• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH :"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN ANGGOTA

KEPOLISIAN

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Baturaja No. 184/Pid.Sus/2019/PN Bta)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

ADESI SIMATUPANG NIM : 160200236

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2020

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi penulis adalah “ANALISIS PUTUSAN BEBAS TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN ANGGOTA KEPOLISIAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Baturaja No.

184/Pid.Sus/2019/PN Bta) ”. Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan dari skripsi ini, maka dari itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak untuk menyempurnakan skripsi ini.

Skripsi ini dapat terselesaikan sepenuhnya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Orangtua penulis, Ibu tercinta Elfrida Sinaga yang selalu memberikan semangat dan tak pernah lupa untuk selalu mendoakan penulis. Juga kepada Mendiang Bapak Richard Poltak Simatupang yang selama hidupnya selalu memberikan cinta dan kasih sayang yang tiada henti kepada penulis. Juga kepada kakak penulis, Kartika Simatupang yang selalu memberikan semangat kepada penulis dan selalu mendoakan yang terbaik kepada penulis.

Kepada sahabat terbaik penulis, Sunanang Aby Manyu yang selalu ada bersama penulis di saat senang maupun susah, yang selalu memberikan semangat kepada penulis, yang selalu mendoakan penulis dan selalu menemani

(4)

penulis dalam mengerjakan skripsi ini dari awal hingga skripsi ini dapat penulis selesaikan.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H, M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati, S.H, M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Akademik;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H, M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., MH selaku Ketua Departemen Hukum Pidana dan sebagai Dosen Hukum Pidana yang selalu memberikan bimbingan dan dukungan dalam proses penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya kepada penulis dan mengajarkan banyak ilmu kepada penulis;

8. Ibu Rafiqoh Lubis, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi, bantuan ilmu serta masukan

(5)

baik selama penulisan skripsi ini berlangsung maupun dalam masa-masa perkuliahan.

9. Ibu Rabiatul Syariah, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasehat Akademik penulis yang telah membimbing selama masa perkuliahan penulis;

10. Kepada semua dosen dan staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak ilmu dan bantuan yang berarti selama perkuliahan.

11. Untuk sahabat-sahabat terbaikku sedari dulu, Anisah Wahyuni Lubis, A.Md. , Ira Febrina Sari Lingga (Soon S.T), Maysi Oktavia Hutapea, Novita Ira Yanni Purba, dan Florencita Silitonga, terima kasih atas dukungan dan doa yang diberikan kepada penulis.

12. Untuk sahabat seperjuanganku di Fakultas Hukum USU, MICINKADES Miseri Domini Purba, Cindy Panjaitan, Kinski Vania Naibaho, Indri Dame Sibarani, Novida Gabriella Damanik, dan Kristina Delta Hutauruk. terima kasih atas dukungan, doa dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

13. Untuk teman seperjuangan ―Kodok Ijo‖, Choirunissa Aurillia yang telah menemani penulis berkeliling kota medan untuk menghilangkan penat.

14. Teman-teman Fakultas Hukum stambuk 2016 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terkhusus kepada Grup A dan jurusan Pidana. Terima kasih buat kenangan indah selama penulis menjalani bangku kuliah.

(6)

15. Segenap pihak yang telah membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih buat semangat dan dukungan yang diberikan.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Maret 2020

Adesi Simatupang

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... ix

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 9

1. Tindak Pidana dan unsur-unsur Tindak Pidana ... 9

2. Narkotika dan Penggolongan Narkotika... 14

3. Putusan Bebas dalam Perkara Pidana ... 17

4. Polisi dan Wewenang Kepolisian menurut Hukum Acara Pidana Indonesia ... 18

F. Metode Penelitian... 21

G. Sistematika Penulisan... 24

BAB II: PENGATURAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Pengaturan mengenai Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia ... 26 1. Menurut Peraturan sebelum Lahirnya Undang-Undang

(8)

No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ... 26 2. Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika ... 32 B. Perumusan Sanksi terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan

Narkotika dan Pengaturan Rehabilitasi terhadap

Penyalahguna Narkotika ... 34 BAB III:KEKUATAN ALAT BUKTI MENURUT HUKUM ACARA

PIDANA INDONESIA

A. Tujuan Pembuktian, Teori Pembuktian dan Prinsip Minimum Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia ... 49 B. Alat Bukti yang sah dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

dan Perkembangannya ... 57 C. Kekuatan Alat Bukti Menurut Hukum Acara Pidana

Indonesia ... 81 BAB IV:PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS TERHADAP TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN ANGGOTA KEPOLISIAN PADA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BATURAJA NO. 184/PID.SUS/2019/ PN BTA

A. Jenis-jenis putusan dalam perkara Pidana Menurut Hukum

Acara Pidana Indonesia ... 87 B. Analisis Pertimbangan Hakim dalam penjatuhan Putusan Bebas terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika yang dilakukan

(9)

anggota Kepolisian pada putusan Pengadilan Negeri Baturaja No.

184/Pid.Sus/2019/PN Bta

1. Kasus Posisi ... 91

a. Kronologi Kasus... 91

b. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 92

c. Fakta-fakta Hukum... 94

d. Tuntutan Pidana ... 95

e. Pertimbangan Hakim ... 98

f. Putusan Hakim ... 111

2. Analisis Putusan ... 113

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 121

B. Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 123

(10)

ABSTRAK Adesi Simatupang1

Madiasa Ablisar**

Rafiqoh Lubis***

Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat bagi dunia kesehatan, akan tetapi sayangnya semakin marak disalahgunakan.

Penyalahgunaan narkotika bahkan dilakukan oleh anggota kepolisian yang dimana merupakan aparat penegak hukum. Bahkan tak sedikit kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika diputus bebas oleh hakim. Yang sering menjadi permasalahan dalam penjatuhkan putusan oleh hakim adalah terkait dengan hal pembuktian. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika menurut hukum pidana di indonesia, bagaimana pengatura kekuatan alat bukti menurut Hukum Acara Pidana Indonesia, dan bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anggota kepolisian pada putusan Pengadilan Negeri Baturaja No.

184/Pid.Sus/2019/ PN Bta. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian dan pembahasan yang didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta berbagai literatur untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.Pengaturan yang berkaitan dengan tindak pidana penyalahgunaan narkotika diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, ketentuan pidana diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. Pasal 183 KUHAP menjadi dasar bagi hakim dalam menjatuhkan pidana.

Kekuatan alat bukti menurut Hukum Acara Pidana Indonesia ialah pada dasarnya adalah sama yaitu bebas dan untuk masing-masing alat bukti adalah berdasarkan penilaian hakim yang arif lagi bijaksana. Dalam Putusan No. 184/Pid.Sus/2019/

PN Bta, berdasarkan alat bukti yang di hadirkan di persidangan dan berdasarkan pertimbangan majelis hakim terdakwa Rudial Bin Arifin tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut umum, yaitu Pasal 114 Ayat (2) dan Pasal 112 Ayat (2) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap tindak pidana penyalahgunaan nartkotika yang dilakukan anggota kepolisian pada putusan Pengadilan Negeri Baturaja No. 184/Pid.Sus/2019/PN Bta tidak tepat jika melihat fakta-fakta hukum yang ada di persidangan. Karena hakim seharusnya dapat mengkategorikan perbuatan terdakwa tersebut dalam penyalahguna berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

Kata Kunci : Putusan Bebas, Penyalahgunaan Narkotika, Pembuktian

1 Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

** Dosen Pembimbing I, Dosen Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

*** Dosen Pembimbing II, Dosen Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara Hukum2, Indonesia sebagai negara hukum yang sedang berkembang, dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak terlepas dari berbagai masalah. Sebagaimana negara-negara yang sedang berkembang lainnya, Indonesia banyak menerima pengaruh yang berasal dari negara disekitarnya, baik itu pengaruh yang sifatnya positif maupun yang bersifat negatif. Seiring dengan perkembangan Indonesia, kejahatan lahir sebagai bagian dari perubahan dalam suatu negara. Perkembangan kejahatan juga diiringi dengan perkembangan pelaku tindak pidana.

Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan, bahwa kejahatan hanya dapat dicegah dan dikurangi tetapi sulit diberantas secara tuntas.3 Salah satu bentuk kejahatan yang saat ini sangat marak di Indonesia adalah penyalahgunaan narkotika. Saat ini tindak pidana narkotika dipandang sebagai tindak pidana yang menjadi musuh umat manusia dan karena itu negara-negara di dunia termasuk Indonesia terus berjuang keras untuk memberantas tindak pidana ini. Indonesia yang kini bukan lagi hanya tempat transit narkotika dan obat obatan berbahaya tetapi juga menjadi produsen dan daerah pemasarannya. Fatalnya, narkoba kini sudah menjamah berbagai

2 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945

3 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. hal 1

(12)

lapisan masyarakat termasuk kalangan terdidik dan aparat penegak hukum. Jika tidak dicermati, narkoba akan menjadi malapetaka nasional yang berat.4

Pada dasarnya narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan di dalam bidang kesehatan. Namun jika terjadi penyalahgunaan seperti digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan maka dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi masyarakat. Di dunia kedokteran, narkotika banyak digunakan khususnya dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi mengingat di dalam narkotika terkandung zat yang dapat mempengaruhi perasaan, pikiran, serta kesadaran pasien.5 Narkotika apabila dipergunakan tidak sesuai dengan takaran/dosis akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental bagi yang menggunakannya serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna itu sendiri.

Penyalahgunaan narkotika telah menjadi masalah yang kompleks dan perlu penanganan serius dari pemerintah. Masyarakat Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat maraknya penyalahgunaan narkotika secara illegal. Akibat dari penyalahgunaan itu semua, maka akan timbul korban penyalahgunaan narkotika, untuk itu perlu dilakukan usaha-usaha penanggulangannya dari pemerintah.

Narkotika terdiri dari zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan

4 Surojo Bimantoro, Narkoba Dan Peradilannya Di Indonesia, Alumni, Bandung, 2007.

hal. 292

5 Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007. hal. 100

(13)

3

rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Apabila narkotika tersebut digunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama dapat membahayakan kesehatan bahkan jiwa pemakainya.

Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki aparat penegak hukum yang berfungsi sebagai alat dalam melaksanakan penegakan hukum. Kepolisian merupakan salah satu aparat penegak hukum yang secara universal mempunyai tugas dan fungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku untuk mewujudkan kepastian hukum dan keadilan, fungsi dan tugas Kepolisian. Kepolisian merupakan salah satu komponen sistem peradilan pidana yang menjadi ujung tombak dalam penanggulangan kejahatan. Peranan kepolisian kelihatan lebih besar bila dibandingkan dengan komponen lainnya. Oleh karena itu kepolisian disebut sebagai the gate keeper of criminal justice.6 Untuk itu Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memperluas fungsi dan tugas kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Di dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat banyak mendapatkan ketidakpuasan dari kinerja institusi kepolisian. Ketidakpuasan ini dapat berupa kurang baiknya pelayanan yang diberikan anggota Polri maupun perilaku dari oknum anggota Polri yang melakukan perilaku menyimpang. Polisi sebagai penegak hukum diberikan tugas untuk melakukan penegakan terhadap pelaku pengguna narkotika. Tetapi dalam praktiknya ada polisi yang menggunakan

6 Mahmud Mulyadi, Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana, USU Press, Medan, 2009. hal. 54

(14)

narkotika. Proses penegakan hukum terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana narkoba dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang dimana dalam prosesnya penegakan hukum yang dilakukan keseluruhan tahap-tahap sama dengan masyarakat umum yang melakukan tindak pidana.

Terjadinya penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anggota kepolisian memang sangat memprihatinkan. Aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat dan menumbuhkan tertib hukum di dalam masyarakat tetapi justru jadi perusak tata nilai dan menjadi pelanggar hukum. Perilaku aparat penegak hukum yang seperti ini mencoreng nama institusi kepolisian dan menjadi gambaran pada masyarakat bahwa masih kurangnya penegakan hukum yang tegas dalam menangani kasus narkotika.

Keseriusan Indonesia dalam memberantas narkotika yang telah menjadi masalah yang kompleks yaitu dengan diundang-undangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-undang ini merupakan undang- undang baru yang menggantikan undang undang yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Dengan adanya peraturan terbaru terkait pemberantasan tindak pidana narkotika, diharapkan dapat menekan angka penyalahgunaan narkotika. Namun selama ini pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku penyalahguna narkotika dirasa masih kurang sesuai dengan Undang Undang yang telah diterapkan dan yang berlaku saat ini. Karena masih sering banyak terjadi penjatuhan putusan hakim yang tidak sesuai dengan perbuatan yang telah

(15)

5

dilakukan. Bahkan, tak jarang hakim menjatuhkan putusan bebas tehadap kasus penyalahgunaan narkotika.

Menjatuhkan pidana terhadap pelaku tidak bisa lepas dari peran para penegak hukum yaitu dalam hal ini polisi, jaksa penuntut umum dan hakim didalam mengadilinya, mengingat tugas dan kewajiban hakim adalah menegakkan hukum dan kebenaran sehingga hakim dalam menjatuhkan pidana harus seadil- adilnya terhadap pelaku tindak pidana. Namun selama ini pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku Narkotika dirasa kurang sesuai dengan Undang Undang yang telah diterapkan dan berlaku saat ini. Karena masih sering banyak terjadi penjatuhan putusan hakim yang tidak sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana Narkotika tersebut.

Penelitian ini menitik beratkan kepada penegak hukum yang dalam hal ini hakim dan penuntut umum, yaitu agar lebih cermat dalam menangani perkara tindak pidana Narkotika yang saat ini sudah semakin marak terjadi dan sangat mengkhwatirkan bagi masyarakat. Hal yang paling penting dalam persidangan adalah pembuktian. Akan tetapi, hal ini sering kali tidak di perhatikan dengan serius oleh hakim dan akhirnya hakim memutus perkara dengan putusan tanpa memperhatikan fakta-fakta hukum yang ada di persidangan. Putusan bebas ini tentunya tidak mencerminkan tegaknya hukum dan akan menimbulkan persoalan baru dalam dunia hukum. Meskipun putusan bebas dibenarkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, namun putusan bebas ini dikhawatirkan akan mencederai rasa keadilan bagi seluruh masyarakat.

(16)

Berdasarkan uraian di atas, maka akan dibahas dalam skripsi ini dengan judul ―ANALISIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN ANGGOTA KEPOLISIAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Baturaja No.

184/Pid.Sus/2019/PN Bta)‖

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan mengenai tindak pidana penyalahgunaan narkotika menurut hukum pidana di Indonesia?

2. Bagaimana kekuatan alat bukti menurut Hukum Acara Pidana Indonesia?

3. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anggota kepolisian pada putusan Pengadilan Negeri Baturaja No.

184/Pid.Sus/2019/PN Bta C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai tindak pidana penyalahgunaan narkotika menurut hukum pidana di Indonesia

(17)

7

2. Untuk mengetahui kekuatan alat bukti menurut hukum acara pidana Indonesia

3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anggota kepolisian pada putusan Pengadilan Negeri Baturaja No. 184/Pid.Sus/2019/PN Bta

2. Manfaat Penulisan

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan, adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini adalah:

a. Secara Teoritis

Melalui penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum pidana yang berhubungan dengan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anggota kepolisian dan kekuatan alat bukti menurut hukum acara pidana Indonesia.

b. Secara praktis

Diharapkan melalui penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat serta masukan-masukan yang membangun bagi para aparatur penegak hukum agar melakukan tugas dan tanggungjawabnya serta masukan bagi Hakim dalam mengambil putusan agar terciptanya kehidupan masyarakat hukum yang adil di Indonesia.

(18)

D. Keaslian Penulisan

Penulisan Skripsi ini dibuat berdasarkan pemikiran, ide, gagasan dan dari penulis sendiri dengan didukung oleh masukan dari dosen. Berdasarkan pemeriksaan arsip hasil-hasil penulisan skripsi mengenai ANALISIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN ANGGOTA KEPOLISIAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Baturaja No. 184/Pid.Sus/2019/PN Bta) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) belum pernah dilakukan. Akan tetapi, terdapat beberapa Skripsi yang juga membahas terkait dengan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika oleh Polisi yaitu:

1. Nama: Wika Tridiningtias NIM: 090200042

Judul: Pertanggungjawaban Pidana Penyalahgunaan Narkoba oleh Oknum Polri

2. Nama: Irfan Jovi Nasution NIM: 130200261

Judul: Peranan Kepolisian dalam Menanggulangi Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian (Studi Polrestabes Medan)

Adapun perbadaan antara skripsi penulis dengan skripsi-skripsi tersebut di atas ialah penulis membahas mengenai analisis putusan bebas yang dimana yang menjadi pokok penting dalam skripsi ini ialah alat-alat bukti dan pembuktian

(19)

9

dalam KUHAP, apakah sudah sesuai dengan putusan yang dijatuhkan oleh hakim atau tidak.

E. Tinjauan Pustaka

1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur tindak pidana a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah dari tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit.7 Pengertian tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah ―stafbaar feit‖

tetapi tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan stafbaar feit tersebut, sehingga sampai saat ini ada berbagai macam pendapat. Stafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf ,baar dan feit. Istilah tindak pidana merupakan masalah yang berhubungan erat dengan masalah kriminalisasi (criminal policy) yang diartikan sebagai proses penetapan perbuatan orang yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana, proses penetapan ini merupakan masalah perumusan perbuatan-perbuatan yang berada di luar diri seseorang, sedangkan masalah subjek hukum pidana berkaitan erat dengan penentuan pertanggungjawaban pidana.8

Menurut Moeljatno istilah perbuatan lebih tepat untuk menggambarkan isi pengertian dari strafbaar feit. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang didefinisikan sebagai ―perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi

7 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002. hal.67

8 Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, Setara Press, Malang, 2015. hal. 57

(20)

barangsiapa larangan tersebut.9 Moeljanto beralasan bahwa digunakannya istilah

―perbuatan pidana‖ karena kata ―perbuatan‖ lazim dalam percakapan sehari-hari seperti kata perbuatan cabul, kata perbuatan jahat, dan kata perbuatan melawan hukum. Lebih jauh, Moeljanto menegaskan bahwa perbuatan menujuk ke dalam yang melakukan dan kepada akibatnya, dan kata ―perbuatan‖ berarti dibuat oleh seseorang yang dapat dipidana, adalah kepanjangan dari istilah yang merupakan terjemahan dari starfbaarfeit. Lebih jelasnya, Moeljanto menyatakan sebagai berikut:

1. Kalau Utrecht, sudah lazim memakai istilah ―hukum‖, maka hukum lalu berarti: berecht, diadili yang sama sekali tidak mesti berhubungan dengan starf, dipidana karena perkara-perkara perdata pun diberech, diadili maka saya memilih untuk terjemahan strafbaar adalah istilah pidana sebagai singkatan dari ―yang dapat dipidana‖.

2. Perkataan perbuatan berarti dibuat oleh seseorang menunjuk lain pada yang melakukan maupun pada akibatnya, sedangkan perkataan peristiwa tidak menunjuk bahwa yang melakukannya adalah

―handling‖ atau ―gedraging‖ seseorang mungkin atau mungkin juga hewan atau alam dan perkataan tindak berarti langkah baru dan tindak- tanduk atau tingkah laku.10

Profesor pompe berpendapat bahwa perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai ―suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja maupun tidak sengaja telah dilakukan oleh

9 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rhineka, Jakarta, 2008. hal. 59

10 Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Hukum Pidana, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2015. hal. 8

(21)

11

seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum‖.11 Sedangkan simons merumuskan strafbaar feit sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang- undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.12

b. Unsur-unsur Tindak Tidana

Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subyektif dan unsur objektif. Unsur subyektif adalah unsur- unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkadang di dalam hatinya.

Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus dilakukan.13

Unsur-unsur objektif tindak pidana ialah:

1. Sifat melanggar hukum 2. Kualitas si pelaku

Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut pasal 389 KUHP

11 P.A.F Lamintang dan Fransciscus Theojunior Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2014. hal. 179

12 Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar hukum pidana edisi 2, USU Press, Medan, 2015.

hal. 87-88

13 P.A.F.Lamintang,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, 1997. hal. 193

(22)

3. Kausalitas

Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

Unsur-unsur subjektif tindak pidana ialah:

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2. Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam pasal 53 ayat (1) KUHP.

3. Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.

4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

5. Perasaan takut seperti terdapat di dalam pasal 308 KUHP.14

Dalam hukum pidana dikenal dua pandangan tentang unsur-unsur perbuatan pidana, yaitu:

1. Pandangan Monistis

Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat syarat, untuk adanya pidana harus mencakup dua hal yakni sifat dan perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian perbuatan/tindak pidana sudah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggung jawaban pidana (criminal responsibility).

14 Teguh Prasetyo, Hukum pidana, RajaGrafindo Persada, Depok, 2017. hal. 50-51

(23)

13

2. Pandangan Dualistis

Berbeda dengan pandangan monistis yang melihat keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan monistis dalam pengertian tindak pidana sudah tercakup di dalamnya, baik criminal act maupun criminal responsibility, sementara menurut pandangan

dualistis, yakni:

Dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act, dan criminal responsibility tidak menjadi unsur tindak pidana. Oleh karena itu,

untuk menyatakan sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan adanya perbuatan yang dirumuskan oleh undang-undang yang memiliki sifat melawan hukum tanpa adanya suatu dasar pembenar.15 2. Narkotika dan Penggolongan Narkotika

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undanng No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang.

Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang telah

15 Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Op.Cit., hal. 12-14

(24)

menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkannya ke dalam tubuh di mana pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu :

a. Mempengaruhi kesadaran;

b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia

c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa:

1. Penenang;

2. Perangsang (bukan rangsangan sex);

3. Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khalayan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).16

Definisi lain dari Bio, Bea dan Cukai Amerika Serikat dalam buku

―Narcotic Identification Manual‖, sebagaimana dikutip Djoko Prakoso, Bambang Riyadi dan Mukhsin dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan narkotika ialah candu, ganja, kokain, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut, yakni morphine, heroin, codein, hasisch, cocain. Termasuk juga narkotika sintetis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang tergolong dalam hallucinogen dan stimulant.17

Jenis-jenis narkotika sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 6 ayat (1) ditetapkan dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, antara lain digolongkan menjadi :

16 Moh. Taufik Makarao, Suhasril, Moh. Zakky A.S, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003. hal. 16

17 Ibid., hal. 18

(25)

15

a. Narkotika Golongan I : narkotika yang paling berbahaya dengan daya adiktif yang sangat tinggi. Karenanya tidak diperbolehkan pengguanaannya untuk terapai pengobatan, kecuali penelitian dan pengembangan pengetahuan.

b. Narkotika Golongan II : narkotika yang memiliki daya adiktifkuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Meskipun demikian penggunaan narkotika golongan II untukterapi dan pengobatan menjadi pilihan terakhir jika tidak adapilihan lain.

c. Narkotika Golongan III : adalah jenis narkotika yang memilikidaya adiktif atau potensi ketergantungan ringan dan dapatdipergunakan secara luas untuk terapi atau pengobatan dan penelitian.

Menurut cara pembuatannya, narkotika dapat dibagi dalam 3 golongan, yaitu :

a. Narkotika alam, yaitu narkotika yang berasal dari olahan tanaman, yang dikelompokkan dari 3 jenis tanaman, yaitu :

1. Opium, yaitu berasal dari olahan getah buah tanaman Paparef Somni Ferum. Termasuk dalam kelompok ini adalah opium mentah, opium masak, morfin, jenis tanaman yang menghasilkan opium tidak terdapat di Indonesia

2. Kokaina, yaitu berasal dari olahan daun tanaman koka. Tanaman ini banyak terdapat dan diolah secara gelap di Amerika Selatan seperti Peru, Bolivia dan Columbia

(26)

3. Canabis Sutira atau Mariyuana atau Ganja termasuk hashish ataupun hashish oil (minyak ganja). Tanaman ganja ini banyak ditanam secara ilegal khususnya di daerah Aceh sekitarnya.

b. Narkotika Semi Sintesis, yaitu narkotika yang dibuat dari Alkohol Opium dengan ini penanthem dan berkhasiat sebagai narkotika, contoh yang terkenal sering disalahgunakan adalah heroin.

c. Narkotika Sintetis, narkotika ini diperoleh melalui proses kimia dengan menggunakan bahan kimia sehingga diperoleh suatu hasil baru yang mempunyai efek narkotika seperti Pethidine, Metadon, dan lain-lain.18 3. Putusan bebas dalam perkara pidana

Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang diucapkan oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangandan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan dipersidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang tertulis (vonis). Jadi putusan adalah perbuatan hakim sebagai penguasa atau pejabat negara.

Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam serta menurut cara yang diatur dalam

18 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, Bandung, Refika Aditama, 2014. hal. 122-123

(27)

17

undang-undang ini. Dalam perkara pidana, ada 3 jenis putusan pengadilan yaitu putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dan putusan pidana.

Putusan bebas diatur dalam pasal 191 ayat 1 yang menyatakan ―Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di siding, kesalahan atas terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.‖ Pada asasnya, esensi putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaan.19

Pasal 183 KUHAP menyatakan

―Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.‖

4. Polisi dan wewenang kepolisian menurut hukum acara pidana Indonesia Pertama kali ditemukan polisi dari bahasa Yunani yaitu Politea yang berarti seluruh pemerintah Negara kota. Di Indonesia pada zaman belanda istilah polisi dikenal melalui konsep catur praja oleh Van Vollenhonen yang membagi pemerintahan menjadi 4 (empat), yaitu bestuur, politea, rectspraa dan regeling.

Pada pengertian diatas, polisi (politie) termasuk organ-organ pemerintah yang

19 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 2007. hal. 217

(28)

mempunyai wewenang melakukan pengawasan terhadap kewajiban kewajiban umum.20

Dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) disebutkan bahwa:

a. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

b. Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah kepolisian nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.

Di Indonesia, tugas utama kepolisian dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan baik atas inisiatif sendiri maupun atas laporan masyarakat.21 Sebagai alat negara yang memiliki fungsi sebagai penegak hukum, polisi melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara pidana sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam KUHAP.

Pasal 1 angka 5 KUHAP menyatakan ―Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.‖ Pasal 1 ayat (4) KUHAP

20 Warsito Hadiutomo, Hukum Kepolisian Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005.

hal.5

21 Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2013. hal. 148-149

(29)

19

menyatakan ―Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.‖

Dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelidik, Kepolisian memiliki wewenang yang diatur di dalam pasal 5 ayat (1) KUHAP yaitu:

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.

2. Mencari keterangan dan barang bukti

3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa:

1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.

2. Pemeriksaan dan penyitaan surat

3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang

4. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik

Laporan hasil penyelidikan tersebut kemudian diberikan oleh penyelidik kepada penyidik (Pasal 5 ayat (2) KUHAP)

Yang dimaksud dengan Penyidik diatur di dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP yang menyatakan ―Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang untuk melakukan penyidikan.‖ Kemudian, yang dimaksud dengan

(30)

Penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah ―serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.‖

Adapun wewenang polisi sebagai penyidik sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) KUHAP ialah:

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.

2. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.

3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.

4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

9. Mengadakan penghentian penyidikan.

10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Wewenang Penyidik Pembantu dalam pasal 11 KUHAP adalah sama seperti wewenang penyidik yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP kecuali

(31)

21

mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis normative). Penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap sistematika hukum yang dilakukan pada peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis yang tujuan pokoknya adalah untuk mengidentifikasi terhadap pengertian pokok-pokok hukum.22 Dalam hal ini memahami peraturan perundang- undangan yaitu berkaitan dengan Narkotika dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer, skunder dan tersier. Adapun data sekunder tersebut diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari semua peraturan perundang-undangan yang memuat norma hukum yang mengikat dan dibentuk atau ditetapkan lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.23 Antara lain berupa : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

22 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Rajagrafindo, Jakarta, 1997. hal. 93

23 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada media Group, Jakarta, 2005. hal.184-185

(32)

Narkotika, dan Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini serta putusan Pengadilan Negeri Baturaja No.184/Pid.Sus/2019/PN Bta.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu berupa buku-buku, skripsi, thesis, dan pendapat para ahli hukum yang dimuat dalam artikel yang berkaitan dengan skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang mendukung dan memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia dan lain sebagianya untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Metode pengumpulan data

Penggumpulan data yang dilakukan oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini yang bersumber dari perundang- undangan serta literatur dan putusan pengadilan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi.

4. Analisis data

Pengelolahan data diperoleh melalui studi pustaka, analisis data dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, memilih kaidah-kaidah atau doktrin yang sesuai penilitian,

(33)

23

mensistematimatiskan kaidah-kaidah hukum, asas atau doktrin, menjelaskan hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin yang ada, menarik kesimpulan dengan pendekatan dedukatif sehingga akan mendapat merangkum dari jawaban terhadap permasalahan yang telah disusun.24 Analisa data yang digunakan pada skripsi ini adalah analisa kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya sehingga dapat menjawab permasalahan permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan permasalahan secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu sama lain. Penulisan skripsi ini dalam garis besar terdiri dari 5 (lima) bab, yaitu :

Bab I dimulai dengan memaparkan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, serta sistematika penelitian.

Bab II membahas mengenai pengaturan yang berkaitan dengan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di indonesia, dengan sub-sub pembahasan yang terdiri dari perkembangan peraturan mengenai tindak pidana penyalahgunaan narkotika, perumusan sanksi dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika serta pengaturan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika.

24 Winarno Surachmad, Dasar dan Teknik Research (Pengantar Metode Ilmiah), Tarsito, Bandung, 1982. hal.131

(34)

Bab III menguraikan mengenai tujuan pembuktian dalam hukum acara pidana (KUHAP), teori pembuktian dan prinsip minimum pembuktian menurut KUHAP, alat bukti yang sah dalam KUHAP dan perkembangannya, serta kekuatan alat bukti menurut KUHAP.

Bab IV membahas sub bab mengenai jenis-jenis putusan dalam perkara pidana serta mengenai bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anggota kepolisian pada putusan Pengadilan Negeri Baturaja No.

184/Pid.Sus/2019/PN Bta yang terdiri dari pembahasan kasus posisi dan analisa kasus tentang hal-hal yang terjadi di persidangan, baik kronologi kasus, dakwaan, fakta hukum, tuntutan pidana, pertimbangan hakim dan putusan.

Bab V berisikan pembahasan mengenai kesimpulan yang dipetik dari uraian bab terdahulu. Selanjutnya dalam Bab ini Penulis memberikan saran yang didapat berdasarkan data yang penulis temukan.

(35)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Pengaturan mengenai Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia

1. Menurut Peraturan sebelum Lahirnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Di Indonesia peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang narkotika sendiri sebenarnya telah ada sejak berlakunya ordonansi obat bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927). Ordonansi ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 26 Juli 1976. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 1 September 1997.

Adapun rangkuman peraturan perundang-undangan tersebut diuraikan sebagai berkut:

1. Ordonansi obat bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927)

Masa penjajahan Belanda kebiasaan penyalahgunaan obat bius dan candu, sudah mulai terasa membahayakan masyarakat, pemakainya terutama masyarakat golongan menengah (khususnya keturunan cina) oleh sebab itu, pada zaman tersebut pemerintah Hindia Belanda mengeluarkkan Verdoovende Middelen

(36)

Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo.536 Tahun 1927, yaitu peraturan yang

mengatur tentang obat bius dan candu.25 Disamping itu juga diberlakukan sebuah ketentuan mengenai pembungkusan candu yang disebut Opium Verpakkings Bepalingen (Staatsblad, 1927 No. 514). Setelah Republik Indonesia Merdeka,

kedua instrumen hukum kolonial Belanda tersebut tetap diberlakukan berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945.

2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika

Ketidakpuasan akan pelaksanaan kegiatan penanggulangan narkotika dan obat-obat terlarang telah mengakibatkan bangsa Indonesia berpikir untuk menyempurnakan peraturan/regulasi tentang Narkotika karena Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927) dirasa tidak lagi mampu untuk meredam pertumbuhan kejahatan narkotika.

Dimana Narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan, yang diketahui dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama.

Dengan pemikiran bahwa perbuatan, penyimpanan, pengedaran, dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama merupakan kejahatan yang sangat merugikan perorangan dan masyarakat dan merupakan bahaya besar bagi peri kehidupan manusia dan kehidupan negara dibidang politik, keamanan, sosial, budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia, maka terbitlah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang

25 Moh. Taufik, Makarao, Suhasril, dan H. Moh Zakky, Op.Cit., hal. 10

(37)

27

Narkotika, yang mengatur cara penyediaan dan penggunaan narkotika untuk keperluan pengobatan dan atau cara ilmu pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan akibat sampingan dari penggunaan dan penyalahgunaan narkotika serta mengatur rehabilitasi terhadap pecandu narkotika.26

Dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika perbuatan- perbuatan yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam undang-undang ini diatur dalam BAB V PERBUATAN- PERBUATAN YANG DILARANG yaitu Pasal 23 ayat (1) sampai dengan (7)

Pasal 23 ayat (1)

―Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Kokain atau tanaman Ganja.‖

Pasal 23 ayat (2)

―Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika.‖

Pasal 23 ayat (3)

―Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika.‖

Pasal 23 ayat (4)

―Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransit narkotika.‖

26 AR. Sujono dan Bony Daniel, “Komentar &Pembahasan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”, Jakarta, Sinar Grafika, 2013. hal 9-10

(38)

Pasal 23 ayat (5)

―Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika.‖

Pasal 23 ayat (6)

―Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain.‖

Pasal 23 ayat (7)

―Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri.‖

3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tidak juga dapat meredam ataupun memberantas peredaran gelap narkotika secara signifikan, bahkan sasaran peredaran gelap narkoba telah memasuki seluruh aspek dan lapisan masyarakat. Seiring dengan perkembangan waktu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1997 dirasa tidak mampu lagi untuk mengakomodir banyak hal dari kejahatan narkotika. Kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, sedangkan peraturan yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi kejahatan tersebut, sehingga akhirnya terbitlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.27

27 Ibid., hal. 12

(39)

29

Latar belakang diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dapat dilihat dalam penjelasan undang-undang tersebut, yakni peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Kejahatan-kejahatan narkotika pada umunya tidak dilakukan oleh secara perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap, rapi, dan sangat rahasia.28

Dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika perbuatan- perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana narkotika di dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1997 dinyatakan sebagai berikut:

1. Menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika (dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman) (Pasal 78-79);

2. Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit atau menyediakan narkotika (Pasal 80);

3. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika tanpa hak dan melawan hukum (Pasal 81);

4. Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika tanpa hak dan melawan hukum (Pasal 82);

28 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung, Mandar Maju, 2003. hal. 165

(40)

5. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika (Pasal 78 s/d 82);

6. Tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain (Pasal 84);

7. Tanpa hak dan melawan hukum, menggunakan narkotika untuk diri sendiri (Pasal 85);

8. Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak melapor (Pasal 86);

9. Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika (Pasal 87);

10. Pengurus pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban menurut Pasal 41 dan 42 yaitu tidak mencantumkan label pada kemasan narkotika dan memplubikasikan narkotika di luar media cetak ilmiah kedokteran/ farmasi. (Pasal 89);

11. Menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di pengadilan (Pasal 92);

12. Nahkoda dan kapten penerbang yang tanpa hak dan melawan hukum yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 24 dan 25, antara lain tidak membuat berita acara muatan narkotika, tidak melapor adanya muatan narkotika, kepada kepala kantor pabean setempat (Pasal 93);

13. Penyidik (PPNS/Polri) yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan pasal 69 dan 71, antara lain tidak melakukan

(41)

31

penyegelan dan pembuatan berita acara penyitaan; tidak memberi tahu atau menyerahkan barang sitaan; tidak memusnahkan tanaman narkotika yang ditemukan (Pasal 94);

14. Saksi yang memberi keterangan tidak benar di muka siding pengadilan (Pasal 95);

15. Melakukan tindak pidana narkotika di luar wilayah Indonesia (Pasal 97).29

2. Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati.

Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya

29 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta, Prenada Media Group, 2008. hal. 186-188

(42)

tindak pidana narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.30

Pembentukan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 didasarkan pada pertimbangan antara lain, bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama. Dipertimbangkan pula bahwa, tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa dan negara sehingga Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika.31

Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang diundangkan pada tanggal 12 Oktober 2009 yang mana Pembentukan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 bertujuan :

a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

30 AR. Sujono, Bony Daniel, Op.Cit., hal 59-60

31 Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-delik di Luar KUHP, Jakarta, Prenamedia Group, 2016. hal. 120-121

(43)

33

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;

c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi

Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.32

Ketentuan Pidana dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur pada BAB XV KETENTUAN PIDANA yaitu Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. Adapun pasal-pasal tersebut adalah diuraikan sebagai berikut:

1) Perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan penggolongan narkotika (golongan I, II dan III) meliputi 5 (lima) kategori, yakni:

a) Memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika dan prekusor narkotika (Pasal 111, Pasal 112, Pasal 117, Pasal 122) b) Memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan

narkotika dan prekusor narkotika (Pasal 113, Pasal 118, Pasal 123) c) Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi

perantara dalam jual-beli, menukar atau menyerahkan narkotika dan prekusor narkotika. (Pasal 114, Pasal 119, Pasal 124)

d) Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika dan prekusor narkotika (Pasal 115, Pasal 120, Pasal 125)

e) Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika (Pasal 116, Pasal 121, Pasal 126)

32 A. Rahman, Amiruddin Pabbu, Kapita Selekta Hukum Pidana Edisi 2, Jakarta, Mitra Wacana Media, 2015. hal. 157

(44)

Pada pasal pasal tersebut di atas sanksi yang dikenakan minimal 2 (dua) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun penjara, pengenaan pidana denda diberlakukan kepada semua golongan narkotika, dengan denda minimal Rp 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dan paling maksimal Rp 8.000.000.000 (delapan miliar rupiah), untuk jenis-jenis pelanggaran terhadap narkotika dengan unsur unsur pemberatan maka penerapan denda maksimum dari tiap-tiap pasal yang dilanggar ditambah dengan 1/3 (satu pertiga). Penerapan pidana penjara dan pidana denda menutrut undang-undang ini bersifat kumulatif.

2) Penyalah Guna (Pasal 127 ayat (1)) : a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri ; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri;

c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri.

3) Memutus perkara pada ayat (1) Hakim wajib memperhatikan ketentuan Pasal 54, 55, dan Pasal 103. (Pasal 127 Ayat (2)).

4) Penyalah Guna pada ayat (1) wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. (Pasal 127 Ayat (3)).

5) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak melapor. (Pasal 128 Ayat (1)).

6) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya . (Pasal 128 Ayat (2)).

7) Pecandu Narkotika yang telah cukup umur yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit/atau

(45)

35

lembaga rehabilitasi medis ditunjuk oleh pemerintah. (Pasal 128 Ayat (3)).

8) Rumah sakit/atau lembaga rehabilitasi medis harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri. (Pasal 128 Ayat (4)).‟

9) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum : a. Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; b. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; c.

Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; d. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. (Pasal 129).

10) Tindak pidana dilakukan oleh korporasi. (Pasal 130 Ayat (1)).

11) Pidana tambahan untuk korporasi. (Pasal 130 Ayat (2)).

12) Ancaman sanksi pidana bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika (Pasal 131). Sanksi yang dikenakan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana dendan paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), yang tidak melaporkan terjadinya perbuatan melawan hukum, yang meliputi:

a) memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika.

b) memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan.

c) menawarkan untuk dijual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan.

(46)

d) mengunakan, memberikan untuk digunakan orang lain.

13) Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika. (Pasal 132 Ayat (1)).

14) Perbuatan yang dilakukan secara terorganisasi (Pasal 132 Ayat (2)).

15) Pemberatan pidana tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. (Pasal 132 Ayat (3)).

16) Menyuruh, memberi, atau menjanjikan seuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur. (Pasal 133 Ayat (1)).

17) Menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk menggunakan Narkotika. (Pasal 133 Ayat (2)).

18) Ancaman sanksi pidana bagi pecandu narkotika yang tidak melaporkan diri atau keluarganya kepada instalasi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (Pasal 134 ayat 1) sanksi yang dikenakan dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp.

2.000.000.000, (dua miliar rupiah). Demikian pula keluarga dari pecandu narkotika dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika (Pasal 134 ayat 2) sanksi yang dikenakan dengan pidana kurungan paling lama 3

(47)

37

(tiga) bulan dan pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

19) Ketentuan pidana bagi industri farmasi yang tidak melakukan kewajibannya untuk mencantumkan label pada kemasan narkotika (Pasal 135)

20) Ancaman sanksi pidana bagi hasil-hasil tindak pidana narkotika dan/atau Prekusor Narkotika, yang terdapat dugaan kejahatan money loundering sanksi yang dijatuhkan pidana penjara 5-15 Tahun atau 3-10 tahun, dan pidana denda antara Rp. 1000.000.000,- (satu miliar rupiah) sampai Rp.

10.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) atau Rp. 500.000,- (lima ratus juta rupiah atau Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah), yang terdapat dalam pasal 137 ayat (1) dan (2).

21) Ancaman sanksi pidana bagi orang yang menghalangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara terhadap tindak pidana narkotika (Pasal 138) sanksi yangdikenakan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Pada umumnya para saksi dan korban takut memberikan kesaksian karena adanya ancaman atau intimidasi tertentu, sehingga perbuatan ini dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang mengahalangi dan menghasut, serta mempersulit jalannya penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan persidangan

22) Ancaman sanksi pidana bagi nahkoda atau kapten penerbang, mengangkut narkotika dan pengangkutan udara (Pasal 139). Sanksi yang dikenakan

Referensi

Dokumen terkait

Implementasi Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER- 036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum

Dalam hal pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana secara umum diatur dalam Pasal 45 KUHP, namun keberadaan pasal tersebut

Dalam hal percobaan dan pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme adalah suatu hal yang sudah masuk dalam ranah tindak pidana dengan maksud dan tujuan yang sudah ada

Perumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah bagaimana pengawasan sebagai sarana penegakan hukum dalam Hukum Administrasi Negara, Bagaimana tugas pokok dan

Dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana, berdasarkan sejarah pembentukan dari pasal yang bersangkutan, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan

Kelompok yang terorganisir yang dijelaskan dalam penjelasan Undang-undang No.21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang Pasal 16 bahwa yang

Dengan Permasalahan sebagai berikut : bagaimana pengaturan tindak pidana pencurian dengan kekerasan di Polsek Bagan Sinembah, bagaimana penanggulangan tindak pidana

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan, karena berkat-Nya lah saya dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan skripsi saya ini dengan judul: “Tinjauan Hukum Terhadap