• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : NABILLA YAN KHANSA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : NABILLA YAN KHANSA"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PERGESERAN PARADIGMA KEKEBALAN MUTLAK ( ABSOLUTE IMMUNITY ) MENJADI KEKEBALAN TERBATAS ( RESCTRICTIVE IMMUNITY )

DALAM HUKUM DIPLOMATIK

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NABILLA YAN KHANSA 120200017

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PERGESERAN PARADIGMA KEKEBALAN MUTLAK (ABSOLUTE IMMUNITY) MENJADI

KEKEBALAN TERBATAS (RESCTRICTIVE IMMUNITY) DALAM HUKUM DIPLOMATIK

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NABILLA YAN KHANSA 120200017

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Internasional

Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum.

NIP : 1956121019860112001

Dosen pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Sutiarnoto MS. S.H., M.HUM Arif, S.H., M.H.

NIP : 195610101986031003 NIP : 196403301993031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(3)

SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Nabilla Yan Khansa

NIM : 120200017

Adalah mahasiswa pada Departemen Hukum Internasional fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan ini menyatakan bahwa skrisi saya yang saya tulis dengan judul :

“TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PERGESERAN PARADIGMA KEKEBALAN MUTLAK (ABSOLUTE IMMUNITY) MENJADI KEKEBALAN TERBATAS (RESCTRICTIVE IMMUNITY) DALAM HUKUM DIPLOMATIK”

Adalah hasil penulisan saya sendiri, saya bersedia menanggung segala akibat yang ditimbulkan jika skripsi ini sebagian atau seluruhnya adalah hasil karya orang lain.

Medan, 06 Oktober 2016

Nabilla Yan Khansa

120200017

(4)

KATA PENGANTAR

Bissmillahirrahmanirrahim

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT pemilik semesta alam atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir dalam rangka untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring salam Penulis haturkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam kebodohan menuju alam berilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat ini.

Adapun skripsi ini berjudul :

“TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PERGESERAN PAARADIGMA KEKEBALAN MUTLAK (ABSOLUTE IMMUNITY) MENJADI KEKEBALAN TERBATAS (RESCTRICTIVE IMMUNITY) DALAM HUKUM DIPLOMATIK”

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini juga saya mendapat dukungan dari banyak pihak.

Sebagai ucapan terima kasih pada kesempatan yang bahagia ini dengan kerendahan hati saya sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sedalam- dalamnya kepada:

(5)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M. Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting SH., M. Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. O.K Saidin , SH., M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.h., M.Hum, selaku wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Dr. Chairul Bariah, SH., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Dr. Sutiarnoto MS. S.H., M.HUM. selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

8. Bapak Arif, SH, M.H. selaku Dosen Pembimbing II dan sekaligus Dosen Pembimbing Akademik penulis yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

9. Kepada seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Hukum Internasional yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

10. Kepada seluruh staf administrasi dan pegawai yang turut serta membantu saya dalam proses administrasi selama saya menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

11. Orang Tua saya yang selalu mendukung dalam hal apapun yang terbaik untuk saya, yang selalu memberikan motivasi dan doanya kepada saya selama ini. Semoga mama dan papa selalu dilindungi Allah SWT.

12. Adik saya Rakha yang selalu mendorong saya dan memberikan semangat buat mengerjakan skripsi dan adek saya Jodie yang juga mendukung saya.

13. Untuk Teman-teman saya si enyak ( Putri ) yang selalu juga memdukung dan menjadi kakak sahabat yang selalu mendengarkan curhatan saya dan selalu bayarin makan, Imel juga sahabat saya yang selalu nyuruh saya buat diet, ada juga melva temen satu Departemen yang nyuruh cepet selesaikan skripsi dan diet juga, nurul temen menggosip bareng, andrayani temen nonton dikelas, Pamela temen yang rempong, husna temen yang gaul dan paskah temen yang pintar dan nyuruh cepat nyelesin skripsi juga.

14. Untuk teman-teman saya yang berada di luar negeri ada Rudra, Mershawn, Matt, Daniel, Zak, Marwan, Flo, Issi dan lain-lain.

15. Temen- temen ILSA yang menjadi temen baru dan berjuang bersama-sama.

16. Buat semua temen- temen yang gak bisa disebutin satu per satu, dan semua pihak yang membantu.

Penulisan skripsi ini telah semaksimal mungkin saya kerjakan, namun saya menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, sehingga sangat diharapkan kritik dan saran yang dapat membangun sehingga skripsi ini dapat berguna bagi banyak orang.

(7)

Akhir kata, kepada semua pihak yang telah membantu dan memberi semangat dalam. penulisan skripsi ini saya ucapkan terima kasih yang sedalam- dalamnya dan memohon maaf apabila masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu melindungi kita semua.

Medan, September 2016

Penulis

Nabilla Yan Khansa

120200017

(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ……… i

LEMBAR PERNYATAAN ………. ii

KATA PENGANTAR ………. iii

DAFTAR ISI ………. vii

ABSTRAK ………. ix

Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang ……… 1

B. Rumusan Masalah ………. 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 8

D. Keaslian Penulisan ………... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ……….. 9

F. Metode Penelitian ……… 14

G. Sistematika Penulisan ……….. 15

Bab II Kekebalan Mutlak Dalam Hubungan Diplomatik Antar Negara A. Sejarah Diplomatik ……… 17

B. Sumber Hukum diplomatik dan Pelaksanaan Hukum Diplomatik … 23 C. Tugas dan Fungsi Pejabat Diplomatik ………. 32

D. Perbandingan Imunitas Kedaulatan Dalam Hukum Nasional Dan Hukum Internasional ………. 42

(9)

Bab III Hubungan Diplomatik Antar Negara Setelah Perubahan Dari Kekebalan Mutlak Menjadi Kekebalan Terbatas

A. Latar Belakang Timbulnya Kekebalan Dan Keistimewaan Diplomatik…47 B. Hak – hak Kekebalan Dan Keistimewaan Diplomatik ………. …. 50 C. Teori – teori Kekebalan Diplomatik ………. …. 67 D. Hubungan Antar Negara Setelah Perubahan Dari Kekebalan Mutlak

Menjadi Kekebalan Terbatas……… 73

Bab IV Penerapan Kekebalan Diplomatik Terbatas Dalam Hubungan Diplomatik Dewasa Ini

A. Lahirnya Paham Restrictive Immunity ……….. 79 B. Kekebalan Diplomatik Dalam Hukum Nasional ……….. 83 C. Penerapan Kekebalan DiplomatikTerbatas Dalam Hubungan Diplomatik

Dewasa Ini……….. 90

Bab V Penutup

A. Kesimpulan ……… 107 B. Saran ………... 110

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(10)

ABSTRAK

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PERGESERAN PARADIGMA KEKEBALAN MUTLAK (ABSOLUTE IMMUNITY) MENJADI KEKEBALAN TERBATAS (RESCTRICTIVE IMMUNITY)

DALAM HUKUM DIPLOMATIK Oleh :

Nabilla Yan Khansa1

Dr. Sutiarnoto MS. S.H., M.HUM2 Arif, S.H., M.H.3

Kata Kunci : Pergeseran Paradigma, Kekebalan Mutlak, Kekebalan Terbatas, Hukum Diplomatik.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pergeseran paradigma kekebalan mutlak (absolute immunity) berubah menjadi kekebalan terbatas (resctrictive immunity) dalam hukum diplomatic. Tidak ada satu pun negara di dunia yang dapat membebaskan diri dari keterlibatannya dengan negara lain. Karena adanya kepentingan suatu negara di wilayah negara lain maka diciptakanlah suatu hubungan.

Oleh karena itu, ditempatkanlah perwakilan diplomatik untuk menjalin hubungan persahabatan dan meningkatkan kerjasama antar dua negara. Namun dalam hubungan diplomatik tidak jarang ditemukan bahwa para diplomat ada juga yang menyalahgunakan wewenangnya di Negara penerima, maka dari itu terbentuklah kekebalan terbatas (restrictive immunity) Merupakan kebalikan dari imunitas absolut, teori imunitas terbatas (the restrictive Theory immunity) ini membatasi berlakunya imunitas negara. Menurut ajaran teori ini imunitas/

kekebalan negara kekebalan negara tersebut tidak tak terbatas. Sesuai dengan artinya, terbatas (restrictive), yang maksudnya dibatasi oleh beberapa kriteria.

Selanjutnya dibawah ini akan dibahas mengenai beberapa teori tentang imunitas negara yang terbatas. Hukum Diplomatik mempunyai lingkup yang lebih luas, bukan hanya mencakup hubungan diplomatik tetapi juga hubungan konsuler dan perwakilan negara-negara pada organisasi internasional, khususnya organisasi internasional yang memiliki tanggung jawab dan keanggotaannya yang bersifat universal. Praktik restrictive immunity dalam hokum internasional ini dirimtis oleh America Serikat yang mengkodifkasi pemberlakuan restrictive immunity (acta jure gestionis) dengan penetapan Foreign Sovereign Immunity Act 1976.

1 Mahasiswi Departement Hukum Internsional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2 Dosen Pembimbing I

3 Dosen Pembimbing II

(11)

Bab I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan hubungan antara suatu Negara dengan Negara lain dewasa ini sudah berkembang pesat. Hubungan tersebut disebut dengan hubungan unternasionak. Dengan meningkatnya sarana transportasi, teknologo dan pendidikan memudahkan tiap-tiap Negara di dunia untuk melakukan hubungan internasional.4

Hubungan internasional terjadi karena adanya ketergantungan dan kebutuhan satu Negara dengan Negara yang lainnya. Hubungan Internasional yang dilakukan oleh Negara-negara dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan cara perjanjian internasioanl, membentuk suatu organisasi

Setiap Negara-negara di dunia memiliki perbedaan, baik itu perbedaan filsafat, sejarah,kebudayaan, pemerintahan, pendidikan serta perbedaan sumber daya alam yang dihasilkan oleh Negara itu sendiri. dengan adanya perbedaan inilah maka setiap Negara-negara di dunia membutuhkan satu sama lain dan melakukan hubungan internasional, hal ini dikarenakan adanya ketergantungan antar Negara satu dengan Negara yang lainnya. Hubungan internasional ini dilakukan tidak lain demi meningkatkan kesejahteraan dan demi kepentingan Negara itu sendiri.

4 Ali Sastroamidjoyo, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit : Bhratara, Djakarta, 1971, hal. 10

(12)

internasionalmaupun mengirimkan perwakilannya ke Negara lain yang sering disebut dengan perwakilan diplomatik.5

Dalam melakukan hubungan diplomatik tentu saja cara yang dilakukan oleh tiap-tiap Negara berbeda-beda, namun tujuan dari hubungan internasional itu sendiri tetaplah sama yaitu untk mencapai kesejahateraan Negara itu masing- masing. Adapun skripsi yang akan saya bahas disini ialah mengenai kekebalan dan hak-hak keistimewaan diplomatik. Yang dimana bergesernya paradigm kekebalan mutlak (absolute immunity) menjadi kekebalan terbatas (restrictive immunity). Dengan adanya kekebalan dan hak-hak keistimewaan diplomatik ini maka pejabat diplomatik akan dilindungi seakan-akan ia berada di negaranya sendiri. Dalam menjalankan tugasnya Negara pengirim menginginkan supaya perwakilan diplomatiknya mendapatkan perlakuan baik oleh Negara penerima.

Untuk itu Negara pengirim juga harus memberikan perlakuan baik kepada perwakilan-perwakilan diplomatik yang dikirim kenegaranya. 6

Sesuai dengan perkembangan Negara-negara dalam rangka mengadakan hubungan dengan Negara lain dan bertambahnya jumlah Negara-negara baru yang merdeka sekarang ini, pertumbuhan Negara-negara banyak menuntut diadakannya Disamping penghormatan yang dilakukan antar kedua Negara diperlukan juga ketentuan yang dapat melindungi perwakilan diplomat dalam melaksanakan tugasnya dinegara penerima, maka dibuat kekebalan dan keistimewaan kepada para diplomat.

5 Edi Suryono, S.H.M.H, Perkembangan Hukum Diplomatik, Penerbit : CV. Mandar Maju,Bandung, 1992, hal. 7.

6 Syahmin,Ak, S.H.,M.H., hukum Diplomatik,penerbit PT.Raja Grafindo Persada,Jakarta,2008,Hal. 9

(13)

kodifikasi terhadap hukum diplomatik, karena itu perlu di bentuk aturan-aturan dalam hubungan antar Negara tentang perwakilan diplomatik.7

1. The Final Act of the Congress of Vienna ( 1815 ) on Diplomatic Rank.

Dalam rangka kodifikasi hukum diplomatik saat ini telah diciptakan sejumlah konvensi sebagai berikut :

2. Vienna Convention on Diplomatic Relation and Optinal Protocol (1961 ), termasuk didalamnya :

a. Vienna Convention of Diplomatic Relations;

b. Optinal Protocol Concerning Acquisition of Nasionality;

c. Optinal Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes.

3. Vienna Convention on Consular Relations and Optinal Protocol ( 1963 ), yang didalamnya memuat :

a. Vienna Convention on Consular Relations;

b. Optinal Protocol Concerning Acquistition of Nationality ;

c. Optinal Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes.

4. Convention on Spesial Mission and Optinal Protocol ( 1969 ), yang didalamnya memuat :

a. Convention on Special missions;

7 Edy Suryono S.H., Moenir Arisoendha S.H. Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaanny, Bandung, Angkasa, 1986, hal. 46.

(14)

b. Optinal Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes.

5. Convention on the Prevention and Punishment of crime against Internationaly Protected Persons, including diplomatic Agents (1973).

6. Vienna convention on the Representation of State in Their Relations with International Organization of a Universal Character (1975).

Dengan telah dikeluarkannya berbagai konvensi tersebut telah menandai perkembangan kemajuan prnsip-prinsip hukum Diplomatik, termasuk kodifikasinya yang tidak saja merupakan ketentuan-ketentuan yang penting untuk mengatur hubungan antar bangsa tetapi lebih dari itu telah diperluas lagi dengan hubungan konsuler antar Negara termasuk misi-misi khusus, dan pencegahan serta penghukuman bagi tindak-tindak kejahatan yang dilakukan terhadap para diplomatik.

Demikian juga ketentuan-ketentuan lain yang mengatur tentang para delegasi Negara-negara yang akan menghadiri pada konferensi-konferensi Internasional.Walaupun telah diciptakannya sejumlah konvensi, resolusi dan deklarasi tersebut diatas namun didalam perkembangannya dewasa ini masih banyak pula tindakan-tindakan kekerasan yang mengancam keselamatan para diplomat di dalam menjalankan tugas-tugas diplomatiknya.

Teori imunitas negara mutlak atau absolute sovereign immunity, adalah suatu ajaran yang menerangkan bahwa negara dalam segala hal tidak dapat dilakukan gugatan terhadapnya di Pengadilan negara llian, tanpa persetujuan dasri

(15)

negara yang bersangkutan.34 Jadi mutlak, dengan kata lain tidak diberikan jalan sedikitpun membawa negara asing ke hadapan forum hakim nasional negara lain.8

Mengenai hal tersebut, tidak terdapat batasan terhadap tindakan-tindakan negara. Seperti apapun sifat tindakan negara tersebut, apakah termasuk tindakan komersial atau publik, tidak bisa digugat di hadapan forum pengadilan negara lain. Doktrin ini berasal dari hukum kebiasaan di abad ke-18 dan ke-19, dan di praktekkan oleh banyak negara pada masa tersebut. Teori ini lahir dari pandangan sarjana-sarjana hukum dan sarjana-sarjana di bidang politik mengenai tak terbatasnya dan tak terbaginya kedaulatan suatu negara.9

Merupakan kebalikan dari imunitas absolut, teori imunitas terbatas (the resxtrictive Theory immunity) ini membatasi berlakunya imunitas negara. Menurut Selain itu doktrin ini bertujuan untuk memupuk persahabatan antara bangsa-bangsa, dan juga untuk memberikan peluang kepada wakil-wakil diplomatik negara lain untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik di negara tempat ia ditugaskan.

Teori Imunitas Negara Terbatas (Restrictive Sovereign Immunity) merupakan kelanjutan dari perkembangan teori imunitas absolut dan perkembang lebih lanjut dari teori imunitas negara. Teori ini pada awalnya dianut oleh Belgia, Italia, Swiss, Perancis, Austria, Mesir, Yunani, Peru dan Denmark. Perancis, Austria dan Yunani pada awalnya merupakan pendukung teori imunitas negara mutlak, akan tetapi menjelang abad ke-20 meninggalkannya dan menjadi negara yang menganut teori imunitas terbatas. America sebagai Negara pelopor imunitas terbatas dengan melahirkan Foreign Sovereign Immunity Act 1976.

8 M.N. Shaw, International Law, 3rd Ed., New York: Cambridge University Press, 1995 hal. 433.

9 D.P. O’Connell, International Law, 2nd , London: Stevens & Sons, 1970, hal 644

(16)

ajaran teori ini imunitas/ kekebalan negara kekebalan negara tersebut tidak tak terbatas. Sesuai dengan artinya, terbatas (restrictive), yang maksudnya dibatasi oleh beberapa kriteria. Selanjutnya dibawah ini akan dibahas mengenai beberapa teori tentang imunitas negara yang terbatas/relatif.

Di Amerika Serikat doktrin “sovereign immunity” ini pertama kali dinyatakan secara resmi sebagai United States Foreign Policy pada tahun 1952 sebagaimana diterangkan oleh “United District Court”, Colifornia, Pendirian Amerika Serikat tersebut di atas selanjutnya ditegaskan kembali pada tahun 1976, dalam bentuk undang-undang tentang “Imunitas Negara Asing”, Foreign Sovereign Immunity Act. Seperti diketahui, undang-undang khusus tersebut telah dijadikan sebagai salah satu dasarhukum oleh “District Court of California”

.Komplesitas dalam relasi Negara, menyebabkan Negara berhubungan dengan berbagai subjek hukum bahkan sampar kepada individu, akibatnya paham iminutas mutlak Negara mengalami ujian dan mendorong adanya pemisahan tindakan Negara ( Act of State) sebagai Iure empirii dan iure Gestionis.

Sebagai contoh kasus seperti berikut :

Bouzari v. Islamic republic of Iran

Penggugat dutangkap oleh pihak pemerintah Iran dan dipenjara tanpa prosedur hukum yang jelas. Penggugat kerap kali menerima penyiksaan didalam tahanan dan berakibat kepada kerusakan pendengaran, kemudian penggugat dilepaskan pada Januari 1994. Keluarga penggugat di italia juga dipaksa untuk melakukan pembayaran sejumlah uang sebagai ganti ancaman pembunuhan.

Pembayaran sejumlah 5 juta dollar amerika ini dilakukan keluarga penggugat

(17)

dengan system mencicil dan terus dilakukan meskipun penggugat sudah dilepaskan dari penjara.

Penggugat dan keluarganya kemudian berpindah-pindah tempat tinggal di berbagai negara untuk menjamin keselamatan, mereka dating ke kanada pada tahun 1998, dan status yang mereka dapatkan adalah imigran dan ketika proses persidangan tingkat banding ini berjalan, keluarga penggugat telah berstatus warga negara kanada. Penggugat kemudian mengajukan gugatan ganti rugi atas penculikan, penahanan secara paksa, penyiksaan dan ancaman pembunuhan yang diterimanya serta pengembalian uang yang dibayarkan kepada Iran. Proses persidangan ini berlanjut hingga menempuh tingkat banding di Court of Appeal for Ontario.

Terkait dengan isi imunitas negara yang muncul didalam persidangan, Majelis Hakim berpedoman penuh kepada ketentuan yang terdapat didalam Canada SIA. Pada akhirnya, Hakim berpendapat bahwa pengecualian- pengecualian yang terdapat di dalam Canada SIA tidak dapat diterapkan didalam kasus, khususnya mengenai ketentuan bahwa tindakan penyiksaan harus terjadi di kanada. Hal ini membuat Tergugat tetap memiliki imunitas.10

Gugatan kemudian ditolak oleh Majelis Hakim dengan menyatakan bahwa pengadilan Ontario tidak memiliki yurisdiksi untuk memeriksa perkara karena tidak terdapatnya praktik didalam hukum internasional mengenai pemberlakuan yurisdiksi universal perdata.

10 “A foreign state is not immune from the jurisdiction of a court in any proceedings that relate(a) any death or personal or bodily injury, or (b) any damage to or loss of property, that occurs in Canada.” Canada, State Immunity Act, pasal 6.

(18)

B. Rumusan Masalah

Perwakilan diplomatik mempunyai peranan yang sangat penting dalam urusan hubungan internasional antar kedua Negara dalam melakukan misi diplomatik.Perwakilan diplomatik yang dikirim untuk melaksanakan tuganya memiliki hak-hak kekebalan dan keistimewaan selama menjalankan tugasnya, dan perwakilan diplomatik itu juga harus menghormati dan mematuhi aturan-aturan hukum di Negara penerima, namun tidak jarang juga perwakilan diplomatik ini melakukan penyalahgunaan terhadap kedudukannya.

Adapun yang menjadi permasalahan disini adalah :

1. Bagaimanakekebalan mutlak dalam hubungan diplomatik antar negara?

2. Bagaimana hubungan diplomatik antar negara setelah perubahan dari kekebalan multak menjadi kekebalan terbatas ?

3. Bagaimana penerapan kekebalan diplomatik terbatas dalam hubugan diplomatik dewasa ini ?

C. Tujuan penulisan

Hukum diplomatik merupakan bagian dari hukum internasional.Hukum diplomatik memiliki peranan yang sangat penting untuk setiap Negara di dalam melakukan hubungan internasionalnya.Negara yang mengirimkan perwakilan diplomatiknya kenegara penerima meriupakan wujud nyata kedua Negara tersebut melakukan hubungan diplomatik.

(19)

Adapun tujuan dari penulisan ini yaitu :

1. Untuk mengetahui secara teroritis dan faktual bagaimana kekebalan mutlak dalam hubungan diplomatik anatar negara yang berdaulat.

2. Untuk mengetahui lebih dalam hubungan antar negara setelah terjadinya perubahan dari kekebalan mutlak menjadi kekebalan terbatas.

3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan kekebalan diplomatik terbatas dalam ubungan diplomatik dewasa ini.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini yang berjudul : “TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PERGESERAN PAARADIGMA KEKEBALAN MUTLAK (ABSOLUTE IMMUNITY) MENJADI KEKEBALAN TERBATAS (RESCTRICTIVE IMMUNITY) DALAM HUKUM DIPLOMATIK “ merupakan hasil pemikiran penulis sendiri tanpa ada unsure penjiplakan dari hasil karya orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu dan judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan demiian keaslian dari pada penulis dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis, terutama secara ilmiah maupun akademik.

E. Tinjauan Kepusakaan

Istilah diploma berasal dari bahasa latin dan yunani yan dapat diartikan sebagai surat kepercayaan. Perkataan diplomasi kemudian menjelma mejadi istilah diplomat , diplomasi dan diplomatik.11

11 C.S.T.Kansil,Modul Hukum Internasional, (Jakarta: Djambatan, 2001), hal.71.

(20)

Pada masa jayanya Kerajaan Romawi di Eropa dan Afrika Utara, untuk keperluan tentaranya, Telah membangun jalan-jalan tersebut untuk mengamankan daerah-daerah kekuasaannya. Jalan—jalan tersebut sangat penting tidak hanya untuk keperluan militer, tetapi juga diperlukan oleh kaum pedagang pada masa itu. Pemerintah Kerajaan Romawi kemudian mengizinkan juga para pedagang terseut untuk melintasi jalan-jalan yang mereka buat, asal m,enggunakan surat yang telah disediakan untuk itu.

Surat yang dikeluarkan Pemerintah Kerajaan Romawi itu disebut diploma.12

12 Syahmin,Ak, S.H.,M.H., hukum Diplomatik,penerbit PT.Raja Grafindo Persada,Jakarta,2008,Hal.3

Dari uraian diatas dapat ditegaskan bahwa diplomasi sudah lama sekali dilaksanakan sejak jayanya Kerajaan Romawi di Eropa dan Afrika Utara beberapa abad yang lalu. Sarana komunikasi pejabat Negara termasuk kepala Negara mengadakan hubungan dengan melangsungkan perundingan.para petugas dibidang diplomasi berusaha menjaga hubungan baik diantara para kepala Negara, melindungi kepentingan Negara dan warganya, dengan sopan santun, baik dalam tutur kata maupun dalam tindakan. Seorang diplomat memerlukan pengetahuan yang cukup agar dapat mensuskseskan beban yang dipkikulkan kepadanya.

Pengetahuan tersebut antara lain pengetahuan tentang kebiasaan serta konvensi- konvensi internasional tentang hubungan diplomatik, memahami titik-titik lemah dari lawan berunding, serta menyadari perbandingan juga pengetahuan dalam menjaga nama baik negaranya, dan memperjuangkan kepentingan warganya.serta memelihara hubungan baik antar sesame Negara anggota masyarakat internasional, terutama dengan Negara-negara tetangga, sesuai dengan politik luar negeri yang di pegang teguh oleh Menteri Luar Negeri.

(21)

Sampai dengan tahun 1815 ketentuan-ketentuan yang bertalian tentang hubungan diplomatik diatur berdasarkan hukum kebiasaan. Pada Kongres Wina tahun 1815 raja-taja ikut dalam konferensi sepakat untuk mengkodifikasi hukum kebiasaan kedalam hukum tertulis. Namun tidak banyak yang dihasilkan dari Kongres Wina tersebut dan hanya mencapai 1 naskah saja yaitu hirarki diplomat yang kemudian dilengkapi dengan Protocol Aix- la-capelle tanggal 21 November 1818.13

“…People of all nations from ancient time have recoqnized the status of diplomatic agents…”.

Kongres Wina sebelumnya tidak menambah apa-apa dari prakteknya dan belum sempurna, namun mengenai hubungan diplomatik sudah terdapat aturan yang terkodifikasi sebagai aturan tertulis yang dapat digunakan sebagai pedoman dan dipergunakan secara inernasional.Status perwakilan diplomatik ini sebenarnya telah mendapat pengakuan dari bangsa-bangsa pada zaman lampau, yaitu bangsa- bangsa kuno. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan yang terdapat di dalam pembukaan Konvensi Wina tahun 1961 tentang hubungan-hubungan diplomatik (Diplomatic Relations), bahwa :

14

Dalam abad ke 16-17 pada waktu pertukaran duta-duta besar secara permanen antara Negara-negara di Eropa sudah mulai menjadi umum, maka kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah diterima oleh para ahli hukum internasional meskipun jika terbukti Duta Besar telah terlibat dalam komplotan

13 Boer Mouna, Hukum Internasional Pegertian Peranan dan fungsi dalam Era Dinamika Gobal, penerbit Alumni, Bandung 2000, hal.467.

14 Pembukaan, Vienna Convention on diplomatic relations 1961.

(22)

atau penghianatan melawan kedaulatan Negara penerima. Seorang duta besar tidak dapat ditangkap ataupun diadili.15

Berbicara tentang pengertian hukum diplomatik, ternyata masih banyak keseragaman pendapat oleh para ahli hukum dan para sarjana, mungkin hal ini yang melatarbelakangi disebutnya hukum diplomatik ini tidak lebih dari hanya bagian dari hukum internasional public. Namun tidak dapat dipungkiri pendapat dari Eileen Denza

Pengakuan kekebalan diplomatik pada mulanya didasarkan atas hukum kebiasaan internasional semata-mata, yaitu kebiasaan dalam praktek hubungan antar Negara yang berlangsung dengan tukar menukar perwakilan diplomatik.

Lama kelamaan kebutuhan akan adanya peraturan hukum tertulis mengenai pengakuan kekebalan diplomatik yang dapat dipergunakan secara umum oleh semua Negara dirasakan mendesak. Akhirnya setelah dengan kongres Wina tahun 1815 yang disusul dengan Kongres Aix-La-Chapelle tahun 1818, maka pada tahun 1961 asas kekebalan diplomatik sebagai hukum internasional dikukuhkan dalam sebuah konvensi.

Konvensi yang dimaksud adalah : “VIENNA CONVENTION ON DIPLOMATIC RELATIONS” atau konvensi Wina mengenai hubungan-hubungan Diplomatik tahun 1961.

16 mengenai hukum diplomatik. Sementara, menurut Jan Osmanczyk17

15 DR. Sumaryo Suryokusumo, S.H.,L.LM : Hukum Diplomatik, F. Pascasarjana UNPAD, Tahun 1985, hal. 26.

16 Eileen Denza, Diplomatic law, Commentary on The Vienna on diplomatic Relations, oceania Publications, Inc, Dobbs Ferry, New York, 1976, lihat pula, Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, (bandung:PT Alumni, 1995), hal.1.

17Edmund Jan Osmanczyk, Encyclopedia of The United Nations and International Agreement, (London, Taylor and Francis), 1995

:

(23)

“Hukum Diplomatik merupakan cabang dari hukum kebiasaan internasional yang terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat, termasuk bentuk-bentuk organisasi internasional dan dinas diplomatik.”

Beberapa pendapat dari para ahli hukum maupun para sarjana tentang pengertian dari “diplomasi”, yang penggunaan istilahnya itu berbeda-beda menurut pemakaiannya, yaitu :

1. Diplomasi dapat diartikan sebagai perundingan, seperti sering dinyatakan “masalah Timur-Timor hanya dapat diselesaikan melalui jalur diplomasi”.

2. Dapat pula Diplomasi diartikan sebagai Dinas Luar negeri, seperti dalam ungkapan selama ini ia berja untuk diplomasi.

3. Ada juga yang mengungkapkan secara kiasan dalam kalimat “dia pandai berdiplomasi”, yang dapat diartikan dia pandai bersilat lidah.

4. Diplomasi merupakan suatu cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negoisasi antara wakil-wakil yang sudah diakui. Praktik Negara semacam itu sudah melembaga sejak dulu dan menjelma sebagai aturan-aturan hukum iternasional.18

Untuk lebih memahami pengertian dari pada “diplomasi” maka kita lihat pendapat dari Sir Ernest satow dan Ian Brownlie, sebagai berikut :

Diplomacy is the application of intelligence and fact to the conduct of official relations between the Governments of independent State, extending

18 Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit, hal.2.

(24)

sometimes also their relations with vassal state, Or more briefly still, the conduct of business States by peaceful means.19

“…Diplomacy comprisesany means by which States establish or maintain mutual relations, communicate with eachother, or carry out political or legal transactions, in each case through their authorized agents.

Sedangkan menurut Ian Brownlie dalam bukunya Principles of Public International Law, menyebutkan bahwa :

20

Dengan demikian pengertian hukum diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar Negara yang dilakukan atas dasar prinsip persetujuan bersama secara timbale balik (reciprosity principles), dan ketentuan ataupun prinsip-prinsip tersebut dimuat dalam instrument-instrumen hukum baik berupa piagam, statute, maupun konvensi-konvensi sebagai hasil kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan hukum internasional secara progresif.21

F. Metode Penelitian

Penulisan skripsi ini menggunakan metode studi kepustakaan (library Research). Dari studi kepustakaan ini, dipergunakan literature-literatur, diktat, naskah konvensi, serta catatan-catatan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini dan seterusnya akan dijadikan landasan pikiran serta landasan pembahasan. Metode ini menggunakan pengumpulan bahan tulisan, mempelajari,

19 Gore-Booth,D.Pakenham, Satow’s Guide to Diplomatic Practice, 5th.ed. Logmann Group Ltd, London 1979, hal. 3,lihat pula Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit, hal.3.

20 Ian Brownlie, principles of Public International law, (Oxford: University Press,3rd ,ed,1979), hal. 345.Et seq

21Syahmin, AK,S.H.,M.H., Op.Cit, hal. 11.

(25)

memahami dan menuangkannya kedalam bentuk tulisan ilmiah yang dimana penulis berusaha sebaik-baiknya menghasilkan tulisan ilmiah yang lengkap, factual dan akurat. Dalam penyusunan penelitian hukum ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap sumber-sumber data yang berfokus pada norma (law in the book).

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa bab dan didalam bab terdiri atas sub-bab demi sub-bab. Adapun sistematika penulisan hukum berjudul “ TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PERGESERAN PAARADIGMA KEKEBALAN MUTLAK (ABSOLUTE IMMUNITY) MENJADI KEKEBALAN TERBATAS (RESCTRICTIVE IMMUNITY) DALAM HUKUM DIPLOMATIK ” adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pengantar untuk penulisan pada bab-bab berikutnya, dalam pembahasan yang terdiri dari : LAtar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode penelitian dan sistematika Penulisan.

BAB II : KEKEBALAN MUTLAK DALAM HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTAR NEGARA

Pada bab ini menguraikan tentang Kekebalan Mutlak Dalam Hubungan Diplomatik Antar Negara, yang terdiri atas : sejarah diplomatik, sumber Hukum diplomatik, serta penerimaan dan pengangkatan duta besar dinegara penerima dan Perbandingan Imunitas Kedaulatan Dalam Hukum Nasional Dan Hukum Internasional.

(26)

BAB III : HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTAR NEGARA SETELAH PERUBAHAN DARI KEKEBALAN MUTLAK MENJADI KEKEBALAN TERBATAS

Pada bab ini yang akan dibahas mengenai Hubungan Diplomatik Antar Negara Setelah Perubahan Dari Kekebalan Mutlak Menjadi Kekebalan Terbatas, yang terdiri atas : latar belakang timbulnya keistimewaan dan kekebalan diplomatik, teori-teori kekebalan dan keistimewaan diplomatik dan hak-hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik bagi para pejabat diplomatik serta Hubungan Antar Negara Setelah Perubahan Dari Kekebalan Mutlak Menjadi Kekebalan Terbatas.

BAB IV : PENERAPAN KEKEBAQLAN DIPLOMATIK TERBATAS DALAM HUBUNGAN DIPLOMATIK DEWASA INI

Dalam bab ini memaparkan tentang Penerapan Kekebalan Diplomatik Terbatas Dalam Hubungan Diplomatik Dewasa Ini, yang terdiri dari : lahirnya paham kekebalan terbatas(restrictive immunity), kekebalan menurut hukum nasional, dan Penerapan Kekebalan Diplomatik Terbatas Dalam Hubungan Diplomatik Dewasa Ini.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab penutup yang terdapat pokok-pokok kesimpulan dari semua permasalahan dalam pembahasan yang dilakukan dalam tulisan ini, serta saran-saran yang dikemukakan yang semiga dapat membantu kia lebih memahami tentang Hukum Diplomatik.

(27)

BAB II

KEKEBALAN MUTLAK DALAM HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTAR NEGARA

A. Sejarah Diplomatik

Pesatnya perkembangan teknologi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) dewasa ini, telah memacu semakin intensifnya interaksi antar Negara dan antarbangsa di dunia. Meningkatnya intensitas interaksi tersebut telah mempengaruhi potensi kegiatan ekonomi, politik, social, dan budaya kita dengan pihak luar, baik itu dilakukan oleh pemerintah (pusat dan daerah), organisasinon- pemerintah (Ornop dalam negeri dan NGO’s luar negeri), swasta (perusahaan- perusahaan multinasional), dan perorangan sebagai actor baru dalam hubungan luar negeri. Kenyataan ini menuntut tersedianya suatu perangkat ketentuan untuk mengatur interaksi tersebut selain ditujukan untuk melindungi kepentingan Negara dan warga negaranya, serta pada giliran memperkokoh Negara Kesatuan Repulik Indonesia.

Sejarah telah mencatat dan membuktikan bahwa jauh sebelum bangsa- bangsa didunia mengenal dan menjalankan praktik hubungan diplomatik, misi diplomatik secara tetap seperti yang ada dewasa ini. Pada zaman India Kuno telah dikenal ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar raja-raja maupun kerajaan. Hukum bangsa-bangsa pada waktu itu telah mengenal pula apa yang dinamakan duta.22

22 Ali Sastroamidjoyo, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit : Bhratara, Djakarta, 1971, hal. 165. Baca pula, B. Sen, A Diplomatic’s Handbook of International Law and Practice, 2nd. Ed., Martinus Nijhoff Publishers, The Hague/Boston/London, 1979, hal. 14.

(28)

Pengiriman duta-duta ke luar negeri sudah dikenal dan dipraktikkan oleh Indonesia, dan Negara-negara Asia serta arab sebelum negara-negara Eropa mengenalnya. Sejarah ini salah satunya ditulis oleh Mohammad Jamin dalam karangannya yang berjudul : Hukum Duta Indonesia dalam Zaman Majapahit 1293-1525. Dikatakan pada tahun 1286, maharaja Tiongkok Kubilaikan mengutus duta-dutanya ke Singosari, namun Kerajaan Singosari tidak menerima baik kedatangan duta-duta Tiongkok yang menyebabkan adanya permusuhan antara tiongkok dan Singosari.

Di benua Eropa, baru pada abad ke-16 mengenal pengiriman duta-duta itu diatur menurut hukum kebiasaan., tetapi hukum kebiasaan internasional menyangkut masalah itu menjadi jelas pada abad ke-19, sebagai bukti pengaturan hubungan diplomatik dan perwakilan diplomatik mulai dibicarakan pada Kongres Wina 1815, kemudian diubah dan disempurnakan oleh Protocol Aix-La-Chapelle 1818. Kongres Wina tersebut merupakan awal bagi ketentuan-ketentuan hubungan diplomatik, dimana menghasilkan aturan-aturan dan prinsip- prinsipsecara sistematis termasuk klarifikasi jabatan kepala perwakilan diplomatik dan mengatur prosedur dan mekanisme hubungan diplomatik.23

Pada Kongres Wina 1815, raja-raja mengikuti kongres ini pun sepakat untuk menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai hukum kebiasaan tersebut dikodifikasikan kedalam hukum tertulis. Namun, tidak banyak yang telah dicapai, dan mereka hanya menghasilkan satu naskah, yaitu hierarki diplomat (klasifikasi Dengan demikian ketentuan-ketentuan hubungan diplomatik masih bersumber hukum kebiasaan internasional.

23 Ali Sastroamidjojo,Op.Cit., hal. 166; lihat pula Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit., hal. 8.

(29)

jabatan kepala perwakilan diplomatik)24 yang kemudian dilengkapinpula dengan Protocol Aix-La-Chapelle tanggal 21 November 1818.25Namun terdapat upaya yang positif dari pengkodifikasian yang dilakukan, dimana ketentuan-ketentuan tentang hukum diplomatik tidak hanya hukum kebiasaan saja tetapi malah menjadi hukum tertulis, sehingga lebih terjamin hukumnya.26

Sehingga dewan LBB memutuskan untuk tidak memasukkan masalah tersebut kedalam agenda Konferensi Den Haag yang diselenggarakan pada tahun 1930 untuk kodifikasi Hukum Internasiona, disamping itu, pada tahun 1928 di Havana, Konverensi Ke-6 Organisasi Negara-negara America (Organization America State (AOS)) melakuka pertemuan yang menghasilkanKonvensi dengan nama Convention on Diplomatic Officers. Konvensi ini diratifikasi oleh 12 negara America, kecuali Amerika Serikat yang hanya menandatangani namun tidak meratifikasinya, dengan alas an menolak ketentuan-ketentuan yang menyetujui pemberian secara politik, dikarenakan konvensi ini bersifat regional dan tidak Pada tahun 1927, dalam kerangka Liga Bangsa-Bangsa, diupayakan kembali kodifikasi yang sesungguhnya. Namun hasil-hasil yang docapai Komisi Ahli ditolak oleh Dewan LBB. Alasannya yaitu, belum waktunya untuk merumuskan kesepakatan umum mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang cukup kompleks.

24Klarifikasi Kepala Perwakilan versi Kongres Wina 1815 adalah : 1. Duta-duta besar dan para Utusan (Ambassadors and Legates);

2. Menteri berkuasa Penuh dan Duta Luar Biasa (Minister Plenipotentiaty and Envoys Extraordinary);

3. Kuasa Usaha (vharge d’affaires).

25 Berdasarka Kongres Aix-La-Chapelle 1818, penggolongan kepala perwakilan sudah bertambah lagi menjadi : (a). Ambassadors and Legates; (b) Minister Plenipotentiary and Envoys Extraordinary; (c) Minister Residents; (d) Charge d’affaires.

26 Baca, Gerhard von Glahn, Law Among Nation, An Introduction to Public Internasional Law, 2nd.ed., (New York; Mac Millan Publishing Co, Inc., 1970), hal. 376.

(30)

menyeluruh membuat konvensi yang dihasilkan tidaklah begitu efektif untuk diangkat kepermukaan internasional.27

Pada tahun 1947, Komisi Hukum Internasional yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB atas amanat pasal 13 Piagam PBB28

a. Memajukan kerja sama internasional dibidang politik, dan mendorong peningkatan dan pengembangan hukum internasional secara progresif dan pengkodifikasianya;

yang berbunyi sebagai berikut :

“1. Majelis Umum akan mengadakan penyelidikan dan mengajukan usulan-usulan (recommendations) dengan tujuan :

b. Memajukan kerja sama internasional di bidang ekonomi, social, budaya, pendidikan dan bidang-bidang kesehatan dan membantu meningkatkan pemahaman ats hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua umat manusia tanpa membeda- bedakan bangsa, ras, jenis kelamin, bahasa, ataupun agama. “

Komisi hukum internasional tersebut menetapkan empat belas topic pembahasan yang didalmnya juga termasuk topic hubungan diplomatik. Namun, pembahasan mengenai diplomatiktidak mendapatkan prioritas, karena seringnya terjadi insiden diplomatik sebagai akibat Perang Dingin dan dilanggarnya ketentuan-ketentuan tentang hubungan diplomatik, maka atas usul delegasi Yugoslavia, Majelis Umum PBB pada 1953 menerima resolusi yang meminta

27 Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit., hal. 10.

28 Panitia Hukum Internasional tersebut dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No.174/II/1947, beranggotakan para ahli hukum terkemuka dari perbagai bangsa dan berbagai system hukum di dunia. (Lihat pada Buku Syahmin AK, Hukum Perjanjian Internasional:

Menurut Konvensi Wina 1969, (Bandung; CV. Amirco, Edisi Pertama 1958), hal. 1, et seq.

(31)

Komisis Hukum Internasional memberikan Prioritas untuk melakukan kodifikasi mengenai hubungan dan kekebalan diplomatik.

Pada tahun 1954, komisi mulai membahas masalah-masalah hubungan dan kekebalan diplomatik, dan sebelum akhir 1959 Majelus Umum melalui Resolusi 1450 (XIV) memutuskan untuk menyelenggarakan suatu Konferensi Internasional guna membahas masalah-maslah seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Konferensi tersebut dinamakan “the United Nations Conference on Diplomatic Intercourse and Immunities”, mengadakan sidangnya di Wina pada 2 Maret- 14 April 1961. Kota Wina dipilih dengan pertimbangan historis karena kongres Pertama mengenai hubungan diplomatik diselenggarakan di kota tersebut pada 1815. KOnferensi menghasilkan inetrumen-instrumen, yaitu : Viena Convention on Diplomatic Relations Protocol Concerning Acquisition of Nationality, dan Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes. Diantara ketiga instrument tersebut, Konvensi Wina tentang hubungan Diplomatik (convention on Diplomatic Relations), 18 April 1961 merupakan yang terpenting.29

29 Syahmin, AK,S.H.,M.K., Op.Cit, hal. 16

Konvensi Wina 1961 mendapatkan respon baik dari negara-negara, dimana konvendi ini diterima oleh 72 negara, tidak ada yang menolak dan hanya satu negara yang abstain. Pada tanggal 18 April 1961, wakil dari 75 negara yang menandatangani konvensi tersebut, yang terdiri dari mukadimah, 53 pasal, dan 2 protocol.

(32)

Tiga tahun kemudian tepatnya tanggal 24 April 1964, Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik resmi dinyatakan mulai berlaku. Kini, hampir seluruh negara di dunia telah meratifikasi konvensi Wina 1961, termasuk Indonesia yang meratifikasinya dengan UU no. 11 tahun 1982 pada januari 1982.

Prinsip-prinsip yang tercantum dalam konvensi wina tersebut digarisbawahi oleh MAhkamah Internasional dalam kasus United States Diplomatic and Consular Staff in Teheran melalui ordonasinya tertanggal 15 December 1979.30

Dalam sidangnya yang ke-24 pada 1971, dengan meningkatnya kejahatan yang dilakukan terhadap misi diplomatik, termasuk juga para diplomatnya, dan Konvensi Wina inilah yang merupakan kode Diplomatik yang sebenarnya, walaupun hukum kebiasaan tetap berlaku dalam konvensi ini, namun perannya disini hanyalah sebagai tambahan. Hal ini tertuang daam alinea terakhir mukamadiahnya : “ that the rules of customary international law should continue to govern question not expressly regulated by the provisions of then present Convention.”

Hukum diplomatik telah mencatat kenajuan yang pesat selain Konvensi wina 1961, hukum diplomatik disempurnakan dengan diadakannya Konvensi New York 1969, di tambah protocol. Tercatat juga dilakukannya sebuat pertemuan yang membicarakan tentang kewajiban yang penting bagi negara penerima untuk mencegah setiap serangan yang ditujukan kepada seseorang, kebebasan dan kehormatan para diplomat, serta untuk melindungi gedung perkwakilan diplomatik.

30 Baca, Laporan MAhkamah INternasional (ICJ. Report, 1979, hal. 19.)

(33)

untuk menghukum para pelanggarnya, maka Majelis Umum PBB meminta Kimisi Hukum Intenasional untuk membuat draft tentang pencegahan dan penghukuman kepada pelanggar yang melakukan kejahatan terhadap orang-orang yang dilindungi secara hukum internasional. Konvensi New York 1973 pun dilakukan untuk membahas mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan terhadap orang-orang yang dilindungi menurut hukum internasional, dan diterima dan disetujui oleh Majelis Umum PBB di New York pada 14 desember 1973, Konvensi ini kemusian diberlakukan pada 2 Februari 1977, dan tercatat sekitas 79 negara yang sudah menjadi anggotanya.31

B. Sumber Hukum Diplomatik dan Pelaksanaan Hukum Diplomatik.

Pengembangan hukum diplomatik pun semakin disempurnakan dengan adanya Konvensi Wina 1975. Namun Konvensi Wina 1975 tidaklah seperti Konvensi Wina 1961. Komisi Hukum Internasional menyetujui beberapa draft artikel konvensi ini yaitu mengenai kekebalan, keistimewaan, dan fasilitas diplomatik bagi perwakilan tetap, termasuk kedudukan, kekebalan, keistimewaan dan kemudahan bagi perwakilan peninjauan tetap, serta delegasi ke berbagai badan dan konferensi.

Konvensi ini terdiri dari 92 pasal dan dihadiri oleh 81 negara, 2 negara peninjau, 7 badan khusus, 3 organusasi antar pemerintah dan 7 wakil dari organisasi pembebasan Nasional yang diakui oleh Prganisasi Persatuan Afrika atau Liga Arab.

A. Sumber Hukum Diplomatik

31 Syahmin AK, S.H.,M.K., Op.Cit hal. 19.

(34)

Berbicara tentang sumber hukum diplomatik, maka tidak akan terlepas dari hukum internasional publik. Hukum internasional Publik diibaratkan seperti pohon dan Hukum Diplomatik merupakan cabangnya. Untuk itu, sumber hukum diplomatik. Untuk itu, sumber hukum diplomatik tidak dapat dipisahkan dari ketentuan pasal 38 (1) Statuta ICJ yang telah diakui oleh para ahli hukum internasional sebagai sumber hukum internsional dalam arti formal yang berbunyi sebagai berikut.32

1) Perjanjian-erjanjian internasional, baik yang umum maupun yang khusus yang secara tegas mengatur dan diaki oleh negara-negara pihak;

“bagi Mahkamah Internasional yang fungsinya memutus perkara-perkara yang diajukan kepadanya sesuai dengan hukum internasional, akan menetapkan:

2) Kebiasaan internasional yang terbukti merupakan praktik umum yang diteima sebagai hukum;

3) Prinsip-prinsip Hukum Umum yang diakui oleh bangsa- bangsa beradap, dan

4) Sesuai ketentuan-ketentuan pasal 59, keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran para ahli hukum ternama dari berbagai bangsa sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum”

32 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku I: Bagian Umum, (Bandung: PT.Binacipta, 1982), hal. 107.

(35)

Selain hukum Internasional public, hukum diplomatik juga memiliki Kekhususan tersendiri. Kekhususan hukum diplomatik ini terdiri dari beberapa bentuk :

1. The Final Act of The Congres of Vienna 1815 on Diplomatic ranks;

2. Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optigonal Protocols 1961, beserta :

a. Vienna Convention on diplomatic Relations;

b. Optinal Protocol Concerning Acquisition of Nasionality

c. Optinal Protocol Concerning the Compulsory settlement of Disputes.

3. Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol 1963, beserta :

a. Vienna Convention on diplomatic Relations;

b. Optinal Protocol Concerning Acquisition of Nasionality

c. Optinal Protocol Concerning the Compulsory settlement of Disputes.

4. Convention on Special Mission and Optional Protocol 1969 beserta : a. Convention on Special Mission;

b. Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes.

5. Convention on the Prevention and Punishment od crimes Against Internationally Protected Persons, Including diplomatic Agents 1973.

6. Vienna Convention on the Representation of States in Their Relations with International Orgaization of a Umiversal Character 1975.

(36)

Selain konvensi-konvensi diatas, terdapat juga resolusi-resolusi dan deklarasi yang dikeluarkan oleh organ-organ PBB. Namun masalahnya apakah resolusi dan deklarasi tersebut dapat dikatakan suatu hukum, Hal ini dikarenakan resolusi maupun deklarasi tidak memiliki kekuatan megikat dan berkekuatan hukum karena tidak menciptakan hukum (Law Making Treaties). Di pihak lain, tampaknya kini berkembangnya kecemderungan “teori” dari hasil kesepakatan sampai kepada consensus yang menjadi dasar bagi negara-negara penerimaan beban kewajiban-kewajiban hukum.33

Salah satu contoh resolusi Majelis Umum 3166 yang memuat “konvensi mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan-kejahatan yang ditujukan terhadap orang-orang yang secara internasional dilindungi, termasuk para Resolusi dan deklarasi memang masih belum jelas batasannyadan daya pengikatnya. Resolusi yang dihasilkan juga tidak dapat enjadikan, merumuskan dan mengubah resolusi itu menjadi hukum internasional, namun resolusi-resolusi ini dapat menjadi sumbangan yang ikut mengisi hukum internasional apabila resolusi ini mendapatkan dukungan secara universal, resolusi ini menciptakan hukum, dan resolusi ini tercermin dari kebiasaan umum yang diakui oleh negara- negara yang berdaulat.

33 Alasan yang emndukung kecenderungan ini adalah dikemukakan oleh Richard A. Falk,

“On Quacy Legislative Competence of the General Assembly”, dalam AJIL 1966, hal. 782. Et seq; kemudian bandingkan pula dengan pendapat Jorge Castaneda, dalam Legal Effects of United Nations Resolutions, New York, Columbia University Press, 1970, hal. 791.

(37)

pejabat diplomatik” (Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Pretected Persons, including Diplomatic Agents 1973).34

34 Resolusi disetujui secara consensus oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 14 Desember 1973, (AJIL) 1978, hal. 377.

Dengan hal-hal diatas menadikan sebuah langkah resolusi-resolusi tersebut menjadi suatu aturan baru, terutama apabila resolusi tersebut merupakan sumber hukum dari kebiasaan internasional yang dapat mendorong perkembangan kemajuan hukum internasional dalam usaha kodifikasi aturan-aturan kebiasaan internasional.

Kebiasaan internasional juga merupakan bagian dari sumber hukum diplomatik, walaupun kebiasaan internasional ini tidak terkodifikasi secara tertulis, namun banyak negara-negara yang mematuhi kebiasaan internasional namun juga ada negara yang tidak menerima kebiasaan internasional sebagai suatu hukum dikarenakan kebiasaan internasional tidak tertulis sehingga hukumnya tidak begitu mengikat.

Prinsip-prinsip hukum umum dan keputusan pengadilan juga merupakan sumber hukum diplomatik. Khusus mengenai keputusan pengadilan ini pada hakikatnya tidak mempunyai kekuatan mengikat kecuali pihak-pihak yang bersangkitan sebagai contoh, enam keputusan Mahkamah Internasional pada 24 Mei 1980, dalam kasus yang menyangkut staf perwakilan diplomatik dan konsuler Amerika Serikat di Teheran, yang disetujui oleh 13 suara dan 2 suara menolak.

Hal-hal diatas inilah yang menjadi sumber hukum diplomatik untuk mengatur berjalannya hubungan diplomatik yang berada di dunia.

(38)

B. Pelaksanaan Hukum Diplomatik

Sejak decade delapan puluhan sudah terasa bahwa laju tindakan terorisme cukup menonjol, khususnya yang dilakukan terhadap diplomat merupakan tindakan yang sangat meresahkan dan membahayakan keselamatan para pejabat diplomatik dan melaksanakan tugas sehari-hari sebagai diplomat.

Pada tahun 1980-an, tercatat sebanyak empat ratus tindak terorisme yang ditujukan kepada pejabat diplomatik dan konsuler yang meliputi enam pulih negara, sedangkan selama semester pertama tahun 1981 terdapat 191 tindak terorisme dengan objek yang sama, termasuk yang menyangkut misi diplomatik asing. Dengan situasi membahayakan yang telah terjadi membuat Majelis Umum PBB membuat tindakan yang tegas dan langkah yang cepat agar tidak terjadi pelanggaran hukum diplomatik lagi.

Gejala ini terus berlangsung dalam tahun-tahun beriktnya. Tidak hanya memakan korban jiwa yang besar, tetapi juga korban harta benda serta kerusakan- keruusakan yang ditimbulkan juga tidak kecil pada perwakilan asing. Dalam menghadapi perkembangan situasi yang membahayakan itu, pada tahun1980 PBB telah mengadakan pembahasan mengenai masalah tersebut secara intensif, dan akhirnya Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi dengan judul

“Consederation of effective measure to enchance to Protection, Securiy, and Safety of Diplomatic and Consular Mission and Representatives.”35

35 Resolusi Majelis Uum PBB No.35/168 tanggal 15 Desember 1980. Lihat pula Resolusi No.36/165 tanggal 29 Januari 1980.

(39)

Majelis Umum PBB pun mendesak kepada setiap anggotanya untuk mematuhi setiap peraturan-peraturan hukum diplomatik dan konsuler serta menghimbau bagi negara-negara yang belum meratifikasi hukum diplomatik untuk segera meratifikasi hukum diplomatik.

Majelis Umum PBB jugs menghimbau apabila terjadi pelanggaran hukum diplomatik maka kepada negara-negara yang bersangkutan diminta untuk melaporkannya kepada sekjen PBB. Dengan maksud agar PBB dapat turut campur menangkap dan mengadili para pelanggar dan mengambil usaha-usaha agar tidak terjadi pelanggaran yang serupa. Di samping itu negara-negara yang menjadi korban peristiwa tersebut diminta untuk memberikan laporan tentang hasil-hasil terakhir mengenai proses peradilan local (exhaustion of local remedies).36

Sergei Egarov atas tindakannya dilakukan penahanan atas dirinya namun dikarenakan ia berstatus sebagai diplomatik maka ia dilepaskan dari tahanan.

Untuk mengetahui pelaksanaan hukum diplomatik, penulis akan mengulas cara Indonesia dalam menyikapi kasus pelanggaran diplomatik yang ada.

Kasus pengusiran seorang pejabat diplomatik dari Kedutaan Besar USSR untuk Indonesia di Jakarta yaitu Letkol Sergei P. Egorov, atas tindakan yang dilakukannya, pemerintah Indonesia melakukan tindakan Deportasi yanitu tindakan spionisme (memata-matai), mencuri dokumen rahasia negara, dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.

36 Syahmin AK, Hukum Internasional Publik, Jilid 3, Edisi Pertama, Penerbit PT. Binacipta, Bandun,1996, hal. 361.

(40)

Sesuai pasal 29 Konvensi Wina1961, Indonesia tidak dapat menagkap maupun menahannya, bukan hanya itu Indonesia juga harus melindungi diplomatik tersebut dari serangan balik terhadap dirinya maupun kehormatannya sebagai pejabat diplomatik dia bebas dari yurisdiksi pidana, perdata maupun administrasi negara Indonesia. Oleh karena itu, tetap saja Indonesia dapat menyatakan persona non-grata ataupun menyuruh negara pengirim untuk menarik diplomatnya meningalkan Indonesia.

Menegai kasus diplomatik, maka kasus menarik lainnya yaitu penolakkan atau persona non-grata calon duta besar RI untuk KBRI di Canberra, Australia, yaitu Letjen H.B.L. Mantiri. Pemerintahan Australia menyatakan alas an kondisi hak-hak asasi manusia disuatu negara, hal ini berkaitan dengan peristiwa tragedy berdarah di Dili pada 12 November 1991 yang dinilai pelanggaran HAM.

Kaitannya dengan H.B.L.

Mantiri dikarenakan mantan pengdan meliputi provinsi timor-timor, pada waktu terjadi kejadian yang mengakibatkan sejumlah korban meninggal dunia.

Meskipun secara pribadi Mantiri tidak terlibat langsung, namun tetap dianggap bertanggungjawab untuk wilayah tersebut. Hal lain yang ikut memperburuk situasi dan kondisi pencalonan Dubes RI untuk Australia adalah hasil dari wawancara yang dilakukan Mantiri, dalam wawancaranya, Mantiri mengatakan :

”… terjadinya bentrokan antara para pengunjuk rasa dengan pasukan pengaman yang memekan korban lebih dari lima puluh orang di Dili setahun sebelumnya dianggap sebagai hal yang wajar.” Hal lain dikatakan Mantiri yang mengandung pro dan kontra di Australia, yaitu : “… kita tidak menyesali apa-apa. Apa yang

(41)

terjadi sudah semestinya. Mereka menentang kita, berdemonstrasi, dan meneriakkan yel-yel anti pemerintah. Untuk saya ini sama halnya dengan pemberontakan, karena ini kita mengambil tindakan yang tegas.”

Mendengar hasil wawancara Mantiri, Menlu Australia pun bereaksi dan berkomentar agar Mantiri setibanya di Australia meminta maaf dan menyatakan abhwa masyarakat Australia sulit menerima pengangkatan itu. H.B.L. Mantiri menolah nasehat dari Menlu RI yang pada saat itu Ali Alatas pun mengumumkan pencalonan Letjen H.B.L. Mantiri sebagai Dubes RI untuk Canberra dan Post Duta Besar di Canberra untuk sementara dikosongkan.37

37

Kasus lain tentang diplomatik terjadi pada 7 Februari 1994 mengenai tertangkapnya dua orang staf Kedutaan Besar Amerika serikat, Steve Joseph Bryner dan Peter M. karajin atas ksus penegdaran dan penjualan narkoba, dengan barang bukti sebanyaj 160 butir pil ekstasi. Dari hasil yang didapat kedua orang tersebut dilepaskan dari jeratan hukum Indonesia, dikarenakan status diplomat keduanya. Atas kasus ini pemerintah Amerika Serikat meminta agar staf Kedutaan besar AS tersebut diadili di negara mereka. Atas permintaan Amerika maka Indonesia tidak perlu menyuruh agar pemerintah Amerika menangalkan hak kekebalan dan keistimewaan dan membiarkan Amerika yang mengadili diplomatnya tersebut. Menurut berita terakhir, mereka telah diadili dan dijatuhi hukuman masing-masing 7 tahun penjara, dan mereka harus melakukan kerja paksa.

https://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/07/11/0015.html diakses pada tanggal 28 November 2016, Pukul 13:40 WIB

(42)

Melihat jasus diatas dapat kita ketahui bahwa kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu mempunyai sifat fungsional, artinya setiap diplomat menikmati kekebalan demi kelancaran pelaksanaan fungsi misi diplomatik negaranya secraa efisiem dinegara penerima dan bukan untuk keuntungan pribadi.

Dapat kita lihat negara penerima juga memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengamanan kepada para diplomat beserta keluarganya dan termasuk kantor perwakilannya dari campur tangan yang tidak sah. Dengan hak kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki para pejabat diplomatik bukan berarti para diplomat dapat melanggar peraturan negara penerima, sesuai dengan Konvensi Wina 196138

C. Tugas dan Fungsi Pejabat Diplomatik

, yaitu tanpa mengurangi kekebalan dan keistimewaan diplomatik mereka, merupakan kewajiban bagi mereka semua orang yang menikmati kekebalan dan keistimewaan untuk menghormati peraturan-eraturan perundang0undangan negara penerima, bahkan mereka juga berkewajiban untuk tidak mencampuran masalah-masalah dalam negeri tuan rumah.

Tugas seorang duta besar dan para pejabat diplomatik dalah mewakili kepentingan negara pengirim di negara penerima (akreditas) dan sebagai penghubung anatar pemerintahan kedua negara. Dinegara penerima, mereka mengikuti perkembangan yang terjadi serta melaporkannya kenegara pengirim dan juga bertugas untuk melindungi warga negaranya serta berbagai kepentingan

38 Pasal 41 Konvensi Wina 1961 tentang hubungan Diplomatik.

(43)

warga negranya di negara penerima. Tugas-tugas perwakilan diplomatik ini sebagai berikut :

The function of a diplomatic mission consist inter alia in :

a. Representing the sending state in the receiving state (mewakili negara pengirim di negara penerima);

b. Protectin in the receiving state the interest of the sending state and of its nationals, whitin the limits permitted by international law (melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan wagra negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum intenasional);

c. Negotiating with the government of the receiving state ( melakukan perundingan dengan pemerintah negara penerima);

d. Ascertaining by all lawful means conditions and developments in the receiving state, and reporting there on the government of the sending state (memperoleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan perkembangan negara penerima dan melaporkannya kepada pemerintah negara pengirim);

e. Promoting friendly relations between the sending state and the receiving state, and developing their economic, cultural and scientific relations (meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan negara penerima serta mengembangkan hubungan ekonomi, budaya dan ilmu pengetahuan).39

39 Pasal 3 Konvensi Wina 1961

(44)

Dewasa ini, teknologi semakin pesat membuat hubungan kerjasama antarnegara dan antarbangsa menjadi mudah. Banyaknya organisasi pemerintah maupun non-pemerintah yang melakukan kerjasama dalam berbagai aspek untuk tercapainya tujuan yang sama. Hal inilah ynag mendorong para pejabat diplomatik dalam mengemban tugasnya bukan hanya untuk hal-hal regional tetapi juga hubungan internasional dan bukan hanya berhubungan dengan hal-hal bilateral melainkan bersama dengan negara pengirim bertukar pemikiran untuk mengatur masalah global yang bersifat demi kepentingan umum.

a) Representasi

Fungsi perwakilan diplomatik dapat kita lihat dalam Pasal 3 Konvensi Wina 1961 yaitu “mewakili negara pengirim di negara penerima”. Namun kata mewakili disini memiliki pengertian yang berbeda-beda dari para ahli hukum.

Seperti yang diekmukakan oleh Gerhard von Glahn, “seorang wakil diplomatik itu selain mewakili pemerintah negaranya, ia juga tidak hanya bertugas dalam kesempatan serelonial saja, melainkan juga dpat melakukan protes atau mengadakan penyelidikan “inquires” atau meminta penjelasan pada penerintah setempat. Ia mewakili kebijaksanaan politik pemerintah negara pengirimnya.”40

“fungsi yang utama dari seorang wakil diplomatik adalah mewakili negara pengirim di negara peneima dan bertindak sebagai saluran penghubung resmi antar pemerintah kedua negara. Bertujuan untuk memelihara hubungan diplomatik antarnegara yang menyangkut fasilitas

Sementara menuruth B.Sen, batasan mewakili adalah:

40 Gerhard vob Glahn, Op.Cit., hal. 385.

(45)

komunikasi kedua negara. Pejabat diplomatik sering kali melaksanakan tugas, mengadakan perundingan, dan menyampaikan pandangan pemerintahnya di beberapa kesempatan yang penting dan berharga kepada pemerintah negara penerima.”41

Bagi Indonesia hubungan luar negeri diselenggarakan sesuai dengan politik luar negeri dengan prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional, dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif dan antidipatif, tidak sekedar rutin dan reaktif, teguh dalam prinsip dan pendirian, serta rasional dan luwes dalam pendekatan, juga harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional dan hukum serta kebiasaan inetrnasional.42

b) Proteksi

Sesuai dengan Konvensi Wina 1961 Pasal 3 ayat 1, b Gerhard von Glahn43

Dari apa yang coba dijelaskan oleh Gerhard von Glahn disini tentang istilah untuk proteksi adalah setiap perwakilan diplomatik memiliki fungsi untuk melindungi kepentingan-kepentingan negara pengirim dan warga negaranya yang berada dinegara penerima untuk melindungi para pejabat diplomatik di dalam menjalankan tugas-tugasnya dan bukan hanya negara penerima namun negara mengartikan istilah proteksi disini adalah : “ The Diplomatic has a duty to look after the interest persons and property of citizens of his own state in the receiving state. He msut be ready to assist them, they get into trouble abroad, my have to take charge of their bodies and effects if they happen to die on a trip and in general acts as a trouble shooter for his fellow nationals in the receiving state.”

41 B.Sen, Op.Cit., hal. 47.

42 Baca, Pasal 4 dan 5 UU No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

43 Gerhard von Glahn, Op.Cit., hal. 386.

(46)

ketiga dimana para pejabat diplomatik in transit, negara ketiga harus melindungi para diplomatik tersebut.

Perlindungan terhadap para pejabat diplomatik harus memiliki ketegasan, hal ini dikarenakan seringnya terjadi pelanggaran hukum diplomatik yang banyak menyerang para pejabat diplomatik, keluarga pejabat diplomatik serta gedung- gedung kedutaan. Terutama dengan banyaknya aksi terorisme yang banyak mengancam para pejabat diplomatik.

Hal ini dikarenakan tugas-tugas yang dibebankan kepada para pejabat diplomatik serta msisnya maka negara penerima disini memiliki tanggung jawab untuk melindungi para pejabat diplomatik yang berasa di negaranya.

c) Negoisasi

Dalam hukum internasional cukup popular tang dikenal salah satu bentuk hubungan antarnegara melaui transaksi yang dinamakan perundingan. Negoisasi ataupun perundingan dapat dilakukan oleh dua negara atau lebih. Negoisasi ini merupakan salah satu miei diplomatik, seperti dalam ketentuan Konvensi Wina Pasal 3 ayat 1c, “negotiating with the government of the receiving state.”

Diplomatik disini mewakili negaranya dalam melakukan perundingan dinegara penerima. Oleh karena itu, dikatakan oleh Von Glahn : “ The original reason for the rise of diplomats the intention of having a representative in a foreign capital compowered to negotiable agreements with the receiving states, was to “deal”

directly with the foreign government.”44

Dengan demikian, maksud diadakan perundingan antarnegara beraneka ragam baik urusan ekonomi, social budaya, ilmu pengetahuan, serta untuk suatu

44Ibid, hal. 385.

Referensi

Dokumen terkait

Perumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah bagaimana pengawasan sebagai sarana penegakan hukum dalam Hukum Administrasi Negara, Bagaimana tugas pokok dan

73 Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi Revisi , Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2004, hal 77.. regulasi-regulasi yang relevan untuk

pengaturan pelaksanaan kewenangan lokal berskala desa di bidang pembangunan desa oleh Pemerintahan Desa pemerintah desa terlebih dahulu melakukan tahapan perencanaan pembangunan

Sumber data dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Tarkalil sebagai Kepala Bagian Humas yang dilaksanakan pada 28 Oktober 2019 dan data

Dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana, berdasarkan sejarah pembentukan dari pasal yang bersangkutan, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan

Dapat pula dipahami bahwa rumusan defenisi tersebut juga menyiratkan tentang sifat kesementaraan dari hukum tata negara darurat (mengenai ini akan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian kredit yang mengalami kemacetan pada Kredit Usaha Rakyat di PT.Bank Rakyat Indonesia Cabang Kota Binjai

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya khususnya berkaitan dengan Aspek Hukum