• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENENTUAN DAN PENGENDALIAN SIKLUS BERAHI UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI KERBAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENENTUAN DAN PENGENDALIAN SIKLUS BERAHI UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI KERBAU"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

MENINGKATKAN PRODUKSI KERBAU

PENDAHULUAN

Kerbau adalah ternak yang begitu banyak jasa dan manfaatnya bagi manusia, akan tetapi masih kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan rekannya sapi. Kerbau dapat dikatakan ternaknya petani kecil, umumnya dipelihara sebagai tenaga kerja untuk mengolah tanah terutama untuk sawah berlumpur dalam, di samping menghasilkan daging dan susu . Barangkali karena fungsi ganda inilah perhatian pada perbaikan peningkatan pro-duksi agak lambat .

Akan tetapi oleh JANAKIRAMAN (1979) mela-porkan, bahwa lebih dari 60% produksi susu di India dan 37% produksi susu di Asia berasal dari kerbau . SUNDARESAN (1979) juga mengemukakan bahwa India, Pakistan, Thailand, Philipina, Nepal dan Birma, menghasilkan lebih dari 50% susu dari produksi susu kerbau . India telah memasuki tahap industrilisasi produksi susu kerbau yakni adanya pengolahan susu kerbau dengan kapasitas 7,5 juta liter per hari dan membina koperasi persusuan petani peternak kerbau perah yang semakin man-tap .

Kerbau tidak dapat diabaikan fungsinya seba-gai penghasil daging sejak berabad-abad yang lalu. Bahkan belakangan ini daging kerbau yang le maknya lebih sedikit dibandingkan daging sapi mulai mendapat perhatian yang lebih besar . Di Indonesia, kerbau adalah penghasil daging ternak ruminansia nomor dua setelah sapi . Nilai sosial dan religiusnya sangat menonjol hampir pada ke-banyakan suku bangsa di Indonesia . Bantuan tenaga kerja kerbau pada pertanian terutama pe-ngolah sawah adalah cukup besar, walaupun dalam persoalan swasembada beras kurang diper-hatikan .

Populasi kerbau di Indonesia mengalami pe-nurunan sejak lama, sehingga pemerintah mulai pada PELITA III mengimpor kerbau dari Australia . Ada beberapa faktor yang menyebabkan penu-runan populasi kerbau di Indonesia . Di antara faktor-faktor yang menyebabkan penurunan popu-Iasi kerbau adalah rendahnya efisien reproduksi . Selain masalah siklus produksi kerbau memang lambat, ada hal-hal lain yang berperanan seperti

ABDUL RAHMAN SIREGAR Balai Penefidan Ternak P.O. Box 221, Bogor 16002

pengaturan perkawinan dan pengaruh pakan/nu-trisi .

MASALAH UMUM REPRODUKSI KERBAU BETINA

Gambaran umum efisiensi reproduksi kerbau dapat dilihat dari selang beranak, umur beranak pertama, lama bunting dan umur produktif . WANG PEI CHEN (1979) misalnya melaporkan, bahwa kerbau di Cina mempunyai selang beranak 533 hari (69 ekor contoh), dewasa kelamin umur 1 .067 hari (12 contoh), umur kawin pertama 1 .404 hari (14 contoh) dengan musim kawin antara Oktober-Nopember . Siklus berahi 24 hari (276 contoh), lama berahi 43 jam (86 contoh) dan berahi sesudah melahirkan 295 hari (69 con-toh) . Umur produktif rata-rata 18 tahun dan umumnya seekor kerbau betina melahirkan 8-9 ekor anak selama hidupnya . Di laporkan pula oleh WANG PEI CHEN (1979) ada kerbau berumur 28 tahun masih beranak. Di Italia oleh DE FRANCISCIS (1979) dilaporkan bahwa musim kawin biasanya bulan Oktober - Desember, beranak pertama umur 3,0 - 3,6 tahun. Selang beranak sekitar 14 bulan, umur dewasa kelamin 20 - 22 bulan, umur kawin pertama 28-30 bulan dan masa produktif 25 tahun dengan 15-17 kali laktasi . CHANDHARY dan AHMED (1979) melaporkan pula bahwa di Pakistan rata-rata selang beranak kerbau 530 hari (142 ekor contoh pada Livestock Experiment Station Qadira-bad) . ASHFAQ dan MASON (1954) yang disitasi CHANDARY dan AHMED (1979) melaporkan bahwa dengan perbaikan sistem perkawinan kelompok kerbau sebanyak 550 ekor dapat menurunkan selang beranak menjadi 467 hari (436 - 528 hari) . Demikian pula SAM (1978) melaporkan bahwa rata-rata selang beranak kerbau sebesar 541 hari (298 ekor kerbau Nili Ravi) dengan perincian 20% dari kelompok kerbau yang diamati mempunyai selang beranak 380 hari sedangkan 62% antara 400 - 600 hari . Lama bunting dilaporkan oleh CHANDHARY dan AHMED (1979) yang dlsltasi dari tiga sumber yaitu AHMED et al. (1978) selama 307 (290 - 323) hari, WAHID (1975) selama 306

(2)

(285-325) hari clan AHMED Clan AHMAD (1978) selama 306,8 hari . Umur dewasa kelamin kerbau berkisar 700 - 1 .603 hari dengan rata-rata 984 hari (dari 669 contoh kerbau murrah) clan penelitian lain dengan contoh 460 ekor kerbau Nili Ravi selama 1 .064 hari . Umur beranak pertama adalah 1412 (1 .054 - 1 .846) hari dari 911 ekor kerbau Nili Ravi yang diamati, IVANov clan SADRAZIEV (1960), HILL (1962) yang disitasi olehTOELIHERE(1978) menge-mukakan bahwa rata-rata dewasa kelamin kerbau betina pada umur 3 tahun .

Di Indonesia, rata-rata siklus berahi kerbau adalah 21,53 (17 - 29) hari dan umur berahi pertama 3 - 5 tahun (TOELIHERE 1974 clan TOELI HERE, 1976) . ROBINSON (1977) melaporkan bahwa selang beranak kerbau di Indonesia sekitar 687 hari . PETHERAMet al. (1982) dengan metode survai di daerah Serang mendapatkan angka kelahiran kerbau rata-rata 40% dihitung dari persentase kelahiran terhadap kerbau betina berumur di atas 4 tahun . Selang beranak 1,7 - 2,1 tahun . Berahi kembali 6 - 12 bulan sesudah beranak. Umur dewasa kelamin 3 tahun 3 bulan dan rata-rata umur beranak pertama 3 tahun 9 bulan . Petani memelihara induk kerbau selama 7,2 (6-8 .2) tahun masa produksi . Kelahiran disebutkan pada umum-nya terjadi selama periode April - Oktober (77%) . Selanjutnya TOELIHERE (1967) menyatakan bahwa kerbau lumpur di Jawa, mempunyai lama periode kebuntingan berkisar antara 11 sampai 12 bulan . Data statistik mengenai keragaan reproduksi ker-bau di Indonesia menurut sensus 1980 yang di-nyatakan dengan persentase kelahiran dan per-sentase kerbau betina dewasa, tertera dalam Ta-bel 1 .

PUTU et al. (1995) melaporkan persentase kelahiran kerbau di desa Tampakang 26,6%, desa Sapala 23,3% dan desa Paminggir 32,2% (keti ganya di Kecamatan Danau Panggang, Kalimantan

Selatan) . Perkawinan kembali setelah beranak Tabel 1 . Populasi kerbau clan kerbau betina dewasa serta

persentase kelahiran Tahun 1979.

Di olah dari Bulset XIII, 03,04,05,06,07, 1981 .

ABDUL RAHMAN SIREGAR : Penentuan dan Pengendalian Siklus Berahi

diperoleh 149-171 hari, lama kebuntingan 318-327 hari dan selang beranak 478-489 hari .

Dari uraian di atas dapatlah ditarik kesimpul-an, bahwa keragaan reproduksi kerbau di Indone-sia menunjukkan hasil yang masih rendah yaitu umur berahi pertama, umur beranak pertama, masa bunting clan selang beranak yang lama, sehingga menghasilkan persentase kelahiran yang masih rendah . Rendahnya persentase kelahiran pada kerbau ini tentu adalah karena adanya masalah pada tingkatan fisiologi reproduksi se-perti dikemukakan olehTOELIHERE(1981) yaitu : (1) pembentukan sel-sel kelamin, (2) pelepasan go-nad, (3) perkawinan, (4) fertilisasi, dan (5) pertum-buhan sampai kelahiran . Selanjutnya dikatakan bahwa pengendalian yang dapat dilakukan manusia terhadap rendahnya efisiensi reproduksi masih terbatas pada pengaturan perkawinan. Walaupun sebenarnya secara tidak langsung phase-phase lain masih dapat ditingkatkan melalui perbaikan gizi, kesehatan clan sistem pe-meliharaan .

Pengendalian perkawinan apakah itu dengan menggunakan inseminasi buatan (IB) ataupun kawin alam sangat ditentukan oleh penentuan berahi . Dengan penentuan berahi yang tepat akan dapat ditentukan waktu perkawinan yang tepat agar didapatkan fertilisasi yang baik clan mengha-silkan angka kelahiran yang tinggi . Berahi pada kerbau seperti dikemukakan oleh beberapa ahli sulit dideteksi, akan tetapi oleh sebagian pakar reproduksi, dikatakan jelas dan mudah dilihat. Dari survai yang dilaksanakan oleh PETHERAM et al. (1982) di daerah Serang didapatkan bahwa pengetahuan peternak terhadap tanda-tanda berahi relatif masih kurang (Tabel 2) . Hal yang sama masih didapatkan oleh SIREGARet al. (1995) pada peternak kerbau di daerah Tapanuli Utara dimana peternak menganggap bahwa perkawinan kerbau adalah urusan kerbau bukan urusan petani . Menurut JANAKIRAMAN (1979) dalam kenyataan hanya 30% kerbau yang memperlihatkan siklus reproduksi secara teratur . Dapat pula dilihat wa apa yang dipertentangkan para pengamat bah-wa tanda-tanda berahi kerbau sulit dilihat mungkin perlu lebih diperhatikan .

PENENTUAN BERAHI

Untuk dapat mengontrol dan mengoptimalkan perkawinan kerbau perlu lebih dahulu diketahui keragaan dasar dan penyimpangan-penyimpang an . JANAKIRAMAN (1979) melaporkan bahwa dare pengamatan yang dilakukannya selama tiga ta-hun terhadap 45 ekor kerbau dara bangsa Surti Daerah Populasi (ekor) Betina % dewasa (ekor) kelahiran/tahun terhadap Populasi Betina dewasa 1 . Jabar 495 .322 221 .902 17,66 39,42 2. Jateng + DIJ 336.885 156.587 17,22 37,03 3. Jatim 221 .885 92.279 20,99 50,47 4. Sumatera 565.601 207.488 13,01 35,46 5. Sulawesi 410.962 198.595 24,28 50,24 6. Kalimantan 19.661 6.888 24,61 69,30 7. Daerah lain 381 .975 166.661 16,63 38,11 Indonesia 2.432.200 1 .050.400 17,83 41,29

(3)

Tabel 2. Tanda-tanda berahi kerbau

Sumber :PATHERAM Bit/. (1982)

Tabel 3. Gejala Berahi Menurut Musim

Musim "breeding" Gejala berahi "Monsoon" Dingin Panas

1 . Melenguh A P A 2. Mengeluarkan mucus P P F 3. Vulva membengkak F P A 4. Aktivitas P P A 5. Frekuensi kencing P P P 6. Uterine tone P P F 7. Cervix membuka P P P Pengeluaran mucus Pi P2 P3

periodik sering keputihan tebal tipis tebal kekuningan transparan tidak nembus

cahaya berlimpah

berumur 2,5 - 3,0 tahun dan diberi pakan berupa hay dan rumput segar dengan imbangan sama dan konsentrat berbentuk pelet untuk mengamati pe-ngaruh fluktuasi musim terhadap keragaan repro-duksi . Pengamatan dibagi dalam tiga periode breeding yaitu monsoon (Juli-Oktober, = P.1),

musim dingin (November-Februari, = P .2) dan

sangat sedikit Sumber : JANAKIRAMAN (1979)

A = tidak ads P = ads F = beberapa ternak memperlihat kan gejala.

III IV V VI VII

Desa

1 . Gejala berahi pa

musim panas (Maret-Juni, = P.3), adalah sebagai berikut

Gejala berahi kerbau yang mudah diamati adalah relatif seringnya frekuensi pengeluaran urine (kencing) . Hasil pengamatan lengkap gejala berahi kerbau yang kelihatan tertera dalam Tabel 3 .

Dari sekelompok kerbau yang berahi dike-luarkan dari satu kandang dan diamati selama 20 - 30 menit mengeluarkan urine (kencing) sedikit sedikit sebanyak 5 - 6 kali . Sifat ini khas bahkan pada musim panas yang ekstrim pada saat tanda-tanda lain tidak kelihatan dan pejantan pengusik tidak bisa mendeteksi, tanda ini masih dapat digu-nakan . Begitupun kondisi servic yang terbuka adalah konsisten menunjukkan gejala berahi. Pengeluaran cairan mukosa hanya digunakan se-bagai indikasi tambahan . Konsistensi, warns dan pengeluaran sangat bervariasi selama waktu yang berbeda. Pengeluaran cairan juga kelihatan pada phase proestrus. 60% 15 20 7,7 15,4 9,4 3,1 18,7 62,5 kali setiap gejala disebut

9 1 25 13 _ 8 _ _ 2 21 _ 8 _ - 1 6 11 8 25 2 _ 3 2 - 4 - - 1 - 1 - 2 1

Tidak memberi jawaban

Tidak mengetahui 46% 63%

Adanya lendir 7

Ber 4 Selalu dikejar jantan

Suka mengejar kerbau betina lain

Menaiki kerbau lain Suka mengejar kerbau jantan

Sulit dikendalikan (hir) 12 9 Badan bersih mengkilat - -Tenang bila dinaiki -

-Sering melenguh -

(4)

-2. Estrus dan lamanya

Selama musi

monsoon

(Pi) kebanyakan kerbau berahi sesudah siang, (jam 2 - 5 sore) pada saat mereka memamah biak. Pada saat tersebut kerbau biasanya tidur dan memamah biak dan mucus kelihatan keluar dari vagina. Lama berahi adalah 14 jam . Pada musim dingin (P2) berahi kelihatan pada umumnya tengah malam sampai pagi buta (jam 1 - 5 pagi) . Selama periode ini berahi terjadi paling lama (18 jam) . Pada waktu musim panas keadaan berahi tidak begitu jelas

trend-nya .

Kebanyakan kerbau telah lewat masa berahinya pada siang hari mereka berahi pada waktu pagi (jam 6 -jam 7 pagi) dan lama berahi berakhir antara 8 - 10 jam .

3. Siklus estrus dan ovulasi

Perlu dicatat bahwa walaupun 70% dari si-klus berahi pada musim panas, adalah tidak me-nguntungkan untuk digunakan .

4. Kelakuan proestrus

Hasil pengamatan JANAKIRAMAN (1979) men-dapatkan, bahwa ada seekor kerbau yang telah diinseminasi, 4-5 hari kemudian dibawa kembali oleh pemiliknya untuk di IB lagi . Peternak menga-takan bahwa ternaknya nyata berahi untuk kedua kalinya . Gejala tersebut telah diamati sebagai kelakuan proestrus . Sebenarnya 3-5 had sebelum berahi ternak tersebut menunjukkan aktivitas se-perti berahi, bahkan kelihatan mengeluarkan cair-an. Keadaan ini terjadi pada beberapa ternak pada semua periode. Pada umumnya hal ini terjadi bersamaan dengan penampilan dan pembesaran folikel ke 2 antara kenaikan tiba-tiba pada besar dan adanya folikel . Besar corpus

luteum

adalah 8 mm atau lebih kecil. Pada waktu ini ada pening-katan level sirkulasi prolactin dan FSH dan per-bandingan FSH/LH dalam sirkulasi juga naik, yang diharapkan adalah mencari jalan untuk membe-dakan kelakuan ini dari berahi sebenarnya agar dapat diikuti dari inseminasi pada masa proestrus. Gejala proestrus telah diamati sebagai

ber-ABDUL RAHMAN SIREGAR :Penentuan dan Pengendalian Siklus Berahi

Ulangan percobaan menunjukkan bahwa se-lama proestrus frekuensi kencing tidak terlihat dan cervix tidak membuka. Jika kedua sifat ini digu-nakan kesalahan inseminasi dapat dihindari .

5. Tatalaksana Perawatan

Pengelolaan berupa penyiraman kerbau dua kali sehari dan perbaikan kualitas pakan berpe-ngaruh pada besarnya follikel, tetapi tidak pada tingkat ovulasi . Besarnya follikel antara 10 - 24 mm tergantung pada periode berahi dalam seta-hun.

6 . Penyeragaman berahi

Suatu percobaan telah dilakukan untuk pe-nyeragaman berahi pada kerbau di pedesaan . Pada percobaan ini digunakan empat katagori kerbau betina yaitu : (a) kerbau dara yang tidak bunting dalam periode lama walaupun telah di IB ulang, (b) kerbau dara yang tidak menunjukkan berahi nyata, (c) induk yang setelah melahirkan tidak berahi untuk periode lama, dan (d) induk yang tidak bunting walaupun telah di IB ulang . Kerbau ini diberikan secara oral 2 mg Malengestrol acetat per ekor per hari yang dicampur dengan 100 g kon-sentrat. Kerbau dewasa menunjukkan respon le-bih baik daripada kerbau dara. Penyeragaman berahi rata-rata adalah 75,2% dengan perincian 72,7% pada kerbau dara dan 77,4% pada kerbau dewasa. Akan tetapi diketahui bahwa pada berahi pertama sesudah perlakuan penyeragaman berahi ini tidak ada yang diikuti dengan ovulasi, sehingga inseminasi harus dilakukan pada berahi kedua.

PROFIL HORMONAL DENGAN KERAGAAN REPRODUKSI

Pada musim dingin (P2) tertinggi atau teren-dah ada perbedaan level FSH dan nisbah FSH/LH dibanding dengan kerbau yang berahi pada musim

monsoon

(Pi) dan musim panas P3. Level FSH dan nisbah FSH/LH ini mungkin erat hubungannya dengan pengembangan folikel yang rendah pada periode berahi musim "monsoon" Pi dan musim panas P3. Prolactin tertinggi pada musim panas dengan perbandingan Pi : P2 : P3 = 2 : 1 : 4. Level prolactin yang terlalu tinggi pada musim panas bisa mengganggu fungsi gonadotropin . Fungsi ovari terbaik adalah pada imbangan FSH yang sama dengan prolactin .

Percobaan JANAKIRAMAN (1979) yang kedua melihat imbangan hormon semua pada phase non estrus, proestrus dan estrus . Pada masa estrus, FSH menurun dan LH naik sehingga nisbah ikut:

Gejala Proestrus Estrus

Pengeluaran cairan P P Vulva engorgement P P Aktivitas P P Frekuensi kencing A P Tone P P Servic membuka A P

(5)

FSH/LH terendah yaitu 2,49 dibanding dengan pe-riode non estrus 3,09 dan pada proestrus 3,37 . Pada percobaan ini dilihat pula ratio LH/prolactin kerbau yang berahi pada musim dingin adalah 1 3 dan naik pada monsoon jadi 1 : 5 terutama oleh peningkatan prolactin mulai kelihatan pada fungsi berahi dan ovulasi . Kelanjutan nisbah ini jadi 1

12 pada musim panas dan bisa menghilangkan fungsi gonad dan gonadotropin .

Pada percobaan ini JANAKIRAMAN (1979) membandingkan level FSH ., LH, prolactin antara kerbau penelitian di Station dengan kerbau yang dipelihara rakyat pada musim panas . Ternyata pada setiap periode pengambilan contoh (hari pertama, kedua, ke-9, dan ke-15) untuk level FSH dan LH tidak berbeda antara kedua kelompok kerbau . Akan tetap kadar prolactin pada kerbau rakyat jauh lebih tinggi .

Untuk melengkapi gambaran aktivitas kelen-jar adrenal dan thyroid selama ovulasi, JANAKI-RAMAN (1979) mengukur berat kelenjar adrenal ., DNA, RNA, protein, cholestrol dan ascorbid acid pada periode moonson (Pi) musim dingin (P2) dan musim panas (P3) . Ternyata hasil penelitian menunjukkan bahwa berat semua ukuran terse-but sama antara Pi dan P2 tetapi berbeda dengan P3 . Pada musim panas kadar semua zat tersebut menurun drastis .

KESIMPULAN

1 . Data reproduksi kerbau terutama kerbau lum-pur masih sedikit dan masih diperlukan peneli-tian yang terarah dan sistematis.

2.. Keragaan reproduksi kerbau adalah lebih ren-dah dari sapi terutama dilihat dari umur beranak pertama yang lambat, masa bunting lebih lama dan selang beranak yang panjang . Akan tetapi umur berproduksi kerbau adalah jauh lebih lama dari sapi .

3. Pengaturan dan pengendalian siklus berahi adalah jalan terbaik untuk meningkatkan efi-siensi reproduksi, disamping perbaikan pakan, baik kuantitas maupun kualitasnya .

4. Penentuan berahi adalah salah satu kunci untuk mengatur dan optimasi siklus repro-duksi .

5 . Tanda yang paling baik untuk penentuan berahi pada kerbau adalah kelakuan "Serang kencing" dikombinasikan dengan pengeluaran cairan mucus dan terbukanya servic.

6 . Pengamatan berahi kerbau diintensifkan mu-lai siang hari sampai malam .

7 . Masih diperlukan penelitian-penelitian yang le-bih mendalam terutama dari aspek hormonal

untuk menjelaskan berbagai masalah berahi dan ovulasi . Gejala Kadar prolactin yang tinggi pada musim panas dan terutama pada pemeli-haraan kerbau rakyat menjadi prioritas utama untuk segera diteliti dan digunakan dalam per-baikan efisiensi reproduksi kerbau .

DAFTAR PUSTAKA

BRAT, P,N . 1979 . Genetic parameter of milk production and scope of increasing milk production in buffa-loes Vis - A - Vis Cattle . Buffalo reproduction and artificial insemination. FAO, Rome.

BORHEMI, B.E. and K. EL-SHAZLY . 1979 . Nutrition and management practices for improving reproductive and production efficiency in Egyption buffaloes . Buffalo reproduction and artificial insemination . FAO, Rome.

CHANDHARY,R.A . and WAHEED AHMED . 1979 . Buffalo Breeds of Pakistan and Programmes of their im-provement . Buffalo reproduction and artificial in-semination . FAO, Rome.

CHANTALAKSANA, C. 1979 . Performance of swamp, riverine and crosshed buffaloes in South East Asia . Buffalo reproduction and artificial insemination. FAO, Rome.

DITJEN PETERNAKAN. 1982 . Bul Set. XIII. Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Peternakan, Salemba Raya 18.

DE PRANCISEIS, G. 1979. Buffalo improvement pro-gramme in Italy. Buffallo reproduction and artifi-cial, FAO, Rome.

JANAKIRAMAN, K. 1979 . Control and optimising of repro-ductive cycle in buffalo. Buffalo reproduction and artificial insemination . FAO, Rome .

KAMONPATANA, M. D . SCHAMS, and D .F.M. VAN DE WIEK. 1979. Problem of reproduction in female Swamp buffalo . Buffalo reproduction and artificial insemi-nation. FAO, Rome.

MUDGAL, V.D . 1979. Effect of levels of nutrition on reproduction in Riverine buffalo.

NAGARCENGKAR, R. 1979. Riverine Buffalo of India and possibilities ps genetic improvement Vis-A-Vis cat-tle. Buffalo reproduction and artificial insemination. FAO, Rome.

PENDEY, R. S . 1979. Hormonal Status of female and induced breeding in murrah buffaloes. Buffalo Re-production and Artificial Insemination . FAO, Rome . PERERI, B.M .A.0 . 1979 . Sychronisation of estrus and fertility in buffaloes of Sri Langka. Buffalo repro-duction and artificial insemination, FAO . Rome. PETHERAM, R . J . , C . LIEM, YAYAT PRIYATMAN d a n

MATHURIDL 1982. Studi kesuburan kerbau di pede-saan Kabupaten Serang, Jawa Barat. Balai Peneli-tian Ternak, Bogor, Indonesia .

(6)

ABDUL RAHMAN SIREGAR :Penentuan dan Pengendalian Siklus Berahi

PUTU, I .G ., M. SABRANI, M . WINUGROHO, T. CHANIAGOdan SANTOSO, 1995 . Performans Produksi dan

Repro-duksi Kerbau Kalang di Kecamatan Danau Pang gang, Kalimantan Selatan. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan, Balitnak, Ciawi .

RAGAB, M.T . 1979. Buffalo in the middle east for milk

and meat production . Buffalo reproduction and artificial insemination, FAO, Rome.

TOELIHERE, M.R . 1981 . Inseminasi buatan pada ternak.

Penerbit Angkasa Bandung.

TOELIHERE, M.R. 1981 . Fisiologi reproduksi pada

ter-nak. Penerbit Angkasa Bandung.

WANG PEI-CHIEM. 1979. The Swamp buffalo and its

improvement in the peoples republic of china. Buffalo reproduction and artificial insemination. FAO . Rome.

Gambar

Tabel 2. Tanda-tanda berahi kerbau

Referensi

Dokumen terkait

Deteksi dan Penentuan Serotipe Virus Dengue Tipe-3 (DEN-3) dari Nyamuk Aedes aegypti Dengan Menggunakan Reverse Transcriptase-PCR (RT-PCR) di Kota Medan. Medan: Universitas

Kenabian merupakan persoalan yang bersumber dari Allah. Karena itu, tidak seorangpun yang mengetahuinya dengan baik. Nabi sebagai penerima wahyu atau

Terdapat peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa sebelum dan setelah diterapkan model pembelajaran problem posing bentuk within - solution posing dalam materi barisan dan

 Panjang artikel 5-7 halaman, disertai foto yang mendukung  Seminar dihadiri oleh DPL, Kades, Muspika, dan Pejabat Unesa  Mahasiswa wajib mengakomodir masukan dari peserta

Pengaruh pengelolaan kearsipan terhadap efisiensi kerja pegawai berada pada tingkat sangat kuat atau mempunyai pengaruh yang positif, yang menunjukkan bahwa jika

Hal ini dikarenakan semakin lama waktu fermentasi akan menyebabkan lebih banyak energi yang dibebaskan oleh jamur yaitu dengan mendegradasi berbagai sumber energi yang

Struktur sensor berbasis PFETs terdiri dari beberapa lapisan, diantaranya lapisan elektroda gate (Si-p), lapisan insulator (SiO 2 ), lapisan aktif (PANI) dan

Berdasarkan hal-hal diatas, akan di lakukan sebuah penelitian pendeteksi kendaraan untuk menentukan volume traffic kendaraan, kecepatan kendaraan dan ukuran panjang