• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh:"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN KEWENANGAN LOKAL BERSKALA DESA DI DESA AIR GENTING BERDASARKAN PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI

NOMOR 1 TAHUN 2015

SKRIPSI

Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Wulan Suci 150200190

Departemen Hukum Tata Negara

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya :

Nama : Wulan Suci Nim : 150200190

Judul :Pelaksanaan Kewenangan Lokal Berskala Desa Di Desa Air Genting Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembanguanan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuat oleh orang lain.

Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku termassuk menerima sanksi pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Medan, Juli 2019

NIM. 150200190 Wulan Suci

(4)

ABSTRAK Wulan Suci*

Dr. Mirza Nasution S.H., M.Hum.**

Yusrin S.H., M.Hum***

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kewenangan lokal berskala desa dalam pelaksanaannya di Desa Air Genting yang berkaitan dengan amanah dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Menteri Desa, Pembanguna Daerah Trtinggal, dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul Dan Kewenangan Lokal Berskala Desa.

Adapun permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah Bagaimana pengaturan tentang Kewenangan Desa dan Kewenangan Lokal Berskala Desa dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, bagaimana pengaturan pelaksanaan kewenangan lokal berskala desa di bidang pembangunan desa oleh Pemerintahan Desa, Bagaimana pelaksanaan kewenangan lokal berskala desa di desa Air Genting dalam pembangunan desa.

Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif- hukum empiris. Metode penelitian normatif-empiris penelitian hukum yang mengkaji mengenai implementasi atau pelaksanaan ketentuan hukum positif dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat danmetode pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research) untuk memperoleh berbagai literaturdan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi. Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah sebagai dasar analisis dalam membahas permasalahan dalam skripsi ini.

Hasil penelitian atau kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan tidak semuanya terlaksana di tahun 2018, hanya beberapa pembangunan sarana dan prasarana yang terlaksana karena hanya yang sangat dibutuhkan masyarakat akan di prioritaskan pemerintah desa terlebih dahulu untuk dilaksankan pada tahun 2018 dan dengan Dana Desa yang cukup bisa terlaksananya kewenangan lokal berskala desa di bidang pembangunan desa. Tetapi, perencanaan pembangunan yang belum terlaksana di tahun 2018 akan menjadi perencanaan pembangunan di tahun berikutnya.

Kata kunci : Kewenangan Desa, Perencanaan Pembangunan Desa, Pembangunan Desa

*) Mahasiswa

**) Dosen Pembimbing I

***) Dosen Pembimbing II

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas setiap rahmat, hidayah dan taufiknya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah menuntun kita semua hingga saat ini dan semoga kita mendapatkan pertolongannya di hari kiamat nanti.

Skripsi ini berjudul “Pelaksanaan Kewenangan Lokal Berskala Desa Di Desa Air Genting Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015”yang disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari masih terdapat banyak keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini, semoga kedepannya penulis dapat lebih memperbaiki karya ilmiah penulis, baik dari segi substansi maupun metedologi penulisan.

Alhamdulillah penulis banyak mendapat doa, semangat, motivasi, dukungan, dan saran dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu pada kesempatan ini, izinkan penulis menyebutkan beberapa nama dengan setulus hati penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Budiman Ginting S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(6)

3. Bapak Prof. Dr. OK. Saaidin, S.H., M.Hum. selaku Waakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan II Faakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr.Jelly Leviza S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Dr.Idha Apriliana selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat dan bimbingan kepada penulis;

7. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Ibu Dr. Afnila S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Bapak Dr. Mirza nasution, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis selama penulisan skripsi;

10. Bapak Yusrin Nazief, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis selama penulisan skripsi;

11. Bapak Drs. Nazaruddin, S.H., MA., dan Bapak Armansyah, S.H., M.Hum. selaku Dosen Departemen Hukum Tata Negara yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis;

12. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis;

(7)

13. Teristimewah terimah kasih kepada kedua orang tua penulis, Kliwon, S.H dan Suwarni yang telah membesarkan, mendidik, dan yang terus mengalirkan kasih sayangnya kepada penulis dan yang selalu memberikan do’a, dukungan, motivasi sehingga penulis bisa menyelesaikan studi penulis;

14. Kedua adik penulis, Meysa Feby Alvina dan Rahma Aprilia Warda serta seluruh keluarga besar penulis yang telah mendo’akan dan mendukung penulis selama ini;

15. Kawan-kawan Departemen Hukum Tata Negara (PERMATA), Natalia Pransiska, Faridah Hanum, Fanidia Tumanggor, Dwi Retno Cahyani, Ayu S.

Simatupang, Yuliarta, Rinaldi Sitinjak, Antero Fadil Lase, Zulham Effendy yang saling memberikan do’a, dukungan, semangat, dan motivasi untuk sama-sama menyelesaikan studi;

16. Kawan-kawan PSB tercinta, Tri Anggri Lestari, Gizka Aditya Putri, Siti Alawiyah Hasibuan, Anis Febriani, Esnawati Limbong yang dari awal semester I sampai akhir selalu menjadi teman seperjuangan di grup F semoga sampai akhir hayat terus seperi itu;

17. Terkhusus buat Lismar Wahyuni Siregar kawan seperjuangan dalam perskripsian dan hijau hitam, yang sama-sama merasakan dinamika-dinamika, yang selalu menterjemahkan keadaan, yang saling mendo’akan, mendukung, menyemangati dan memotivasi dalam perskripsian dan hijau hitam terimakasih untuk semuanya;

18. Adik-adik seperjuangan Gusnia Hanako, Elsya Dwi Kurnia, Tira Raudha Partiwi, Helnia Syafitri yang selalu mendo’akan, mendukung, penyemangat

(8)

dan memotivasi. Terimaksih untuk segalanya atas perjuangan yang tak pernah terlupakan;

19. Kawan-kawan stambuk 2015 HMI Komisariat FH USU Adhani, Faridah, Alviami, Lismar, Putri, Nazli, Aulia, Retno, Farhan, Uan, Diwa, Doni, Adji, Bayu, Binsar, Andhika, Nanda, Zulham, Ikhsan, Eka, Arfan, Dana, Marie, Dinan;

20. Kawan-kawan Pengurus Presidium HMI Komisariat FH USU 2017-2018 sebelum dan sesudah resafule;

21. Kawan-kawan Pengurus HMI Komisariat FH USU 2017-2018;

22. Kawan-kawan pengurus Presidium KOHATI HMI Komisariat FH USU 2017-2018 sebelum resafule;

23. Kawan-kawan pengurus KOHATI HMI Komisariat FH USU 2017-2018 sebelum resafule;

24. Kakanda-kakanda Rizky Sogan, Ashri, Mahmud, Syauqi, Arisyah.

Terimakasih telah banyak mengajarkan dinamika-dinamika organisasi dan terimakasih atas dukungan, semangat dan motivasi untuk penulis;

25. Keluarga besar HMI Komisariat Fakultas Hukum USU 26. Keluarga besar Kelompok Aspirasi Mahasiswa MADANI

27. Seluruh civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

Medan, Juli 2019 Penulis

150200190 Wulan Suci

(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 11

E. Tinjauan Kepustakaan ... 12

F. Metode Penelitian ... 21

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II : TINJAUAN UMUM TERHADAP KEWENANGAN DESA DAN KEWENANGAN LOKAL BERSKALA DESA DALAM PERATURAN DI INDONESIA A. Kewenangan desa ... 25

1. Pengertian kewenangan desa ... 28

2. Kewenangan desa ... 31

3. Tahapan dan tatacara penetapan kewenangan desa ... 33

B. Kewenangan lokal berskala desa ... 37

1. Pengertian kewenangan lokal berskala desa ... 37

2. Kriteria kewenangan lokal berskala desa ... 39

3. Bidang-bidang dalam kewenangan lokal berskala desa ... 41 BAB III : PENGATURAN PELAKSANAAN KEWENANGAN LOKAL

BERSKALA DESA DI BIDANG PEMBANGUNAN DESA OLEH PEMERINTAHAN DESA

(10)

A. Pembangunan Desa ... 49

B. Perencanaan pembangunan desa ... 52

1. Penyusunan RPJMDes ... 60

2. Penyusunan RKPDes ... 66

BAB IV : IMPLEMENTASI PELAKSANAAN KEWENANGAN LOKAL BERSKALA DESA DALAM PEMBANGUNAN DESA A. Tinjauan umum terhadap lokasi penelitian ... 77

B. Pelaksanaan kewenangan lokal berskala desa dalam pembangunan desa ... 81

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 100

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Praktik peran sentral pemerintah pusat turut berpengaruh pada sistem ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi dalam menentukan arah pembangunan nasional dalam satu dasawarsa terakhir. Pendekatan sentralistik pada rezim orde baru justru berakhir dengan tingginya tingkat kesengajaan pembangunan antar daerah.1

Pada tataran praktis, pemberian otonomi daerah seluas-luasnya berarti pemberian kewenangan dan keleluasaan kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal. Meskipun titik berat otonomi diletakkan pada tingkat Kabupaten/Kota, namun pada hakikatnya kemandiriaan tersebut harus dimulai dari level Pemerintahan di tingkat paling bawah yaitu Desa.2

Dalam perjalan ketatanegaraan Indonesia, pengaturan tentang Desa telah mengalami perubahan beberapa kali sejak Zaman Kolonial yakni Regeeringsreglement yang merupakan cikal bakal Pemerintahan desa. Setidaknya ada beberapa aturan perundang-undangan yang muncul sejak tahun 1945 diantaranya Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Desa dan Kekuasaan Komite Nasional Daerah, Ketetapan MPRS No.III/MPRS/1960

1 Lihat, Pasal 18 ayat (5) UUD RI 1945 menegaskan : “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat”.

2Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa, Setara Press, Malang, 2015, hal. 49

(12)

tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969, Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, PP No. 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan mengenai Desa, PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa.3

Perubahan fundamental pengaturan terkait pemerintah desa ini tentunya memberikan implikasi dalam perkembangan dan dinamika desa terutama dalam hal tata kelola Pemerintahan desa mulai dari perubahan bentuk desa menjadi kelurahan sampai persoalan aturan mengenai hak asal usul dan kewenangan desa yang bisa saja berbenturan dengan Peraturan Daerah yang telah ada sebelumnya.

Perkembangan pengaturan desa ini juga membawa implikasi pada tingkat kesiapan daerah dalam pembangunan desa dan peningkatan peran serta masyarakat dalam rangka tata kelola pemerintahan di desa.4

Jika mempelajari substansi pengaturan soal desa dalam batang tubuh, tampak bahwa rezim desa kali ini dengan jelas menjawab persoalan pertama yaitu menegakkan kembali keragaman desa sebagaimana lebih awal telah dikoreksi oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Desa dan atau nama lain berhak mengatur dan mengurus urusannya masing-masing berdasarkan hak asal usul yang diakui dan dihormati oleh negara berdasarkan amanah konstitusi pasal 18 ayat (2) UUD 1945, bahkan

3H. A. W. Widjaja, Otonomi Desa Merupkan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 4-5

4Thomas, Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam Upaya Meningkatkan Pembangunan di Desa Sebawang Kecamatan Sesayap Kabupaten Tana Tidung. Jurnal Pemerintah Integratif, Volume 1 Nomor 1, 2013: 51-64

(13)

lebih dari itu rezim ini memberikan tempat bagi tumbuhnya Desa adat diluar desa administratif.5

Penjelasan umum UU No. 6 Tahun 2014 menentukan bahwa pengaturan Desa atau disebut dengan nama lain dari segi Pemerintahannya mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (7) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “susunan dan tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diatur dalam undang-undang”. Hal itu berarti bahwa pengaturan tentang Desa diintegrasikan ke dalam susunan pemerintahan daerah dalam sistem pemerintah Indonesia.6

Desa merupakan sebuah pemerintahan terdepan yang berhadapan langsung dengan masyarakat dan menjalankan fungsi pemerintahan secara riil dilapangan.

Selain itu, Desa adalah institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dengan hukum sendiri serta relatif mandiri. Posisi Pemerintahan Desa yang paling dekat dengan masyarakat adalah Pemerintah Desa selaku pembina, pengayom, dan pelayanan masyarakat sangat berperan dalam mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakat desa.7

5Muhadam Labolo, Dinamika Politik dan Pemerintahan Lokal, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, 2015, hal. 172-173

6Ni’matul Huda, op.cit, hal.210

7H.A.W.Widjaja, Loc. cit.

Desa merupakan suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Desa terjadi dari hanya satu tempat kediaman masyarakat saja ataupun terjadi dari satu induk desa dan beberapa tempat kediaman sebagian dari masyarakat hukum yang terpisah yang merupakan kesatuan-kesatuan tempat tinggal sendiri.

(14)

Sebagai kesatuan masyarakat hukum desa mengurus kehidupan mereka secara mandiri (otonom) dan wewenang untuk mengurus dirinya sendiri itu sudah dimilikinya semenjak kesatuan masyarakat hukum itu terbentuk tanpa diberikan oleh orang atau pihak lain. Dari sinilah asalnya mengapa desa disebut memliki otonomi asli yang berbeda dengan ‘daerah otonom’ lainnya seperti kabupaten, karesidenan dan provinsi yang memperoleh otonominya dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Nasional.8

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa saat ini mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintah desa, disamping tiga kewenangan desa lainnya, yakni pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa.9

Dari aspek kewenangan, terdapat tambahan kewenangan desa selain kewenangan yang didasarkan pada hak asal-usul sebagaimana diakui dan dihormati oleh negara. Tampak bahwa asas subsidiaritas yang melandasi undang-

Pengaturan eksistensi desa melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mesti diakui memberi peluang bagi tumbuhnya otonomi desa. Sejumlah tekanan dalam beberapa pasal memberi diskresi yang memungkinkan otonomi desa tumbuh disertain beberapa syarat yang mesti diperhatikan oleh pemerintah desa, masyarakat desa, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Syarat tersebut penting menjadi perhatian utama jika tidak ingin melihat kondisi desa bertambah malang nasibnya.

8Muhammad Labolo, op.cit. hal. 175

9Pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

(15)

undang desa memberikan keleluasaan dalam penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa.10

Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahanan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat-istiadat Desa. Kewenangan desa antara lain kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berdasarkan Desa, kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Serta kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.11

Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa diatur dan diurus oleh desa. Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diurus oleh Desa.

Dalam penyelenggaraan kewenangan desa berdasarkan asal usul dan kewenangan lokal berskala desa didanai oleh APBDes. Penyelenggaraan kewenangan lokal berskala desa selain didanai oleh APBDes, juga dapat didanai oleh APBN dan APBD. Penyelenggaraan kewenangan desa yang di tugaskan oleh pemerintah didanai oleh APBN yang dialokasikan pada bagian anggaran kementerian/lembaga dan disalurkan melalui satuan kerja perangkat daerah

10Muhadam Labolo, op. cit., hal 174

11Amin Suprihatini, Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Cempaka Putih, Klaten, 2007, hal.13

(16)

kabupaten/kota. Penyelenggaraan yang ditugaskan oleh Pemerintah Daerah didanai oleh APBD.12

Kewenangan lokal berskala desa adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa yang telah dijalankan oleh desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh desa, atau yang muncul karena perkembangan desa dan prakarsa masyarakat desa. Konsekuensi dari pertambahan kewenangan tersebut memungkinkan desa dapat mengembangkan otonomi yang dimiliki bagi kepentingan masyarakat setempat. Implikasinya, desa dapat menggunakan sumber keuangan yang berasal dari negara dan pemerintahan daerah untuk mengembangkan semua kewenangan yang telah ada, yang baru muncul, dan sejumlah kewenangan lain yang mungkin merupakan penugasan dari supra desa.

Untuk mendukung pelaksanaan sejumlah kewenangan tersebut, desa dan kepala desa memiliki kewenangan yang luas guna mengembangkan otonomi asli desa khususnya pembangunan desa melalui sumber keuangan yang tersedia.13

12Ni’matul Huda, op.cit, hal.214-215

Pembangunan desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa yang kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembagan potensi ekonomi lokal, serta pemafaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Pembangunan Desa dilaksanakan oleh Pemerintah desa dan masyarakat desa dengan semangat gotong royong serta memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam desa.

13http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/16770/SKRIPSI%20LENGK AP-HTN-AINIL520MA%E2%80%99SURA.pdf?sequance=1 di akses pada 05 April 2019 pukul 20.47

(17)

Di dalam Pasal 79 UU No. 6 Tahun 2014 ditegaskan, pemerintah desa menyusun perencanaan pembangunan desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. (2) perencanaan pembangunan desa disusun secara berjangka meliputi: a. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan b.

Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa, merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.14

Pada intinya Undang-Undang Desa mengatur dan memberikan kesempatan bagi desa untuk mengurus kemampuannya sendiri dalam aspek ekonomi, sosial politik, kependudukan, dan potensi lainnya. Pelaksanaan kewenangan desa secara teknis diatur oleh peraturan pemerintah.15

Sebelum dilakukan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) dan Anggaran Pembelanjaan Pemerintah Desa (APBDes), Pemerintah Kabupaten/Kota untuk membuat Peraturan Bupati/Walikota tentang daftar kewenangan desa berdasarkan asal usul dan kewenangan lokal berskala desa untuk menjadi dasar hukum bagi desa untuk menjalankan kewenangan mengatur dan mengurus urusan masyarakat desa.16

Mengenai pembangunan desa dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang

14Ni’matul Huda, op.cit, hal.239-240

15Ni’matul Huda, op cit. Hal.207

16http://jurnal–mahasiswa.unisri.ac.id/index.php/fakhukum/article/viewFile/239/182 yang diakses pada tanggal 06 april 2019 pukul 21.07

(18)

Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa mengenai kewenangan lokal berskala desa, juga di jelaskan mengenai bidang pembangunan yang meliputi:

a. Pelayanan dasar desa, b. Sarana dan prasarana desa,

c. Pengembangan ekonomi lokal desa; dan

d. Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan desa.17

Dalam penyelenggaraan kewenangan desa berdasarkan asal usul dan kewenangan lokal berskala desa didanai oleh APBDes. Penyelenggaraan kewenangan lokal berskala desa selain didanai oleh APBDes, juga dapat didanai oleh APBN dan APBD dengan catatan bahwa setiap kegiatan-kegiatan tersebut mendukung program prioritas pembangunan daerah/nasional.18

Dalam menyusun perencanaan pembangunan desa diselenggarakan dengan mengikut sertakan masyarakat desa, yang dilaksanakan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) bersama Pemerintah Desa dan Lembaga Kemasyarakatan Desa. Dalam menyusun perencanaan pembangunan desa, pemerintah desa wajib menyelenggarakan musyawarah perencanaan pembangunan desa (MUSREMBANGDES). Musyawarah perencanaan pembangunan desa menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan pembangunan desa yang didanai oleh Anggaran dan Belanja Desa, swadaya

17Pasal 9 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Trasmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa memberikan pengertian kewenangan desa

18Ni’matul Huda, Op.cit.,

(19)

masyarakat desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.19

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk menulis skripsi ini dengan judul “Pelaksanaan Kewenangan Lokal Berskala Desa Di Desa Air Genting Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015”.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, Penulis kemudian menyimpulkan beberapa hal yang dijadikan sebagai rumusan masalah, diantaranya:

1. Bagaimana pengaturan tentang Kewenangan Desa dan Kewenangan Lokal Berskala Desa dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?

2. Bagaimana pengaturan pelaksanaan kewenangan lokal berskala desa di bidang pembangunan desa oleh Pemerintahan Desa?

3. Bagaimana pelaksanaan kewenangan lokal berskala desa di desa Air Genting dalam pembangunan desa?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan ini dilakukan dengan tujuan dan manfaat yang hendak di capai, yaitu:

19Ibid, hal.240-241

(20)

1. Tujuan penulisan

Berdasarkan perumusan masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas makan tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan di Indonesia mengenai kewenangan desa dan kewenangan lokal berskala desa

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan pelaksanaan kewenangan lokal berskala desa di bidang pembangunan desa oleh Pemerintahan desa

3. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan kewenangan lokal berskala desa di desa Air Genting dalam pembangunan desa

2. Manfaat penulisan

Adapun manfaat yang akan dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Secara Teoritis

1) Pembahasan terhadap permasalahan dalam skripsi ini diharapkan akan memberikan pemahaman dan pengetahuan bagi pembaca mengenai pelaksanaan kewenangan lokal berskala desa terhadap desa itu sendiri. Jadi secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembagan khasanah ilmu pengetahuan hukum secara umum dan ilmu hukum tata negara secara khusus sekaligus sebagai pelengkap referensi karya ilmiah di bidang ketatanegaraan terkait dengan kewenangan lokal berskala desa.

2) Bagi penulis sendiri, tulisan ini bermanfaat dalam memenuhi persyaratan guna menyelesaikan studi dan meraih gelar kesarjanaan program strata satu (S-1)

(21)

pada Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

b. Secara Praktis

Diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi masyarakat atau praktisi hukum dan instansi terkait tentang pelaksanaan kewenangan lokal berskala desa berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang pedoman kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal bersakal desa.

D. Keaslian Penulisan

Tulisan ini berjudul Pelaksanaan Kewenangan Lokal Berskala Desa di Desa Air Genting bersadarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa yang membahas mengenai pelaksanaan kewenangan lokal berskala desa di desa Air Genting, yang penulisnya disusun dan dibahas berdasarkan pemikiran dari penulis sendiri meskipun hal ini telah banyak dituangkan dalam berbagai tulisan, namun dalam hal yang berbeda dapat dikategorikan sebagai penelitian baru karena baik judul dan permasalahannya yang dibahas berbeda, sehingga dapat dipertanggungjawabkan apabila dikemudian hari terdapat judul dengan pembahasan yang sama.

(22)

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Otonomi Daerah

Istilah otonomi atau autonomy secara etimologi berasal dari kata Yunani autos yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum, atau undang-undang.20 Menurut Encylopediaof Social Science, bahwa otonomi dalam pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body its actual independence.

Sedangkan literatur Belanda, otonomi berarti Pemerintahan sendiri (zelfregeling) yang oleh Van Vollenhoven dibagi atas zelfwetgeving, yaitu membuat undang- undang sendiri, dan zelfuitvoering yang artinya melaksanakan sendiri, zelfrechspraak atau mengadili sendiri, dan zelfpolitie yaitu menindaki sendiri.21

Berdasarkan etimologi kata otonomi ini, menurut S.L.S. Danurejo memberikan arti otonomi sebagai Zelvetgeving atau “pengundangan sendiri”, sedangkan Saleh Syarif mengartikan senagai “mengatur” atau “memerintahkan sendiri”. Hampir sejalan dengan yang diartikan oleh Syarif Var der Pot pun mengemukakan pendapatnya perihal otonomi daerah, dimana konsep otonomi daerah sebagai eigen huishouding (menjalankan rumah tangga sendiri). Otonomi adalah pemberian hak kepada daerah untuk mengatur sendiri daerahnya. Daerah mempunyai kebebasan inisiatif dalam penyelenggaraan rumah tangga dan pemerintahan di daerah, yang bisa dimaknai sebagai kebebasan dan kemandirian satuan pemerintahan yang lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan, dikatakan Var de Pot bahwa kebebasan dan kemandirian adalah hakikat isi otonomi, dimana delegasi kewenangan ini merupakan suatu

20Ni’matul Huda, Ilmu Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 234

21Hasim Purba ,dkk, Hubungan Pemerintah Provinsi Dengan Kabupaten/ Kota, CV.Mentari Persada, Medan, 2004, hlm. 4

(23)

sarana dalam menjaga kelangsunganpemerintahan nasional. Kelangsungan ini dimana pemerintah daerah turut mengambil bagian dalam proses interaksi antara kepentingan nasional dan kepentinganpembangunan di daerah.22

Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dilaksanakan dengan asas otonomi daerah yang artinya adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, sesuai peraturan perundang- undangan. Hal ini mengandung makna bahwa urusan pemerintah pusat yang menjadi wewenang pusat tidak mungkin dapat dilakukan dengan pemerintahan dan kesejahteraa rakyat disemua daerah.23

a. Asas desentralisasi, adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI.

Penyelenggaran urusan pemerintahan dilaksanakan dengan asas-asas sebagai berikut:

b. Asas dekosentrasi, adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur, sebagai wakil pemerintah kepada instasi vertikal di wilayah tersebut.

c. Asas tugas pembantuan, adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa; dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota

22 Ni’matul Huda, Ibid.,hal. 234-235

23Ibid.,hal. 235

(24)

dan/atau desa; serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.24

Otonomi daerah yang dilaksanakan dalam negara Republik Indonesia telah diatur kerangka landasannya dalam UUD 1945.25Otonomi daerah jika dilihat dari sudut wilayahnya, maka penyelenggaraannya ditentukan dalam batas-batas wilayah yang ditentukan pemerintah pusat. Dilihat dari subtabsi (materi) penyelenggaraan otonomi daerah, hal dimaksud ditentukan oleh sistem rumah tangga (huishuoding) otonomi daerah yang diadopsi.26

Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antar pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang menurut Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1974 hanyamerupakan kepanjangan tangan pusat di daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah di bukasaluran bantu (kran) bagi pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggungajawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat, untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

24Ibid., hal. 236-237

25Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:

“Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.”

Pasal 18 UUD 1945 berbunyi:

“Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memadang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewah.”

26Ni’matul Huda, op.cit, hlm.47

(25)

2. Desa

Perkataan “desa”, “dusun, “desi” (inngatlah perkataan swa desi), seperti halnya juga perkataan “negara”, “negeri, “negari”, “nagari”, “negory” (dari perkataan nagarom), menurut Soetardjo Kartohadokoesoemo, asalnya dari perkataan Sankskrit, yang artinya tanah air, tanah asal, tanah kelahiran. Lebih lanjut Soetardjo menyatakan, perkataan desa hanya di pakai di Jawa, Madura dan Bali. Perkataan dusun dipakai di Sumatera Selatan; di Maluku orang mengenal nama dusun-dati. Di Batak perkataan dusun dipakai buat nama pedukuhan. Di Aceh orang memakai nama gampong dan meunasah buat daerah hukum yang paling bawah. Di Batak, daerah hukum setingkat dengan desa diberi nama kuta, uta atau huta. Pedukuhannya dinamakan dusun sosor (ingatlah perkataan selosor di Jawa) dan pagaran. Pedukuhan lain yag merupakan masyarakat pertanian, dinamakan banjar atau jamban. Di Simelungun, daerah desa sebagai daerah hukum telah terdesak mati. Di atas daerah-daerah itu dibentuk daerah-gabungan yang dinamakan perbapan, induk ni huta. Bagiannya dinamakan anak ni huta atau sosor. Di Batak utara daerah-gabungan tadi dinamakan hundulan, akan tetapi hanya bersifat daerah Pemerintahan, bukan suatu daerah hukum. Bi Batak Selatan daerah hukum yang paling bawah bukanlah daerah yang setingkat dengan desa, melainkan sekumpulan kampong atau tempat kediaman penduduk yang dinamakan kuria, dulu juga diberi nama janjian.27

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Desa adalah kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem Pemerintahan sendiri

27Ni’matul Huda, ibid, hal. 33

(26)

(dikepalai oleh seorang Kepala Desa) atau desa merupakan kelompok rumah di luar kota yang merupakan suatu kesatuan.

Beberapa ahli juga memberikan pendapat terkait dengan pengertian desa, R. Bintarto (1968: 95) berpendapat bahwa Desa adalah suatu perwujudan

geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis sosisal ekonomis, politis, dan kultural yag terdapat di situ dalam hubungan dan pengaruh timbal balik dengan daerah-daerah lain.

Menurut P.J. Bournen (1971: 29), Desa adalah salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal, kebanyakan yang termasuk di dalamnya hidup dari pertanian, perikanan, dan sebagainya usaha-usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dan dalam tempat tinggal itu terdapat banyak ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan, dan kaidah-kaidah sosial.

Menurut I. Nyoman Beratha (1982: 27), Desa atau nama aslinyayang setingkat yang merupakan kesatuan masyarakat hukum berdasarkan susunan asli adalah suatu “badan hukum” dan ada pula “Badan Pemerintahan”, yang merupakan bagian wilayah kecamatan atau wilayah yang mengkunginya.28

Menurut Mashuri Maschab, apabila membicarakan ‘desa’ di Indonesia, maka sekurang-kurangnya akan menimbulkan tigamacam penafsiran dan pengertian. Pertama, pengertian secara sosiologis, yang menggambarkan suatu bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas yang tinggal dan menetap dalam suatu lingkungan, dimana di antara mereka saling mengenal dengan baik dan

28Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2011, hal. 4

(27)

corak kehidupan mereka relatif homogen, serta banyak bergantung kepada kebaikan-kebaikan alam. Dalam pengertian sosiologis tersebut, desa diasosiasikan dengan suatu masyarakat yang hidup secara sederhana, pada umumnya hidup dari sektor pertanian, memiliki ikatan sosial dan adat atau tradisi yang masih kuat, sifatnya jujur dan bersahaja, pendidikannya relatif rendah dan lain sebagainya.

Kedua, pengertian secara ekonomi, desa sebagai suatu lingkungan masyarakat yag berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dari apa yang disediakan alam sekitarnya. Dalam pengertian yang kedua ini, desa merupakan satu lingkungan ekonomi, dimana penduduknya berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Ketiga, pengertian secara politik, dimana ‘desa’ sebagai suatu organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politik mempunyai wewenang tertentu karena merupakan bagian dari pemerintahan negara. Dalam pengertian yang ketiga ini desa sering dirumuskan sebagai “suatu kesatuan masyarakat hukum yang berkuasa menyelenggarakan pemerintahan sendiri”.29

Berdasarkan dari pengertian-pengertian tersebut, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa desa adalah suatu wilayah yang didiami oleh sejumlah penduduk yang saling mengenal atas dasar hubungan kekerabatan dan/atau kepentingan politik, sosial, ekonomi, dan keamanan yang dalam pertumbuhannya menjadi kesatuan masyarakat hukum berdasarkan adat sehingga terciptaikatan lahir batin antara masing-masing warganya, umumnya warganya hidup dari

29 Ni’matul Huda, Op.cit, hal.32-33

(28)

pertanian, mempunyai hak mengatur rumah tangga sendiri, dan secara administratif berada di bawah Pemerintahan kabupaten/kota.30

Desa didefenisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaten, menurut Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa, disebutkan bahwa:

“Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi Pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

31

“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Sementara itu, menutur di dalam Undang-Undanag Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah mendefenisikan bahwa:

32

“Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan, Pengertian Desa di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undanag Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mendefenisikan sebagai berikut:

30Hanif Nurcholis, Op.cit., hal. 4

31Ibid.,

32Ibid., hal 4-5

(29)

kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.33

Adapun yang dinamakan desa ialah suatu kesatuan hukum, di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan Pemerintahan sendiri. Sejatinya desa adalah ‘negara kecil’ atau apa yang dimaksud Ter Haar sebagai doorps republiek, karena sebagai masyarakat hukum desa memiliki semua perangkat suatu negara: teritori, warga, aturan atau hukum (rules atau laws), dan pemerintahan. Dengan ungkapan lain, pemerintahan desa memiliki alat (polisi dan pengadilan desa) dengan mekanisme (aturan/hukum) untuk menjalankan “hak menggunakan kekerasan” (ceorcion) di dalam teritori atau wilayah (domain) hukumnya. Wilayah keberlakuan (domain) hukum suatau masyarakat hukum dapat berupa suatu teritori tetap, artinya berlaku bagi setiap orang yang berada di wilayah itu dan/atau bagi setiap warga masyarakat itu, dimana pun ia berada.34

3. Pembangunan Desa

Di dalam Pasal 1 ayat (8) Undang-Undanag Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan defenisi sebagai berikut:

“Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa”.35

Pembangunan desa memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penaggulangan kemiskinan melalui penyediaan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan

33Pasal 1 ayat (1) Undang-Undanag Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

34Hanif Nurcholis, Op.cit, hal 4-5

35Pasal 1 ayat (8) Undang-Undanag Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

(30)

lingkungan secara berkelanjutan. Untuk itu, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu “Desa membangun”

dan “membangun Desa” yang diintegrasikan dalam perencanaan.36

Di dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 ditegaskan, Pemerintah Desa menyusun perencanaan pembangunan desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. (2) perencanaan pembagunan desa disusun secaraberjangka meliputi: a. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan b. Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa, merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa ditetapkan dengan peraturan desa. Peraturan desa tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan pedoman dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang berskal lokal desa dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada desa. Perencanaan pembangunan desa merupakan salah satu sumber masukan dalam perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota.37

36Ni’matul Huda, Op.cit, hal. 239

37Ni’matul Huda, Op.cit, hal. 240

(31)

Perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat desa. Dalam menyusun perencanaan pembangunan desa, pemerintah desa wajib menyelenggarakan musyawarah perencanaan pembagunan desa. Musyawarah perencanaan pembangunan desa menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan pembagunan desa yang di danai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat desa, dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah Kabupaten/Kota. prioritass, program, kegiatan, dan kebutuhan pembangunan desa dirumuskan berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan masyarakat desa yang meliputi:

a. Peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar;

b. Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumber daya lokal yang tersedia;

c. Pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif;

d. Pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi; dan

e. Peningkatan kualitas ketertiban dan ketenteraman masyarakat desa berdasarkan kebutuhan masyarakat desa.38

F. Metode Penelitian

Dalam suatu penulisan skripsi, posisi metode penelitian sangatlah penting sebagai suatu pedoman. Pedoman ini nantinya akan menjelaskan mengenai apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan dalam penulisan. Dalam

38Ni’matul Huda, Ibid, hal.240-241

(32)

penulisan skripsi ini metode penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini merupa penelitian hukum normatif- hukum empiris. Penelitian ini pada dasarnya merupakan penggabungan antar pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif-empiris penelitian hukum yang mengkaji mengenai implementasi atau pelaksanaan ketentuan hukum positif dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat.39 2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research) untuk memperoleh berbagai literaturdan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi. Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah sebagai dasar analisis dalam membahas permasalahan dalam skripsi ini.

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang diteliti adalah bahan hukum yang terdiri dari UUD 1945 dan peraturan perundang- undangan lainnya yang pernah dan/atau masih berlaku di Indonesia. Bahan hukum sekundernya berupa buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun bahan hukum bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

39Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 134

(33)

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka perlunya ada sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam setiap bab yang saling berkaitan satu dengan yang lain.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dijelaskan tentang latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEWENANGAN DESA DAN KEWENANGAN LOKAL BERSKALA DESA DALAM PERATURAN DI INDONESIA

Pada bab ini akan dijelaskan tentang pengertian dan ruang lingkup kewenangan desa dan kewenangan lokal berskala desa secara umum lewat peraturan yang ada di Indonesia.

BAB III PENGATURAN PELAKSANAAN KEWENANGAN LOKAL BERSKALA DESA DI BIDANG PEMBANGUNAN DESA OLEH PEMERINTAHAN DESA

(34)

Pada bab ini akan dijelaskan tentang pengaturan pelaksanaan kewenangan lokal bersakala desa di bidang pembangunan desa oleh pemerintahan desa melalui perencanaan pembagunan desa.

BAB IV IMPLEMENTASI PELAKSANAAN KEWENANGAN

LOKAL BERSKALA DESA DALAM PEMBANGUNAN DESA

Pada bab ini berisi bagaimana pelaksanaan kewenangan lokal berskala desa di desa Air Genting dalam pembangunan desa beserta lembaga Pemerintahan desa yang ikut berperan dalam pelaksanaan kewenangan lokal berskala desa.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran bagi penulis yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

(35)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KEWENANGAN DESA DAN KEWENANGAN LOKAL BERSKALA DESA DALAM PERATURAN DI

INDONESIA

A. Kewenangan Desa

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah harus memiliki legitimasi wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Menurut H.D. Stout, bahwa wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik.79

Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian Hukum Tata Negara dan Hukum Adminitrasi Negara. Begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini, sehingga F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menyebutkan sebagai konsep inti dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Adminitrasi Negara yang di dalamnya terkandung hak dan kewajiban. Kewenangan disebut juga

“kekuasaan formal”, yaitu kekuasaan yang diberikan atau berasal dari Undang- Undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau adminitrasi yang bersifat utuh dan bulat.80

Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat

79Ridwan HR, Hukum Adminitrasi Negara, Edisi Revisi, PT. Raja Gravindo Persada, Jakarta, 2013, hal. 98

80Ibid., hal. 106

(36)

atau tidak berbuat, wewenang berarti hak dan kewajiban (rechten en plicten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen). Kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Sedangkan kewajiban vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan Negara secara keseluruhan.81

a. Bahwa ketentuan hukum atau aturan hukum tersebut bukan merupakan ketentuan hukum atau aturan hukum yang sah, oleh karena itu tidaklah mempunyai kekuatan berlaku juga kekuatan mengikat;

Apabila ada suatu ketentuan hukum atau aturan hukum yang merupakan perwujudan dari keputusan penguasa yang ternyata secara hukum atau secara yuridis tidak dapat dicari dasar hukumnya kepada suatu ketentuan hukum atau aturan hukum yang lebih tinggi atau kewenangan yang lebih tinggi, maka akan terdapat dua kemungkinan yaitu:

b. Bahwa ketentuan hukum atau aturan hukum tersebut merupakan ketentuan hukum atau aturan hukum yang tertinggi dalam tata-hukum Negara yang bersangkutan.82

Menurut Soehino, penguasa mempunyai wewenang apabila ia diberi wewenang secara khusus oleh aturan hukum in abstracto, yaitu aturan hukum yang sifatnya masih abstrak (masih umum) dalam arti belum ditujukan kepada

81Ibid., hal.107

82Ibid., hal. 103

(37)

subyek hukum tertentu.83Berdasarkan hal tersebut, terdapat 3 (tiga) sumber kewenangan yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Secara sederhana dapat diartikan atribusi merupakan kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (Undang-Undang Dasar), sedangkan kewenangan delegasi merupakan pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain dan mandat merupakan pemberian wewenang untuk bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat.84

Terkait sumber kewenangan, H.D. Van Wijk mendefinisikannya sebagai berikut: (1) atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada pemerintah, (2) delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintah kepada organ pemerintahan lainnya, (3) mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.85

Lebih lanjut Soehino menjelaskan, berdasarkan suatu ketentuan dalam Undang-Undang, suatu wewenang baik untuk mengatur sesuatau maupun untuk melaksanakan sesuatau dapat didelegasikan kepada peraturan perundang- undangan yang lebih rendah tingkatnya atau kepada pejabat tertentu. Dengan demikian ada dua macam delegasi wewenang yaitu: pertama delegasi wewenang untuk membuat peraturan perundang-undangan. Ini adalah suatu penyerahan wewenang untuk mengatur sesuatu hal oleh undang-undang kepada peraturan perundangannnya yang tingkatannya lebih rendah, delegasi wewenang ini adalah delegasi wewenang yang besifat mengatur. Kedua delegasi wewenang untuk melaksanakan sesuatu ini adalah suatu penyerahan wewenang untuk

83Ibid., hal. 104

84Ibid., hal. 91

85Ibid., hal. 92

(38)

melaksanakan sesuatu hal oleh undang-undang kepada pejabat tertentu, delegasi adalah delegasi wewenang yang bersifat melaksanakan.86

Dalam pendelegasian wewenang yang bersifat mengatur harus ditentukan dengan tegas hal-hal apa yang didelegasikan mengenai wewenang pengaturannya dan jenis peraturan perundang-undangan yang ditugaskan untuk mengatur masing-masing wewenang tersebut.87

Titik Triwulan Tutik menyatakan bahwa delegasi adalah penyerahan

wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan oleh organ yang lain.

Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang. Suatu delegasi selalu didahului dengan adanya suatu atribusi wewenang.

Sehingga terhadap pendelegasian wewenang dapat dihindari adanya unsur penyalagunaan wewenang.

88

1. Pengertian Kewenangan Desa

Berbicara kewenangan memang menarik, karena secara alamiah manusia sebagai makhluk sosial memiliki keinginan untuk diakui ekstensinya sekecil apapun dalam suatu komunitasnya dan salah satu faktor yang mendukung keberadaan ekstensi tersebut adalah memiliki kewenangannya.89

86Soehino, Hukum Tata Negara, Teknik Perundang-Undangan, Liberty, Yogyakarta, 1996, hal. 131

87Ridwan HR, Op.cit., hal. 105

88Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Prestasi Pustaka Karya, Jakarta, 2010, hal. 195

89http://jurnal-mahasiswa.unisri.ac.id/index.php/fakhukum/article/viewfile/239/182 diakses 23 Juni 2019 pukul 14.37

(39)

Secara pengertian bebas, kewenangan adalah hak seorang individu untuk melakukan suatu tindakan dengan batas-batas tertentu dan diakui oleh individu lain dalam suatu kelompok tertentu.90

Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan yang dalam bahasa Belanda disebut “bevoegdheid” yang berarti wewenang atau berkuasa.

Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam literasi politik- kekuasaan dalam Hukum Tata Pemerintahan atau Hukum Adminitrasi, karena suatu pemerintahan atau organisasi pemerintah dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam konstitusi maupun regulasi turunannya seperti peraturan perundang-undangan.91

Pengertian kewenangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.92

Prajudi Atmosudirdjo menyebutkan bahwa kewenangan adalah apa yang

disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif.

Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja.

90Ibid.,

91Ibid.,

92Ibid.,

(40)

Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.93

Jika mengacu pada pandangan SF. Marbun, perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara, seperti halnya desa dalam menjalankan fungsinya. Dengan kata lain, wewenang desa adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.94

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam seperti penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum, sepertinya halnya bagi desa. Dengan kata lain, seperti penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu kemampuan untuk melakukan suatu tindakan-tindakan hukum tertentu.95

“Kewenangan desa adalah kewenangan yang dimiliki desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan Pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan Dalam pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Trasmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa memberikan pengertian kewenangan desa.

93Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Adminitrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hal.75

94Marbun SF, Peradilan Adminitrasi Negara dan Upaya Adminitrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hal. 154

95Op.cit., jurnal

(41)

masyarakat desa, berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul dan adat istiadat desa”.96

2. Kewenangan Desa

Kewenangan merupakan elemen penting sebagai hak yang dimiliki oleh sebuah desa untuk dapat mengatur rumah tangganya sendiri. Dari pemahaman ini jelas bahwa dalam membahas kewenangan tidak hanya semata-mata memperhatikan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa namun harus juga memperhatikan subjek yang menjalankan dan menerima kekuasaan. Kewenangan harus memperhatikan apakah kewenangan itu bisa diterima oleh subjek yang menjalankan atau tidak.97

Dalam pengelompokannya, kewenangan yang dimiliki desa meliputi:

kewenangan dibidang penyelenggaraan pemerintah desa, kewenangan dibidang pelaksanaan Pembangunan desa, kewenangan dibidang pembinaan kemasyarakatan desa, dan kewenangan dibidang pemberdayaan masyarakat desa yang berdasarkan masyarakat, atau yang berdasarkan hak asal usul dan yang berdasarkan adat istiadat desa.98

1. kewenangan berdasarkan hak asal usul;

Kewenangan desa sebagaimana tertuang dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, diuraikan sebagai berikut:

2. kewenangan lokal berskala desa;

3. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ;

96Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Trasmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa memberikan pengertian kewenangan desa

97http://www.lsn.or.id/index.php/2015/08/25/memahami-kewenangan-desa-berdasarkan- hak-asal-usul-dan -kewenangan-desa-berskala-lokal-berdasarkan-permendes-no-12015/16 -Juni- 2019 diakes 16 Juni 2019 pukul 20.13

98Pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

(42)

4. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.99

Dari empat kewenangan tersebut pada dua kewenangan pertama yaitu kewenangan asal usul dan kewenangan lokal berskal desa terdapat beberapa prinsip penting yang dimiliki desa. Dimana kewenangan yang dimiliki oleh desa tersebut bukanlah kewenangan sisa (residu) yang dilimpahkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana pernah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa. Melainkan, sesuai dengan asas rekognisi dan subsidiaritas. Dan kedua jenis kewenangan tersebut diakui dan ditetapkan langsung oleh undang-undang dan dijabarkan oleh peraturan pemerintah.100

Kewenangan berdasarkan hak asal usul merupakan kewenangan warisan yang masih hidup dan atas prakarsa Desa dan prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan hidup masyarakat. Sedangkan kewenangan lokal berskala desa merupakan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa yang telah dijalankan oleh desa atau maupun yang efektif dijalankan oleh desa atau yang muncul karena perkembagan desa dan prakarsa masyarakat desa. Kedua kewenangan ini merupakan harapan menjadikan desa berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.101

Dengan kedua kewenangan ini desa mempunyai hak “mengatur” dan

“mengurus” sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 UU Desa, desa maupun desa adat mempunyai kewenangan mengeluarkan dan menjalankan aturan main

99Pasal 19 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Desa

100Op.cit, jurnal

101Ni’matul Huda, Op.cit, hal.238

(43)

(peraturan) tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, sehingga mengikat kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan menjalankan aturan tersebut atau bertanggungjawab merencanakan, menganggarkan dan menjalankan kegiatan Pembangunan atau pelayan serta menyelesaikan masalah yang muncul.102

3. Tahapan dan tatacara penetapan kewenangan desa

Sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Desa, desa berhak mengatur dan mengurus desa sesuai dengan prakarsa yang ada pada desa sesuai dengan kebutuhan pada desa itu sendiri. Desa berhak menentukan kewenangan desa yang akan di jalankan dan yang sudah berjalan sebelum di tetapkan dalam peraturan perundang-undang dengan beberapa tahapan dan tatacara yang dilakukan seperti:

1. Tahapan

a. Pemilihan kewenangan berdasarkan daftar yang telah ditetapkan dalam Peraturan Bupati/Walikota;

b. Penyusunan draft peraturan desa tentang penetapan kewenangan desa;

c. Pembahasan bersama Badan Permusyawatan Desa (BPD); dan d. Penetapan peraturan desa.

2. Tatacara

a. Dilakukan dalam forum musyawarah desa yang dihadiri Badan Permusyawaran Desa (BPD), pemerintah desa, lembaga kemasyarakatan desa dan unsur masyarakat;

b. Selain unsur masyarakat, musyawarah desa dapat melibatkan unsur masyarakat lain sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat;

102Penjelasan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

(44)

c. Pemilihan kewenangan desa didasarkan pada daftar kewenangan desa yang telah ditetapkan Bupati/Walikota;

d. Hasil musyawarah dituangkan dalam berita acara;

e. Kepala desa bersama-sama Badan Permusyawaran Desa (BPD) dapat menambah jenis kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskal desa lainnya sesuai dengan prakarsa masyarakat, kebutuhan dan kondisi lokal desa;

f. Hasil penambahan jenis kewenangan dituangkan dalam berita acara dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan berita acara;

g. Pemerintah desa menyusun rancangan peraturan desa tentang kewenangan desa sesuai dengan berita acara;

h. Rancangan peraturan desa dikonsultasikan kepda masyarakat dan camat setempat;

i. Berdasarkan hasil konsultasi, kepala desa menyampaikan rancangan peraturan desa tentang kewenangan desa kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk dibahas dan disepakati bersama.103

Mengenai tahapan dan tata cara penetapan kewenangan pada desa sebagimana dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Trasmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa bab IV Pasal 15 – Pasal 21, diuraikan sebagai berikut:

103Lia Sartika Putri, Kewenangan Desa dan Penetapan Peraturan Desa, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 13 Nomor 2, 2016

(45)

1. Bupati/Walikota melakukan pengkajian untuk identifikassi dan inventarisasi kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa.104

2. Desa melakukan identifikasi terhadap kegiatan yang sudah ditangani dan kegiatan yag mampu ditangani tetapi belum dilaksanakan.105

3. Tim pengkajian dan Inventarisasi memiliki tugas sebagi berikut:

a. Membuat rancangan daftar kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa berdasarkan hasil kajianharus melibatkan partisipasi desa, unsur pakar dan pemangku kepentingan yang terkait;

b. Melakukan pembahasan rancangan daftar kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskal desa;

c. Menghasilkan rancangan daftar kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa.106

4. Hasil rancangan daftar kewenangan yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota, harus melakukan sosialisasi dan fassilitasi kepada desa dalam penetapan daftar kewenangan di tingkat desa.107

5. Kepala Desa bersama-sama BPD harus melibatkan masyarakat desa melakukan musyawarah untuk memilih kewenangan berdasarkan hak asal

104Pasal 15 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Trasmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa

105Pasal 16 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Trasmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa

106Pasal 17 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Trasmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa

107Pasal 18 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Trasmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa

(46)

usul dan kewenangan lokal berskala desa dari daftar yang telah ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota sesuai dengan kebutuhan dan kondisi desa.108

6. Kepala Desa bersama-sama BPD dapat menambah jenis kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal bersakal desa lainnya sesuai dengan prakarsa masyarakat, kebutuhan dan kondisi lokal desa.109

7. Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa tentang kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa.”110

Sesuai dengan Permendes, PDTT Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa mengenai tahapan dan tata cara penetapan kewenangan desa. Untuk mengimplementasikan kewenangan desa dibutuhkan ruang negosiasi dan penegasan dari Bupati/Walikota melalui Peraturan Bupati/Walikota. Peraturan Bupati/Walikota tentang daftar kewenangan desa yaang dapat dimanfaatkan desa dalam menata wilayahnya.111

Dalam hal ini Bupati Asahan telah mengesahkan Peraturan Bupati Asahan Nomor 13 Tahun 2018 tentang kewenangan desa. Peraturan Bupati ini yang akan menjadi pedoman bagi setiap desa dalam memanfaatakan penataan wilayah di

108Pasal 19 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Trasmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa

109Pasal 20 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Trasmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa

110Pasal 21 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Trasmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa

111Penjelasan BAB IV Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Trasmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa

Referensi

Dokumen terkait

Dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana, berdasarkan sejarah pembentukan dari pasal yang bersangkutan, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan

Dapat pula dipahami bahwa rumusan defenisi tersebut juga menyiratkan tentang sifat kesementaraan dari hukum tata negara darurat (mengenai ini akan

dibentuk untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan di Amerika Serikat dengan menjamin simpanan nasabah pada bank umum dan melindungi

Perumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah bagaimana pengawasan sebagai sarana penegakan hukum dalam Hukum Administrasi Negara, Bagaimana tugas pokok dan

73 Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi Revisi , Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2004, hal 77.. regulasi-regulasi yang relevan untuk

Dari uraian di atas dapatlah ditarik kesimpul- an, bahwa keragaan reproduksi kerbau di Indone- sia menunjukkan hasil yang masih rendah yaitu umur berahi pertama, umur beranak

• Kontrol fuzzy T-S berbasis performansi H ∞ dengan batasan input-output mampu menstabilkan pendulum pada posisi terbalik dan mempertahankan kereta pada titik tengah rel. •

University of Agriculture Makurdi Benue State.. Flavanones in oranges, tangerines (mandarin), tangors and tangelos: a compilation and review of the data from