• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH :"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI YANG MEMPENGARUHI KEYAKINAN HAKIM UNTUK MENGAMBIL KEPUTUSAN DALAM

TINDAK PIDANA KORUPSI

(ANALISIS PUTUSAN NEGERI NO.51/Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn)

JURNAL

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

JUANGGA SAPUTRA DALIMUNTHE NIM : 120200159

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016

(2)

KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI YANG MEMPENGARUHI KEYAKINAN HAKIM UNTUK MENGAMBIL KEPUTUSAN DALAM

TINDAK PIDANA KORUPSI

(ANALISIS PUTUSAN NEGERI NO.51/Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn)

JURNAL

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

JUANGGA SAPUTRA DALIMUNTHE 120200159

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA DISETUJUI OLEH

PENANGGUNGJAWAB

Dr. M. Hamdan, SH. M.H NIP. 195703261986011001

EDITOR

Prof, Syafruddin Kallo, SH.M.Hum NIP. 195102061980021001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016

(3)

DAFTAR ISI DAFTAR ISI ... i ABSTRAK ... ii BAB I : PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Permasalahan ... 2

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penulisan ... 2

D. Keaslian Penulisan ... 3

E. Tinjauan Kepustakaan ... 4

1. Pengertian Pembuktian ... 4

2. Alat Bukti Keterangan Ahli ... 4

3. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi ... 5

4. Keyakinan Hakim ... 6

F. Metode Penulisan ... 6

G. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II : PENGATURAN KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI ... 9

A. Tindak Pidana Korupsi dan Perkembangan Pengaturannya . 9 B. Alat Bukti yang Sah dalam Pembuktian Perkara Tindak Pidana ... 11

BAB III : EKSISTENSI KETERANGAN AHLI SEBGAI ALAT BUKTI YANG MEMBUAT TERANG SUATU PERKARA BAGI HAKIM UNTUK MENGAMBIL KEPUTUSAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ... 13

A. Sistem Pembuktian dalam Hukum Pidana Indonesia ... 13

B. Keterangan Ahli sebagai Alat Bukti yang Sah Pembuktian Perkara Tindak Pidana Korupsi ... 14

C. Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli dalamPembuktian Perkara Tindak Pidana Korupsi ... 14

(4)

BAB IV : KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI YANG

MEMPENGARUHI KEYAKINAN HAKIM UNTUK

MENGAMBIL KEPUTUSAN DALAM TINDAK PIDANA

KORUPSI (ANALISIS PUTUSAN NEGERI NO.

51/PID.SUS.K/2013/PN.MDN) ... 15

A. Posisi Kasus ... 15

1. Kronologi Kasus ... 15

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 15

3. Fakta Hukum ... 16

4. Tuntutan Pidana ... 17

5. Amar Putusan ... 18

B. Analisis Kasus ... 18

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 20

A. Kesimpulan ... 20

B. Saran ... 21 DAFTAR PUSTAKA

(5)

ABSTRAK

Juangga Saputra Dalimunthe Syafruddin Kallo

Edi Yunara

Korupsi tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang merugikan keuangan dan / atau perekonomian Negara saja, tetapi juga sudah sepatutnya dilihat sebagai sesuatu yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga pemberantasannya perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa juga (extraordinary measure) dan dengan menggunakan instrument-instrumen hukum yang luar biasa pula (extraordinary instrument). Permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah Bagaimana ketentuan alat bukti dalam pembuktian tindak pidana korupsi dan Bagaimana kedudukan alat bukti Keterangan Ahli sebagai pembuktian yang mempengaruhi keyakinan hakim memutus perkara dalam tindak pidana korupsi.

Penelitian dalam penulisan skripsi ini diarahkan kepada penelitian hukum normatif dengan mengkaji asas-asas hukum dan peraturan perundang-undangan. Penelitian hukum normative disebut juga penelitian hukum doctrinal. Penelitian hukum jenis ini mengkonsepsikan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas. Adapun Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah dilaksanakan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) atau disebut juga dengan studi dokumen yang meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier agar dapat menjawab setiap permasalahan.

Undang-undang tindak pidana korupsi menjelaskan alat bukti yang sah dalam peradilan tindak pidana korupsi yaitu alat bukti yang sesuai dengan KUHAP dan alat bukti lain yang tertera di dalam undang-undang tindak pidana korupsi. Alat bukti merupakan syarat mutlak dalam peradilan dalam membuktikan terdakwa bersalah atau tidak telah melakukan tindak pidana. Keterangan Ahli dalam pembuktian tindak pidana korupsi juga ditegaskan dalam undang-undang tindak pidana korupsi yang juga dikuatkan kedudukannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kata Kunci: Alat Bukti dalam Tindak Pidana Korupsi, Alat Bukti Keterangan Ahli

Mahasiswa Fakultas Hukum USU  Dosen Pembimbing I

(6)

BAB I

A. PENDAHULUAN

Korupsi dalam konteks yang komprehensif merupakan white collar crime dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga dikatakan sebagai invisible crime yang sering kali memerlukan “pendekatan sistem (system approach)” terhadap pemberantasannya karena cenderung sulit memperoleh prosedural pembuktiannya. Korupsi tidak sekedar pemidanaan saja, tetapi bagaimana kebijakan Hukum Pidana menghadapi invisible crime tsb. 1

. Korupsi juga dilakukan oleh pejabat atau mantan kepala pemerintahan pada masa pemerintahan/kepemimpinannya bahkan setelah tidak menjabat (high profile crime) dan sebagian besar hasil korupsi tersebut disimpan diluar negeri.2

Terdapat cukup alasan yang rasional untuk mengkategorikan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga pemberantasannya perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa juga (extraordinary measure) dan dengan menggunakan instrument-instrumen hukum yang luar biasa pula (extraordinary instrument).3

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Melalui pembuktian tersebut ditentukan nasib terdakwa.

Sistem pembuktian yang dianut dalam sistem pembuktian di Indonesia adalah sistem pembuktian negatif yaitu hakim hanya boleh menjatuhkan hukuman dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti dan satu keyakinan hakim, sistem ini sejalan dengan yang dianut dalam pasal 183 KUHAP yang juga merupakan batas minimum pembuktian yang dijadikan patokan penerapan standar terbukti secara sah dan meyakinkan (beyond a reasonable doubt). Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak menentukan hal-hal khusus mengenai keterangan ahli sebagai alat bukti, sehingga keterangan ahli dapat

1 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta,2009, halaman

191.

2 Frans H. Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Kompas, Jakarta, 2009, halaman 289. 3 H. Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. Rajagrafindo

(7)

diterima sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana korupsi. Tindak Pidana Korupsi pada umumnya berkaitan dengan berbagai aspek, seperti keuangan negara, administrasi pemerintahan, perbankan, perpajakan, korporasi dan sebagainya. Bidang bidang tersebut memerlukan pengetahuan khusus, sehingga diperlukan keterangan ahli.

Apabila dihubungkan dengan sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif, maka keterangan ahli dapat menjadi salah satu alat bukti dari minimal dua alat bukti yang sah dalam pembuktian di sidang pengadilan. Keterangan ahli yang disampaikan oleh seorang ahli yang didasari dengan pengetahuan dan pengalaman dalam bidang keilmuannya dapat digunakan oleh hakim untuk menambah keyakinannya mengenai suatu persoalan di bidang tertentu.

Menurut Yahya Harahap, penempatan keterangan ahli pada urutan kedua setelah keterangan saksi adalah representasi penilaian pembuat Undang-Undang yang memandang penting fungsi keterangan ahli. Hal itu juga dapat dicatat sebagai salah satu kemajuan dalam pembaharuan hukum, karena pembuat Undang-Undang menyadari bahwa peran ahli sangat penting dalam penyelesaian perkara pidana. Perkembangan ilmu dan teknologi juga berdampak pada kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan keahlian.4

B. PERMASALAHAN

Berdasarkan apa yang diuraikan pada latar belakang di atas, maka masalah yang akan diteliti adalah sebgai berikut :

1. Bagaimana Pengaturan keterangan ahli dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi ?

2. Eksistesi keterangan ahli sebagai alat bukti yang membuat terang suatu perkara bagi hakim dalam mengambil keputusan dalam tindak pidana korupsi ?

3. Posisi Kasus dan Analisa Putusan Negeri No.51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

4 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang

(8)

Adapun tujuan utama penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi persyaratan tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Namun berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan keterangan ahli dalam pembuktian perkara pidana. 2. Untuk mengetahui keterangan ahli sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak

pidana korupsi.

3. Untuk mengetahui pengaruh keterangan ahli terhadap keyakinan hakim dalam menentukan putusan.

Adapun kegunaan dari penulisan skripsi ini meliputi dua hal sebagai berikut: 1. Secara teoritis, melalui penulisan skripsi ini diharapkan dapat memperdaya wawasan

dan pemikiran khususnya di bidang hukum pidana, baik untuk kalangan mahasiswa sendiri atau para akademisi sebagai bibit unggul yang akan menjadi kalangan yang berguna dan menjadi generasi penerus bangsa di masa yang akan datang.

2. Manfaat praktis, diharapkan pula melalui penulisan skripsi ini dapat bermanfaat nantinya bagi para penegak hukum dalam upaya memberikan proses peradilan yang baik dan tepat.

D. KEASLIAN PENULISAN

Skripsi dengan judul “Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti YangMempengaruhi Keyakinan Hakim Untuk Mengambil Keputusan Dalam Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Negeri No.51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn)” belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini diangkat dengan tujuan untuk menegetahui lebih dalam tentang kedudukan serta pengaruh keterangan ahli dalam pembuktian perkara pidana, khususnya keberadaan keterangan ahli sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana korupsi.

Ada beberapa pembahasan mengenai keterangan ahli, tetapi dalam hal ini penulis menitik beratkan pada pembuktian tindak pidana korupsi. Pada prinsipnya dalam penulisan karya ilmiah ini penulis memperolehnya berdasarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan, media massa cetak maupun elektronik, ditambah dengan

(9)

pemikiran penulis. Oleh sebab itu, keaslian skripsi ini masih terjamin adanya serta dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.5

Terdapat beberapa sistem dan teori pembuktian, yaitu antara lain : a. Conviction In Time

b. Conviction-Raisonee

c. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif. d. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif 2. Alat Bukti Keterangan Ahli

Ahli merupakan istilah yang didefenisikan sebagai orang yang mempunyai keahlian khusus tenang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.6 Ahli biasa juga diartikan sebagai orang yang mahir, paham sekali dalam suatu ilmu atau pengetahuan.7

Pasal 184 KUHAP menjelaskan, keterangan ahli merupakan salah satu dari lima alat bukti. KUHAP menjelaskan keterangan ahli dalam Bab Ketentuan Umum, yaitu pada Pasal 1 butir 28 yang menyatakan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperbolehkan untuk membuat terang suatu tindak pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Pasal tersebut diatas tidak menjelaskan secara rinci siapa yang dimaksud dengan ahli, namun setidaknya ada dua unsur penting mengenai ahli yang dimaksudkan KUHAP, yaitu :

5Drs. Hari Sasangka, Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung,

Mandar Maju, 2003), hal. 10.

6S. Tanosubroto. Dasar Dasar Hukum Acara Pidana, (Bandung, Amrico, 1989), hal. 70. 7 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa

(10)

a. Seseorang yang mempunyai keahlian khusus

b. Keahlian itu dipakai untuk membuat terang suatu perkara pidana. 3. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi

Defenisi korupsi menurut perspektif hukum, secara gamblang telah uraikan dalam tiga belas Pasal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal-Pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi. Pasal-Pasal tersebut menguraikan atau menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang biasa dikenakan sanksi pidana karena tindak pidana korupsi. 8

a. Kerugian Keuangan Negara

1. Pasal 2 (melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara);

2. Pasal 3 (menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara).

b. Suap- menyuap

1. Pasal 5 ayat (1) huruf a (menyuap pegawai negeri); 2. Pasal 5 ayat (1) huruf b (menyuap pegawai negeri);

3. Pasal 13 (memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya); 4. Pasal 5 ayat (2) (pegawai negeri menerima suap);

5. Pasal 12 huruf a (pegawai negeri menerima suap); 6. Pasal 12 huruf b (pegawai negeri menerima suap);

7. Pasal 11 (pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya);

8. Pasal 6 ayat (1) huruf a (menyuap hakim); 9. Pasal 6 ayat (1) huruf b (menyuap advokat);

10. Pasal 6 ayat (2) (hakim dan advokat menerima suap); 11. Pasal 12 huruf c (hakim menerima suap);

12. Pasal 12 huruf d (advokat menerima suap). c. Penggelapan dalam jabatan:

1. Pasal 8 (pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan);

2. Pasal 9 (pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi); 3. Pasal 10 huruf a (pegawai negeri merusakkan bukti);

4. Pasal 10 huruf b (pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti);

5. Pasal 10 huruf c (pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti). d. Perbuatan pemerasan:

1. Pasal 12 huruf e (pegawai negeri memeras); 2. Pasal 12 huruf g (pegawai negeri memeras);

8Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami untuk Membasmi : Buku saku untuk Memahami

(11)

3. Pasal 12 huruf f (pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain). e. Perbuatan curang:

1. Pasal 7 ayat (1) huruf a (pemborong berbuat curang);

2. Pasal 7 ayat (1) huruf b (pengawas proyek membiarkan perbuatan curang); 3. Pasal 7 ayat (1) huruf c (rekanan TNI/Polri berbuat curang);

4. Pasal 7 ayat (1) huruf d (pengawas TNI/Polri membiarkan perbuatan curang);

5. Pasal 7 ayat (2) (penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang); 6. Pasal 12 huruf h (pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga

merugikan orang lain).

f. Benturan kepentingan dalam pengadaan:

1. Pasal 12 huruf i (pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang di urusnya).

g. Gratifikasi:

1. Pasal 12 B jo. Pasal 12 C (pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK)

4. Keyakinan Hakim

Ketika seorang hakim menyakini bahwa “terdakwa yang sedang diperiksa melalui persidangan yang dipimpinnya terbukti telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, dan terbukti bersalah karenanya, maka keyakinan hakim tersebut sebenarnya akan menjelma ke dalam suatu keadaan tertentu dari otot, pancaindera, dan emosi, mungkin juga bersama-sama dengan bayangan visual tertentu.

Lahirnya keyakinan seorang hakim dalam praktek biasanya terkait erat dengan pergumulan hakim terhadap berbagai proses pembuktian suatu kasus dalam serangkaian persidangan, walaupun aktifitas interpretatif hakim dan keputusannya terhadap suatu kasus tidak hanya ditentukan oleh proses pembuktian.

F. METODE PENELITIAN

Penelitian dalam penulisan skripsi ini diarahkan kepada penelitian hukum normatif dengan mengkaji asas-asas hukum dan peraturan perundang-undangan. Penelitian hukum normative disebut juga penelitian hukum doctrinal. Penelitian hukum jenis ini mengkonsepsikan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.9 Sumber data penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat

9 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo

(12)

(data primer) dan dari bahan-bahan pustakan (data sekunder).10 Metode penelitian hukum normative hanya mengenal data sekunder saja.11 Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer; bahan hukum sekunder; dan bahan hukum tersier.12 Sumber data sekunder yang akan digunakan sebagai olahan data ada menggunakan beberapa bahan yang meliputi:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan utama yang akan digunakan dalam penulisan yang merupakan norma atau kaedah dasar seperti KUHP, KUHAP dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahan

hukum primer dan dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang ada. Semua dokumen yang dapat menjadi sumber informasi seperti hasil seminar atau makalah dari pakar hukum, koran, majalah, dan juga sumber-sumber lain yakni internet yang memiliki kaitan erat dengan permasalahan yang dibahas.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistem penulisan skripsi ini dibagi dlam beberapa bagian yang tersebut dalam beberapa bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri namun masih dalam konteks yang berkaitan satu dengan yang lainnya.

Secara sistematis gambaran skripsi ini sebagai berikut :

10 Soejono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan Singkat, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, halaman 12.

11 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2009, halaman 12.

(13)

BAB I Pendahuluan

Bab ini menggambarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan yang membahas pengertian pembuktian, jenis dan fungsi alat bukti, alat bukti keterangan ahli, pengertian tindak pidana korupsi, serta metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Pengaturan Keterangan Ahli dalam Pembuktian Perkara Tindak Pidana Korupsi

Bab ini berisikan mengenai alat bukti yang sah yang dihadirkan dalam pembuktian perkara pidana terkhususnya alat bukti keterangan ahli, baik pengaturannya menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun menurut Undang-Undang di luar KUHAP.

BAB III Eksistensi Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti Yang Membuat Terang Suatu Perkara Bagi Hakim Untuk Mengambil Keputusan Dalam Tindak Pidana Korupsi

Bab ini berisikan tentang eksistensi serta kedudukan hukum alat bukti keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dalam mengambil keputusan dalam pembuktian tindak pidana korupsi.

BAB IV Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti Yang Mempengaruhi Keyakinan Hakim Untuk Mengambil Keputusan Dalam Tindak

Pidana Korupsi (Analisis Putusan Negeri

No.51/Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn)

Bab ini berisikan tentang analisa penulis terhadap Putusan Negeri No.51/Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn tentang alat bukti keterangan ahli yang dihadirkan pada saat proses pengadilan yang mempengaruhi keyakinan hakim dalam mengambil keputusan.

BAB V Kesimpulan dan Saran

Bab ini merumuskan suatu kesimpulan dari pembahasan yang dilanjutkan dengan memberikan saran yang diharapkan dapat berguna di dalam praktek.

(14)

BAB II

PENGATURAN KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Tindak Pidana Korupsi dan Perkembangan Pengaturannya

Korupsi sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia, karena telah ada sejak tahun 1950-an. Korupsi seolah telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan Negara.13

1. Istilah Tindak Pidana Korupsi

Penggunaan istilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada bagian konsideransnya, yang antara lain menyebutkan, bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi.14

2. Sejarah Perundang-undangan Korupsi di Indonesia

Sejarah perundang-undangan korupsi di Indonesia dapat dikelompokkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang pernah lahir berkaitan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, diantaranya:

1. Delik-delik Korupsi dalam KUHP;

2. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat (Angkatan Darat dan Laut);

3. Undang-undang No. 24 (PRP) Tahun 1960 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

4. Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

5. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

13 Penanggulangan korupsi di Era 50-an tersebut dengan menggunakan perangkat

perundang-undangan yang ada masih banyak menemui egagalan. (http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081, Opcit.)

14 H. Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, (Jakarta, PT.

(15)

6. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tuhan 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

3. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Pembentukan sebuah undang-undang baru sebagai sebuah instrument hukum pidana dalam penanggulangan korupsi, dapat didekati dan di analisis atas dasar 3 alasan utama, yaitu:15

1. Alasan Sosiologis 2. Alasan praktis 3. Kebijakan Politis

4. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Kerugian Keuangan Negara

Unsur-unsur tindak pidana korupsi tidak akan terlepas dari unsur-unsur yang terdapt dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai berikut:

Pasal 2 UU PTPK 1. Setiap orang;

2. Secara melawan hukum;

3. Perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi; 4. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara.

Sementara itu, dalam Pasal 3 UU PTPK tersebut unsur-unsur deliknya adalah sebagai berikut:

1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan;

3. Dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara. 5. Subjek Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi

15Ibid, hal. 17.

(16)

Subjek hukum tindak pidana korupsi di Indonesia pada dasarnya adalah orang pribadi sebagaimana seperti yang tercantum dalam hukum pidana umum.

1. Subjek hukum orang

Subjek hukum tindak pidana tidak terlepas dari sistem pembebanan tanggung jawab pidana yang dianut. Dalam hukum pidana umum (KUHP) adalah pribadi orang. Pertanggung jawaban bersifat pribadi, artinya orang yang dibebani tanggung jawab pidana dan dipidana hanyalah orang atau pribadi yang melakukan tindak pidana tersebut.

2. Subjek hukum korporasi

Menurut terminologi Hukum Pidana, bahwa korporasi adalah suatu badan atau usaha yang mempunyai identitas sendiri, kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan anggota.16

B. Alat Bukti yang Sah dalam Pembuktian Perkara Pidana Tindak Pidana 1. Menurut KUHAP

Pasal 184 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah membatasi alat bukti yang sah diantaranya :

a. Keterangan Saksi

Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Pada umumnya tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Sesuai bunyi Pasal 1 angka 27 KUHAP, dapat disimpulkan unsur penting keterangan saksi yakni :

a. Keterangan dari orang (saksi) b. Mengenai suatu peristiwa pidana

c. Yang didengar sendiri, dilihat sendiri dan dialami sendiri b. Keterangan Ahli

Keterangan ahli ialah apa yang dinyatakan ahli di sidang pengadilan (Pasal 186 KUHAP). Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP diterangkan bahwa yang dimaksud keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai

16Mahmud Mulyadi & Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan

(17)

keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.

c. Alat Bukti Surat

Surat dalam KUHAP hanya terdapat pada dua Pasal yaitu Pasal 184 dan lebih khususnya Pasal 187. Surat adalah sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.

d. Alat Bukti Petunjuk

Apabila kita bandingkan dengan 4 (empat) alat-alat bukti yang lain dalam Pasal 184, maka alat bukti petunjuk ini bukanlah suatu alat bukti yang bulat dan berdiri sendiri, melainkan suatu alat bukti bentukan hakim.

e. Keterangan terdakwa

Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1) kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penempatannya pada urutan terakhir inilah sebagai salah satu alasan yang dipergunakan untuk menetapkan proses pemeriksaan keterangan saksi.

2. Menurut Undang-Undang diluar KUHAP

KUHAP bukan lah satu-satunya undang-undang formil yang mengatur tentang pembuktian.

Adapun undang-undang pidana formil diluar KUHAP yang mengatur alat bukti antara lain :

a. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme.

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

(18)

BAB III

EKSISTENSI KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI YANG MEMBUAT TERANG SUATU PERKARA BAGI HAKIM UNTUK MENGAMBIL KEPUTUSAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Sistem Pembuktian dalam Hukum Pidana di Indonesia

Terdapat beberapa sistem dan teori pembuktian, yaitu antara lain : a. Conviction In Time

Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seseorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Darimana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinanya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini

b. Conviction-Raisonee

Sistem ini dapat dikatakan keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam mentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sisitem conviction raisonee keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”.

c. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif

Sistem ini merupakan kebalikan dari sistem conviction in time. Sistem pembuktian ini Undang-Undang telah menentukan secara limitatif alat-alat bukti mana saja yang dapat digunakan oleh hakim, bagaimana hakim menggunakan alat-alat bukti tersebut juga kekuatan pembuktiannya.

d. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif

Sistem ini dapat dikatakan merupakan pengabungan antara sistem pembuktiaan menurut Undang-Undang secara positif dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka. Menurut sistem ini, salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

(19)

B. Keterangan Ahli sebagai Alat Bukti yang Sah dalam Pembuktian Perkara Tindak Pidana Korupsi

Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, dirumuskan dalam Pasal 186 KUHAP. Pasal 1 angka 28 KUHAP memuat pengertian keterangan ahli yaitu keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus dibidang tertentu untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan

Beberapa Pasal dalam KUHAP yang dalam rumusannya menyebut klasifikasi keahlian seperti:

a. Pasal 120 KUHAP, ahli adalah yang mempunyai kemampuan khusus:

b. Pasal 132 KUHAP, adalah ahli yang mempunyai keahlian tentang surat dan tulisan palsu;

c. Pasal 133 KUHAP, menunjuk Pasal 179 KUHAP, untuk menentukan korban luka, keracunan atau mati adalah ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya.

C. Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli dalam Pembuktian Perkara Tindak Pidana Korupsi

Pasal 184 ayat (1) KUHAP menetapkan, keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah. Keterangan ahli ditempatkan pada urutan kedua setelah alat bukti keterangan saksi, melihat letak urutannya, pembuat undang-undang menilainya sebagai salah satu alat bukti yang penting artinya dalam pemeriksaan perkara pidana. Keterangan ahli baru mempunyai nilai pembuktian apabila ahli tersebut harus bersumpah terlebih dahulu di muka hakim sebelum memberikan keterangan.

Dalam keadaan tertentu, keterangan beberapa ahli dapat dinilai sebagai dua atau beberapa alat bukti yang dapat dianggap telah memenuhi Pasal 183 dan 185 ayat (4) KUHAP. Misalnya, menurut keterangan ahli kedoteran kehakiman, kematian korban adalah karena dicekik dengan tangan. Kemudian menurut keterangan ahli sidik jari, bekas cekikan yang terdapat pada leher korban sama dengan sidik jari terdakwa. Hal ini dapat dibenarkan dengan alasan lain, karena dua keterangan ahli tersebut merupakan dua keterangan ahli yang diberikan oleh masing-masing ahli dalam bidang keahlian yang berbeda.

(20)

BAB IV

KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI YANG MEMPENGARUHI KEYAKINAN HAKIM UNTUK MENGAMBIL KEPUTUSAN DALAM TINDAK

PIDANA KORUPSI (ANALISIS PUTUSAN NEGERI No.51/PID.SUS.K/2013/PN.MDN)

A. Posisi Kasus 1. Kronologi Kasus

Kasus ini terjadi pada tahun 2004 dan tahun 2005 dimana terdakwa bersama dengan Amrin Tambunan masing masing sebagai Pj. Sekretaris Daerah dan Pemegang Kas pada Sekretariat Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan melakukan atau turut serta melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Bermula pada saat terdakwa Rahudman Harahap dan Amrin Tambunan mengajukan surat permintaan pembayaran (SPP) tanpa nomor sebesar Rp.3.059.033.050 termasuk di dalamnya dana TPAPD triwulan I sebesar Rp.1.035.720.000 lalu dana tersebut dicairkan pada tanggal 06 Januari 2005. Pada tanggal 13 April 2005 Rahudman Harahap dan Amrin Tambunan mengajukan surat permintaan pembayaran (SPP) No. 28/SPPR/2005. Sebesar Rp.3.352.033.050 termasuk di dalamnya dana TPAPD triwulan II sebesar Rp.1.035.720.000 dan dana tersebut dicairkan pada tanggal 04 Mei 2005. Permintaan dana tersebut tidak didasarkan pada adanya permohonan dari bagian pemerintahan desa selaku yang membidangi penyaluran dana TPAPD, bahkan dana TPAPD triwulan II yang telah dicairkan juga tidak diserahkan pada kepala bagian pemeritahan desa atau perangkat desa.

Bedasarkan surat permintaan pembayaran (SPP) tanggal 06 januari 2005 dan 13 April 2005 yang diajukan terdakwa Rahudman Harahap dan Amrin Tambunan, maka terdapat dana TPAPD triwulan I dan II yang tidak disalurkan sebesar Rp.2.071.440.000 2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Dakwaan primer melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.

Dakwaan subsider melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.

(21)

Dakwaan lebih subsider melanggar Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.

3. Fakta Hukum a. Keterangan saksi

Saksi Ajijun Harahap menjelaskan TRAPD pada tahun 2004 dannaya sebesar Rp.4.124.880.000,- (empat miliyar seratus dua puluh empat juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) namun untuk tahun 2005, saksi tidak mengingatnya.

Saksi Leonardy Pane yang merupakan Kepala Bawasda Kabupaten Tapanuli Selatan memerintahkan untuk dilakukan pemeriksaan kas terhadap Amrin Tambunan selaku pemegang kas dana TRAPD tahun 2005 yang hasilnya banyak kejanggalan, tidak sesuai dengan pengeluaran APBD.

b. Keteranagan Ahli

Selain saksi tersebut, terdakwa dan penasihat hukumnya juga mengajukan 3 (tiga) orang ahli yang memebrikan pendapatnya dengan bersumpah dipersidangan, yang pada pokoknya sebagai berikut :

1. Ahli Hasiolan Pasaribu, S.E.,MPKP

Menurut saksi Kepmendagri No. 29 unit Pemegang Kas SKPD dia adalah secara fungsional bertanggungjawab ke BUD tidak bertanggungjawab kepada Kepala SKPD karena ini adalah akuntansi yang menerima, menyimpan, menegeluarkan berdasarkan apayang diajukan kepala SKPD kepada Kepala Daerah melalui Bnedahara Umum Daerah.

2. Ahli Prof Dr. Zudan Arif Fakrullah, S.H.,M.H

Ahli menjelaskan bahwa Kepmendagri No.29 Tahun 2002 itu induknya adalah di Undang-Undang No.22 Tahun 1999, kekuasaan pemerintahan itu banyak diserahkan kepada Pemerintah Daerah termasuk pengelolaan keuangan di dalam pengelolaan keuangan itu sudah dilakukan desentralisasi, desentralisasi ada mengatur dan mengurus 2 (dua) aspek ini kemudian dijabarkan di dalam PP No. 105 di mana dalam PP itu kalau sudah desentralisasi itu delegasi diberikan penuh kepada daerah, kekuasaan penuh pengelolaan keuangannya jadi pengelolaan keuangan sudah diimpahkan kepada Kepala Daerah.

(22)

3. Ahli Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.H.

Ahli menjelaskan di dalam hukum pidana ada dua azas legalitas yaitu Perbuatan Pidana dan Pertanggujawaban Pidana. Ketika ada dugaan tindak pidana, unsur dalam setiap Pasal harus ada pembuktian, dan harus ada peraturan perundang-undangan, tempus delicti, apakah daluarsa, bisakah dipertanggungjawabkan secara objektif dan subjektif. Administrasi manajemen ada tupoksinya yang memerlukan wewenang, bukan sembarangan, jika tidak menjalankan tugasnya dan agar seseorang dihukum, yang dicari adalah di mana titik apinya/titik lobangnya, siapa yang berbuat dia yang bertanggungjawab. Pertanggungjawaban pidana, sejak mulai penyidikan sangat tergantung dengan aturan yang mengatur, menurut ahli administrasi, ahli kuangan daerah, kalau tidak ada pertanggungjawaban disitu maka kemungkinan besar ada perbuatan melawan hukum, sangat tergantung pada ahli yang lain. Ahli juga mengatakan jika perbuatan hukum pidana itu terjadi, siapa yang berbuat dia yang bertanggungjawab didukung pembuktian hukum pidana adalah satu saksi bukan saksi/satu saksi bukan alat bukti (Unus testis nulus testis).

c. Surat-Surat

Penuntut Umum menyertakan barang bukti kepada Hakim sebanyak 147 dokumen yang berkaitan dengan dugaan dana TPAPD.

4. Tuntutan Pidana

1. Menyatakan terdakwa Rahudman Harahap terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Turutserta” melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Rahudman Harahap dengan pidana penjara 4 tahun dan denda Rp.500.000.000 subsider 6 bulan kurungan

3. Menghukum terdakwa Rahudman Harahap membayar uang pengganti sebesar Rp.2.071.440.000 kepada pemerintah kabupaten Tapanuli Selatan.

4. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp.10.000.

(23)

5. Amar Putusan

1. Menyatakan terdakwa Rahudman Harahap, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum dalam dakwaan primair, dakwan subsider, dakwan lebih subsider.

2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari semua dakwaan tersebut

3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya.

B. Analisis Kasus

Berdasarkan Putusan No. Register 51/Pid.Sus.K/2013/Pn. Mdn. Penulis menganlisa bahwasanya penuntut umum dalam dakwaannya berdasarkan pasal 49 ayat (1) Kepmendagri No.29 Tahun 2002 yang berbunyi “Pengeluaran kas yang mengakibatkan beban APBD, tidak dapat dilakukan sebelum rancangan peraturan daerah tentang APBD disahkan dan ditempatkan dalam lembaran Daerah”. Namun penuntut umum dalam dakwaannya tidak mencantumkan ketentuan dalam ayat (2) dari pasal 49, yakni yang berbunyi “pengadaan kas sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) tidak termasuk belanja pegawai yang formasinya sudah ditetapkan.

Dalam Kepmedagri No.29 Tahun 2002 tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan belanja pegawai yang formasinya telah ditetapkan. Menurut saksi ahli Hasiholan Pasribu, S.E, MPKP menjelaskan bahwa tunjangan TPAPD merupakan belanja pegawai yang berhak diterima oleh aparatur Pemerintahan Desa setiap bulannya, dimana untuk kabupaten Tapanuli Selatan pada TA 2005 telah ditetapkan besaran tunjangan kepada masing masing aparatur pemerintahan 21 Juni 2005.

Bertentangan dengan tuntutan Penuntut Umum penulis merangkum pertimbangan hakim di Pengadilan Tipikor tingkat pertama berpendapat bahwa tunjangan TPAPD untuk Triwulan I dan II TA 2005 telah dicairkan, dimana terdakwa menjadi Sekda Kab. Tapsel hanya sampai 25 April 2005, dan juga dari fakta hukum tersebut terbukti Amrin Tambunan telah mempergunakan dana TPAPD sebesar Rp.1.590.944.500 untuk kepeluannya sendiri, hal ini bertentangan dengan keterangannya dipersidangan perkara

(24)

ini, dan penuntut umum juga tidak dapat membuktikan keterlibatan terdakwa dalam penggunaan dana TPAPD yang telah dicairkan tanggal 6 Januari ke Kas Amrin Tambunan.

Dilihat dari keterangan saksi yang dihadirkan penuntut umum, sebagian besar saksi tidak memberatkan terdakwa melainkan dana TPAPD tersebut mengalir kepada Pemegang Kas yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pribadinya.

Pertimbangan hakim pada dakwaan subsidair terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, sehingga apabila terdakwa ikut menanda tangani Formulir SPP-PK dan daftar perincian penggunaan anggaran belanja tanggal 6 Januari 2005, hal tersebut karena terdakwa selaku pengguna anggaran yang harus mengetahui aliran pengeluaran anggaran dalam SKPD-nya, dan pembubuhan tanda tangan itu karena sudah ditentukan dalam Form Lampiran XXIV Kepmendagri No.29 Tahun 2002 tersebut. Sehingga apabila dikaitkan dikaitkan dengan pengertian ‘dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi’ tersebut diatas, maka tidak ada niat atau kehendak Terdakwa untuk menguntungkan Amrin Tambunan karena apa yang dilakukan Amrin Tambunan memang sudah tupoksinya dan apabila Amrin Tambunan tidak melakukan tupoksinya menyalurkan anggaran kepada Bagian Pemdes, maka Amrin Tambunan harus mempertanggungjawabkannya dalam batas kewenangannya.

Berdasarkan rangkaian pertimabangan hakim tersebut, Hakim menyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwaakan didalam dakwaan primair, subsidair, lebih subsidair oleh penuntut umum kepada terdakwa. Memulihkan hak terdakwa dalam kemapuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya.

(25)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Keterangan ahli dalam pembuktian perkara pidana merupakan salah satu dari lima alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP. Akan tetapi, KUHAP bukan lah satu-satunya undang-undang formil yang mengatur tentang pembuktian. Terdapat undang-undang lain yang mengatur pembuktian yaitu undang-undang Tindak Pidana Korupsi Pasal 26 A, undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 73, dan undang-undang Tindak Pidana Terorisme Pasal 27. Keterangan ahli pada pembuktian perkara pidana mempunyai kekuatan pembuktian bebas dan nilai pembuktian merupakan tergantung pada penilaian hakim. Secara formal kedudukan alat bukti keterangan ahli adalah sama dengan alat bukti lain.

2. Sistem pembuktian yang dianut dalam sistem pembuktian di Indonesia adalah sistem pembuktian negatif yaitu hakim hanya boleh menjatuhkan hukuman dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti dan satu keyakinan hakim, sistem ini sejalan dengan yang dianut dalam Pasal 183 KUHAP yang juga merupakan batas minimum pembuktian yang dijadikan patokan penerapan standar terbukti secara sah dan meyakinkan (beyond a reasonabledoubt). Keterangan ahli dapat dinilai sebagai dua atau beberapa alat bukti yang dapat dianggap telah memenuhi Pasal 183 dan 185 KUHAP yaitu, keterangan ahli yang diberikan oleh masing-masing ahli dalam bidang keahlian yang berbeda sehingga menjadi alat bukti yang berdiri sendiri dan telah memenuhi batas minimum pembuktian. Keterangan ahli merupakan alat bukti yang sangat penting dalam proses pembuktian karena merupakan alat bantu bagi hakim untuk menemukan kebenaran.

3. Keterangan ahli dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi keberadaanya, baik pada tingkat penyidikan maupun persidangan tidak dapat diabaikan begitu saja. Keterangan ahli dibutuhkan karena jaksa penuntut umum, penasihat hukum dan hakim tidak dapat menguasai semua penegtahuan atau pun mempunyai pengetahuan yang terbatas. Pada pemeriksaan tindak pidana korupsi terkait bidang

(26)

ilmu yang lain ada kalanya tidak dikuasai oleh penegak hukum. Keterangan ahli sangat penting dalam mempengaruhi atau meyakinkan hakim atau terdakwa dan penasihat hukum ketika alat bukti yang diajukan kurang optimal. Sesuai hasil analisis putusan Pengadilan Negeri No.51/Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn, didapat beberapa jenis keahlian yang diperlukan sebagai keterangan ahli dalam perkara tindak pidana korupsi, antara lain keahlian dalam bidang auditing terkait dengan salah satu unsur tindak pidana korupsi yaitu kerugian keuangan Negara, keahlian dalam bidang aparatur sipil Negara terkait dengan beban pertanggungjawaban, serta keahlian dalam bidang hukum untuk memberikan pengetahuan dan masukan dan menjadi pegangan bagi hakim dalam memutus perkara.

B. Saran

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan sehubungan dengan permasalahan di dalam skripsi ini adalah :

1. Hakim memiliki peran yang sangat penting di sidang pengadilan. Untuk itu diperlukan ketelitian hakim dalam setiap proses di persidangan termaksud pembuktian. Hakim harus lebih teliti dalam menilai setiap keterangan yang diberikan oleh ahli. Jika keterangan ahli tersebut bertentangan, bisa saja dikesampingkan oleh hakim, akan tetapi harus dengan alasan yang jelas.

2. Penyidik atau pengadilan harus berhati-hati, tidak hanya mengumpulkan dan meminta ketrangan ahli yang mempunyai keahlian dibidang yang sama. Nilai pembuktian akan tetap dianggap satu saja apabila yang diterangkan mereka hanya tentang suatu keadaan yang serupa. Oleh karena itu diusahakan untuk meminta keterangan ahli dari bebrapa ahli yang berbeda bidang keahliannya. Sehingga apa yang mereka terangkan adalah mengenai hal atau keadaan yang berbeda.

3. Ahli yang memberikan keterangan ahli di persidangan harus benar-benar kompeten dibidangnya, sehingga keterangan yang diberikan oleh ahli tersebut dapat membantu hakim dalam memeriksa perkara di sidang pengadilan. Bagi ahli yang merasa tidak berkompeten untuk memberikan keterangan ahli serta bukanlah merupakan bidang keahliannya, sebaiknya mengundurkan diri.

(27)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku

Amiruddin, dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004.

Danil, H. Elwi, 2011, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka

Komisi Pemberatasan Korupsi, 2006, Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Komisi Pemberantasan Korupsi. Harahap, M. Yahya, 1985, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika.

Mulyadi, Mahmud & Feri Antoni Surbakti, 2010, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, Jakarta: PT. Softmedia

Sasangka, Hari & Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju.

Seno Adji, Indriyanto, 2009, Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Diadit Media. Soekanto, Soejono dan Sri Mamuji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan

Singkat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Tanosubroto, S, 1989, Dasar Dasar Hukum Acara Pidana, Bandung, Amrico.

Winarta,Frans H, 2009, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Jakarta: Kompas. B. Undang-undang

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

C. INTERNET

Referensi

Dokumen terkait

Pada domba betina umur 18 bulan, penciri utama ukuran tubuh diketiga lokasi penelitian berbeda-beda yaitu lebar pangkal ekor di Palu Timur, tinggi pinggul domba di Palu Selatan

Tujuan penelitian ini adalah memperkenalkan metoda uji small punch untuk studi awal sifat-sifat mekanik material meliputi kuat luluh, kuat tarik, temperatur transisi ulet ke

Meskipun hak ulayat diatur dalam UUPA, pihak Keraton tidak memilih status hak ulayat sebab melalui hak ulayat Keraton hanya bisa memberikan tanah dalam jangka waktu tertentu

Dari data hasil penelitian pada siklus I pertemuan ke 2 dapat dijelaskan bahwa dengan menerapkan metode pengajaran berbasis proyek/tugas diperoleh nilai rata-rata

Kelemahan dalam pasal ini adalah, tidak disebutkannya bentuk perjudian apa yang diperbolehkan tersebut, ataukah sama bentuk perjudian sebagaimana yang

memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita maka konsumen dapat menuntut pertanggungjawaban secara perdata kepada pelaku usaha. Terdapat dua bentuk pertanggungjawaban

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian kredit yang mengalami kemacetan pada Kredit Usaha Rakyat di PT.Bank Rakyat Indonesia Cabang Kota Binjai

Sumber data dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Tarkalil sebagai Kepala Bagian Humas yang dilaksanakan pada 28 Oktober 2019 dan data