• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna. Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna. Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh:"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA DARURAT

(STUDI KASUS PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA DI SUMATERA BARAT)

SKRIPSI

Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Christian Rahmat Hutahaean 170200118

Departemen Hukum Tata Negara

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(2)

LEIVIBAR PENGE$AHAN

PEMERINTAHAN DARURAT {EMERGENCY GOWRNMENT) D"ALAM PERSPgKTIg' IiUKU}X TATA NSCARA BABURAT

{sruDr KASUS

**ffiffi fl#_ffi

puBLrK rNDor{ESrA

SKRIPSI

Disnsue d*n I}i*iuk*a untskMereagkapi Persler*hn Menaperole& celar Sarj*na I{ukum Pada Fakultas llukum Universitas Sumatera Utara

Ot€h:

Chrisfian Rahmat Hutahaean

NIM; 17020{118

Dr. Faisa! Akbar Nasution. S.H.. M.Hum NIP: 19590921 1987031002

Dosen Pembimbing I: Dosen Pembimbing II:

-Y\

DEPARTSMEN HUKUM TATA I\IEGARA

Ehref*i*i01ek:

Ketua Departemcn'Hukum Tata l\fegam

^l t/A*

vf-

Dr. Faissl Akbar Nasution- S.H-, i\{.Hr+m NIP: 195909211987031002

D+ Afpi.h. S.II.. S["Hu*

NIP : 1 9 7 5 1 23AZO02L22AA?

'{1.4

SAKULTAS HUKUM

UNTYERSITAS SUMATERA UTARA MEI}AN

2V2t

w

(3)

LE MBAR PERNYATAA,N BEBAS PT-AGI^{T

Saya y'angbertandatangan di bawdt ini:

Christian Rahmat Hutahaean

t -iA.)t^rA1 1 Q

Hukum Tata Negara

Pemerintahan Darurat ( Emer gency G ov ernme nt ) dalam

Perspektif Hrukuiir .I'ata

Negara Daruat isiudi Kasus

Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat)

Dengan ini menyatakan:

l.

tsahrru skr-ipsi iang st.ia huet ini adalah betu!-berul hasit kary.a sal'a sendiri, tidak meniiplak karya orang lain maupun dibuat oleh orang lain.

2. Apabi!a tli kemudien hari terbukti bahi''a sl,ripsi tcrsebui udalah hasil jiplakan, malia segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab

sa),'a.

Denrikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Meda-n, Juli 2021

?:ll

Chrlstla* Rek*et Het*k*#E

I{IM:170200118 Ni\,{

Departemen

Judui Skripsi

(4)

Kata Pengantar

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaanNya, sehingga skripsi berjudul “Pemerintahan Darurat (Emergency Government) Dalam Perspektif Hukum Tata Negara Darurat (Studi Kasus Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat)” ini dapat diselesaikan oleh penulis. Penulisan skripsi tersebut merupakan pemenuhan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Jatuh-bangun tentu dialami oleh penulis selama proses pengerjaan skripsi ini.

Namun, merupakan suatu anugerah bahwa dalam proses itu bantuan dan dukungan selalu mengalir kepada penulis. Rasanya akan butuh lebih banyak kertas dan tinta untuk menuliskan nama-nama mereka yang senantiasa mengalirkan dukungannya. Permintaan maaf yang tulus dari penulis jika terdapat nama-nama yang luput dalam pengantar ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Dr. Mahmul, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Dr. Agusmidah, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Mohammad Ekaputra, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah membimbing penulis selama penulisan skripsi ini;

(5)

7. Dr. Afnila, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II yang telah membimbing penulis selama penulisan skripsi ini;

8. Armansyah, S.H., M.Hum selaku Dosen yang telah mengajar dan mendidik penulis selama di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terlebih lagi di Departemen Hukum Tata Negara;

9. Yusrin Nazief, S.H., M.Hum selaku Dosen yang telah mengajar dan mendidik penulis selama di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terlebih lagi di Departemen Hukum Tata Negara;

10. Drs. Nazaruddin, S.H., MA selaku Dosen yang telah mengajar dan mendidik penulis selama di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terlebih lagi di Departemen Hukum Tata Negara;

11. Dr. Mirza, S.H., M.Hum selaku Dosen yang telah mengajar dan mendidik, sekaligus menjadi Penasihat Akademik penulis selama di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terlebih lagi di Departemen Hukum Tata Negara;

12. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan mendidik penulis dengan penuh ketulusan;

13. Seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas pengabdiannya;

14. Kedua orang tua penulis atas kasih dan pengorbanan yang tiada henti.

Terkhusus kepada Ibu di tempat paling indah. Ibu adalah segalanya, untuk selamanya;

15. Saudara dan saudari penulis, Christofel dan Christina atas kasih dan pengorbanan yang tiada henti;

16. Sahabat-sahabat seperjuangan di Persatuan Mahasiswa Hukum Tata Negara (PERMATA) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

17. Kawan-kawan berkembang dan bertumbuh di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

18. Sahabat-sahabat “komika” di Komunitas Filsafat KOMIK (Komunitas Mikir);

(6)

19. Harian Analisa yang telah menjadi wadah bagi penulis dalam mengembangkan serta menyampaikan ide dan gagasan selama kuliah;

20. Literacy Coffee dan Spirit Books and Coffee atas ruang dan inspirasi;

21. Teman-teman angkatan 2017 serta semua senior dan junior di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

Dalam dunia ilmu pengetahuan yang dinamis, penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, dan memang tidak akan pernah sempurna, sehingga setiap kritik dan saran akan menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi penulis.

Medan, Juli 2021

Penulis

Christian Rahmat Hutahaean NIM: 170200118

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN………. i

LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……… ii

KATA PENGANTAR………. iii

DAFTAR ISI……… vi

DAFTAR TABEL……… viii

DAFTAR SKEMA……….. ix

ABSTRAK………... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang……….. 1

B. Rumusan masalah……….. 10

C. Tujuan penulisan……….….. 11

D. Manfaat penulisan………. 12

E. Keaslian penulisan………. 13

F. Tinjauan kepustakaan……… 15

G. Metode penelitian……… ….. 21

H. Sistematika penulisan………. 23

BAB II NEGARA HUKUM, HUKUM TATA NEGARA DARURAT, DAN PEMERINTAHAN DARURAT A. Negara Hukum……… 25

B. Hukum Tata Negara Darurat……….. 36

C. Pemerintahan Darurat………..……… 48

D. Pengaturan Mengenai Kedaruratan dalam Konstitusi Indonesia……….... 53

E. Pasal 12 dan pasal 22 UUD NRI 1945 sebagai Dasar Konstitusional Pemberlakuan Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia………..……... 66

(8)

BAB III TUJUAN DAN SYARAT PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN DARURAT

A. Tujuan Pembentukan Pemerintahan Darurat……….... 71 B. Syarat-Syarat Pembentukan Pemerintahan Darurat….. 74 C. Pemegang Kekuasaan Darurat……….. 79 BAB IV PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA

A. Sekilas Latar Belakang Pembentukan Pemerintah

Darurat Republik Indonesia (PDRI)………. 84 B. Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)

di Sumatera Barat Tahun 1948-1949 sebagai

Suatu Pemerintahan Darurat……..……… 95 C. Keabsahan Pemerintah Darurat Republik Indonesia

(PDRI) di Sumatera Barat Tahun 1948-1949 dalam

Perspektif Hukum Tata Negara Darurat……… 99

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………... 108 B. Saran……….. 109 DAFTAR PUSTAKA………. 111

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Ringkasan Peristiwa yang Pernah Menyebabkan

Keadaan Darurat di Indonesia……….. 5

(10)

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Perkembangan Negara Hukum Rechtsstaat………... 32

(11)

PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA DARURAT

(STUDI KASUS PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA DI SUMATERA BARAT)

Christian Rahmat Hutahaean*

Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum**

Dr. Afnila, S.H., M.Hum***

ABSTRAK

Pemerintahan darurat (emergency government) adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam keadaan darurat yang membutuhkan tindakan penanggulangan segera, dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara itu sendiri selama keadaan darurat tersebut berlangsung. Dengan kata lain, pemerintahan darurat adalah pemerintahan yang dijalankan dalam keadaan bahaya atau darurat. Pemerintahan darurat itu sendiri merupakan respons atas keadaan bahaya yang sedang dihadapi, dan bertujuan untuk mempertahankan eksistensi pemerintahan negara yang bersangkutan. Konsep pemerintahan darurat dapat dianalisis dari perspektif hukum tata negara darurat.

Dalam sejarah ketatanegaraannya, Indonesia pernah menerapkan pemerintahan darurat yang dikenal sebagai Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pemerintahan darurat ini merupakan respons atas tindakan agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda pada tahun 1948. Pembentukan PDRI merupakan strategi untuk menunjukkan bahwa Republik Indonesia tetap bertahan sebagai suatu negara berdaulat kendati dalam tekanan pihak Belanda.

Adapun rumusan masalah yang diajukan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana pengaturan mengenai hukum tata negara darurat dan pemerintahan darurat dalam konstitusi Indonesia, bagaimana hukum tata negara darurat memandang konsep pemerintahan darurat, dan bagaimana keabsahan PDRI dalam tinjauan hukum tata negara darurat.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hukum tata negara darurat dan pemerintahan darurat dalam konstitusi Indonesia, konsep pemerintahan darurat dalam perspektif hukum tata negara darurat, dan keabsahan PDRI dalam tinjauan hukum tata negara darurat. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis-normatif, dengan 3 (tiga) macam pendekatan, meliputi: pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan kasus (case approach).

Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak awal, Indonesia telah mengadakan pengaturan tentang hukum tata negara darurat dalam konstitusinya, yaitu pada pasal 12 dan pasal 22 UUD NRI 1945. Sementara pengaturan secara lebih spesifik mengenai pemerintahan darurat tidak ditemukan dalam konstitusi Indonesia. Metode yang dapat digunakan untuk memahami konsep pemerintahan darurat adalah dengan melihatnya dari sudut pandang hukum tata negara darurat. Adapun hukum tata negara darurat memandang pemerintahan darurat sebagai konsep yang berangkat dari prinsip-prinsip dasar hukum tata negara darurat, serta memiliki tujuan sebagaimana tujuan hukum tata negara darurat. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa keabsahan PDRI sebagai sebuah pemerintahan darurat dapat dipertanggungjawabkan dalam tinjauan hukum tata negara darurat.

Kata Kunci: Hukum Tata Negara Darurat, Pemerintahan Darurat, PDRI.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Departemen Hukum Tata Negara

**Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Pembimbing I Skripsi Penulis

***Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Pembimbing II Skripsi Penulis

(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Dalam diskursus hukum ketatanegaraan, terkhusus dalam hukum tata negara darurat (state of emergency), dikenal istilah pemerintahan darurat (emergency government).1 Pemerintahan darurat ini berkaitan erat dengan teori-teori dalam hukum tata negara darurat. Hukum tata negara darurat adalah hukum yang diberlakukan oleh sebuah negara dalam keadaan darurat. Keadaan darurat itu sendiri diartikan sebagai keadaan bahaya yang tiba-tiba mengancam tertib umum, yang menuntut negara untuk segera bertindak dengan cara-cara yang tidak lazim menurut aturan hukum yang biasa berlaku dalam keadaan normal.2

Mengacu pada pengertian tersebut, dalam perkembangannya dikenal beragam istilah untuk mengidentifikasi keadaan darurat. Dalam penulisan skripsi ini akan digunakan istilah yang lebih umum dan sering digunakan serta yang memiliki keterkaitan dengan sejarah ketatanegaraan Indonesia.

Pertama, states of emergency. Istilah ini merupakan istilah yang sering dipergunakan dalam pergaulan internasional. Istilah ini digunakan oleh salah satu institusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dikenal sebagai Special Rapporteur on the Question of Human Rights and States of Emergency atau lebih sering disebut sebagai Special Rapporteur on States of Emergency saja.3

1 S. M. Rasjid, Di Sekitar PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). (Jakarta:

Penerbit N. V. Bulan Bintang, 1982), hal. 11.

2 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hal. 7.

3 Special Rapporteur on States of Emergency berkaitan dengan mekanisme pelaporan pemberlakuan keadaan darurat di setiap negara guna menjamin hak-hak asasi manusia tetap terlindungi selama keadaan darurat berlangsung. Ibid., hal. 99

(13)

Selain itu, istilah ini juga dapat ditemui dalam 3 (tiga) instrumen utama yang mengatur tentang pemberlakuan keadaan darurat dalam lingkup internasional, yaitu:4

a. Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia atau European Convention on Human Rights (ECHR) tahun 1950.5 Pada pasal 15 ayat (1) ECHR disebutkan;

In time of war or other public emergency threatening the life of the nation any High Contracting Party may take measures derogating from its obligations under this Convention to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with its other obligations under international law.

(Dalam masa perang atau keadaan darurat publik lainnya yang mengancam kehidupan bangsa, setiap Pihak Tinggi dapat mengambil tindakan mengurangi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini sejauh sangat dibutuhkan oleh keadaan darurat, asalkan tindakan tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional).6 b. Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia atau American Convention

on Human Rights (ACHR) tahun 1969;7 Pada pasal 27 ayat (1) ACHR disebutkan;

In time of war, public danger, or other emergency that threatens the independence or security of a State Party, it may take measures derogating from its obligations under the present Convention to the extent and for the period of time strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with its other obligations under international law and do not involve discrimination on the ground of race, color, sex, language, religion, or social origin.

(Di waktu perang, malapetaka, atau keadaan darurat lain yang mengancam kemerdekaan atau keamanan, suatu Negara Pihak, boleh mengambil tindakan-tindakan yang melanggar kewajiban-kewajibannya menurut Konvensi ini sampai sejauh untuk jangka waktu yang sepenuhnya

4 Ibid., hal. 157-158.

5 Pengaturan selengkapnya dalam Article 15 European Convention on Human Rights tentang Derogation in time of emergency.

6 Terjemahan bebas oleh penulis.

7 Pengaturan selengkapnya dalam Article 27 American Convention on Human Rights tentang Suspension of Guarantees.

(14)

diperlukan asalkan tindakan-tindakan tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang lain menurut hukum internasional, dan tidak melibatkan diskriminasi atas alasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal usul sosial).8

c. Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Perserikatan Bangsa- Bangsa tahun 1966;9 Pada pasal 4 ayat (1) ICCPR disebutkan;

In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed, the States Parties to the present Covenant may take measures derogating from their obligations under the present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their other obligations under international law and do not involve discrimination solely on the ground of race, colour, sex, language, religion or social origin.

(Dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa dan keadaan itu diumumkan secara resmi, negara pihak dapat mengambil tindakan yang menyimpang dari kewajibannya menurut Kovenan ini sejauh hal itu mutlak diperlukan oleh kebutuhan situasi darurat tersebut, dengan ketentuan bahwa tindakan itu tidak mengakibatkan diskriminasi yang semata-mata didasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau asal usul sosial).10

Kedua, noodtoestand, noodzakelijke, dan staatsnoodrecht. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa Belanda. Sebagai negara yang dulunya pernah berada dalam tatanan kolonialisme Belanda, Indonesia banyak menggunakan istilah-istilah hukum berbahasa Belanda, baik dalam tataran teori atau akademis, maupun dalam praktik sehari-hari. Untuk keadaan darurat sendiri, dikenal istilah semisal;

noodtoestand dan noodzakelijke yang dapat dijumpai dalam pasal 48 dan 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan di bidang hukum tata negara, dikenal istilah staatsnoodrecht yang dapat diartikan sebagai hukum tata

8 Terjemahan Pusat Dokumentasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

9 Pengaturan selengkapnya dalam Article 4 International Covenant on Civil and Political Rights.

10 Terjemahan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).

(15)

negara darurat atau hukum dalam keadaan bahaya. Kata kunci dalam beberapa istilah tersebut adalah nood, sebuah kata dalam bahasa Belanda yang artinya

“keadaan darurat”, “keadaan sulit”, keadaan berbahaya”, “keadaan menyedihkan”.11

Ketiga, “keadaan bahaya” dan “keadaan kegentingan yang memaksa”, yaitu istilah yang digunakan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sampai saat ini.

Keadaan darurat disebutkan terutama dalam UUD NRI 1945 dengan istilah

“keadaan bahaya”12 dan “keadaan kegentingan yang memaksa”.13 Kedua pengaturan ini menjadi sumber pengaturan lebih lanjut mengenai kedaruratan yang diatur dalam berbagai regulasi di Indonesia.

Di samping istilah-istilah yang telah disebutkan di atas, istilah emergency government juga digunakan sebagai padanan untuk pemerintahan darurat.

Penggunaan istilah ini dilatarbelakangi oleh kajian-kajian terdahulu yang juga menggunakan istilah serupa.14 Hal ini merupakan upaya agar rangkaian pengembangan ilmu pengetahuan tidak terputus lantaran disparitas istilah.

Setelah dicapai kesepahaman dalam hal penggunaan istilah, selanjutnya akan dipresentasikan secara ringkas beberapa peristiwa yang menyebabkan keadaan darurat yang pernah terjadi di Indonesia. Peristiwa-peristiwa yang dimaksud antara lain:15

11 S. Wajowasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hal. 427.

12 Pasal 12 UUD NRI 1945.

13 Pasal 22 UUD NRI 1945.

14 S. M. Rasjid, Di Sekitar PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia), op. cit., hal.

11., dan Mestika Zed, Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia: Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hal. 191.

15 Agus Adhari, “Ambiguitas Pengaturan Keadaan Bahaya Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, Volume 11 No. 1, November 2019, hal. 44.

(16)

Tabel 1.

Ringkasan Peristiwa yang Pernah Menyebabkan Keadaan Darurat di Indonesia.

Tahun Tempat Keadaan Tingkatan Bahaya

1950’an Jawa Timur Keadaan perang Keadaan perang 1999 Timor Timur Pemberontakan Darurat militer

2000 Maluku Konflik Darurat sipil

2001 Sampit Konflik Tidak ada

2002 Aceh Konflik Darurat sipil

2003 Aceh Pemberontakan Darurat militer

2004 Aceh-Nias Bencana alam Tidak ada

2018 Lombok Bencana alam Tidak ada

2018 Palu-Donggala Bencana alam Tidak ada

2019 Wamena Konflik Tidak ada

Selain peristiwa-peristiwa di atas, peristiwa paling terbaru yang bisa disebut tentu saja adalah pandemi covid-19 yang menyebabkan situasi darurat kesehatan di Indonesia.16 Barangkali beberapa peristiwa yang telah disebutkan ini hanya sebagian saja dari banyak peristiwa yang pernah menimbulkan keadaan darurat atau keadaan bahaya di Indonesia. Hal ini bisa saja terjadi mengingat keadaan bahaya atau darurat tidak selalu dinyatakan secara de jure. Adapun peraturan perundang-undangan yang menjadi ataupun pernah menjadi dasar pemberlakuan keadaan darurat di Indonesia adalah sebagai berikut:17

16 Keputusan Presiden RI No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

17 Dirangkum dari beberapa sumber.

(17)

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 12 dan pasal 22);

b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Pasal 139)

c. Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (Pasal 96 dan pasal 129) d. UU No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya

e. UU No. 74 Tahun 1957 tentang tentang Pencabutan "Regeling of de Staat Van Oorlog En van Beleg" Dan Penetapan "Keadaan Bahaya"

f. PERPPU No. 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan UU No. 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara No. 160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya;

g. UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;

h. UU No. 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi;

i. UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara (mencabut UU Mobilisasi dan Demobilisasi);

j. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Selain pemerintahan darurat, istilah lain yang juga berkaitan adalah pemerintahan di pelarian (government in exile). Boleh dikatakan, kedua diskursus ini memiliki objek kajian yang sama, yaitu pemerintahan suatu negara yang sedang menghadapi situasi genting atau darurat. Jika menelisik catatan sejarah, kedaruratan yang dimaksud dalam hal ini lebih mengacu pada darurat perang.

Contohnya, ketika sebuah negara diserang dan diinvasi oleh negara lain. Istilah pemerintahan di pelarian ini digunakan dalam literatur yang membahas Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat.18 Untuk lebih memudahkan pembacaan terhadap karya ilmiah ini, maka dalam

18 S. M. Rasjid, Di Sekitar PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia), op. cit., hal.

14.

(18)

skripsi ini akan digunakan istilah yang sama. Adapun pemerintahan darurat yang disebutkan belakangan ini akan menjadi studi kasus dalam penulisan skripsi ini.

Pada tahun 1948, saat di mana PDRI akan dibentuk, terdapat 2 (dua) opsi pembentukan pemerintahan dalam situasi darurat yang sedang dihadapi oleh Indonesia. 2 (dua) opsi tersebut adalah pemerintahan darurat, dan pemerintahan di pelarian. Opsi ini muncul melalui dua buah kawat atau radiogram yang dikirimkan pasca Sidang Kabinet terakhir pada tanggal 19 Desember 1948.

Radiogram yang pertama ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta yang juga merangkap sebagai Perdana Menteri. Isinya adalah penyerahan kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran yang pada saat itu tengah berada di Bukittinggi. Sedangkan radiogram kedua ditandatangani oleh Wakil Presiden/Perdana Menteri Hatta bersama dengan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Radiogram ini ditujukan kepada Mr. Maramis, Dr. Sudarsono, dan L. N.

Palar di New Delhi. Berisi perintah untuk segera membentuk pemerintahan di pelarian apabila Sjafruddin Prawiranegara tidak berhasil membentuk pemerintahan darurat di Bukittinggi.19

Berangkat dari fakta sejarah adanya pengiriman radiogram pada Sjafruddin Prawiranegara serta Maramis, dkk., dapat ditarik sebuah pemahaman sederhana bahwa PDRI di Sumatera Barat pada tahun 1948-1949 adalah sebuah pemerintahan darurat, bukan pemerintahan di pelarian. Pada saat bersamaan, fakta sejarah tersebut juga menunjukkan bahwa pemerintahan darurat dan pemerintahan di pelarian adalah dua diskursus yang berbeda dalam bidang hukum tata negara,

19 Ibid.

(19)

khususnya hukum tata negara darurat. Dengan demikian, dapatlah diketahui bahwa PDRI merupakan sebuah pemerintah darurat, sehingga pertanyaan apakah PDRI itu digolongkan sebagai pemerintahan darurat ataukah pemerintahan di pelarian, dapat dikesampingkan dalam penulisan skripsi ini.

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah terkait pengaturan keadaan darurat di masa PDRI. Sejauh mana norma-norma hukum tata negara darurat diakomodir dalam konstitusi untuk kemudian dijadikan sebagai dasar pengambilan kebijakan pembentukan suatu pemerintahan darurat. Jika pengaturan normatif tersebut telah ada saat PDRI dibentuk, pertanyaan lanjutannya adalah mengenai kesesuaian tindakan-tindakan yang diambil oleh PDRI dengan ketentuan-ketentuan konstitusional yang mengaturnya. Bagaimana pula pengaturan mengenai badan- badan yang ditunjuk sebagai pemegang kekuasaan pada masa-masa darurat, serta kekuasaan seperti apa yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan darurat. Dalam kasus PDRI, apakah kekuasaan yang dimiliki oleh PDRI pada saat itu telah sesuai dengan tingkatan bahaya yang sedang dihadapi, karena pada dasarnya, kekuasaan- kekuasaan yang diberikan kepada penguasa-penguasa dalam keadaan bahaya disesuaikan dengan derajat gentingnya keadaan bahaya yang dihadapi.20

PDRI merupakan simbol nasional dan pemersatu, khususnya bagi pasukan gerilya yang terpencar di seluruh Jawa dan Sumatera, karena pemerintahan Sjaffruddin Prawiranegara diakui oleh pasukan republik (di bawah Panglima Besar Sudirman) sebagai pengganti yang sah dari pemerintahan Soekarno dan

20 Ritwan Junianto, “Implementasi Undang-Undang Status Keadaan Darurat dan Bahaya Perang di Jawa Timur Tahun 1946-1962”, Avatara: e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 5 No. 1, Maret 2017, hal. 1368.

(20)

Hatta.21 Adanya pengakuan ini menjadi faktor penting dalam suatu pemerintahan darurat, karena dengan begitu, pemerintahan darurat tersebut mendapatkan legitimasinya. Namun, faktor pengakuan ini juga berjalan beriringan dengan aturan-aturan tertulis mengenai mekanisme pembentukan pemerintah darurat.

Niccolo Machiavelli22 mengatakan bahwa negara modern seharusnya tidak lagi mengedepankan penggunaan hukum secara berlebihan untuk menghadapi keadaan darurat, melainkan harus bisa menemukan solusi pemulihan bagi setiap keadaan darurat dan menetapkan aturan serta peraturan yang bisa dilaksanakan untuk menyelesaikan keadaan darurat tersebut. Sebagai contoh, beberapa negara, semisal Jerman dan Perancis membuat ketentuan secara eksplisit mengenai penugasan dan pemberian kekuasaan luar biasa (extraordinary power) kepada eksekutif dalam situasi krisis.23

Perlindungan hak-hak asasi manusia pada masa PDRI juga harus mendapat perhatian. Sejauh mana upaya pemerintah pada saat itu dalam melindungi hak-hak asasi manusia, khususnya hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (certain human rights are non-derogable under any circumstances),24 yang meliputi:

21 Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal. 213.

22 Niccolo Machiavelli, The Prince and the Discourses, 1513 Translation, (Random House, 1950), hal. 203, dalam Jimly Asshidiqie, Hukum Tata Negara Darurat, loc.cit., hal. 84.

23 Gordon Silverstein, Emergency Powers, Britannica Online Encyclopedia, 2020, hal. 1, diakses pada tanggal 23 November 2020 dari https://www.britannica.com/topic/emergency-powers

24 Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF), States of Emergency, 2005, hal. 2, diakses pada tanggal 23 November 2020 dari https://www.dcaf.ch

(21)

a. the right to life (hak untuk hidup);

b. prohibition of torture (larangan penyiksaan);

c. freedom from slavery (kebebasan dari perbudakan);

d. freedom from post facto legislation and other judicial guarantees (hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut serta jaminan yudisial lainnya);

e. the right to recognition before the law (hak untuk diakui di muka hukum);

f. freedom of thought, conscience and religion (kebebasan atas pikiran, keyakinan dan agama).

Pembahasan skripsi ini diawali dengan tinjauan umum mengenai negara hukum, hukum tata negara darurat, pemerintahan darurat dan pengaturan keadaan darurat dalam konstitusi Indonesia. Selanjutnya akan dijabarkan tujuan serta syarat-syarat pembentukan suatu pemerintahan darurat. Pada bagian pembahasan nantinya akan diuraikan secara ringkas dan padat latar belakang sejarah pembentukan PDRI. Uraian tersebut guna memberikan pemahaman yang komprehensif atas tema penulisan skripsi ini. Dari uraian kronologis pembentukan PDRI, pembahasan kemudian akan dilanjutkan dengan analisis fakta-fakta seputar pembentukan PDRI dengan bersandar pada teori-teori umum hukum tata negara darurat yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk kemudian mengambil kesimpulan terkait keabsahan PDRI sebagai suatu pemerintahan darurat.

B. Rumusan masalah

Berangkat dari judul karya ilmiah maupun dari masalah-masalahnya yang bersifat umum, diperlukan penjabaran lebih lanjut untuk membatasi masalah penelitian.25 Dengan kata lain, dalam menulis karya ilmiah, dibutuhkan perumusan masalah guna menentukan batas-batas sejauh mana tema karya ilmiah tersebut akan dieksplorasi. Berdasarkan judul dan latar belakang masalah

25 Amiruddin, Metode Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Parama Ilmu, 2016), hal. 65.

(22)

sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dalam skripsi ini akan diajukan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan mengenai hukum tata negara darurat dan pemerintahan darurat dalam konstitusi Indonesia?

2. Bagaimana hukum tata negara darurat memandang konsep pemerintahan darurat?

3. Bagaimana keabsahan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat pada tahun 1948-1949 dalam tinjauan hukum tata negara darurat?

C. Tujuan penulisan

Tujuan penelitian hukum pada umumnya adalah sebagai sarana untuk memperoleh data normatif dan empiris tentang suatu gejala atau peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat.26 Adapun tujuan penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui konsep serta sejauh mana konstitusi Indonesia mengadakan pengaturan mengenai hukum tata negara darurat pada umumnya dan khususnya pemerintahan darurat.

b. Untuk mengetahui konsep pemerintahan darurat dalam perspektif hukum tata negara darurat.

c. Untuk mengetahui keabsahan PDRI di Sumatera Barat pada tahun 1948-1949 dalam tinjauan hukum tata negara darurat.

26 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 30.

(23)

D. Manfaat penulisan

Ilmu Hukum memiliki 2 (aspek), yaitu aspek teoritis (theoretical), dan aspek praktis (practical). Dalam istilah lain, disebutkan pula bahwa Ilmu Hukum adalah ilmu yang mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan.27 Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, Ilmu Hukum mempelajari dan mendalami hukum dalam tataran konseptual, semisal; tujuan hukum dan norma- norma hukum. Sementara sebagai ilmu terapan, Ilmu Hukum mempelajari dan mendalami hukum dalam tataran praktis, semisal; pembuatan suatu peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan undang-undang. Kendati demikian, karakteristik Ilmu Hukum ini tidak boleh dipahami secara terlalu dikotomis, sebab pada kenyataannya, 2 (dua) karakteristik tersebut saling memengaruhi dan saling melengkapi. Ilmu hukum terapan merupakan konsekuensi dari sifat preskriptif ilmu hukum itu sendiri.28

Skripsi ini nantinya diharapkan dapat memperkaya diskursus hukum pada umumnya, khususnya hukum tata negara, dan hukum tata negara darurat secara lebih spesifik lagi, serta memicu munculnya gagasan-gagasan baru mengenai topik yang menjadi ide utama penulisan skripsi ini.

Sementara untuk manfaat yang lebih praktis dan aplikatif, pemahaman dalam skripsi ini diharapkan dapat menjadi rujukan dalam hal penyelenggaraan hukum tata negara darurat di Indonesia, serta pemakaian istilah “Pemerintahan Darurat”

secara lebih efektif, khususnya di bidang keilmuan hukum tata negara darurat.

27 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 22.

28 Ibid., hal. 24.

(24)

E. Keaslian penulisan

Pemilihan judul skripsi ini didorong oleh fakta belum banyaknya pembahasan mengenai Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia. Masih minimnya literatur serta karya ilmiah yang membahas topik tersebut sedikit-banyak menjadi bukti bahwa diskursus mengenai Hukum Tata Negara Darurat belum mendapat tempat di tengah-tengah diskursus hukum pada umumnya.

Sejauh ini, baru ada 2 (dua) buah literatur arus utama yang dipakai sebagai rujukan dalam membicarakan hukum tata negara darurat. Buku tersebut adalah buku Hukum Tata Negara Darurat yang ditulis oleh Jimly Asshiddiqie29 dan Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia karya Herman Sihombing.30 Belum banyak karya ilmiah yang berusaha mengembangkan wacana mengenai pemerintahan darurat. Hal ini mengakibatkan diskursus tentang pemerintahan darurat tidak banyak berkembang, termasuk di Indonesia. Padahal, Indonesia sendiri dalam sejarah kenegaraannya, telah beberapa kali mempraktikkan hukum tata negara darurat, baik secara de jure maupun secara de facto.

Fakta-fakta tersebut di atas menjadi alasan pertama dan utama penulis mengangkat “Pemerintahan Darurat (Emergency Government) dalam Perspektif Hukum Tata Negara Darurat (Studi Kasus Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat)” sebagai judul skripsi.

Terdapat beberapa karya ilmiah yang membahas pokok persoalan yang hampir sama. Namun, pokok pembahasan skripsi ini dapat dipastikan, memiliki nilai diferensial dibandingkan karya-karya ilmiah terdahulu. Sebagai contoh, terdapat

29 Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

30 Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas. Mengenang Profesor Herman Sihombing, Orang Batak di Ranah Minang, diakses pada tanggal 17 November 2020 dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56600a7bb697a/mengenang-profesor-herman-

sihombing--orang-batak-di-ranah-minang/

(25)

skripsi berjudul Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat: Suatu Tinjauan Historiografi.31 Ada pula skripsi berjudul Abdul Samad:

Kiprah Pejuang Pada Masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dan Tokoh Pendiri YPPPDRI (1948-2012).32

Masing-masing memiliki kesamaan dengan skripsi ini, yaitu sama-sama bersinggungan dengan PDRI. Namun, pembahasan kedua skripsi tersebut berfokus pada studi sejarah komparatif, dan penelusuran kiprah salah seorang tokoh PDRI. Sedangkan pokok bahasan skripsi ini, kendati menggunakan pendekatan sejarah, berfokus pada aspek hukum yang melingkupi PDRI.

Selain dalam bentuk skripsi, ada juga karya ilmiah dalam bentuk jurnal yang membahas topik yang mirip dengan topik skripsi ini. Jurnal tersebut berjudul Pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia Tahun 1948-1949 Dalam Perspektif Fiqh Siyasah dan Hukum Tata Negara33 dan Studi Pemikiran Mestika Zed Tentang Pemerintah Darurat Republik Indonesia.34 Kedua karya ini sama-sama memuat PDRI sebagai variabel penting. Namun jika dicermati, masih ditemukan nilai diferensial dalam skripsi ini, yakni aspek hukum tata negaranya.

Sedangkan kedua karya jurnal yang disebutkan di atas menitikberatkan pembahasannya pada aspek hukum Islam serta pendedahan metode berpikir seorang tokoh akademisi.

Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pertanggungjawaban itu pun telah

31 Skripsi oleh Rulyani Ayu di STKIP PGRI Sumatera Barat.

32 Skripsi oleh Putra Satria Rio di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.

33 Jurnal oleh Moch. H. Kharismulloh Hilmatiar di Jurnal Al-Mazahib Volume 3, Nomer 1, Juni 2015.

34 Jurnal oleh Erasiah di Buletin Al-Turas Volume XXV No. 1 Bulan Januari Tahun 2019.

(26)

dilaksanakan oleh penulis dengan cara mematuhi prosedur-prosedur formal yang telah ditetapkan oleh Fakultas sebelum mengerjakan skripsi ini sampai selesai.

Skripsi ini diharapkan bisa menjadi setitik kecil harapan dalam pengembangan diskursus hukum tata negara darurat di Indonesia, khususnya mengenai konsep pemerintahan darurat, sehingga dapat memicu lebih banyak lagi orang untuk menulis tentang tema-tema yang sama dan/atau saling berkaitan.

F. Tinjauan kepustakaan

Terdapat 3 (tiga) variabel penting dalam penulisan skripsi ini, yaitu hukum tata negara darurat, pemerintahan darurat, dan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Masing-masing variabel akan dibahas sebagai pengantar untuk memahami substansi utama skripsi ini, yaitu pemerintahan darurat dalam perspektif hukum tata negara darurat.

Pengembangan wacana yang minim di bidang hukum tata negara darurat membuat wacana di sekitarnya, termasuk pemerintahan darurat, juga tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Pada akhirnya, minimnya pengembangan wacana ini menjadi sebab sekaligus akibat dari mandegnya diskursus tentang hukum tata negara darurat dan pemerintahan darurat.

Kemandegan ini salah satunya dapat dilihat dari belum optimalnya upaya dalam merumuskan pengertian-pengertian umum secara efektif di bidang hukum tata negara darurat maupun pemerintahan darurat.

Dalam penulisan suatu karya ilmiah, studi kepustakaan adalah tahap yang tidak kalah penting dari tahapan-tahapan lainnya. Bahkan, boleh jadi studi kepustakaan memegang peranan yang jauh lebih besar dibanding tahapan yang lain. Hingga ada ungkapan yang menyatakan bahwa studi kepustakaan merupakan

(27)

separuh dari keseluruhan aktivitas penelitian itu sendiri, six hours in library save six months in field or laboratory.35 Dari sini dapat dilihat betapa signifikan kegiatan studi kepustakaan dalam menunjang sebuah penulisan karya ilmiah.

Studi kepustakaan adalah tahap di mana penulis atau peneliti mencari landasan teori dari permasalahan penelitiannya, sehingga penelitian yang dilakukan bukanlah aktivitas yang bersifat “trial and error”.36

Berdasarkan fungsinya, kepustakaan dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:37

1. Acuan umum, yang berisi konsep-konsep, teori-teori, dan informasi-informasi lain yang bersifat umum, seperti; buku-buku, indeks, ensiklopedia, farmakope, dan sebagainya.

2. Acuan khusus, yang berisi hasil-hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan penelitian yang diteliti, seperti; jurnal, laporan penelitian, buletin, tesis, disertasi, brosur, dan sebagainya.

Adapun skripsi ini berharap banyak pada jurnal-jurnal terdahulu yang membahas baik tentang hukum tata negara darurat, pemerintahan darurat, ataupun seputar peristiwa yang berkaitan dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia.

Studi kepustakaan, jika dilakukan dengan baik, akan memberikan manfaat berupa:38

35 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 114.

36 Ibid.

37 Ibid., hal. 115.

38 Ibid., hal. 117.

(28)

a. Diperoleh konsep-konsep dan teori-teori yang bersifat umum yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

b. Melalui prosedur logika deduktif, akan dapat ditarik kesimpulan spesifik yang mengarah pada penyusunan jawaban sementara terhadap permasalahan penelitiannya.

c. Akan diperoleh informasi empirik yang spesifik yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

d. Melalui prosedur logika induktif, akan diperoleh kesimpulan umum yang diarahkan pada penyusunan jawaban teoritis terhadap permasalahannya.

Melalui studi kepustakaan inilah akan dicoba pengelaborasian teori dasar, fakta serta hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan guna menjawab permasalahan yang telah diajukan sebelumnya.

Hukum tata negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan yang diperlukan beserta kewenangannya masing-masing, hubungannya satu sama lain, serta hubungannya dengan individu warga negara dalam kegiatannya.39 Defenisi ini diutarakan oleh Van der Pot. Tentu masih ada banyak definisi lainnya yang lebih beragam yang ditawarkan oleh beberapa akademisi hukum semisal Van Vollenhoven, Paul Scholten, dan J. H. A. Logemann. Sebagaimana ilmu hukum, hukum tata negara juga memiliki definisi yang beragam. Kendati demikian, jika diteliti lebih lanjut, setiap definisi pasti memiliki kesamaan dengan definisi yang lain. Maka, ketika skripsi ini menggunakan salah satu definisi, bukan berarti definisi lainnya tidak memadai untuk menggambarkan apa yang dimaksud dengan hukum tata negara.

39 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hal.19.

(29)

Hukum tata negara darurat selaku hukum tata negara darurat dalam keadaan bahaya atau darurat adalah rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan darurat atau bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan biasa menurut perundang-undangan dan hukum yang umum dan biasa.40

Dari defenisi di atas, dapat dipahami bahwa hukum tata negara darurat terjadi dalam situasi bahaya yang menyebabkan peraturan perundang-undangan serta hukum yang biasanya berlaku dalam tatanan kehidupan sehari-hari tidak akan sanggup berjalan dengan efektif. Demi mengatasi tidak efektifnya hukum biasa ini, maka diadakanlah pengaturan-pengaturan yang bersifat luar biasa (extraordinary) dan istimewa dalam suatu sistem hukum tata negara darurat.

Dapat pula dipahami bahwa rumusan defenisi tersebut juga menyiratkan tentang sifat kesementaraan dari hukum tata negara darurat (mengenai ini akan dijelaskan kemudian pada bagian pembahasan, yaitu tentang asas-asas hukum tata negara darurat), di mana dalam defenisi tersebut, hukum tata negara darurat diberlakukan dengan tujuan menghapuskan keadaan bahaya sesegera mungkin, sehingga bisa kembali ke kehidupan biasa yang diselenggarakan berdasarkan perundang-undangan serta hukum yang umum dan biasa.

Pemerintahan dapat diartikan sebagai proses, cara, perbuatan memerintah, atau dapat juga diartikan sebagai segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara.41 Sementara darurat mempunyai arti dalam keadaan terpaksa; disebabkan karena

40 Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1996), hal. 1.

41 Ilham Gunawan dan M. Martinus Sahrani, Kamus Hukum, (Jakarta: Restu Agung, 2002), hal. 387.

(30)

keadaan memaksa.42 Dapat pula diartikan sebagai keadaan sukar (sulit) yang tidak tersangka-sangka (dalam bahaya, kelaparan, dan sebagainya) yang memerlukan penanggulangan segera; keadaan terpaksa; keadaan sementara.43 Dengan formulasi pengertian pemerintahan dan darurat ini, dapat dibangun sebuah pemahaman bahwa yang dimaksud dengan pemerintahan darurat adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam keadaan darurat yang membutuhkan tindakan penanggulangan segera, dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara itu sendiri selama keadaan darurat tersebut berlangsung. Dengan kata lain, pemerintahan darurat adalah pemerintahan yang dijalankan dalam keadaan bahaya atau darurat. Pemerintahan darurat itu sendiri merupakan respons atas keadaan bahaya tersebut yang tujuannya adalah untuk mempertahankan eksistensi pemerintahan dari negara yang bersangkutan.

Bertolak dari Konvensi Montevideo44 yang menjadi acuan umum dalam mengidentifikasi unsur-unsur suatu negara sebagai subjek hukum internasional, dapat dikatakan sebagai negara jika memenuhi kualifikasi sebagai berikut:

a. populasi permanen;

b. wilayah yang sudah ditentukan;

c. pemerintahan;

d. kapasitas untuk menjalin hubungan dengan negara lain.

Maka pemerintahan adalah salah satu unsur pembentuk suatu negara yang di dalamnya terdapat subjek (pemerintah) yang memerintah dan mengadakan serangkaian pengaturan guna mengakomodir kepentingan serta memenuhi hak- hak penduduk atau populasi permanen yang berada dalam suatu wilayah.

42 Ibid., hal. 70.

43 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal. 319.

44 Article 1 Montevideo Convention on the Rights and Duties of States.

(31)

Bicara soal pemerintahan darurat tidak jauh beda dengan bicara soal hukum tata negara darurat. Oleh sebab itulah, terkadang tidak ada dikotomi yang jelas dalam menyebutkan hukum tata negara darurat dengan pemerintahan darurat.

Perbedaan paling mendasar antara negara dengan pemerintahan adalah bahwa negara dapat dipahami sebagai sesuatu yang diam (statis), sedangkan pemerintahan dipahami sebagai sesuatu yang senantiasa bergerak (dinamis).

Hukum tata negara darurat lebih mengacu kepada sistem, aturan-aturan, otoritas yang membuat aturan tersebut, serta bagaimana aturan-aturan tersebut seharusnya dilaksanakan dalam keadaan darurat. Sedangkan pemerintahan darurat mengacu pada otoritas yang melaksanakan aturan-aturan, serta bagaimana aturan-aturan tersebut dilaksanakan pada kenyataannya. Dengan kata lain, hukum tata negara darurat berada pada tataran teori, sementara pemerintahan darurat berada pada tataran praktik.

PDRI adalah sebuah pemerintahan darurat Republik Indonesia yang didirikan di Bukittinggi, Sumatera Barat pasca serangan agresi militer kedua yang dilancarkan oleh Belanda pada tahun 1948. Pemerintahan darurat ini diketuai oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan menjadi bukti pada masa itu bahwa Republik Indonesia masih eksis kendati Belanda berusaha untuk menduduki kembali Indonesia.

Setelah variabel-variabel di atas dikaji secara terpisah, hasil kajian tersebut kemudian akan dielaborasikan secara utuh dan menyeluruh guna menjawab permasalahan yang sudah dirumuskan sebelumnya. Dengan cara ini, maka permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini bisa terjawab dengan baik.

(32)

G. Metode penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian hukum yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Spesifikasi penelitian

Penulisan skripsi ini menerapkan metode penelitian normatif. Dengan studi kepustakaan, akan dilakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan judul skripsi ini, yaitu pemerintahan darurat dalam perspektif hukum tata negara darurat.

2. Metode pendekatan

Penulisan skripsi melalui penelitian normatif ini dilakukan dengan menggunakan 3 (tiga) macam pendekatan, yaitu pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan kasus (case approach).

Pendekatan konsep dilakukan mengingat skripsi ini fokus pada konsep pemerintahan darurat dalam perspektif hukum tata negara darurat. Pendekatan sejarah dilakukan karena dalam penulisannya, skripsi ini tidak bisa tidak, harus bersentuhan denga aspek sejarah. Penelitian normatif yang menggunakan pendekatan sejarah memungkinkan seorang peneliti memahami hukum seccara lebih mendalam tentang suatu sistem atau lembaga atau suatu pengaturan hukum tertentu, sehingga dapat meminimalisir kekeliruan-kekeliruan, baik dalam pemahaman maupun penerapan suatu lembaga atau ketentuan hukum tertentu.45 Adapun pendekatan kasus (case approach) bertujuan untuk mempelajari bagaimana penerapan norma-norma atau kaidah hukum dilakukan dalam praktik

45 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1976), cet. ke-III, hal. 64, dalam Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Depok: Penerbit Prenadamedia Group, 2018), Cet. ke-II, hal. 144.

(33)

hukum.46 Dalam hal ini yaitu kaidah-kaidah hukum tata negara darurat dalam kasus terbentuknya PDRI pada tahun 1948-1949 di Sumatera Barat. Kendati menggunakan banyak pendekatan, fokus penelitian skripsi ini tetap berada pada aspek hukum, dalam hal ini hukum tata negara. Dengan demikian, hukum tata negara tetap menjadi yang utama, sedangkan aspek sejarah, politik, serta aspek lainnya di luar hukum, hanya akan menjadi aspek pendukung dalam penulisan skripsi ini.

3. Sumber hukum

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian normatif. Oleh karenanya, skripsi ini mempergunakan bahan hukum primer, sekunder, dan bahan nonhukum dalam penulisannya. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundangan-undangan. Bahan hukum sekunder meliputi buku-buku hukum, jurnal hukum, serta pendapat para pakar yang relevan dengan pokok permasalahan skripsi. Adapun bahan-bahan nonhukum yang dipergunakan terdiri atas buku-buku serta jurnal di bidang ilmu sejarah, khususnya yang membahas tentang PDRI sebagai studi kasus dalam penulisan skripsi ini.

4. Pengumpulan bahan hukum

Pengumpulan data-data yang diperlukan untuk penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Dalam penelitian kepustakaan, dilakukan penelusuran literatur-literatur yang berkaitan erat dengan tema skripsi, yang tentunya bisa menjadi landasan dalam penulisan skripsi ini.

Data-data yang telah terhimpun kemudian akan diklasifikasikan ke dalam bab dan

46 Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Depok: Penerbit Prenadamedia Group, 2018), Cet. ke-II, hal. 146.

(34)

subbab yang telah disusun secara berurutan sesuai dengan pokok permasalahan untuk kemudian dianalisis.

5. Pengolahan dan analisis bahan hukum

Data-data yang telah terkumpul kemudian akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode analisis induktif dan deduktif. Dalam metode induktif, contoh-contoh konkret dan fakta-fakta penelitian yang telah diuraikan sebelumnya akan digeneralisasi, kemudian dirumuskan menjadi suatu kesimpulan. Sedangkan dalam metode deduktif, kesimpulan-kesimpulan umum berdasarkan generalisasi sebelumnya akan diurai menjadi contoh-contoh konkret dan fakta-fakta yang mampu menjelaskan kesimpulan umum tersebut.

H. Sistematika penulisan

Karya ilmiah yang baik adalah karya ilmiah yang diuraikan secara sistematis.

Ini akan memudahkan proses penulisan dan penyusunan karya ilmiah, dan juga membantu pembaca dalam memahami substansi karya ilmiah tersebut. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I

PENDAHULUAN

Yaitu sebagai pengantar dan pendahuluan skripsi. Bab ini terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, keaslian penulisan, serta sistematika penulisan.

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan diplomatik antar negara setelah perubahan dari kekebalan mutlak (absolute immunity) menjadi kekebalan terbatas (restrictive immunity) pada umumnya immunity and

pengaturan pelaksanaan kewenangan lokal berskala desa di bidang pembangunan desa oleh Pemerintahan Desa pemerintah desa terlebih dahulu melakukan tahapan perencanaan pembangunan

73 Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi Revisi , Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2004, hal 77.. regulasi-regulasi yang relevan untuk

Dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana, berdasarkan sejarah pembentukan dari pasal yang bersangkutan, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian kredit yang mengalami kemacetan pada Kredit Usaha Rakyat di PT.Bank Rakyat Indonesia Cabang Kota Binjai

Dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, kartel adalah apabila pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya khususnya berkaitan dengan Aspek Hukum

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika menurut hukum pidana di indonesia, bagaimana pengatura