, pidana, pemidanaan dan pertanggungjawaban pidana.

2. Pengertian Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana.

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Perlu diperhatikan bahwa istilah

(18)

tindak pidana (strafbaar feit) dengan tindakan/perbuatan (gedraging/handeling) memiliki makna yang berbeda. Sudarto mengemukakan, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana. Perbuatan (gedraging) meliputi berbuat dan tidak berbuat.

7

Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam uoaya menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak.

8

Sederhananya tindak pidana merupakan tindakan yang dilakukan oleh manusia, baik secara aktif maupun pasif, dimana perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang dilarang oleh undang-undang. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai acuan pokok hukum pidana materil di Indonesia, tidak ada memuat mengenai definisi dari tindak pidana hanya dapat dilihat dari pendapat para ahli hukum.

Berikut beberapa definisi tentang tindak pidana, menurut para ahli hukum:

1) Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

9

2) Simons mengatakan bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakuan

yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan

7

Mohammad Eka Putra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, Usu Press, Medan, 2013, h. 75.

8

Ibid., h. 74.

9

Frans Maramis, op. cit., h. 58.

(19)

berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

10

3) Van Hamel mengatakan bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

11

Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan yang bisa diartikan secara kriminologis atau yuridis. Menurut Sudarto, perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat perbuatan jahat yang merupakan objek ilmu pengetahuan hukum pidana adalah perbuatan jahat yang merupakan objek ilmu pengetahuan hukum pidana adalah perbuatan jahat dalam arti hukum pidana (strafrechtlijk misdaadsbegrip), yang terwujud secara in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana. Sedangkan perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat yang dipandang secara concert sebagaimana terwujud dalam masyarakat (sociaal verschihnsel, erecheinung, phenomena), adalah perbuatan manusia yang memperkosa/menyalahi norma-norma dasar dari masyarakat secara konkrit. Ini adalah pengertian

“perbuatan jahat” dalam arti kriminologis ( criminologisch misdaadsbegrip).

12

KUHP sendiri telah mengklasifikasikan tindak pidana atau delik ke dalam dua kelompok besar, yaitu dalam buku Kedua dan buku Ketiga

10

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006, h. 25.

11

Ibid

12

Mohammad Eka Putra, op. cit. h. 77.

(20)

masing-masing menjadi kelompok kejahatan dan pelanggaran. KUHP menempatkan kejahatan di dalam Buku Kedua dan pelanggaran di dalam Buku Ketiga tetapi tidak ada penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan merupakan rechtstaasdelict atau delik hukum dan pelanggaran merupakan wetsdelict atau delik undang- undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan.

10

Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkain perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Dengan demikian, dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana. Sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.

11

Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang dalam hukum pidana adn perbuatan-perbuatan lain di luat kategori tersebut.

12

Sedangkan aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga sah jika dijatuhi pidana.

13

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang mendalam dari tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-unsur tindak pidana, yaitu :

a) Unsur Subjektif

(21)

Menurut Lamintang bahwa yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku. Dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Adapun unsur-unsur subjektif menurut Lamintang yakni sebagai berikut:

13

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa);

b. Maksud (voornemen) pada suatu percobaan (poging) seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum pidana;

c. Macam-macam maksud (oogmerk) seperti yang terdapat misalnya, di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu (voorbedache raad) misalnya seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 Kitab UndangUndang Hukum Pidana;

e. Perasaan takut (vress) seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana;

Sedangkan Menurut Satochid Kartanegara, ia membedakan unsur subjektif hanya menjadi dua macam saja, yakni:

14

a. Toerekeningswatbaarheit (kemampuan bertanggung jawab);

b. Schuld (Kesalahan);

13

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti 1997), hal 181

14

Roni Wijayanto Op.Cit. hal. 166

(22)

Leden Marpaung mengemukakan asas hukum pidana menyatakan bahwa “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”. Kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (iintention/opzet/dolus) dan kealpaan (culpa) ini merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan, dimana kealpaan meliputi dua bentuk, yaitu: tidak berhati-hati dan dapat menduga akibat perbuatan tersebut.

15

Di dalam doktrin dan ilmu pengetahuan hukum pidana unsur kesengajaan atau opzet tersebut kemudian pada umumnya dibedakan menjadi tiga jenis, yakni:

1. Kesengajaan dengan maksud (opzet als oogmerk);

2. Kesengajaan dengan keinsyafan (Opzet bij zekerheidsbewustzijn);

3. Kesengajaan dengan keinsyafan atau kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn);

Maka dapat diambil kesimpulan dari uraian di atas, bahwa unsur-unsur subjektaf meliputi:

1. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningswatbaarheit);

2. Kesalahan (Schuld);

3. Kesengajaan (dolus) yang terdiri dari:

a. Kesengajaan dengan maksud (Opzet als oogmerk);

b. Kesengajaan dengan keinsyafan (opzet bij zekerheidsbewustzijn);

c. Kesengajaan dengan keinsyafan atau kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn);

15

Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Op.cit, hal. 9

(23)

d. Kealpaan (culpa) b) Unsur Objektif

Menurut Lamintang bahwa yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan dimana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Kemudian ia membagi menjadi tiga bentuk unsur objektif dari tindak pidana, yakni:

16

a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

b. Kualitas dari si pelaku, misalnya "keadaan sebagai seorang pegawai negeri" di dalam kejahatan jabatan menurat Pasal 415 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Sedangkan Menurut Satochid Kartanegara, ia mengemukakan bahwa unsur objektif merupakan unsur yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang, yang berupa:

d. Suatu tindakan;

e. Suatu akibat; dan

f. Keadaan (omstandigheid);

16

P.A.F. Lamintanng, Loc.cit

(24)

Kemudian Leden Marpaung lebih mencakup kepada dua pendapat ahli di atas, ia kemudian membagi unsur objektif menjadi empat bentuk, yakni:

17

g. Perbuatan manusia, berupa:

1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;

2) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative h. Akibat (result) perbuatan manusia, yaitu akibat tersebut

membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya: nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.

i. Keadaan-keadaan (circumstances), yang umumnya berupa:

1) Keadaan-keadaan pada saat perbuatan dilakukan 2) Keadaan-keadaan setelah perbuatan dilakukan.

j. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Sedangkan sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.

Perumusan pasal tindak pidana penganiayaan sangatlah berbeda dengan perumusan pada tindak pidana lainnya, misalnya dalam tindak pidana pencurian dimana tindak pidana tersebut dirumuskan secara gamblang perbuatan apa yang termasuk ke dalam tindak pidana pencurian,

17

Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Op.cit. hal 10

(25)

hal ini memudahkan untuk menentukan unsur-unsur apa saja yang terdapat dalam pasal tersebut.

Berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang perumusannya tergolong ke dalam rumusan delik yang tidak menyebut unsur-unsurnya atau kenyataan sebagai bagian inti (bestanddelen) delik.

18

Akan tetapi, hal ini bukan berarti tindak pidana penganiayaan tidak memiliki unsur sama sekali.

Sebagaimana yang dikutip oleh Lamintang sebagian besar dari para guru besar berpendapat bahwa “wederrechtelijkheid” dan “schuld” itu merupakan unsurunsur yang selalu melekat pada setiap “strafbaarfeit”.

19

Hal ini berarti bahwa unsur sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan unsur kesalahan (schuld) mutlak ada dalam setiap tindak pidana (strafbaarfeit).

Dengan demikian, tindak pidana penganiayaan, meskipun tidak dinyatakan sama sekali di dalam Pasal nya memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

1. Adanya kesalahan (schuld);

Yang dalam hal ini kesalahan dalam tindak pidana penganiayaan hanya mencakup kesalahan dalam arti sengaja.

2. Adanya perbuatan;

Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa setiap tindak pidana memiliki

sifat melawan hukum, ini berarti bahwa perbuatan dalam tindak pidana penganiayaan sudah tentu merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.

3. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yaitu: rasa sakit dan luka pada

18

Andi Hamzah, Op.cit, hal 94

19

P.A.F Lamintang, Op.cit, hal 183

(26)

tubuh.

Hal ini mengacu kepada yurisprudensi yang mengartikan penganiayaan sebagai sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka.

20

Unsur pertama sebagaimana dikemukakan di atas merupakan unsur subjektif (kesalahan), sedangkan unsur kedua dan ketiga merupakan unsur objektif.

c. Jenis-jenis Tindak Pidana

Tindak pidana terdiri dari berbagai jenis yang antara satu dengan yang lainnya mempunyai perbedaan tertentu. Dalam bukunya Pelajaran Hukum Pidana bagian l, Adami Chazawi membedakan tindak pidana menjadi beberapa jenis yaitu :

a. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku III.

b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten).

c. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten).

d. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana pidana aktif atau positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif

20

R Soesilo, Loc.cit.

(27)

atau negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis).

e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung terus.

f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.

g. Dilihat dari sudut subjek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (delicta communia) yang dapat dilakukan siapa saja, dan tindak pidana (propria) dapat dilakukan hanya oleh orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu.

h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten).

i. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten).

j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak

pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan

hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa

dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan,

(28)

tindak pidana terhadap nama baik,terhadap kesusilaan dan lain sebagainya.

k. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde dlicten).

21

Dalam merumuskan pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana dan jenis-jenisnya, maka ada beberapa ahli hukum yang memasukkan mengenai kemampuan bertanggung jawab (torekeningsvatbaarheid) ke dalam unsur tindak pidana. Pertanggung jawaban dalam hukum pidana menganut asas “tiada pidana tanpa kesalahan”

(geen straf zonder schuld), walaupun tidak dirumuskan dalam undang- undang, tetapi dianut dalam praktik tidak dapat dipisahkan antara kesalahan dan pertanggungjawaban atas perbuatan, contohnya orang yang melakukan dengan kesalahan saja yang dibebani tanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya.

3. Delik dan Jenis-jenisnya a. Pengertian Delik.

Kata delik berasal dari bahasa Latin, yaitu dellictum, yang didalam Wetboek Van Strafbaar feit Netherland dinamakan Strafbaar feit.

Dalam Bahasa Jerman disebut delict, dalam Bahasa Perancis disebut delit, dan dalam Bahasa Belanda disebut delict. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut.

21

Adami Chazawi, op.cit., hlm. 82.

(29)

“perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.”

Utrecht memakai istilah peristiwa pidana karena istilah peristiwa itu meliputi suatu perbuatan (handelen atau doen) atau suatu melalaikan (verzuin atau nalaten) maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu), dan peristiwa pidana adalah suatu peristiwa hukum, yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.

22

Tirtaamidjaja menggunakan istilah pelanggaran pidana untuk kata delik.

Andi Zainal Abidin Farid menggunakan istilah peristiwa pidana dengan rumusan peristiwa pidana adalah suatu perbuatan yang diancam pidana, melawan hukum dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan itu.

Demikian pula Rusli Effendy memakai istilah peristiwa pidana yang menyatakan bahwa peristiwa pidana haruslah dijadikan dan diartikan sebagai kata majemuk dan janganlah dipisahkan satu sama lain, sebab kalau dipakai perkataan peristiwa saja, maka hal ini dapat mempunyai arti yang lain.

Menurut Moeljatno memakai istilah perbuatan pidana yang dirumuskan yang diartikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.

22

seniorkampus.blogspot.com/2017/09/pengertian-delik, diakses pada tanggal 2 Januari 2020,

pukul 17.00 wib

(30)

Mengenai delik dalam arti strafbaar feit, para pakar hukum pidana masing-masing memberiikan Definisi berbeda, menurut Vos mendefinisikan delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang. Van Hammel mendefiniskan delik sebagai suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain, sedangkan Prof. Simons mengartikan delik sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

23

Pengertian dari delik menurut Achmad Ali adalah:

Pengertian umum tentang semua perbuatan yang melanggar hukum ataupun Undang-Undang dengan tidak membedakan apakah pelanggaran itu dibidang hukum privat ataupun hukum publik termasuk hukum pidana.

24

b. Macam-macam delik

1. Delik kejahatan adalah rumusan delik yang biasanya disebut delik Hukuman, ancaman Hukumannya lebih berat;

2. Delik pelanggaran adalah biasanya disebut delik Undang-Undang yang ancaman Hukumannya memberii alternative bagi setiap pelanggarnya;

3. Delik formil yaitu delik yang selesai, jika perbuatan yang dirumuskan dalam peraturan pidana itu telah dilakukan tanpa

23

Ibid

24

Menuruthukum.com/2020/07/07/macam-macam-delik/, diakses pada tanggal 2 Januari 2020,

pukul 17.00 wib

(31)

melihat akibatnya.Contoh: Delik pencurian Pasal 362 KUHP, dalam Pasal ini yang dilarang itu selalu justru akibatnya yang menjadi tujuan si pembuat delik;

4. Delik materiil adalah jika yang dilarang itu selalu justru akibatnya yang menjadi tujuan si pembuat delik.Contoh: Delik pembunuhan Pasal 338, Undang-undang Hukum pidana, tidak menjelaskan bagaimana cara melakukan pembunuhan, tetapi yang disyaratkan adalah akibatnya yakni adanya orang mati terbunuh, sebagai tujuan si pembuat/pelaku delik;

5. Delik umum adalah suatu delik yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan diberlakukan secara umum.Contoh: Penerapan delik kejahatan dalam buku II KUHP misalnya delik pembunuhan Pasal 338 KUHP;

6. Delik khusus atau tindak pidana khusus hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu dalam kualitas tertentu dalam kualitas tertentu, misalnya tindak pidana korupsi, ekonomi, subversi dan lain-lain;

7. Delik biasa adalah terjadinya suatu perbuatan yang tidak perlu ada pengaduan, tetapi justru laporan atau karena kewajiban aparat negara untuk melakukan tindakan;

8. Delik dolus adalah suatu delik yang dirumuskan dilakukan dengan sengaja.Contoh: Pasal-pasal pembunuhan, penganiayaan dan lain-lain;

9. Delik kulpa yakni perbuatan tersebut dilakukan karena

kelalaiannya, kealpaannya atau kurang hati-hatinya atau karena

(32)

salahnya seseorang yang mengakibatkan orang lain menjadi korban.Contoh: Seorang sopir yang menabrak pejalan kaki, karena kurang hati-hati menjalankan kendaraannya;Seorang buruh yang membuang karung beras dari atas mobil, tiba-tiba jatuh terkena orang lain yang sementara berjalan kaki;

10. Delik berkualifikasi adalah penerapan delik yang diperberat karena suatu keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu.Contoh: Pasal 363 KUHP, pencurian yang dilakukan pada waktu malam, atau mencuri hewan atau dilakukan pada saat terjadi bencana alam dan lain-lain, keadaan yang menyertainya itulah yang memberiatkan sebagai delik pencurian yang berkualifikasi;

11. Delik sederhana adalah suatu delik yang berbentuk biasa tanpa unsur dan keadaan yang memberiatkan.Contoh: Pasal 362 KUHP, delik pencurian biasa;

12. Delik berdiri sendiri (Zelfstanding Delict) adalah terjadinya delik hanya satu perbuatan saja tanpa ada kelanjutan perbuatan tersebut dan tidak ada perbuatan lain lagi.Contoh: Seseorang masuk dalam rumah langsung membunuh, tidak mencuri dan memperkosa;

13. Delik berlanjut (Voortgezettelijke Handeling) adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara berlanjut, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang dilanjutkan;

14. Delik komisionis adalah delik yang karena rumusan Undang-

undang bersifat larangan untuk dilakukan.Contoh: Perbuatan

(33)

mencuri, yang dilarang adalah mencuri atau mengambil barang orang lain secara tidak sah diatur dalam Pasal 362 KUHP;

15. Delik omisionis adalah delik yang mengetahui ada komplotan jahat tetapi orang itu tidak melaporkan kepada yang berwajib, maka dikenakan Pasal 164 KUHP, jadi sama dengan mengabaikan suatu keharusan;

16. Delik aduan adalah delik yang dapat dilakukan penuntutan delik sebagai syarat penyidikan dan penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan/korban.Contoh: Pencurian Keluarga Pasal 367 KUHP;Delik Penghinaan Pasal 310 KUHP;Delik Perzinahan Pasal 284 KUHP.

c. Unsur Delik Sebagai Syarat Pemidanaan

Setelah membahas mengenai pengertian delik dan macam-macam delik, maka dapat dibahas mengenai unsur-unsur delik sebagai syarat- syarat pemidanaan. Menurut Adami Chazawi, unsur tindak pidana secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua sudut pandang yaitu sudut pandang teoritik dan sudut pandang undang-undang.

25

Sudut pandang teoritik memisahkan unsur-unsur pidananya menurut pandangannya masing-masing. Pandangan yang pertama yakni pandangan monolistik, seperti unsur yang diberikan oleh Simons dan Bauman. Pandangan dualistik seperti yang dianut oleh Moeljatno yang memberikan unsur delik adalah adanya perbuatan manusia, perbuatan

25

Adami Chazawi, op.cit., hlm. 82.

(34)

tersebut memenuhi rumusan dalam undang-undang dan bersifat melawan hukum.

Adami Chazawi, mengemukakan unsur rumusan tindak pidana dari sudut pandang undang-undang yang pada pokoknya dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Unsur Tingkah laku

Tingkah laku harus dimasukkan dalam unsur tindak pidana atau unsur delik karena, tindak pidana berbicara mengenai larangan berbuat sesuatu.

b. Unsur Melawan Hukum

Melawan hukum berarti adalah suatu sifat yang tercela atau terlarang perbuatannya. Tercelanya suatu perbuatan dapat lahir dari undang-undang ataupun dari masyarakat.

c. Unsur Kesalahan

Unsur kesalahan ini bersifat subjektif, karena unsur ini melekat pada diri pelaku. Unsur kesalahan adalah unsur yang menghubungkan perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum perbuatan pelaku.

d. Unsur Akibat Konstitutif

Unsur kesalahan konstitutif terdapat pada tindak pidana dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana, tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana dan tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat.

e. Unsur Keadaan yang Menyertai

(35)

Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan.

f. Unsur Syarat Tambahan

Unsur syarat tambahan dapatnya dituntut pidana. Hanya terdapat pada delik aduan. Artinya unsur ini hanya timbul jika delik tersebut diadukan, seperti delik persidangan.

g. Unsur Syarat Tambahan Untuk Memperberat Pidana

Unsur ini merupakan alasan diperberatnya pidana, bukan unsur atau syarat selesainya tindak pidana.

h. Unsur Syarat Tambahan Untuk Dapatnya di Pidana

Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan yang menentukan apakah pebuatannya dapat dipidana atau tidak.

i. Unsur Objek Hukum Tindak Pidana

Unsur ini sangat terkait dengan unsur tingkah laku. Unsur ini adalah unsur kepentingan hukum yang harus dilindungi dan pertahankan dalam rumusan tindak pidana.

j. Unsur Kualitas Subjek Hukum Tindak Pidana

Maksud dari unsur ini adalah sejauh mana kualitas subjek hukum dalam melakukan tindak pidana, karena dalam berapa tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh subjek-subjek tertentu saja, seperti Pasal 375 dan 267 KUHP dan lain-lain.

k. Unsur Syarat Tambahan Memperingan Pidana

(36)

Unsur ini dibagi atas dua yaitu yang bersifat objektif seperti pada nilai atau harga objek tindak pidana secara ekonomis dalam pasal- pasal tertentu seperti pencurian ringan, penggelapan ringan dan lain- lain. Bersifat subjektif artinya faktor yang memperingan pelaku tindak pidana terletak pada perilaku pelaku tindak pidana itu sendiri.

Unsur-unsur delik juga dibagi dua oleh Leden Marpaung yaitu unsur subjektif dan unsur objektif yakni :

Unsur Subjektif adalah unsur yang berasal dari diri pelaku. Artinya, suatu perbuatan pidana tidak mungkin ada tanpa adanya kesalahan.

Unsur Objektif adalah unsur yang berasal dari luar diri pelaku seperti perbuatan atau act, akibat atau result, keadaan-keadaan sifat yang dapat dihukum dan sifat melawan hukum.

4. Pengertian Penganiayaan

Di dalam KUHP, penganiayaan merupakan istilah yang dipakai untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun, undang-undang tidak memberikan ketentuan yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan

“penganiayaan” (mishandeling) itu. Namun ada beberapa penjelasan

yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk memahami apa yang dimaksud

dengan penganiayaan, yaitu dari segi tata bahasa, pendapat ahli, doktrin

serta yurisprudensi hukum pidana. Dari segi tata bahasanya,

penganiayaan berasal dari kata “aniaya”. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI), kata “aniaya” diartikan sebagai perbuatan bengis

(seperti penyiksaan, penindasan), sedangkan makna penganiayaan

diartikan sebagai perlakuan sewenang-wenang (penyiksaan, penindasan,

(37)

dan sebagainya).

26

Sementara itu, menurut Tirtaamidjaja dalam Andi Hamzah pengertian penganiayaan sebagai berikut: “Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan.”

27

Selanjutnya, di dalam doktrin atau ilmu pengetahuan hukum pidana mengartikan penganiayaan sebagai “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.”

28

Sedangkan yurisprudensi mengartikan penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka. Perasaan tidak enak misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah atau bisa juga menyuruh orang untuk berdiri di bawah terik matahari. Sedangkan rasa sakit yang dimaksudkan di sini misalnya rasa sakit yang timbul karena mencubit, mendupak, memukul atau menempeleng. Sementara untuk luka dapat berupa luka akibat diiris, potong, atau menusuk dengan pisau.

29

5. Pengertian Pejabat Negara / Pemerintah

C.F. Strong mengartikan pemerintah dalam arti luas sebagai organisasi negara yang utuh dengan segala alat kelengkapan negara yang memiliki fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan kata lain,

26

kbbi.web.id, diakses pada tanggal 18 Agustus 2019, pukul 16.00 wib

27

Laden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan Prevensinya), (Jakarta: Sinar Grafika, cetakan kedua 2002) hal 5

28

Ibid. hal 6

29

R. Soesilo, Op.cit, hal 245

(38)

negara dengan seluruh alat kelengkapannya merupakan pengertian pemerintahan dalam arti yang luas. Sedangkan pengertian pemerintahan dalam arti yang sempit, hanya mengacu pada satu fungsi saja, yakni fungsi eksekutif.

30

Berdasarkan pendapat Strong tersebut, maka pengertian pejabat negara akan merujuk pada pengertian pemerintahan dalam arti yang luas.

Sedangkan pengertian pejabat pemerintahan akan mengacu pada pengertian pemerintahan dalam arti yang sempit, atau pejabat yang berada pada lingkungan pemerintahan saja, yakni cabang kekuasaan eksekutif.

Jawaban yang didasarkan pada pendapat Strong di atas tentu masih menyisakan pertanyaan. Misalnya, apakah Presiden sebagai lembaga eksekutif merupakan pejabat pemerintahan dan bukan pejabat negara?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka perlu untuk melihat fungsi dari lembaga-lembaga negara. Bagir Manan mengkategorikan 3 (tiga) jenis lembaga negara yang dilihat berdasarkan fungsinya, yakni:

31

1. Lembaga Negara yang menjalankan fungsi negara secara langsung

atau bertindak untuk dan atas nama negara, seperti Lembaga Kepresidenan, DPR, dan Lembaga Kekuasaan Kehakiman. Lembaga- lembaga yang menjalankan fungsi ini disebut alat kelengkapan negara.

2. Lembaga Negara yang menjalankan fungsi administrasi negara dan tidak bertindak untuk dan atas nama negara. Artinya, lembaga ini hanya menjalankan tugas administratif yang tidak bersifat

30

HukumOnline.com diakses pada tanggal23 Agustus 2019, pukul 20.00 wib

31

Ibid

(39)

ketatanegaraan. Lembaga yang menjalankan fungsi ini disebut sebagai lembaga administratif.

3. Lembaga Negara penunjang atau badan penunjang yang berfungsi untuk menunjang fungsi alat kelengkapan negara. Lembaga ini disebut sebagai auxiliary organ/agency.

Berdasarkan kategorisasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pejabat negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga negara yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya berupa lembaga negara pendukung. Sebagai contoh pejabat Negara adalah anggota DPR, Presiden, dan Hakim. Pejabat-pejabat tersebut menjalankan fungsinya untuk dan atas nama negara.

Sedangkan pejabat pemerintahan adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga yang menjalankan fungsi administratif belaka atau lazim disebut sebagai pejabat administrasi negara seperti menteri-menteri sebagai pembantu Presiden, beserta aparatur pemerintahan lainnya di lingkungan eksekutif.

32

Khusus untuk kedudukan Presiden, dalam sistem pemerintahan presidensil, Presiden memiliki kedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dalam kedudukannya sebagai kepala negara, fungsi- fungsi Presiden sebagai alat kelengkapan negara diatur dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (“UUD NRI 1945”).

Dalam kedudukannya sebagai kepala negara inilah Presiden dikategorikan sebagai pejabat negara. Namun, kedudukan Presiden sebagai kepala

32

Ibid

(40)

pemerintahan, berarti bahwa Presiden adalah penyelenggara kekuasaan eksekutif, baik penyelenggaraan yang bersifat umum maupun khusus.

Berdasarkan fungsinya sebagai penyelenggara pemerintahan inilah Presiden juga dapat dikategorikan sebagai pejabat pemerintahan.

Selain itu, perlu berhati-hati ketika berbicara mengenai pemerintahan daerah. Dalam pemerintahan daerah, pejabat pemerintahan akan terdiri dari pejabat pemerintah/pejabat administrasi negara, dan anggota DPRD.

Hal ini dikarenakan DPRD bukanlah badan legislatif. Pendapat ini merujuk pada ajaran Montesquieu bahwa badan legislatif adalah badan yang membentuk undang-undang dalam arti formil (wet in formele zin), sedangkan Peraturan Daerah (perda) sebagai produk hukum DPRD, meskipun termasuk peraturan perundang-undangan (wet in materiele zin) bukanlah undang-undang.

Sayangnya, berdasarkan Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) dinyatakan bahwa Kepala Daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dikategorikan sebagai pejabat negara. Penggolongan kepala daerah sebagai pejabat negara tidaklah tepat, mengingat kedudukan lembaga tersebut bukan sebagai alat kelengkapan negara dan tidak memiliki fungsi kenegaraan (bertindak untuk dan atas nama negara).

33

Pemerintahan daerah hanyalah satuan desentralisasi yang hanya memiliki fungsi administratif.

34

Meskipun begitu, Bagir Manan mengemukakan bahwa satuan desentralisasi merupakan sendi kenegaraan.

33

Ibid

34

HukumOnline.com diakses pada tanggal23 Agustus 2019, pukul 20.00 wib

(41)

Selain itu, pengaturan mengenai pejabat Negara pada UU ASN merupakan pengaturan yang berlebihan, mengingat pengaturan mengenai pejabat negara seharusnya tunduk pada UUD NRI 1945 dan undang-undang yang mengatur mengenai kekuasaan lembaga Negara.

Kemudian, apakah seluruh PNS merupakan pejabat pemerintahan?

Menurut Bagir Manan, jabatan adalah lingkungan kerja tetap yang bersifat abstrak dengan fungsi tertentu, yang secara keseluruhan mencerminkan kerja organisasi. Sifat abstrak dari sebuah jabatan, mengharuskan adanya pejabat yang diberikan wewenang dan tanggung jawab agar jabatan dapat menjadi konkret dan fungsi-fungsinya dapat dijalankan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka organisasi merupakan sebuah kumpulan dari jabatan-jabatan yang memerlukan pejabat sebagai konkretisasi jabatan.

Pengertian jabatan dan pejabat sebagaimana yang dikemukakan oleh Bagir Manan tergambar dalam UU ASN. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa Pegawai Aparatur Sipil Negara terdiri dari dua jenis, yakni pegawai yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Lebih jelas, ketentuan ini diatur dalam Pasal 6 UU ASN sebagai berikut:

“Pegawai ASN terdiri atas:

35

a. PNS; dan

b. PPPK.”

35

Ibid

(42)

Selain itu, UU ASN juga menggolongkan jenis-jenis pejabat, diantaranya adalah pejabat administrasi, pejabat pimpinan tinggi, pejabat fungsional, dan pejabat Pembina kepegawaian (vide Pasal 1 UU ASN).

Untuk jabatan administrasi, UU ASN memberikan tiga macam sub jabatan, yakni jabatan administrator, jabatan pengawas, dan jabatan pelaksana (vide Pasal 14 UU ASN). Dalam Pasal 15 UU ASN disebutkan bahwa pejabat dalam jabatan pelaksana bertanggungjawab melaksanakan kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan. Artinya, pasal tersebut menyatakan bahwa pegawai ASN pada tingkat pelaksana pun dikategorikan sebagai pejabat, yakni pejabat pelaksana. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh pegawai ASN, baik yang berstatus sebagai PNS maupun PPPK merupakan pejabat pemerintahan atau pejabat publik

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan penulisan di dalam penelitian ini ialah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka

36

. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup:

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;

36

Joenadi Efendi dan Johny Ibrahim, Metode Penelitan Hukum Normatif dan Empiris (Depok:

Prenadamedia Group, 2016), hlm. 124

(43)

b. Penelitian terhadap sistematik hukum;

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal;

d. Perbandingan hukum;

e. Sejarah hukum.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dibagi menjadi tiga yakni:

a. Penelitian eksploratoris (explorative research) atau penjelajahan adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan dan data mengenai hal-hal yang belum diketahui.

b. Penelitian deskriptif Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu.

c. Penelitian eksplanatoris Penelitian eksplanatoris merupakan suatu penelitian untuk menerangkan, memperkuat atau menguji dan bahkan menolak suatu teori atau hipotesa-hipotesa serta terhadap hasil-hasil penelitian yang ada.

Dan sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis.

Menurut Whitney, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.

3. Sumber Data

Penelitian hukum normatif memerlukan bahan hukum yang berupa

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier

dan bahan non hukum.

(44)

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan

37

yang mendasari serta berkaitan dengan penulisan ini, antara lain:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

5) Putusan Pengadilan Negeri Nomor 376/Pid.B/2018/PN Bna.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu kajian teoritis yang berupa pendapat hukum, ajaran atau doktrin dan teori hukum sebagai penunjang bahan hukum primer yang diperoleh dari hasil penelitian, buku teks, jurnal ilmiah serta penelusuran penulis mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penulisan karya ini di internet.

c. Bahan hukum tersier dan atau bahan non hukum yaitu bahan penelitiana yang dapat menjelaskan bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, yaitu berupa kamus dan dokumen non hukum lainnya

38

4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah prosedur sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode mengumpulkan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan.

37

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 156

38

Ibid, hlm, 158

(45)

Masalah memberi arah dan mempengaruhi metode pengumpulan data.

Penelitian ini menggunakan Penelitian Hukum Normatif, oleh karena itu Teknik Pengumpulan Data yang digunakan adalah studi Kepustakaan (Library Research) yaitu dengan membaca dan mempelajari berbagai macam literatur yang berkaitan, kemudian berdiskusi dan mendengarkan masukan yang diberikan oleh ahli dalam bidang pembahasan skripsi ini, serta banyak melakukan penelusuran melalui media internet.

Studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif. Tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya adalah menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. Secara singkat studi kepustakaan membantu peneliti dalam berbagai keperluan, misalnya:

a. Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan.

b. Mendapat metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan.

c. Sebagai sumber data sekunder.

d. Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya.

e. Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan.

f. Memperkaya ide-ide baru.

g. Mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dan siapa

pemakai hasilnya.

(46)

Penelitian studi kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan landasan dalam menganalisa data-data yang diperoleh dari berbagai sumber yang validitasnya terjamin. Sehingga akan diperoleh suatu kesimpulan yang relevan dari pokok bahasan. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi dokumen terkait dengan topik penulisan.

5. Analisis Data

Setelah penulis memperoleh data seperti yang dimaksud diatas, maka selanjutnya pengolahan data yang dilakukan adalah dengan metode analisis kualitatif

39

yang mengorganisasikan secara sistematis dan deskriptif bahan-bahan hukum yang kompeten dan berkaitan dengan masalah tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak, sehingga dapat dibaca dan diinterpretasikan. Analisis bahan-bahan hukum merupakan kegiatan menguraikan atau menarasikan, membahas temuan- temuan penelitian yang berkaitan dengan perspektif atau sudut pandang tertentu.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini meliputi:

BAB I (Pendahuluan), Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II (Pengaturan Hukum Tentang Tindak Pidana Penganiayaan Terhadap Seorang Pejabat Ketika Menjalankan Tugas Yang Sah), Berisi

39

Ibid, hlm. 160

(47)

tentang analisis terhadap tindak pidana penganiayaan di Indonesia berdasarkan Pengertian, jenis-jenis dan unsur-unsur tindak pidana tersebut serta pengaturan dan ketentuan hukum mengenai Tindak Pidana Penganiayaan terhadap seorang Pejabat yang sedang bertugas menurut hukum positif di Indonesia

BAB III (Penerapan Hukum Tindak Pidana Penganiayaan Terhadap Seorang Pejabat Ketika Menjalankan Tugas yang Sah menurut studi kasus keputusan pengadilan negeri Banda Aceh No. 376/Pid.B/2018/PN Bna), Berisi tentang Kronologis kasus dari putusan diatas serta analisi Kasusnya yang berhubungan langsung dengan penerapan hukum terhadap tindak pidana penganiayaan terhadap seorang pejabat ketika menjalankan tugas yang sah berdasarkan putusan di atas.

BAB IV (Penutup), Berisi tentang kesimpulan dari keseluruhan isi

karya tulis ini dan memberikan saran atas skripsi “Analisis Yuridis

Terhadap Delik Penganiayaan Terhadap Seorang Pejabat Ketika

Menjalankan Tugas Yang Sah (Studi Kasus Putusan Nomor

376/Pid.B/2018/PN Bna).

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Dari uraian di atas dapatlah ditarik kesimpul- an, bahwa keragaan reproduksi kerbau di Indone- sia menunjukkan hasil yang masih rendah yaitu umur berahi pertama, umur beranak

dibentuk untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan di Amerika Serikat dengan menjamin simpanan nasabah pada bank umum dan melindungi

Pembuatan LKPD memerlukan tim kerja yang memiliki pera- nan dan tugas masing-masing demi tercapainya produk LKPD yang berkualitas dan berman-faat. Tim ini terdiri

Perumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah bagaimana pengawasan sebagai sarana penegakan hukum dalam Hukum Administrasi Negara, Bagaimana tugas pokok dan

73 Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi Revisi , Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2004, hal 77.. regulasi-regulasi yang relevan untuk

Sumber data dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Tarkalil sebagai Kepala Bagian Humas yang dilaksanakan pada 28 Oktober 2019 dan data

Dapat pula dipahami bahwa rumusan defenisi tersebut juga menyiratkan tentang sifat kesementaraan dari hukum tata negara darurat (mengenai ini akan

Meskipun sama-sama membahas tentang tindakan tembak mati terhadap terduga teroris, namun dalam hal ini peneliti lebih berfokus kepada tindakan tembak mati