• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alat Bukti yang sah dalam Hukum Acara Pidana Indonesia dan Perkembangannya

KEKUATAN ALAT BUKTI MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

B. Alat Bukti yang sah dalam Hukum Acara Pidana Indonesia dan Perkembangannya

Sifat dari alat bukti menurut KUHAP adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 184 ayat (1), bahwa yang termasuk alat bukti yang sah yaitu:

a. Keterangan saksi b. Keterangan Ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan Terdakwa

Pada dasarnya ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP tersebut hampir identic dengan ketentuan pasal 295 HIR (Stb. 1941 Nomor 44) di mana perbedaannya hanya terletak pada penambahan ―keterangan ahli‖ pada Pasal 184 KUHAP serta adanya perubahan redaksional ―pengakuan terdakwa‖ dalam HIR menjadi ―keterangan terdakwa‖ pada KUHAP. 48

Alat-alat bukti yang tercantum dalam Pasal 295 HIR memang dipandang sudah kuno, karena sama dengan Ned. Sv.. yang lama. Belanda sendiri sudah lama

48 Lilik Mulyadi, Op.cit., hal 74 - 75

(1926) mengubahnya dalam Sv. yang baru. Dalam Sv. yang beru itu disebut alat-alat bukti dalam Pasal 339 sebagai berikut:49

a. Eigen waarneming van de rechter (pengamatan sendiri oleh hakim) ; b. Verklaringen van de verdachte (keterangan terdakwa) ;

c. Verklaringen van een getuige (keterangan seorang saksi) ; d. Verklaringen van een deskundige (keterangan seorang ahli) ; e. Schriftelijke bescheiden (surat-surat).

Apabila alat-alat bukti dalam KUHAP diperbandingkan selintas dalam pasal 339 Ned. Sv., ada sedikitnya tiga alat bukti yang sama dengan ketentuan KUHAP, yakni ―keterangan terdakwa/verklaringen van de verdachte‖ ,

―keterangan seorang saksi/verklaringen van een getuige‖, dan ―keterangan seorang ahli/verklaringen van een deskundige‖. Adapun perbedaannya selain terletak pada tata urutannya, juga pada ketentuan Pasal 339 Ned. Sv. Dicantumkan alat bukti ―pengamatan sendiri leh hakim/eigen waarneming van de rechter‖

sebagaimana dikenal dahulu pada ketentuan Landgerechtsreglement (Stb. 1914 Nomor 317 jo. Stb. 1917 Nomor 323) dan Pasal 78 ayat (1) angka 1 undang Nomor 1 Tahun 1950 (LN Tahun 1950 Nomor 30) tentang Undang-undang Mahkamah Agung Indonesia. Sedangkan di lain pihak, KUHAP tidak mengenalnya dan begitu pula sebaliknya pada KUHAP diatur tentang adanya alat bukti ―petunjuk‖ atau ―aanwijzing‖. Akan teteapi, hal ini tidak dikenal pada ketentuan pasal 339 Ned. Sv.50

49 Andi Hamzah, Op Cit, hal. 259

50 Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal. 75

55

Berikut uraian alat-alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP yaitu:

1. Keterangan Saksi

Pengertian saksi disebutkan dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP bahwa:

―Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.‖

Sedangkan untuk pengertian dari keterangan saksi disebutkan pada Pasal 1 angka 27 KUHAP yang menyatakan bahwa:

―Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.‖

Didalam keterangan saksi agar dapat dipakai sebagai alat bukti maka harus memenuhi dua syarat, yaitu :51

a. Syarat Formil

Bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah apabila diberikan memenuhi syarat formil, yaitu saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah, sehingga keterangan saksi yang tidak disumpah hanya boleh digunakan sebagai penambahan penyaksian yang sah lainnya.

b. Syarat Materiil

Bahwa keterangan seorang atau satu saksi tidak dapat dianggap sah sebagai alat pembuktian ( unus testis nulus testis) karena tidak memenuhi syarat

51 Andi Muhammad Sofyan, Op.Cit., hal. 236

materiel, akan tetapi keterangan seorang atau satu orang saksi, adalah cukup untuk alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan.

Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam pasal 186 KUHAP berikut:52

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Pasal 171 KUHAP, menyatakan saksi-saksi yang dapat memberikan keterangan tetapi tetapi tidak disumpah, yaitu:

a) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin

b) Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.

Saksi menurut sifatnya dapat dibagi atas dua bagian, yaitu:53 a) Saksi A Charge (saksi yang memberatkan terdakwa)

Saksi ini adalah saksi yang telah dipilih dan diajukan penuntut umum, dengan keterangan atau kesaksian yang diberikan akan memberatkan terdakwa,

52 Andi Hamzah, Op.Cit., hal. 260

53 Andi Muhammad Sofyan, Op. Cit., hal.239

57

demikian menurut Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP, bahwa dalam hal ada saksi yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan/atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua wajib mendengar keterangan saksi tersebut.

b) Saksi A De Charge (saksi yang meringankan/menguntungkan terdakwa) Saksi ini dipilih atau diajukan penuntut umum/terdakwa atau penasihat hukum, yang mana keterangan atau kesaksian yang diberikan akan meringankan/menguntungkan terdakwa, dalam Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP, dalam hal ada saksi yang menguntungkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan/atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua wajib mendengar keterangan saksi tersebut.

Perkembangan alat bukti keterangan saksi di Indonesia terjadi dalam hal pemeriksaan saksi dengan menggunakan media teleconference. Persidangan dengan menggunakan media teleconference ini masih mengundang perdebatan panjang. Ada pendapat yang pro dan kontra. Praktek yang terjadi di Indonesia, penggunaan media ini dalam pemeriksaan saksi sudah dilakukan dalam peradilan di Indonesia. Teleconference pernah dilakukan dalam persidangan Rahardi Ramelan, Pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur serta perkara Abu Bakar Ba'asyir. Selain itu, perkembangan mengenai saksi dan keterangan saksi juga mengalami perkembangan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

65/PUU-VIII/2010 tersebut, yang dimana ketentuan saksi dan keterangan saksi yang berada didalam KUHAP telah diperluas maknanya menjadi Keterangan dari orang yang tidak harus melihat, mendengar, atau mengalami suatu peristiwa pidana sepanjang keterangan yang diucapkan relevan dengan peristiwa pidana yang sedang berlangsung dan menjelaskan alasan pengetahuannya itu. Keterangan dari orang yang meskipun tidak melihat, mendengar dan mengalami suatu peristiwa dapat menjadi saksi dan dapat pula bernilai sebagai alat bukti keterangan saksi apabila keterangan yang diberikan relevan dengan perkara yang tengah berlangsung.

2. Keterangan Ahli

Pasal 1 angaka 28 KUHAP menyatakan bahwa:

―Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.‖

Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa:

―Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.‖

Penjelasan Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa, keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau Penuntut Umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau Penuntut Umum, maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam

59

berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.

Seseorang dalam memberikan keterangan ahli dalam persidangan menurut hukum positif yang berlaku di indonesia, dimungkinkan dua cara seorang ahli dalam memberikan kesaksiannya pada sidang pengadilan, yaitu dalam bentuk tertulis dan lisan. Kesaksian ahli berbentuk tulisan atau surat biasanya dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan. Ketentuan ini telah dinyatakan dalam Pasal 187 huruf c KUHAP, berbunyi, bahwa surat keterangan seorang ahli memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Dan menurut Pasal 184 huruf c KUHAP, bahwa surat adalah salah satu alat bukti yang sah dalam siding pengadilan. Adapun kesaksian ahli yang dinyatakan secara lisan dalam siding pengadilan disebut keterangan ahli, landasan hukumnya diatur dalam Pasal 186 KUHAP, berbunyi, keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di siding pengadilan.54

Perkembangan alat bukti keterangan ahli pada dasarnya berkisar pada variasi dari macam ahli yang dihadirkan di persidangan. Pengaruh dari perkembangan kejahatan dan modus operandinya merupakan hal yang akan sangat berpengaruh pada variasi alat bukti ini, terkait dengan kompetensi kehadiran ahli sendiri yaitu untuk membuat terang hakim akan hal-hal yang tidak dikuasai, seperti misalnya dalam bidang perbankan, kedokteran, telematika dan berbagai

54 Andi Muhammad Sofyan, Op.Cit., hal.243

bidang lainnya, sehingga dalam pembuktian pada persidangan tidak hanya penguasaan materi yuridis saja, namun guna mencapai kebenaran materiil.

3. Surat

Jenis surat yang dapat diterima sebagai alat bukti dicantumkan dalam Pasal 187 KUHAP. Surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Jenis surat yang dimaksud adalah: pertama berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.55

Pasal 187 KUHAP, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:56

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atauyang ibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan-perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

55 M.Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 300

56 Andi Muhammad Sofyan, Op.Cit., hal. 258

61

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain

Contoh-contoh dari alat bukti surat itu adalah berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat polisi (penyelidik/penyidik), BAP pengadilan, Berita Acara Penyitaan, surat perintah penangkapan (SPP) surat izin penggeledahan (SIP), dan lain sebagainya.

Dalam praktek persidangan di Indonesia setelah adanya surat Mahkamah Agung yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman tanggal 14 Januari 1988, nomor 39/TU/88/102/pid, alat bukti surat mengalami perkembangan. Surat MA RI tersebut pada intinya berpendapat bahwa mikrofilm atau mikrofiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan menggantikan alat bukti surat sebagaimana tersebut dalam pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, dengan catatan baik mikrofilm atau mikrofiche itu sebelumnya dijamin otentifikasinya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi maupun berita acara.

Dalam perkembangannya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah. Informasi elektronik dan atau dokumen berikut hasil cetakannya adalah perluasan dari alat bukti yang sah menurut hukum acara. Dokumen elektronik

tidaklah dapat dijadikan alat bukti jika terhadap suatu surat, undang-undang menentukan harus dibuat dalam bentuk tertulis, termasuk pula akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Dalam hal surat-surat tidak memenuhi persyaratan untuk dinyatakan sebagai bukti surat.surat-surat tersebut dapat dipergunakan sebagai petunjuk. Akan tetapi, mengenai semuanya diserahkan kepada pertimbangan hakim.

4. Petunjuk

Pasal 188 KUHAP, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti petunjuk adalah:

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:

a. Keterangan saksi b. Surat

c. Keterangan terdakwa

(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

63

Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Terlebih jika diperhatikan pada Pasal 188 ayat (1) KUHAP yang mengatakan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Apabila kita bandingkan dengan 4 (empat) alat bukti yang lain dalam pasal 184 KUHAP, maka alat bukti petunjuk ini bukanlah suatu alat bukti yang bulat dan berdiri sendiri, melainkan suatu bukti bentukan hakim.

Alat bukti petunjuk sebenarnya merupakan rekonstruksi perbuatan, kejadian, atau keadaan yang diperoleh dari keteranngan saksi , surat dan keterangan terdakwa yang bersesuaian sehingga memberikan gambaran mengenai terjadinya tindak pidana dan siapa pelakunya.57

Perkembangan mengenai alat bukti ini dalam penegakkan hukum di Indonesia pada prakteknya dapat kita lihat di dalam undang-undang pidana khusus. Dalam undang-undang pidana khusus, alat bukti elektronik dirumuskan secara tegas dan mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sah. Namun demikian, dalam perundang-undangan pidana yang mengatur alat bukti elektronik tersebut terdapat perbedaan kebijakan mengenai status alat bukti digital atau alat bukti elektronik, yaitu dalam perundang-undangan yang satu alat bukti elektronik diakui sebagai perluasan alat bukti petunjuk, sedangkan dalam perundang-undangan yang lain diakui sebagai alat bukti yang berdiri sendiri.58

5. Keterangan Terdakwa

57 Al.Wisnubroto dan G.Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung. Citra Aditya Bakti, 2005. hal.102

58 Sigid Suseno, Yuridiksi Tindak Pidana Siber, Refika Aditama, Bandung, 2012. hal.22

Pasal 189 KUHAP, menyatakan yang dimaksud dengan alat bukti keterangan terdakwa adalah:

(1) apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakuka atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di laur sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Berdasarkan Pasal 189 KUHAP tersebut, bahwa keterangan terdakwa harus diberikan di persidangan saja, sedangkan di luar sidang hanya dapat digunakan untuk menemukan bukti di sidang. Demikian pula apabila terdakwa lebih dari satu orang, maka keterangan dari masing-masing terdakwa untuk dirinya sendiri, artinya keterangan terdakwa satu dengan terdakwa lainnya tidak boleh dijadikan alat bukti bagi terdakwa lainnya.59

Perkembangan alat bukti keterangan Terdakwa di Indonesia terjadi dalam hal tindak pidana bersama-sama, yaitu yang melibatkan beberapa orang dalam melakukan atau terlibat dengan suatu tindak pidana. Dalam hal ini adalah mengenai saksi mahkota. Dalam meminta keterangan dari saksi mahkota ini,

59 Andi Muhammad Sofyan Op.Cit., hal.259

65

berkas perkara dari terdakwa tersebut dipisah (splitsing). Splitsing dilakukan karena kurangnya saksi untuk menguatkan dakwaan penuntut umum, sehingga harus ditempuh cara mengajukan sesama tersangka yang lain.

Selain 5 alat bukti yang diatur oleh KUHAP, terdapat pula alat bukti lain yang diatur dalam undang-undang khusus tindak pidana di Indonesia. Lahirnya perundang-undangan khusus sebagai salah satu upaya untuk mengejar ketertinggalan hukum dalam penanggulangan kejahatan dengan dihadapkan pada perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia telah memunculkan banyak perubahan dan pembaharuan. Berikut beberapa pengaturan perkembangan alat bukti dalam perundang-undangan khusus tersebut:

a. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pengaruh yang paling besar dalam perkembangan alat bukti pada perundang-undangan ini adalah perkembangan kejahatan dan karakteristiknya berupa modus operandi dari tindak pidana itu sendiri. Hal ini dikarenakan tindak pidana korupsi sendiri terkait dengan berbagai bidang, seperti administrasi, perpajakan, birokrasi, pemerintahan, akuntansi, bahkan terkait dengan bidang perbankan.

Pengaturan perkembangan alat bukti dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat pada Pasal 26 A yaitu :

―Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :

a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.‖

Penjelasan Pasal 26 A:

―Huruf a. Yang dimaksud dengan ―disimpan secara elektronik‖ misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (Cd-Rom) atau Write Once Read Many (WORM). Yang dimaksud dengan ―alat optik atau yang serupa dengan itu‖ dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili.

Sifat perkembangan dari alat bukti dalam pembuktian tindak pidana korupsi berupa perluasan terhadap alat bukti petunjuk yang ada pada KUHAP, sehingga penggunaannya sebagai alat bukti juga sama. Penilaian atas kekuatan

67

pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia melakukan pemeriksaan dengan cermat dan teliti.

b. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Pengaturan mengenai alat bukti dalam undang-undang Terorisme diatur dalam Bab V tentang Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, pada Pasal 27 menyatakan:

―Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;

b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :

1) tulisan, suara, atau gambar;

2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;

3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.‖

Pengaturan mengenai alat bukti dalam Undang-Undang ini senada dengan Undang-Undang Pemberantasan tindak pidana korupsi, letak perbedaan yang mendasar adalah bahwa dalam Undang-Undang ini telah mengatur informasi dan dokumen sebagai alat bukti, sedangkan dalam Undang-Undang Pemberantasan tindak pidana korupsi kedua alat bukti tersebut hanya merupakan perluasan dari alat bukti petunjuk dalam KUHAP yang berupa keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

c. Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang jelas mengatur perihal alat bukti yang yang dapa digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang, hal tersebut terdapat pada Pasal 38 yaitu:

―Alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa:

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;

b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.‖

Pada Pasal 1 angka 7 berbunyi:

69

―Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau tanpa bantuan sarana baik yang tertuang di kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :

a) Tulisan, suara, atau gambar;

b) Peta, rancangan, foto atau sejenisnya;

c) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.‖

Masalah pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang akan sangat kompleks terkait dengan modus yang digunakan oleh pelaku akan semakin berkembang dan rekayasa keuangan semakin rumit. Pengaturan mengenai alat bukti dalam Undang-Undang ini ialah sama dengan Undang-Undang tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu telah mengatur informasi dan dokumen sebagai alat bukti yang berdiri sendiri.

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Pengaturan mengenai alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun

Pengaturan mengenai alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun