• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meningkatkan Prestasi Belajar IPS Tematik melalui Metode Pengajaran Berbasis Tugas/Proyek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Meningkatkan Prestasi Belajar IPS Tematik melalui Metode Pengajaran Berbasis Tugas/Proyek"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Artikel Penelitian

Meningkatkan Prestasi Belajar IPS Tematik melalui Metode Pengajaran

Berbasis Tugas/Proyek

Muhammad Sulihin *

Sekolah Dasar Negeri 2 Tantaringin Muara Harus, Kalimantan Selatan

Histori artikel: Pengiriman Juli 2020 Revisi Agustus 2020 Diterima September 2020

ABSTRAK

Untuk bisa mempelajari sesuatu dengan baik, kita perlu mendengar, melihat, mengajukan pertanyaan tentangnya, dan membahasnya dengan orang lain. Bukan Cuma itu, siswa perlu “mengerjakannya”, yakni menggambarkan sesuatu dengan cara mereka sendiri, menunjukkan contohnya, mencoba mempraktekkan keterampilan dan mengerjakan tugas yang menuntut pengetahuan yang telah mereka dapatkan. Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah: (a) Bagaimanakah peningkatan prestasi belajar Pengetahuan Sosial dengan diterapkannya metode pengajaran berbasis tugas proyek? (b) Bagaimanakah pengaruh pembelajaran metode pengajaran berbasis tugas/proyek terhadap motivasi belajar siswa? Tujuan dari penelitian ini adalah: (a) Mengetahui peningkatan prestasi belajar Pengetahuan Sosial setelah diterapkannya pengajaran berbasis tugas proyek, (b) Mengetahui pengaruh motivasi belajar Pengetahuan Sosial setelah diterapkannya metode pengajaran berbasis tugas proyek. Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan (action research) sebanyak tiga putaran. Setiap putaran terdiri dari empat tahap yaitu: rancangan, kegiatan dan pengamatan, refleksi, dan refisi. Sasaran penelitian ini adalah siswa Kelas II SDN 2 Tantaringin tahun pelajaran 2015/2016. Data yang diperoleh berupa hasil tes formatif, lembar observasi kegiatan belajar mengajar. prestasi belajar siswa mengalami peningkatan dari siklus I pertemuan ke 1, Siklus I pertemuan ke 2, Siklus II pertemuan ke 1 sampai Siklus II pertemuan ke 2. Dari hasil analisis didapatkan bahwa siklus I pertemuan ke 1 (45,00%), Siklus I pertemuan ke 2 (70,00%), siklus II pertemuan ke 1 (85,00%) dan siklus II pertemuan ke 2 (95,00%). Simpulan dari penelitian ini adalah metode pengajaran tugas/proyek dapat berpengaruh positif terhadap motivasi belajar Siswa Kelas II SDN 2 Tantaringin tahun pelajaran 2015/2016 serta model pembelajaran ini dapat digunakan sebagai salah satu alternative pembelajaran IPS.

Kata Kunci: Belajar IPS, Pengajaran Berbasis Proyek Tugas *Email korespondensi:

muhammadsulihin93@gmail.com

Pendahuluan

Tujuan dari kegiatan belajar mengajar tidak akan pernah tercapai selama komponen-komponen lainnya tidak diperlukan. Salah satunya adalah komponen metode. Metode adalah salah satu alat untuk mencapai tujuan. Dengan memanfaatkan metode secara akurat, guru akan mampu mencapai tujuan pengajaran (Dalle, 2017). Metode adalah pelicin jalan pengajaran menuju tujuan. Ketika tujuan dirumuskan agar anak didik memiliki keterampilan tertentu, maka metode dan

tujuan jangan bertolak belakang. Artinya, metode harus menunjang pencapaian tujuan tersebut. Apalah artinya kegiatan belajar mengajar yang dilakukan tanpa mengindahkan tujuan.

Jadi, guru sebaiknya menggunakan metode yang dapat menunjang kegiatan belajar mengajar, sehingga dapat dijadikan sebagai alat yang efektif untuk mencapai tujuan pengajaran.

Sebagai salah satu komponen pengajaran, metode mempunyai peranan yang tidak kalah

(2)

pentingnya dari komponen lainnya dalam kegiatan belajar mengajar. Tidak ada satu pun kegiatan belajar mengajar yang tidak menggunakan metode pengajaran. Ini berarti guru memahami benar kedudukan metode sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar mengajar. Motivasi ekstrinsik menurut Sardiman (2008) adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya, karena adanya perangsang dari luar. Karena itu, metode berfungsi sebagai alat perangsang dari luar yang dapat membangkitkan belajar seseorang.

Ada kecenderungan dalam dunia

pendidikan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak “mengalami” sendiri apa yang dipelajarinya, bukan ‘mengetahui’-nya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi ‘mengingat’ jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangkan panjang. Dan, itulah yang terjadi di kelas-kelas sekolah kita. Pendekatan

kontekkstual (contextual teaching

learning/CTL) adalah suatu pendekatan pengajaran yang dari karakteristiknya memenuhi harapan itu. Sekarang ini pengajaran kontekstual menjadi tumpuan harapan para ahli pendidikan dan pengajaran dalam upaya menghidupkan kelas secara maksimal. Kelas yang hidup diharapkan dapat mengimbangi perubahan yang terjadi di luar sekolah yang sedemikian cepat.

Mengajar bukan semata persoalan menceritakan. Belajar bukanlah konsekuensi otomatis dari perenungan informasi ke dalam benak siswa. Belajar memerlukan keterlibatan mental dan kerja siswa sendiri. Penjelasan dan pemeragaan semata tidak akan membuahkan hasil belajar yang langgeng. Yang bisa membuahkan hasil belajar yang langgeng hanyalah kegiatan belajar aktif.

Apa yang menjadikan belajar aktif? Agar belajar menjadi aktif siswa harus mengerjakan banyak sekali tugas. Mereka harus menggunakan otak, mengkaji gagasan, memecahkan masalah, dan menerapkan apa yang mereka pelajari. Belajar aktif harus gesit, menyenangkan, bersemangat dan penuh

gairah. Siswa bahkan sering meninggalkan tempat duduk mereka, bergerak leluasa dan berfikir keras (moving about dan thinking aloud).

Untuk bisa mempelajari sesuatu dengan baik, kita perlu mendengar, melihat, mengajukan pertanyaan tentangnya, dan membahasnya dengan orang lain. Bukan Cuma itu, siswa perlu “mengerjakannya”, yakni menggambarkan sesuatu dengan cara mereka sendiri, menunjukkan contohnya, mencoba

mempraktekkan keterampilan, dan

mengerjakan tugas yang menuntut

pengetahuan yang telah atau harus mereka dapatkan.

Setiap akan mengajar, guru perlu membuat

persiapan mengajar dalam rangka

melaksanakan sebagian dari rencana bulanan dan rencana tahunan. Dalam persiapan itu sudah terkandung tentang, tujuan mengajar, pokok yang akan diajarkan, metode mengajar, bahan pelajaran, alat peraga dan teknik evaluasi yang digunakan. Karena itu setiap guru harus memahami benar tentang tujuan mengajar, secara khusus memilih dan menentukan metode mengajar sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, cara memilih, menentukan dan menggunakan alat peraga, cara membuat tes dan menggunakannya, dan pengetahuan tentang alat-alat evaluasi.

Sementara itu teknologi pembelajaran adalah salah satu dari aspek tersebut yang cenderung diabaikan oleh beberapa pelaku pendidikan, terutama bagi mereka yang menganggap bahwa sumber daya manusia

pendidikan, sarana dan prasarana

pendidikanlah yang terpenting. Padahal kalau dikaji lebih lanjut, setiap pembelajaran pada semua tingkat pendidikan baik formal maupun non formal apalagi tingkat Sekolah Dasar,

haruslah berpusat pada kebutuhan

perkembangan anak sebagai calon individu yang unik, sebagai makhluk sosial, dan sebagai calon manusia seutuhnya.

Hal tersebut dapat dicapai apabila dalam aktivitas belajar mengajar, guru senantiasa memanfaatkan teknologi pembelajaran yang mengacu pada pembelajaran struktural dalam penyampaian materi dan mudah diserap peserta didik atau siswa berbeda.

(3)

Khusunya dalam pembelajaran IPS Tematik, agar siswa dapat memahami materi yang disampaikan guru dengan baik, maka proses pembelajaran kontektual, guru akan

memulai membuka pelajaran dengan

menyampaikan kata kunci, tujuan yang ingin dicapai, baru memaparkan isi dan diakhiri dengan memberikan soal-soal kepada siswa.

Dengan menyadari gejala-gejala atau kenyataan tersebut diatas, maka dalam penelitian ini penulis mengambil judul “Meningkatkan Prestasi Belajar IPS Tematik Tema Peristiwa Melalui Metode Pengajaran Berbasis Tugas/proyek Pada Siswa Kelas II SDN 2 Tantaringin Tahun Pelajaran 2015/2016”.

Bertitik tolak dari latar belakang diatas maka penulis merumuskan permasalahnnya sebagi berikut: (1) Bagaimanakah peningkatan prestasi belajar IPS Tematik Tema Peristiwa dengan diterapkannya Metode pengajaran berbasis tugas/proyek pada siswa Kelas II SDN 2 Tantaringin Tahun Pelajaran 2015/2016?

(2) Bagaimanakah pengaruh Metode

pengajaran berbasis tugas/proyek terhadap motivasi belajar IPS Tematik Tema Peristiwa pada siswa Kelas II SDN 2 Tantaringin Tahun Pelajaran 2015/2016?

Sesuai dengan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui peningkatan prestasi belajar IPS Tematik Tema Peristiwa setelah diterapkannya Metode pengajaran berbasis tugas/proyek pada siswa Kelas II SDN 2 Tantaringin Tahun Pelajaran 2015/2016. (2) Mengetahui pengaruh motivasi belajar IPS Tematik Tema Peristiwa setelah diterapkan Metode pengajaran berbasis tugas/proyek pada siswa Kelas II SDN 2 Tantaringin Tahun Pelajaran 2015/2016.

Berdasarkan pada permasalahan dalam penelitian tindakan yang berjudul “Meningkatkan Prestasi Belajar IPS Tematik Tema Peristiwa Melalui Metode Pengajaran Berbasis Tugas/proyek Pada siswa Kelas II SDN 2 Tantaringin Tahun Pelajaran 2015/2016?” yang dilakukan oleh peneliti, dapat dirumuskan hipotesis tindakan sebagai berikut:

"Jika Proses Belajar Mengajar siswa Kelas II menggunakan metode pengajaran berbasis tugas/proyek dalam menyampaikan materi

pembelajaran, maka dimungkinkan minat belajar dan hasil belajar siswa Kelas II akan lebih baik dibandingkan dengan proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru sebelumnya".

Adapun maksud penulis mengadakan penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai: (1) Siswa, yaitu menambah pengetahuan dan wawasan penulis tentang

peranan guru IPS Tematik dalam

meningkatkan pemahaman siswa belajar pengetahuan sosial. (2) Guru, yaitu sumbangan pemikiran bagi guru IPS Tematik dalam mengajar dan meningkatkan pemahaman siswa belajar IPS Tematik Tema Peristiwa di siswa Kelas II SDN 2 Tantaringin Tahun Pelajaran 2015/2016. (3) Dinas Pendidikan, yaitu sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan pertimbangan dalam peningkatan pendidikan yang berhubungan dengan peningkatkan pemahaman siswa belajar IPS Tematik di siswa Kelas II SDN 2 Tantaringin Tahun Pelajaran 2015/2016.

Agar tidak terjadi salah persepsi terhadap judul penelitian ini, maka perlu didefinisikan hal-hal sebagai berikut: (1) Metode pengajaran berbasis tugas/proyek adalah pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna. Siswa mengembangkan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting dalam konteks kehidupan nyata. (2) Motivasi belajar adalah suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan, atau keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. (3) Prestasi belajar adalah hasil belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau dalam bentuk skor, setelah siswa mengikuti pelajaran.

Karena keterbatasan waktu, maka diperlukan pembatasan masalah yang meliputi: (1) Penelitian ini hanya dikenakan pada siswa Kelas II SDN 2 Tantaringin Tahun Pelajaran 2015/2016. (2) Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Mei semester genap tahun ajaran 2015/2016. (3) Materi yang disampaikan adalah pokok bahasan Tema Peristiwa.

(4)

Kajian Pustaka

Memperkenalkan Belajar Aktif

Lebih dari 2400 tahun silam, Konfusius menyatakan:

Yang saya dengar, saya lupa. Yang saya lihat, saya ingat. Yang saya kerjakan, saya pahami.

Tiga pertanyaan sederhana ini berbicara hanya tentang perlunya metode belajar aktif.

Yang saya dengar, saya lupa.

Yang saya dengar dan lihat, saya sedikit ingat.

Yang saya dengar, lihat, dan pertanyakan atau diskusikan dengan orang lain, saya mulai pahami. Dari yang saya dengar, lihat, bahas dan terapkan, saya dapatkan pengetahuan dan keterampilan. Yang saya ajarkan kepada orang lain, saya kuasai (Siberman, 2003).

Ada sejumlah alasan mengapa sebagian besar orang cenderung lupa tentang apa yang mereka dengar. Salah satu alasan yang paling menarik ada kaitannya dengan tingkat kecepatan bicara guru dan tingkat kecepatan pendengaran siswa.

Pada umumnya guru berbicara dengan kecepatan 100 hingga 200 kata permenit. Tetapi beberapa kata-kata yang dapat ditangkap siswa dalam per menitnya? Ini tentunya juga bergantung pada cara mereka mendengarkannya. Jika siswa benar-benar berkonsentrasi, mereka akan dapat mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap 50 sampai 100 kata per menit, atau setengah dari apa yang dikatakan guru. Itu karena siswa juga berpikir banyak selama mereka mendengarkan. Akan sulit menyimak guru yang bicaranya nyerocos. Besar kemungkinan, siswa tidak bisa konsentrasi karena, sekalipun materinya menarik, berskonsentrasi dalam waktu yang lama memang bukan perkara mudah. Penelitian

menunjukkan bahwa siswa mampu

mendengarkan (tanpa memikirkan) denga kecepatan 400 hingga 500 kata per menit.

Ketika mendengarkan dalam waktu

berkepanjangan terhadap seorang guru yang berbicara lambat, siswa cenderung menjadi jenuh, dan pikiran mereka mengembara entah ke mana.

Bahkan, sebuah penelitian menunjukkan bahwa dalam suatu perkualiahan bergaya-ceramah, mahasiswa kurang menaruh perhatian selama 40% dari seluruh waktu kuliah. Mahasiswa dapat mengingat 70 persen dalam sepuluh menit pertama kuliah, sedangkan dalam sepuluh menit terakhir, mereka hanya dapat mengingat 20% materi kuliah mereka. Tidak heran bila siswa dalam belajar psikologi yang disampaikan dengan gaya ceramah hanya mengetahui 8% lebih banyak dari kelompok pembanding yang sama sekali belum pernah mengikuti kuliah itu. Bayangkan apa yang bisa didapatkan dari pemberian kuliah dengan cara seperti itu di perguruan tinggi.

Dua figur terkenal dalam gerakan kooperatif, David dan Roger Jonson, bersama Karl Smith, mengemukakan beberapa persoalan berkenaan dengan perkuliahan yang berkepanjangan (Johnson, Johnson & Smith, 2001). (1) Perhatian mahasiswa menurun seiring berlalunya waktu. (2) Cara kuliah macam ini hanya menarik bagi peserta didik auditori. (3) Cara ini cenderung mengakibatkan kurangnya proses belajar mengajar tentang informasi faktual. (4) Cara ini

mengasumsikan bahwa mahasiswa

memerlukan informasi yang sama dengan langkah penyampaian yang sama dengan langkah penyampaian yang sama pula. (5) Mahasiswa cenderung tidak menyukainya.

Dengan menambahkan media visual pada pemberian pelajaran, ingatan akan meningkat dari 14 hingga 38 persen. Penelitian juga menunjukkanadanya peningkatan hingga 200 persen ketika digunakan media visual dalam mengajarkan kosa kata. Tidak hanya itu, waktu yang diperlukan untuk menyajikan sebuah konsep dapat berkurang hingga 40 persen ketika media visual digunakan untuk mendukung presentasi lisan. Sebuah gambar barangkali tidak memiliki ribuan kata, namun ia tiga kali lebih efektif ketimbang kata-kata saja.

Ketika pengajaran memiliki dimensi auditori dan visual, pesan yang diberikan akan menjadi lebih kuat berkat kedua system penyampaian itu. Juga, sebagian siswa, seperti akan kita bahas nanti. Lebih menyukai satu cara penyampaian ketimbang cara yang lain.

(5)

Dengan menggunakan keduanya, kita memiliki peluang yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan dari beberapa tipe siswa. Namum demikian belajar tidaklah cukup hanya dengan mendengarkan atau melihat sesuatu.

Bagaimanakah Otak Bekerja

Otak kita tidak bekerja seperti piranti audio atau video tape recorder. Informasi yang masuk akan secara kontinyu dipertanyakan. Otak kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti ini.

Pernahkan saya mendengar atau melihat informasi ini sebelumnya?

Di bagian manakah informasi itu cocok? Apa yang bisa saya lakukan terhadapnya?

Dapatkah saya asumsikan bahwa ini merupakan gagasan yang sama yang saya dapatkan kemarin atau bulan lalu atau tahun lalu?

Otak tidak sekedar menerima informasi, ia mengolah. Untuk mengolah informsi secara efektif, ia akn terbantu dengan melakukan perenungan semacam itu secara eksternal juga internal. Otak kita akan melakukan tugas proses belajar yang lebih baik jiak kita membahas informasi dengan orang lain dan jika kita diminta mengajukan pertanyaan tentang itu. Sebagai contoh, meminta siswa untuk berdiskusi dengan teman sebangkunya tentang apa yang dijelaskan oleh guru pada beberapa jeda waktu yang disediakan selama pelajaran berlangsung. Dibandingkan dengan siswa dalam kelas pembanding yang tidak diselingi diskusi, siswa-siswi ini mendapatkan nilai dengan selisih dua angka lebih tinggi.

Akan lebih baik lagi jika kita dapat melakukan sesuatu terhadap informasi itu, dan dengan demikian kita bisa mendapat umpan balik tentang seberapa bagus pemahaman kita. Menurut John Holt (2007), proses belajar akan meningkat jika siswa diminta untuk melakukan berikut ini. (1) Mengemukakan kembali informasi dengan kata-kata mereka sendiri. (2) Memberikan contohnya. (3) Mengenalinya dalam bermacam-macam bentuk dan situasi. (4) Melihat kaitan antara informasi itu dengan fakta atau gagasan lain. (5) Menggunakannya dengan beragam cara. (6) Memprekdisikan sejumlah konsekuensinya. (7) Menyebutkan lawan atau kebalikannya.

Dalam banyak hal, otak tidak begitu berbeda dengan sebuah computer, dan kita adalah pemakainya. Sebuah computer terntunya perlu di-“on“-kan untuk bisa digunakan. Otak kita juga demikian. Ketika kegiatan belajar sifatnya pasif, otak kita tidak “on”. Sebuah computer membutuhkan

software yang tepat untuk

menginterpretasikan data yang diasumsikan. Otak kita perlu mengaitkan antara apa yang dimasukkan. Otak kita perlu mengaitkan antara apa yang diajarkan kepada kita dengan apa yang telah kita ketahui dan dengan cara kita berpikir. Ketika proses belajar sifatnya pasif, otak tidak melakukan pengkaitan ini dengan software pikiran kita. Ujung-ujungnya, computer tidak dapat mengakses kembali informasi yang dia olah bila tidak terlebih dahulu “disimpan”. Otak kita perlu menguji informasi, mengikhtisarkannya, atau menjelaskan kepada orang lain untuk dapat menyimpannya dalam bank ingatannya. Ketika proses belajar bersifat pasif, otak tidak menyimpan apa yang telah disajikan kepadanya.

Apa yang terjadi ketika guru menjejali siswa dengan pemikiran mereka sendiri (betapapun meyakinkan dan tertatanya pemikitan mereka) atau ketika guru terlalu sering menggunakan penjelasan dan pemeragaan (demonstrasi) yang disertai ungkapan, “begini lho caranya”? Menuangkan fakta dan konsep ke dalam benak siswa dan menunjukan keterampilan dan prosedur dengan cara yang kelewat menguasai justru akan mengganggu proses belajar. Cara menyajikan informasi akan menimbulkan kesan langsung di otak, namun tanpa memori fotografis, siswa tidak akan mendapatkan banyak hal baik dalam waktu lama maupun sebentar.

Tentu saja, proses belajar sesungguhnya bukanlah semata kegiatan menghafal. Banyak hal yang kita ingat akan hilang dalam beberapa jam. Memperlajari bukanlah menelan semuanya. Untuk mengingat apa yang telah diajarkan, siswa harus mengolahnya atau memahaminya. Seorang guru tidak dapat dengan serta merta menuangkan sesuatu ke dalam benak para siswanya, mereka dengar dan lihat menjadi satu kesatuan yang bermana.

(6)

Tanpa peluang untuk mendiskusikan, mengajukan pertanyaan, mempraktekan, dan barangkali bahkan mengajarkannya kepada siwa yang lain, proses belajar yang sesungguhnya tidak akan terjadi.

Lebih lanjut, belajar bukanlah kegiatan sekali tembak. Proses belajar berlangsung secara bergelombang. Belajar memerlukan kedekatan dengan materi yang hendak dipelajari, jauh sebelum bisa memahaminya. Belajar juga memerlukan kedekatan dengan berbagai macam hal, bukan sekedar pengulangan atau hafalan. Sebagi contoh, pelajaran IPS Tematik bisa diajarkan dengan media yang konkret, melalui buku-buku latihan, dan dengan mempraktekan dalam kegiatan sehari-hari. Masing-masing cara dalam menyajikan konsep akan menentukan pemahaman siswa. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana kedekatan itu berlangsung. Jika ini terjadi pada peserta didik, dia akan merasakan sedikit keterlibatan mental. Ketika kegiatan belajar sifatnya pasif, siswa mengikuti pelajaran tanpa rasa keingintahuan, tanpa mengajukan pertanyaan, dan tanpa minat terhadap hasilnya (kecuali, barangkali, nilai yang akan dia peroleh). Ketika kegiatan belajar sifat aktif, siswa akan mengupayakan sesuatu. Dia menginginkan jawaban atas sebuah pertanyaan, membutuhkan informasi untuk memecahkan masalah, atau mencari cara untuk mengerjakan tugas.

Gaya Belajar

Kalangan pendidik telah menyadari bahwa peserta didik memiliki bermacam cara belajar. Sebagian siswa bisa belajar dengan sangat baik

hanya dengan melihat orang lain

melakukannya. Biasanya, mereka ini menyukai penyajian informasi yang runtut. Mereka lebih suka menuliskan apa yang dikatakan guru. Selama pelajaran, mereka biasanya diam dan jarang terganggu oleh kebisingan. Perserta didik visual ini berbeda dengan peserta didik auditori, yang biasanya tidak sungkan-sungkan untuk memperhatikan apa yang dikerjakan oleh guru, dan membuat catatan. Mereka menggunakan kemampuan untuk mendengar dan mengingat. Selama pelajaran, mereka mungkin banyak bicara dan mudah teralihkan perhatiannya oleh suara atau kebisingan.

Peserta didik kinestetik belajar terutama dengan terlibat langsung dalam kegiatan. Mereka cenderung impulsive, semau gue, dan kurang sabaran. Selama pelajaran, mereka mungkin saja gelisah bila tidak bisa leluasa bergerak dan mengerjakan sesuatu. Cara mereka belajar boleh jadi tampak sembarangan dan tida karuan.

Tentu saja, hanya ada sedikit siswa yang mutlak memiliki satu jenis cara belajar. Grinder (2001) menyatakan bahwa dari setiap 30 siswa, 22 diantaranya rata-rata dapat belajar dengan efektif selama gurunya mengahadirkan kegaitan belajar yang berkombinasi antara visual, auditori dan kinestik. Namun, 8 siswa siswanya sedemikan menyukai salah satu bentuk pengajaran dibanding dua lainnya. Sehingga mereka mesti berupaya keras untuk memahami pelajaran bila tidak ada kecermatan dalam menyajikan pelajaran sesuai dengan ara yang mereka sukai. Guna memenuhi kebutuhan ini, pengajaran harus bersifat mulitsensori dan penuh dengan variasi.

Kalangan pendidikan juga mencermati adanya perubahan cara belajar siswa. Selama lima belas tahun terakhir, Schroeder dan koleganya (2003) telah menerapkan indikator tipe Myer-Briggs (MBTI) kepada mahasiswa baru. MBTI merupakan salah satu instrument yang paling banyak digunakan dalam dunia pendidikan dan untuk memahami fungsi perbedaan individu dalam proses belajar. Hasilnya menunjukkan sekitar 60 persen dari mahasiswa yang masuk memiliki orientasi praktis ketimbang teoritis terhadap pembelajaran, dan persentase itu bertambah setiap tahunnya. Mahasiswa lebih suka terlibat dalam pengalaman langsung dan konkret daripada mempelajari konsep-konsep dasar terlebih dahulu dan baru kemudian menerapkannya. Penelitain MBTI lainnya, jelas Schroeder, menunjukkan bahwa siswa sekolah menengah lebih suka kegiatan belajar yang benar-benar aktif dari pada kegiatan yang reflektif abstrak, dengan rasio lima banding satu. Dari semua ini, dia menyimpulkan bahwa cara belajar dan mengajar aktif sangat sesuai dengan siswa masa kini. Agar bisa efektif, guru harus menggunakan yang berikut ini: diskusi dan proyek kelompok kecil, presentasi dan

(7)

debat, dalam kelas, latihan melalui pengalaman, pengalaman lapangan, simulasi, dan studi kasus. Secara khusus Schroeder menekankan bahwa siswa masa kini “bisa beradaptasi dengan baik terhadap kegiatan kelompok dan belajar bersama.”

Temuan-temuan ini dapat dianggap tidak mengejutkan bila kita mempertimbangkan secepatnya laju kehidupan modern. Dimasa kini siswa dibesarkan dalam dunia yang segala sesuatunya berjalan dengan cepat dan banyak pilihan yang tersedia. Suara-suara terdengar begitu menghentak merdu, dan warna-warna terlihat begitu semarak dan menarik. Obyek, baik yang nyata maupun yang maya, bergerak cepat. Peluang untuk mengubah segala sesuatu dari satu kondisi ke kondisi lain terbuka sangat luas.

Sisi Sosial Proses Belajar

Karena siswa masa kini menghadapi dunia di mana terdapat pengetahuan yang luas, perubahan pesat, dan ketidakpastian, mereka bisa mengalami kegelisahan dan bersikap defensif. Abraham Maslow mengajarkan kepada kita bahwa manusia memiliki dua kumpulan kekuatan atau kebutuhan yang satu berupaya untuk tumbuh dan yang lain condong kepada keamanan. Orang yang dihadapkan pada kedua kebutuhan ini akan memiliki

keamanan ketimbang pertumbuhan.

Kebutuhan akan rasa aman harus dipenuhi sebelum bisa sepenuhnya kebutuhan untuk mencapai sesuatu mengambil resiko, dan menggali hal-hal baru. Pertumbuhan berjalan dengan langkah-langkah kecul, menurut Maslow, dan “tiap langkah maju hanya dimungkin akan bila ada rasa aman, yang mana ini merupakan langkah ke depan dari suasana rumah yang aman menuju wilayah yang belum diketahui” (Maslow, 2008).

Salah satu cara utama untuk mendapatkan rasa aman adalah menjalin hubungan dengan orang lain dan menjadi bagian dari kelompok. Perasaan saling memiliki ini memungkinkan siswa untuk menghadapi tantangan. Ketika mereka belajar bersama teman, bukannya sendirian, mereka mendapatkan dukungan

emosional dan intelektual yang

memungkinkan mereka melampaui ambang

pengetahuan dan ketermapilan mereka yang sekarang.

Jerome Bruner membahas sisi sosial proses belajar dan buku klasiknya, Toward a Theory of Instruction. Dia menjelaskan tentang “kebutuhan mendalam manusia untuk merespon orang lain dan untuk bekerjasama dengan mereka guna mencapai tujuan,” yang mana hal ini dia sebut resiprositas (hubungan timbal balik). Bruner berpendapat bahwa resiprositas merupakan sumber motivasi yang bisa dimanfaatkan oleh guru sebagai berikut, “Di mana dibutuhkan tindakan bersama, dan di mana resiprositas diperlukan bagi kelompok untuk mencapai suatu tujuan, disitulah terdapat proses yang membawa individu ke dalam pembelajaran membimbingnya untuk mendapatkan kemampuan yang diperlukan dalam pembentukan kelompok.

Konsep-konsepnya Maslow dan Bruner melgurusi perkembangan metode belajar kolaboratif yng sedemikian popular dalam lingkup pendidikan masa kini. Menempatkan siswa dalam kelompok dan memberi mereka tugas yang menuntut untuk bergantung satu sama lain dalam mengerjakannya merupakan cara yang bagus untuk memanfaatkan kebutuhan sosial siswa. Mereka menjadi cenderung lebih telibat dalam kegiatan belajar karena mereka mengerjakannya bersama teman-teman. Begitu terlibat, mereka juga langsung memiliki kebutuhan untuk membicarakan apa yang mereka alami bersama teman, yang mengarah kepada hubungan-hubungan lebih lanjut.

Kegiatan belajar bersama dapat membantu memacu belajar aktif. Kegiatan belajar dan mengajar di kelas memang dapat menstimulasi belajar aktif dengan cara khusus. Apa yang didiskusikan siswa dengan teman-temannya dan apa yang diajarkan siswa kepada teman-temannya memungkinkan mereka untuk memperoleh pemahaman dan penguasaan materi pelajaran. Metode belajar bersama yang terbaik, semisal pelajaran menyusun gambar (jigsaw), memenuhi persyaratan ini. Pemberian tugas yang berbeda kepada siswa akan mendorong mereka untuk tidak hanya belajar bersama, namun juga mengajarkan satu sama lain.

(8)

Pengajaran Berbasis Tugas/Proyek

Pengajaran berbasis proyek/tugas terstruktur (Project-Based Learning) membutuhkan suatu pendekatan pengajaran komprehensif di mana lingkungan belajar siswa disain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah-masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan tugas bermana lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri dalam mengkostruksikannya dalam produk nyata (Buck Institue for Eduction, 2001).

Siswa diberikan tugas/proyek yang

kompleks, sulit, lengkap, tetapi

realistis/autentik dan kemudian diberikan bantuan secekupnya agar mereka dapat menyelesaikan tugas mereka (bukan diajar sedikit demi sedikit komponen-komponen suatu tugas kompleks yang padu suatu diharapkan akan terwujud menjadi suatu kemampuan untuk menyelesaikan tugas kompleks tersebut). Prinsip ini digunakan untuk menunjang pemberian tugas kompleks di kelas seperti proyek, simulasi, penyelidikan masyarakat, menulis untuk disajikan kepada forum pendengar yang sesungguhnya, dan tugas-tugas autentik lainnya. Istilah situated learning (Prawat, 2002) digunakan untuk menggambarkan pembelajaran yang terjadi di dalam kehidupan nyata, tugas-tugas outentik/asli yang sebenarnya.

Tidak memandang apakah suatu tugas harus dikerjakan sebagai pekerjaan kelas atau sebagai pekerjaan rumah, empat prinsip berikut ini akan membantu siswa dalam perjalanan mereka menjadi pembelajar mandiri yang efektif.

Pertama, membuat tugas bermakna, jelas, dan menantang. Salah satu tantangan paling sukar yang dihadapi guru pada saat mereka menggunakan pekerjaan kelas atau pekerjaan rumah adalah menjaga siswa tetap terlibat. Pada saat bekerja sendiri, sangat mudah bagi sisa untuk kehilangan minat dan melalukan tindakan yang tidak relevan, khususnya apabila tugas-tugas itu rutin.

Kebanyakan guru setuju bahwa tugas pekerjaan kelas dan pekerjaan rumah mandiri yang dapat mempertahankan keterlibatan

siswa memiliki tujuan yang jelas. Siswa perlu mengetahui dengan tepat apa yang mereka harus kerjakan, mengapa mereka mengerjakan pekerjaan itu, dan apa yang dibutuhkan untuk menyelsaikan pekerjaan itu. Siswa-siswa itu tetap berada dalam tugas selama pekerjaan kelas dan menyelesaikan pekerjaan rumah apabila mereka menyikapi tugas-tugas tersebut secar bermakna

Linda Anderson (2005) menunjukan bahwa guru jarang menaruh perhatian pada tujuan pekerjaan kelas atau strategi-strategi belajar yang telibat. Sebaliknya, guru menekankan pada arahan-arahan procedural. Sebagai contoh guru dapat menghabiskan waktu banyak menjelaskan kepada siswa di mana menulis nama di kertas atau bagaimana menyusun jawaban-jawabannya. Sementara petunjuk-petunjuk tentang “apa yang dilakukan” adalah penting guru tidak menyertakan penjelasan tentang “mengapa” sesuatu harus dikerjakan dan proses-proses pembelajaran yang terlibat. Sebelum memberikan suatu tugas, guru hendaknya mempertimbangkan cirri penting itu secara seksama dan kemudian menyediakan waktu cukup untuk menjelaskan cirri penting itu kepada siswa.

Kedua, menganekaragamkan tugas-tugas. Sama dengan kehidupan pada umumnya, keanekaragaman menambah daya tarik tugas pekerjaan kelas dan pekerjaan rumah.siswa kemungkinan besar tetap terlibata dan mengerjakan pekerjaan mereka jika tugas-tugas lebih bervariasi dan menarik daripada rutin dan monoton. Guru yang efektif mengubah panjang dan cara tugas yang diberikan di samping hakikat tugas beljar dan strategi-strategi kognitif yang telibat. Membaca di dalam hati, laporan proyek-proyek khusus, dan bahan-bahan multimedia menawarkn berbagai macam cara untuk menyelesaikan pekerjaan mandiri. Pilihan kemungkinan tidak terbatas dan tidak akan alasan bagi guru untuk membuat jenis tugas yang sama dari hari ke hari.

Ketiga, menaruh perhatian pada tingkat kesulitan. Menetapkan tingkat kesulitan yang cocok atas tugas-tugas yang diberikan kepada siswa merupakan suatu bahan baku penting untuk keterlibatan berkelanjutan yang

(9)

dibutuhkan untuk penyelesaian tugas-tugas tersebut. Apabila siswa diharapkan untuk bekerja secara mandiri, tugas tesebut sehrusnya memiliki tingkat kesulitan yang menjamin kemungkinan berhasil tinggi. Siswa tidak akan tertantang ketika tugas-tugas yang diberikan guru terlalu mudah. Mereka menyikapi tugas-tugas seperti sebagai pekerjaan yang tidak menantang. Pada umumnya tugas yang baik perlu memiliki tingkat kesulitan cukup sehingga kebanyakan siswa memandangnya sebagai sesuatu yang menantang, namun cukup mudah sehingga

kebanyakan siswa akan menemukan

pemecahannya dan mengerjakan tugas tersebut atas jerih payah sendiri.

Keempat, memonitor kemajuan siswa. Akhirnya, merupakan hal penting bagi guru untuk memonitor tugas-tugas pekerjaan kelas dan pekerjaan rumah. Monitoring hendaknya meliputi pengecekan untuk mengetahui apakah siswa memahami tugas mereka dan proses-proses kognitif yang telibat. Monitoring ini juga termasuk pengecekan pekerjaan siswa dan mengembalikan tugas dengan umpan balik. Pada saat beberapa siswa diberikan pekerjaan kelas, maka guru dapat bekerja dengan siswa lain dianjurkan agar guru menyediakan waktu 5 atau 10 menit untuk berkeliling di antara siswa yang bekerja untuk memastikan apakah mereka memahami tugas tersebut sebelum menangani siswa-siswa lain. Apabila siswa bekerja dalam kelompok-kelompok, maka guru hendaknya berada dalam

kelompok-kelompok tersebut secara

bergantian dan berkeliling di antara siswa yang bekerja secara mandiri. Meskipun mengoreksi tugas menghabiskan waktu, hendaknya guru mengoreksi pekerjaan yang dibuat siswa dan mengembalikan kepada mereka dengan umpan balik.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan (action research), karena penelitian dilakukan untuk memecahkan masalah pembelajaran di kelas. Penelitian ini juga termasuk penelitian deskriptif, sebab menggambarkan bagaimana suatu teknik

pembelajaran diterapkan dan bagaimana hasil yang diinginkan dapat dicapai.

Menurut Oja dan Sumarjan

mengelompokkan penelitian tindakan menjadi empat macam yaitu, (a) guru sebagai penelitia; (b) penelitian tindakan kolaboratif; (c) simultan terintegratif; (d) administrasi social eksperimental (Sugiarti, 2007).

Dalam penelitian tindakan ini

menggunakan bentuk guru sebagai peneliti, penanggung jawab penuh penelitian ini adalah guru. Tujuan utama dari penelitian tindakan ini

adalah untuk meningkatkan hasil

pembelajaran di kelas dimana guru secara penuh terlibat dalam penelitian mulai dari perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi.

Dalam penelitian ini peneliti tidak bekerjasama dengan siapapun, kehadiran peneliti sebagai guru di kelas sebagai pengajar tetap dan dilakukan seperti biasa, sehingga siswa tidak tahu kalau diteliti. Dengan cara ini diharapkan didapatkan data yang subjektif mungkin demi kevalidan data yang diperlukan.

Tempat penelitian adalah tempat yang digunakan dalam melakukan penelitian untuk memperoleh data yang diinginkan. Penelitian ini bertempat di Kelas II SDN 2 Tantaringin Tahun Pelajaran 2015/2016.

Waktu penelitian adalah waktu

berlangsungnya penelitian atau saat penelitian ini dilangsungkan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Bulan April tahun pelajaran 2015/2016.

Subyek penelitian adalah siswa-siswi Kelas II SDN 2 Tantaringin Tahun Pelajaran 2015/2016 pada Tema Peristiwa.

Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan mereka dalam melaksanakan tugas,

memperdalam pemahaman terhadap

tindakan-tindakan yang dilakukan itu, serta memperbaiki kondisi dimana praktek pembelajaran tersebut dilakukan (Mukhlis, 2000).

Sedangkah menurut Mukhlis (2000) PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat sistematis reflektif oleh pelaku tindakan untuk

(10)

memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan.

Adapun tujuan utama dari PTK adalah untuk memperbaiki/meningkatkan pratek pembelajaran secara berkesinambungan, sedangkan tujuan penyertaannya adalah menumbuhkan budaya meneliti di kalangan guru (Mukhlis, 2000).

Sesuai dengan jenis penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan, maka penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart, yaitu berbentuk spiral dari sklus yang satu ke siklus yang berikutnya (Sugiarti, 2007). Setiap siklus meliputi planning (rencana), action (tindakan), observation (pengamatan), dan reflection (refleksi). Langkah pada siklus berikutnya adalah perncanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Sebelum masuk pada siklus 1 dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi permasalahan.

Rancangan/rencana awal, sebelum mengadakan penelitian peneliti menyusun rumusan masalah, tujuan dan membuat rencana tindakan, termasuk di dalamnya instrumen penelitian dan perangkat pembelajaran.

Kegiatan dan pengamatan, meliputi tindakan yang dilakukan oleh peneliti sebagai upaya membangun pemahaman konsep siswa serta mengamati hasil atau dampak dari diterapkannya metode pembelajaran model tugas/proyek.

Refleksi, peneliti mengkaji, melihat dan mempertimbangkan hasil atau dampak dari tindakan yang dilakukan berdasarkan lembar pengamatan yang diisi oleh pengamat.

Rancangan/rencana yang direvisi, berdasarkan hasil refleksi dari pengamat membuat rancangan yang direvisi untuk dilaksanakan pada siklus berikutnya.

Observasi dibagi dalam dua Siklus setiap siklus terdiri dari dua pertemuan, yaitu Siklus I pertemuan ke 1, Siklus I pertemuan ke 2, Siklus II pertemuan ke 1 dan Siklus II pertemuan ke 2, dimana masing pertemuan dikenai perlakuan yang sama (alur kegiatan yang sama) dan membahas satu sub pokok bahasan yang diakhiri dengan tes formatif di akhir masing-masing pertemuan. Dibuat dalam

dua siklus dimaksudkan untuk memperbaiki sistem pengajaran yang telah dilaksanakan.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: (1) Silabus, yaitu seperangkat rencana dan pengaturan tentang kegiatan pembelajaran pengelolahan kelas, serta penilaian hasil belajar. (2) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), yaitu merupakan perangkat pembelajaran yang digunakan sebagai pedoman guru dalam mengajar dan disusun untuk tiap pertemuan. Masing-masing RPP berisi kompetensi dasar, indikator pencapaian hasil belajar, tujuan pembelajaran, dan kegiatan belajar mengajar. (3) Lembar Kegiatan Siswa, yang dipergunakan siswa untuk membantu proses pengumpulan data hasil kegiatan belajar mengajar.

Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi pengolahan belajar aktif, observasi aktivitas siswa dan guru, dan tes formatif.

Untuk mengetahui keefektivan suatu metode dalam kegiatan pembelajaran perlu diadakan analisa data. Pada penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bersifat menggambarkan kenyataan atau fakta sesuai dengan data yang diperoleh dengan tujuan untuk mengetahui prestasi belajar yang dicapai siswa juga untuk memperoleh respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran serta aktivitas siswa selama proses pembelajaran.

Untuk mengalisis tingkat keberhasilan atau persentase keberhasilan siswa setelah proses belajar mengajar setiap pertemuannya dilakukan dengan cara memberikan evaluasi berupa soal tes tertulis pada setiap akhir pertemuan.

Analisis ini dihitung dengan menggunakan statistik sederhana yaitu:

Untuk menilai ulangan atau tes formatif, peneliti melakukan penjumlahan nilai yang diperoleh siswa, yang selanjutnya dibagi dengan jumlah siswa yang ada di kelas tersebut sehingga diperoleh rata-rata tes formatif dapat dirumuskan:

𝑋̅ =∑ 𝑋 ∑ 𝑁 Dengan: 𝑋̅ = Nilai rata-rata

(11)

∑ 𝑁= Jumlah siswa

Ada dua kategori ketuntasan belajar yaitu secara perorangan dan secara klasikal. Berdasarkan petunju pelaksanaan belajar mengajar kurikulum 2006 yaitu seorang siswa telah tuntas belajar bila telah mencapai skor 65% atau nilai 65, dan kelas disebut tuntas belajar bila di kelas tersebut terdapat 85% yang telah mencapai daya serap lebih dari atau sama dengan 65%. Untuk menghitung persentase ketuntasan belajar digunakan rumus sebagai berikut:

𝑃 =∑ 𝑆𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑢𝑛𝑡𝑎𝑠 𝑏𝑒𝑙𝑎𝑗𝑎𝑟

∑ 𝑆𝑖𝑠𝑤𝑎 × 100%

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Data penelitian yang diperoleh berupa hasil uji coba item butir soal, data observasi berupa pengamatan pengelolaan pembelajaran kontekstual model pengajaran berbasis proyek/tugas dan pengamatan aktivitas siswa dan guru pada akhir pembelajaran, dan data tes formatif siswa pada setiap siklus.

Data tes formatif untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa setelah diterapkan pembelajaran kontekstual model pengajaran berbasis proyek/tugas.

Analisis Data Penelitian Persiklus

Pada tahap perencanaan siklus I pertemuan ke 1 ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran 1, soal tes formatif 1 dan alat-alat pengajaran yang mendukung.

Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus I pertemuan ke 1 dilaksanakan pada tanggal 5 Maret 2016 di Kelas II dengan jumlah siswa 20 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran yang telah dipersiapkan. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksaaan belajar mengajar.

Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif 1 dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan.

Dari data hasil penelitian pada siklus I pertemuan ke 1 dapat dijelaskan bahwa

dengan menerapkan metode pengajaran berbasis proyek/tugas diperoleh nilai rata-rata prestasi belajar siswa adalah 67,50 dan ketuntasan belajar mencapai 45,00% atau ada 9 siswa dari 27 siswa sudah tuntas belajar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada siklus pertama secara klasikal siswa belum tuntas belajar, karena siswa yang memperoleh nilai ≥ 65 hanya sebesar 45,00% lebih kecil dari persentase ketuntasan yang dikehendaki yaitu sebesar 85%. Hal ini disebabkan karena siswa masih merasa baru dan belum mengerti apa yang dimaksudkan dan digunakan guru dengan menerapkan metode pengajaran berbasis proyek/tugas.

Pada tahap perencanaan siklus I pertemuan ke 2 ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran 2, soal tes formatif 2 dan alat-alat pengajaran yang mendukung.

Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus I pertemuan ke 2 dilaksanakan pada tanggal 12 Maret 2016 di Kelas II dengan jumlah siswa 20 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran yang telah dipersiapkan. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksaaan belajar mengajar

Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif 2 dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan.

Dari data hasil penelitian pada siklus I pertemuan ke 2 dapat dijelaskan bahwa dengan menerapkan metode pengajaran berbasis proyek/tugas diperoleh nilai rata-rata prestasi belajar siswa adalah 70,00 dan ketuntasan belajar mencapai 70,00% atau ada 14 siswa dari 20 siswa sudah tuntas belajar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada siklus pertama secara klasikal siswa belum tuntas belajar, karena siswa yang memperoleh nilai ≥ 65 hanya sebesar 70,00% lebih kecil dari persentase ketuntasan yang dikehendaki yaitu sebesar 85%. Hal ini disebabkan karena siswa masih merasa baru dan belum mengerti apa yang dimaksudkan dan digunakan guru dengan menerapkan metode pengajaran berbasis proyek/tugas.

(12)

Pada tahap perencanaan siklus II per-temuan ke 1 ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran 3, soal tes formatif 3 dan alat-alat pengajaran yang mendukung.

Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus II pertemuan ke 1 dilaksanakan pada tanggal 19 Maret 2016 di Kelas II dengan jumlah siswa 20 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran dengan memperhatikan revisi pada siklus I pertemuan ke 2, sehingga kesalahan atau kekurangan pada siklus I pertemuan ke 2 tidak terulang lagi pada siklus II pertemuan ke 1. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar.

Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif 3 dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Instrumen yang digunakan adalah tes formatif 3.

Dari data hasil penelitian pada siklus II pertemuan ke 1 diperoleh nilai rata-rata prestasi belajar siswa adalah 73,50 dan ketuntasan belajar mencapai 85,00% atau ada 17 siswa dari 20 siswa sudah tuntas belajar. Hasil ini menunjukkan bahwa pada siklus II pertemuan ke 1 ini ketuntasan belajar secara klasikal telah mengalami peningkatan sedikit lebih baik dari siklus I pertemuan ke 2. Adanya peningkatan hasil belajr siswa ini karena setelah guru menginformasikan bahwa setiap akhir pelajaran akan selalu diadakan tes sehingga pada pertemuan berikutnya siswa lebih termotivasi untuk belajar. Selain itu siswa juga sudah mulai mengerti apa yang dimaksudkan dan dinginkan guru dengan menerapkan metode pengajaran berbasis proyek/tugas.

Pada tahap perencanaan siklus II per-temuan ke 2 ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran 4, soal tes formatif 4 dan alat-alat pengajaran yang mendukung.

Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus II pertemuan ke 2 dilaksanakan pada tanggal 26 Maret 2016 di Kelas II dengan

jumlah siswa 20 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran dengan memperhatikan revisi pada siklus II pertemuan ke 1, sehingga kesalahan atau kekurangan pada siklus II pertemuan ke 1 tidak terulang lagi pada siklus II pertemuan ke 2. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar.

Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif 4 dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Instrumen yang digunakan adalah tes formatif 3.

Berdasarkan data hasil penelitian pada siklus II pertemuan ke 2 diperoleh nilai rata-rata tes formatif sebesar 81,00 dan dari 20 siswa yang telah tuntas sebanyak 19 siswa dan 1 siswa belum mencapai ketuntasan belajar. Maka secara klasikal ketuntasan belajar yang telah tercapai sebesar 95,00% (termasuk kategori tuntas). Hasil pada siklus II pertemuan ke 2 ini mengalami peningkatan lebih baik dari siklus II pertemuan ke 1. Adanya peningkatan hasil belajar pada siklus II pertemuan ke 2 ini dipengaruhi oleh adanya

peningkatan kemampuan guru dalam

menerapkan belajar aktif sehingga siswa menjadi lebih terbiasa dengan pembelajaran seperti ini sehingga siswa lebih mudah dalam memahami materi yang telah diberikan.

Pada tahap refleksi akan dikaji apa yang telah terlaksana dengan baik maupun yang masih kurang baik dalam proses belajar mengajar dengan penerapan pembelajaran kontekstual model pengajaran berbasis proyek/tugas. Dari data-data yang telah diperoleh dapat duraikan sebagai berikut: (1) Selama proses belajar mengajar guru telah melaksanakan semua pembelajaran dengan baik. Meskipun ada beberapa aspek yang belum sempurna, tetapi persentase pelaksanaannya untuk masing-masing aspek cukup besar. (2) Berdasarkan data hasil pengamatan diketahui bahwa siswa aktif selama proses belajar berlangsung. (3) Kekurangan pada siklus-siklus sebelumnya sudah mengalami perbaikan dan peningkatan sehingga menjadi lebih baik. (4) Hasil belajar

(13)

siswa pada siklus II pertemuan ke 2 mencapai ketuntasan.

Pada siklus II pertemuan ke 2 guru telah menerapkan pembelajaran kontekstual model pengajaran berbasis proyek/tugas dengan baik dan dilihat dari aktivitas siswa serta hasil belajar siswa pelaksanaan proses belajar mengajar sudah berjalan dengan baik. Maka tidak diperlukan revisi terlalu banyak, tetapi yang perlu diperhatikan untuk tindakah selanjutnya adalah memaksimalkan dan mempertahankan apa yang telah ada dengan tujuan agar pada pelaksanaan proses belajar mengajar selanjutnya penerapan pembelajaran kontekstual model pengajaran berbasis proyek/tugas dapat meningkatkan proses

belajar mengajar sehingga tujuan

pembelajaran dapat tercapai.

Pembahasan

Melalui hasil peneilitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran kontekstual model pengajaran berbasis proyek/tugas memiliki dampak positif dalam meningkatkan daya ingat siswa. Hal ini dapat dilihat dari semakin mantapnya pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi yang telah disampaikan guru selama ini (ketuntasan belajar meningkat dari sklus I pertemuan ke 1, siklus I pertemuan ke 2, Siklus II pertemuan ke 1, dan II pertemuan ke 2) yaitu masing-masing 45,00%, 70,00%, 85,00%, dan 95,00%. Pada siklus II pertemuan ke 2 ketuntasan belajar siswa secara klasikal telah tercapai.

Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas siswa dalam proses pembelajaran kontekstual model pengajaran berbasis proyek/tugas dalam setiap siklus mengalami peningkatan. Hal ini berdampak positif terhadap proses mengingat kembali materi pelajaran yang telah diterima selama ini, yaitu dapat ditunjukkan dengan meningkatnya nilai rata-rata siswa pada setiap siklus yang terus mengalami peningkatan.

Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas siswa dalam proses pembelajaran IPS Tematik dengan pembelajaran kontekstual model pengajaran berbasis proyek/tugas yang paling dominan adalah bekerja dengan

menggunakan alat/media,

mendengarkan/memperhatikan penjelasan

guru, dan diskusi antar siswa/antara siswa dengan guru. Jadi dapat dikatakan bahwa aktivitas isiwa dapat dikategorikan aktif.

Sedangkan untuk aktivitas guru selama pembelajaran telah melaksanakan langkah-langkah pembelajaran kontekstual model pengajaran berbasis proyek/tugas dengan baik. Hal ini terlihat dari aktivitas guru yang muncul di antaranya aktivitas membimbing dan mengamati siswa dalam mengerjakan kegiatan, menjelaskan materi yang tidak dimengerti oleh siswa, memberi umpan balik/evaluasi/tanya jawab dimana prosentase untuk aktivitas di atas cukup besar.

Kesimpulan dan Saran

Dari hasil kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan selama dua siklus, dan berdasarkan seluruh pembahasan serta analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Pembelajaran model pengajaran berbasis proyek/tugas memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa yang ditandai dengan peningkatan ketuntasan belajar siswa dalam setiap siklus, yaitu siklus I peremuan ke 1 (45,00%), Siklus I pertemuan ke 2 (70,00%), siklus II pertemuan ke 1 (85,00%), dan siklus II pertemuan ke 2 (95,00%). (2) Penerapan pembelajaran model pengajaran berbasis proyek/tugas mempunyai pengaruh positif, yaitu dapat meningkatkan motivasi belajar siswa untuk mempelajari kembali materi pelajaran yang telah diterima selama ini yang ditunjukan dengan rata-rata jawaban siswa yang menyatakan bahwa siswa tertarik

dan berminat dengan pembelajaran

kontekstual model pengajaran berbasis proyek/tugas sehingga mereka menjadi termotivasi untuk belajar. (3) Pembelajaran model pengajaran berbasis proyek/tugas memiliki dampak positif terhadap daya ingat siswa, dimana dengan metode ini siswa dipaksa untuk mengingat kembali materi palajaran yang telah diterima selama ini.

Dari hasil penelitian yang diperoleh dari uraian sebelumnya agar proses belajar mengajar IPS Tematik lebih efektif dan lebih memberikan hasil yang optimal bagi siswa, makan disampaikan saran sebagai berikut: (1)

Untuk melaksanakan pembelajaran

(14)

proyek/tugas memerlukan persiapan yang cukup matang, sehingga guru harus mempu menentukan atau memilih topik yang benar-benar bisa diterapkan dengan pembelajaran kontekstual model pengajaran berbasis proyek/tugas dalam proses belajar mengajar sehingga diperoleh hasil yang optimal. (2) Dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa, guru hendaknya lebih sering melatih siswa dengan berbagai metode pengajaran yang sesuai, walau dalam taraf yang sederhana, dimana siswa nantinya dapat menemuan pengetahuan baru, memperoleh konsep dan keterampilan, sehingga siswa berhasil atau mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. (3) Perlu adanya penelitian yang lebih lanjut, karena hasil penelitian ini hanya dilakukan di Kelas II SDN 2 Tantaringin tahun pelajaran 2015/2016.

Referensi

Ali, M. (2006). Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindon.

Arikunto, S. (2009). Manajemen Mengajar Secara Manusiawi. Jakarta: Rineksa Cipta.

Arikunto, S. (2009). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineksa Cipta.

Dalle, J. (2017). Interactive courseware for supporting learners competency in practical skills. TOJET, 16(3).

Combs, A. W. (1984). The Profesional Education of Teachers. Boston: Allin and Bacon, Inc.

Djamarah, S. B. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineksa Cipta.

Hadi, S. (2001). Metodogi Research. Yoyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Hadi, S. (2002). Metodologi Research, Jilid 1. Yogyakarta: YP. Fak.

Psikologi UGM.

Hasibuan, J. J. & Moerdjiono. (1998). Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Margono. (2007). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineksa Cipta.

Mursell, James (2007). Succesfull Teaching. (terjemahan). Bandung: Jemmars.

Ngalim, P. M. (2000). Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Ngalim, P. M. (2000). Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Rustiyah, N. K. (2001). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara.

Sardiman, A. M. (2008). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara.

Soekamto, T. (2007). Teori Belajar dan Model Pembelajaran. Jakarta: PAU-PPAI, Universitas Terbuka.

Syah, M. (2005). Psikologi Pendidikan, Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Usman, M. U. (2001). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Wetherington. H. C. and W.H. Walt. Burton. (2006). Teknik-teknik Belajar dan Mengajar. (terjemahan) Bandung: Jemmars. Siberman, M. L. (2003). Metode Belajar Aktif. Bandung:

Nusamedia.

Grinder. (2001). The Active Learning Methode. Semarang. Schroeder, dkk. (2003). Cara Belajar Aktif. (terjemahan)

Bandung: Jemmars.

Maslow. (2008). Learning Togehter. Jakarta.

Buck Institue for Eduction. (2001). Project Based Learning. Prawat. (2002). Situated Learning. (terjemahan). Jakarta. Anderson, L. (2005). Strategi-Strategi Belajar. Bandung. Mukhlis. (2000). Langkah-Langkah Penelitian Tindakan Kelas.

Referensi

Dokumen terkait

menghormati artis yang telah meninggal dengan sedih. Kami juga jarang.. mengadakan pameran koleksi tetapi sesekali, jika saya benar-benar tersentuh oleh seorang seniman, kami

Dari Gambar 4 dapat diperlihatkan hubungan konsentrasi dan waktu kontak pada desorpsi yang dilakukan pada filtrat pemurnian pemurnian SiO 2 gel sebagai fungsi

yang terdapat dalam dokumen Perencanaan Strategis dengan Visi dan Misi Majelis Adat Aceh Kabupaten Bireuen adalah yang selaras dengan indikator Kinerja adalah

Tetapi yang penting dalam memahami makna ayat-ayat ini ialah pertanyaan yang oleh orang-orang Yahudi termasuk sementara orang Yahudi Kristen, diarahkan kepada

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efikasi (keampuhan) umpan dari campuran daun kayu putih dengan limbah kertas HVS dan kardus terhadap rayap tanah ( C. curvignathus ) di

Pada saat ini tersedia aneka jenis susu bubuk dan susu cari dengan beragam kemasan. Aneka susu tersebut mudah diperoleh di mini market yang berkembang sampai tingkat

Pendapatan dari luar usaha yang diterima petani juga tidak lebih baik dari pendapatan dalam usahatani, sehingga rumahtangga hendaknya mengalokasikan waktu kerja

Untuk meningkatkan efisiensi kinerja IPAL Hotel X maka perlu dilakukan perencanaan ulang yang meliputi modifikasi Bak Ekualisasi dengan penambahan Bak Pengendap 1,