• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKUATAN ALAT BUKTI MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

A. Tujuan Pembuktian, Teori Pembuktian dan Prinsip Minimum Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia

2. Teori Pembuktian dan Prinsip Minimum Pembuktian

Berdasarkan praktik peradilan pidana, dalam perkembangannya dikenal empat macam sistem atau teori pembuktian, antara lain :

a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie)

Sistem pembuktian ini hanya didasarkan kepada undang-undang melulu yang berarti apabila telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali yang juga disebut sebagai teori pembuktian formal (formele bewijstheorie). Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, lebih

dekat kepada prinsip ―penghukuman berdasar hukum‖, artinya penjatuhan

37 Andi Muhammad Sofyan dan Abd. Asis, Edisi Kedua Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta, kencana, 2017. hal. 229

hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas:

―Seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.‖38

Menurut D.Simons, sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor dalam hukum acara pidana.39

Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.40

b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction In Time)

Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian berdasarkan undang- undang secara positif. Sistem pembuktian ini juga disebut conviction in time. Sistem

38 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta, Sinar Grafika, 2002. hal.

257

39 Lilik Mulyadi, Op.Cit. hal. 120

40 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2008. hal. 251

49

pembuktian conviction in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim.

Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa dan penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan.41 Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.42

c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (Laconviction Raisonnee)

Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas, yaitu karena dalam memutus perkara hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie).43

Keyakinan hakim dalam sistem conviction raisonnee harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus ―reasonable‖, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai

41 Ibid. hal. 252

42 M. Yahya Harahap, 2002, Op. Cit, hal. 256

43 Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 253

dasar alasan yang logis yang benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.44

d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk)

Dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undng secara negative (negatief wettelijk bewijstheorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag, kata D. Simmons), yaitu pada peraturan perundang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan perundang-undang.45

Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan-kesalahan itu ―dibarengi‖ dengan keyakinan hakim. Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa:

―Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.‖

Untuk Indonesia, yang sekarang ternyata telah dipertahankan oleh KUHAP, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negative wettelijk) sebaiknya dipertahankan

44 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal.256-257

45 Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 256

51

berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.46

Di dalam pembuktian berdasarkan hukum acara pidana Indonesia terdapat prinsip minimum pembuktian atau lazim disebut dengan asas minimum pembuktian yang merupakan prinsip yang berkaitan dengan Pasal 183 KUHAP, yaitu ―hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa lah yang bersalah melakukannya.‖

Menurut pendapat Eddy OS Hiariej47 dalam konteks hukum pembuktian, bukti minimum adalah salah satu parameter pembuktian yang diperlukan untuk mengikat kebebasan hakim yang jika merujuk KUHAP, minimum yang diperlukan adalah dua alat bukti. Sementara alat bukti itu sendiri menurut KUHAP terdiri dari (1) keterangan saksi; (2) surat; (3) keterangan ahli; (4) keterangan terdakwa; dan (5) petunjuk. Selalu jadi perdebatan apakah dua alat bukti dimaksud bersifat kualitatif ataukah kuantitatif. Bersifat kualitatif berarti harus ada dua alat bukti dari lima alat bukti yang ada: apakah satu keterangan

46 Andi Hamzah, Op.Cit., hal. 257

47 Eddy OS Hiariej, ―Menakar Bukti Minimum‖,

https://nasional.kompas.com/read/2012/07/02/03041542/menakar.bukti.minimum?page=all diakses pada 30 Januari 2020 Pukul 23..21

saksi dan surat, atau satu keterangan saksi dan satu keterangan ahli, atau satu keterangan ahli dan surat, dan seterusnya. Adapun kuantitatif berarti keterangan dua orang saksi atau dua surat atau dua keterangan ahli sudah dihitung sebagai dua alat bukti.

Dalam tataran praktis, dua alat bukti dimaksud adalah secara kualitatif, kecuali perihal keterangan saksi, dua alat bukti yang dimaksud dapat kualitatif ataupun kuantitatif. Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyatakan, ‖Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya‖. Ketentuan ini kemudian disusul ketentuan Pasal 185 Ayat (3) KUHAP yang berbunyi, ―Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya‖.

Interpretasi gramatikal sistematis terhadap Pasal 185 Ayat (2) juncto Pasal 185 Ayat (3) KUHAP tak hanya berkaitan dengan prinsip unus testis nullus testis (satu saksi bukanlah saksi), tetapi juga prinsip bukti minimum untuk menyatakan terdakwa bersalah dalam perkara pidana, yakni dua alat bukti. Ini dapat ditafsirkan secara a contrario terhadap ketentuan Pasal 185 Ayat (2). Jika keterangan seorang saksi saja tak cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah terkait perbuatan yang didakwakan, maka keterangan lebih dari seorang saksi sudah cukup membuktikan terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan, selama menimbulkan keyakinan hakim.

Tegasnya, keterangan dua orang saksi dapat memenuhi bukti minimum, yakni dua alat bukti. Rumusnya: jika keterangan dua orang atau lebih saksi sama

53

persis dan bersesuaian, maka dihitung sebagai satu alat bukti, sedangkan jika keterangan dua orang atau lebih saksi berdiri sendiri tetapi bersesuaian, maka dihitung dua alat bukti.

B. Alat Bukti yang sah dalam Hukum Acara Pidana Indonesia dan