• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas akhir dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas akhir dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum."

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TERORISME SERTA UPAYA PENANGGULANGANNYA DITINJAU

DARI PERSPEKTIF KRIMINOLOGI (Studi Putusan No.79/Pid.Sus/2014/PN.Jkt.Timur)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas akhir dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum

Oleh :

JISANDI NAHAMPUN 150200104

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

NAMA : Jisandi Nahampun

NIM : 150200104

Judul Skripsi :“Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Pelaku Terorisme Serta Upaya Penanggulangannya Ditinjau Dari Perspektif Kriminologi (Studi Putusan Nomor 79/PId.

Sus/2014/PN.Jkt.Timur)

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang telah saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak merupakan tiruan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah tiruan dari orang lain maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung saya.

Demikian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Medan,April 2019

NIM. 150200104 JISANDI NAHAMPUN

(4)

ABSTRAK Jisandi Nahampun*)

Syafruddin Kalo **) Nurmalawaty ***)

Terorisme merupakan serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk kepada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta sering kali merupakan warga sipil, sehingga pertanggung jawaban secara pidana kepada pelaku teror itu sendiri harus dilakukan sebagai maksud menjalankan fungsi hukum yang ada dalam suatu negara. Permasalahan yang dibahas dalam Skripsi ini adalah pengaturan tindak pidana terorisme di Indonesia sendiri, faktor penyebab terjadinya tindak pidana terorisme di Indonesia serta cara penanggulanganNya dari perspektif Kriminologi, serta bagaimana penerapan hukum bagi pelaku tindak pidana. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode penelitian dengan menggunakan data-data kepustakaan atau sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan dan peraturan perundang- undangan.

Pelaku teror harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum, namun upaya penanggulangan dapat dilakukan dengan berbagai metode diluar dari pada pemidanaan.Namun jika mengacu pada pelaksaan fungsi hukum di Indonesia maka setiap perbuatan pidana baik dalam masa percobaan atau sudah terjadi tentang pidana Terorisme harus dihukum dengan ketentuan hukum yang ada di Indonesia yang diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Dalam masalah Terorisme harus dilakukanNya berbagai upaya dalam penanggulanganNya untuk meminimalisir terjadinya perbuatan yang sama yakni dengan cara pendekatan terhadap pelaku teror, penanaman ideologi bangsa, pendalaman ilmu keagamaan serta pengamanan yang ketet dari aparat negara guna meminimalisir adanya kesempatan pada pelaku itu sendiri.

Kata kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Terorisme, Penanggulangan, Kriminologi.

* Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, staf pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** pembimbing II, Staf pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas kasih dan karuniaNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, setelah kurang lebih 4 (empat) tahun penulis lewati dalam masa perkuliahan. Adapun skripsi ini berjudul sebagai beriku: “Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Pelaku Terorisme serta Upaya Penanggulangannya ditinjau dari perspektif Kriminologi (Studi Putusan No.79/Pid.Sus/2014/PN.Jkt.Timur)”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai kekurangan didalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun dimasa yang akan datang.

Penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, motifasi, dan dukungan dari berbagai pihak maka penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Runtung Sitepu, S.H,M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof.Dr. Budiman Ginting, S.H.M.Hum, selaku Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

3. Bapak Dr.OK .Saidin,S.H.M.Hum, selaku pembantu Dekan I Fakultas HukumUniversitas Sumatera Utara

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan,S.H.M.Hum, selaku pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Bapak Dr.Jelly Leviza,S.H.M.Hum, selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Bapak Dr.Hamdan,S.H.M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Ibu Liza Erwina,S.H.M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

8. Bapak Prof.Dr.Syafruddin Kalo,S.H.M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya dan dengan sabar membimbing, mengarahkan, dan memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Skripsi ini, serta mengajarkan berbagai hal yang bermanfaan bagi penulis

9. Ibu Nurmalawaty,S.H.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya dan dengan sabar membimbing, mengarahkan, dan memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini, serta memberikan berbagai pengarahan yang bermanfaat bagi penulis 10. Seluruh Dosen dan Staf pengajar di Departemen Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah member dukungan moril serta memberikan banyak ilmu mengenai hukum Pidana

(7)

11. Terimakasih kepada seluruh keluarga dan kerabat yang telah memberikan semangat dan dukungan terkhusus kepada kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis selama perkuliahan sampai dengan saat ini.serta Saudara/i yang jauh di perantauan namun tetap memberikan semangat luar biasa, terimakasih untuk semua doa kalian yang mampu mengubah segalanya menjadi lebih baik.

12. Sahabat penulis, terkhusus grub SEMANGAT BERJUANG, Kliwon Manalu, Ray Irfandy Samosir, Krisdobby Tumanggor, Lamtorang Hasugian, Tommy Aritonang,Bill Owen Silaban, Retno Gulton, Hengky Tarigan, serta semua sahabat penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang tidak lupa mengingatkan untuk semangat setiap harinya.

13. Buat Teman-teman Penulis yang tergabung dalam Gerakan Mahasiwa Nasional Indonesia (GMNI), ParlilitanChangemakers, Ruang Mahasiwa, penghuni gundaling dan lainnya, kalian semua adalah tempat untuk melampiaskan aspirasi juga sebagai tempat juga sebagai wadah mengasah ilmu.

14. Teman-teman seperjuangan Stambuk 2015 yang masih berjuang hingga sampai pada titik darah penghabisan, semoga cepat menyusul, kliwon Manalu yang salah jurusan dari niat Etnomusikologi namun masuk keHukum semoga cepat moveon dari dunia musik dan mendalami dunia hukumNya.

15. Semua teman-teman seperjuangan yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

(8)

16. Kepada seluruh teman-teman baik senior atau junior penghuni simalingkar B, kiranya yang berstambuk 13 segeera menyelesaikan studiNya dengan baik dan cepat menyusun.

Medan, Maret 2019 Penulis

Jisandi Nahampun

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Manfaat dan Tujuan Penulisan ... 10

D. Keaslian Penulisan ... 11

D. Tinjauan Kepustakaan ... 12

1. Pengertian Pertanggung Jawaban Pidana ... 12

2. Terorisme ... 18

a. Pelaku Terorisme ... 18

b. Motif Terorisme ... 20

c. Bentuk Terorisme ... 22

d. Tindak Pidana terorisme ... 28

3. Ruang Lingkup Kriminologi ... 29

F. Metode Penulisan ... 31

G. Sistematika Penulisan... 32

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT HUKUM DI INDONESIA ... 33

A. Pengaturan Tindak Pidana Terorisme Menurut UU NO.15 tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia ... 33

B. Ketentuan ketentuan Sanksi Pidana didalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ... 38

C. Beberapa Ketentuan Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dari UU NO. 15 Tahun 2003 Menjadi UU NO.5 Tahun 2018... 46

D. Kekhususan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam hal Pengecualian dari ketentuan Hukum Acara Pidana ... 52

BAB III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA TERORISME SERTA PENANGGULANGANNYA DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGI ... 55

A. Faktor-Faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana Terorisme ... 55

(10)

1. Faktor Internal ... 55

a. Teori Biologis ... 55

b. Teori Psikogenesis ... 58

2. Faktor Eksternal ... 60

a. Teori Sosiogenesis ... 60

b. Teori Kontrol Sosial ... 63

B. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme ... 65

1. Upaya Preventif ... 65

a. Metode Moralistik... 67

b. Metode Abolisionistik ... 67

2. Upaya Represif ... 68

a. Metode Perlakuan (treatment) ... 69

b. Metode Penghukuman (punishment) ... 70

BAB IV PENERAPAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME DALAM STUDY PUTUSAN NOMOR (79/PID.SUS/2014/PN.JKT.TIMUR). ... 72

A. Upaya Penal ... 72

B. Upaya Non Penal ... 75

C. Analisis Kasus ... 76

1. Kronologi Kasus ... 76

2. Dakwaan ... 81

3. Tuntutan ... 83

4. Pertimbangan Hakim ... 84

5. Putusan Hakim ... 97

6. Analisis Putusan ... 98

BAB V PENUTUP ... 110

A. Kesimpulan ... 110

B. Saran ... 111 DAFTAR PUSTAKA

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terorisme akhir-akhir ini telah menjadi suatu hal yang sangat penting untuk dibicarakan.Tindakan kejahatan yang telah membuat kekacauan ditengah sebuah negeri, telah membuat sengsara masyarakat dunia dari berbagai macam latar belakang Agama, aliran maupun Organisasi.Contohnya saja pada tanggal 11 September 2001, kejadian maha dahsyat yang menggemparkan dunia yaitu peristiwa peledakan menara kembar World Trade Centre (WTC) dan pentangon di Kota New York Amerika Serikat. Ribuan orang Amerika harus meregang nyawa karena menjadi korban kebiadapan pelaku penyerangan tersebut.

Setahun pasca peledakan WTC dan Pentangon, tepatnya tanggal 12 Oktober 2002 di Indonesia terjadi peristiwa yang serupa bahkan tidak kalah dahsyatnya yakni peristiwa peledakan Paddys Cape dan Sari Club, dijalan Legian Kuta Bali yang kemudian dikenal dengan peristiwa Bom Bali I.1

1Abdul Wahid, Sunarni, Dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Presfektif Agama, HAM dan Hukum, PT. Replika Aditama, Bandung, 2004, hlm 2

Peristiwa tersebut menewaskan dua ratusan jiwa dan melukai ratusan orang lainnya dan karena hal ini pula sekutu mendesak Pemerintah Indonesia untuk menangani masalah ini secara serius di pulau dewata tersebut. Hingga pada akhirnya Presiden Megawati menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang

(12)

kemudian pada masa sidang DPR setahun berikutnya, ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi Undaang-Undang.2

Menurut Muladi, Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membutuhkan penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (Extraordinary Measure) karena berbagai hal :

Hingga pada tanggal 25 Mei 2018 terlaksananya pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018.

3

a. Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya besar ( The Greatest Danger ) terhadap hak asasi manusia.

b. Terget Terorisme bersifat random atau indiscriminate yang cenderung mengorbankan orang-orang tidak bersalah.

c. Kemungkinan digunakannya Senjata-senjata pemusnah dengan memanfaatkan kemajuan teknologi modern.

d. Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi Teroris Nasional dengan organisasi Internasional.

e. Kemungkinan terjdinya kerjasama antara organisasi teroris dengan kejahatan yang terorganisasi dengan baik yang bersifat nasional maupun

2Hariman Satria, Anatomi Hukum Pidana KhusuS , UII Press, Yokyakarta, 2014 hlm. 98

3Muladi, Penanggulangan Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus, Bahan Seminar Pengamanan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta, 28 Januari 2004.

(13)

transnasional dapat membahayakan perdamaian dan keamanan Internasional.4

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari semua agama di dunia ini. Terorisme dalam perkembangannya telah membangun organisasi yang mempunyai jaringan global dimana kelompok-kelompok teroris yang beroperasi diberbagai negara telah terkooptasi oleh suatu jaringan terorisme Internasional serta mempunyai hubungan dan mekanisme kerjasama satu sama lain baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun struktur pendukung (support infrastructure).5Terorisme sebagai suatu aksi kejahatan menjadi suatu hal yang sangat menakutkan karena tidak melihat korban sebagai suatu kesalahan dari perbuatan dan tidak membeda-bedakan korban. Dengan demikian manusia yang tidak tahu menahu akan maksud misi dan tujuan pembuat teror akan menjadi korban tidak berdosa ( innocent victim).6

Fenomenanya, kata Terorisme dewasa ini benar-benar merupakan bagian dari momok besar bangsa Indonesia, disamping dunia atau masyarakat Internasional.Kata ini (Teror) sempat membuat gentar rakyat kecil karena kejadian yang mereka alami telah mengakibatkan banyak pihak yang dirugikan dan dikorbankan.Terorisme merupakan suatu fenomena modern dan telah menjadi fokus perhatian berbagai organisasi Internasional, berbagai kalangan dan negara.Ketika kekuatan imperialism, rasisme, dan zionisme mulai

5Faisal Salam, Motivasi Tindakan Terorisme, Mandar Maju, Bandung, 2005, hlm 1.

6Mardenis, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta , 2011, Hlm 127.

(14)

mempropagandakan dan memasukkan terminologi terorisme kedalam perbincangan politik dan berbagai bidang lainnya, maka kaum tersebut telah mencampuradukkan dengan sengaja dua fenomena yang berbeda secara substansial.7

Indonesia sendiri telah menyadari betapa bahayanya tindakan dari terorisme itu.Karena itulah, maka pemerintah berupaya membuat Undang-Undang (UU) khususnya yang mengatur terorisme. Akibat dari serangkaian tindakan teror yang terjadi di Indonesia membuat negara Indonesia sebagai negara yang dianggap rawan dan terkesan menakutkan bagi siapapun yang ingin berkunjung.8

Upaya pemberantasan tindak pidana Terorisme di Indonesia telah dilakukan dengan berbagai macam kebijakan yakni salah satunya dikeluarkannnya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.Salah satunya upaya yang dilakukan adalah menerapkan pemidanaan bagi pelaku teror itu sendiri, baik itu hukuman mati ataupun sanksi lainnya.

Dimana tujuan pemidanaan menurut para ahli adalah :9

1. Menurut Warjono Prodjodikoro bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memenuhi rasa keadilan.

2. Menurut Tirta Amidjaja bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk melindungi masyarakat (social defence).

7Hariman Satria, op.cit, hlm 79.

8Surat Presiden RI Nomor : R.13/PU/XI/2002/ kepada DPR RI ,Tertanggal 7 November 2002, Perihal Penyampaian Empat Rancangan Undang-Undang .

9 Todung Mulya Lubis Dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati, Buku Kompas Jakarta, 2009, Hlm 251

(15)

3. Menurut Kanter bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk melindumgi kepentingan individu atau hak azasi manusia dan kepentingan masyarakat dengan negara.

4. Menurut Barda Nanawi bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk menyelesaikan sebuah permasalahan.

Dibalik perlakuan pemidanaan yang dilakukan diatas terdapat tujuan yang baik, tujuan nasional dalam pemberantasan terorisme adalah menghentikan aksi teroris yang mengancam kehidupan nasional serta menciptakan lingkungan Internasional yang tidak menyuburkan terorisme. Untuk memenuhi misi ini harus dilaksanakan upaya strategis sebagai berikut;10

Mengalahkan organisasi teroris dengan menghancurkan persembunyiannya, kepemimpinan, komando, kontrol, komunikasi, dukungan materil dan keuangan. Kita harus bekerja sama dan mengembangkan kemitraan baik didalam maupun luar negri untuk negosiasi teroris. Mendorong istansi terkait untuk mengembangkan penegakan hukum dengan didukung oleh intelejen dan instansi terkait lainnya serta mengembangkan mekanisme penanganan aksi teror dalam suatu system keterpaduan dan koordinasi yang efektif, meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan semua komponen bangsa terhadap ancaman terorisme untuk mencegah dijadikannya wilayah tanah air Indonesia sebagai tempat persembunyian para teroris dan tempat tumbuh suburnya ideology para teroris, menghilangkan faktor korelatif penyebab yang dapat dieksploitasi

10Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 Tentang Badan Penanggulangan Terorisme.

(16)

menjadi alasan pembenaran aksi teroris seperti kesenjangan social, kemiskinan konflik politik dan sara, serta melindungi bangsa, warga negara dan kepentingan nasional lainnya. Dari aspek pemidanaan, undang-undang tindak pidana terorisme ini juga sangat terlihat represif karena selain menerapakan sistem pemidanaan minimum khusus pada tingkat pidana tertentu, beberapa sanksi pidana juga banyak yang dirumuskan menggunakan system tunggal atau imperatif, padahal system perumusan ini sudah bayak ditinggalkan karena membatasi kebebasan hakim untuk memilih jenis sanksi pidana yang lebih dianggap sesuai.11

Upaya pencegahan terhadap terorisme seharusnya bukan dari satu segi saja yakni pemidanaan kepada pelaku terorisme, namun dilakukan pendekatan yang lebih mendalam kepada pelaku-pelaku teror, hal ini bukan semata-mata untuk menafkahi penjahat atau memelihara penjahat, namun lebih kepada penyampain ideologi Indonesia sendiri yang lebih mendalam kepada pelaku teror. Pendekat dengan soft power mungkin lebih efektif, dimana dalam hal ini dilakukan dengan cara halus dan tanpa adanya paksaan atau kekerasan.12

Dalam Black’s Law Dictionary, dijelaskan bahwasanya terorisme merupakan kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana, yang jelas dimaksudkan untuk mengintimidasi penduduk sipil, memengaruhi kebijakan pemerintah, dan memengaruhi kebijakan pemerintah, dan memengaruhi

11http://www.beritasatu.com/nasional/494437, kelebihan dan kekurangan dalam undang terorisme. html, diakses Senin, 28 Mei 2018 21:08 WIB

12 Barda Nanawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP baru, Bandung, 2016, hlm 213.

(17)

penyelenggaraan dengan cara penculikan atau pembunuhan.13 Adapun The Arab Convention For Suppression Of Terrorism, menentukan bahwa teroris merupakan tindakan atau ancaman kekerasan ataupun motif atau tujuannya, yang di lakukan untuk menjalankan agenda kejahatan individu atau kolektif yang menyebabkan kepanikan di tengah dimasyarakat, perasaan rasa takut dengan melukai mereka atau mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun pribadi, atau menguasai dan merampasnya, atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional.14

Berdasarkan beberapa definisi tersebut diatas, maka dapat di ketahui bahwa jika membicarakan terorisme paling tidak terdapat beberapa unsur penting.Pertama terorisme merupakan tindakan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.Kedua, kekerasan tersebut adalah bersifat melawan hukum.Ketiga, tindakan kekerasan di tujukan kepada seorang atau kelompok atau kepada harta benda atau fasilitas publik.Keempat, tujuan utama dari tindakan teror itu adalah untuk mengubah ideologi dan haluan politik negara.15

13 Mahrus Ali, Hukum Pidana Terorisme, Teori dan Praktik, Gramata Publisishing, Jakarta, 2012, hlm 3.

14 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme ; Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Graha Ilmu, Yoktakarta, 2012, hlm 64.

15 Ruslan Renggong, op, cit., hlm 105.

Terdapat dua alasan utama yang mendasari munculnya aksi terorisme, adanya dorongan ideology, maka berwujud pada kebencian terhadap pihak yang menindas kelompok mereka, serta pihak-pihak yang menghalangi usaha mereka untuk mencapai tujuan.Adapun arti ideologi dalam kehidupan mereka, sehingga

(18)

nyawapun rela dikorbankan guna mencapai tujuan yang diinginkan.Parahnya, gerakan ini bukan hanya berskala nasional, tapi sudah berskala internasional.

Misalnya, kebencian Usama Bin Laden, yang mengaku mewakili umat Islam, terhadap Amerika Serikat (AS) mendorongnya untuk mengumandangkan perang bagi apapun dan siapapun yang berbau AS. Perang ini dilancarkan ke seluruh dunia melalui jaringan-jaringan yang tersebar disejumlah negara.bila demikian halnya, maka tugas pemerintah adalah memperketat keamanan, terutama yang menyangkut sasaran aksi terorisme ini.selain dorongan ideologi, aksi terorisme dapat pula terjadi karena alasan ekonomi. Tekanan ekonomi yang dialami oleh teroris, terutama bagi orang yang melakukan bom bunuh diri, bisa menjadi latar belakang dipilihnya jalan untuk mengakhiri hidup.Mengetahui bahwa modus operandi dari aksi-aksi terorisme adalah bom bunuh diri.Orang-orang yang melakukan aksi bom bunuh diri terlebih dahulu didoktrin dengan ajaran-ajaran yang membenarkan aksi tersebut.Peranan orang yang melakukan bom bunuh diri ini sangatlah penting, sebab merekalah yang berkorban paling besar. Bila jaringan ini tidak bisa merekrut orang-orang yang bersedia melakukan aksi tersebut niscaya eksistensinya akan lenyap.

Alasan ekonomi ini tidak selalu menjadi alasan dilakukannya aksi teror, terutama yang melakukan bunuh diri, melainkan dapat pula berupa kesedihan atau rasa kasihan terhadap masihnya banyak orang-orang yang hidup dibawah garis kemiskinan.Ini dianggap sebagai kegagalan pemerintah dalam menangani sebuah negara yang secara garis besar menangani masalah perekonomian negara, yang tampaknya tidak membuat rakyat sejahtera.Latar belakang tersebut merupakan

(19)

salah satu alasan gerakan teroris berbalik melawan pihak-pihak yang menyebabkan ketertindasan rakyat.Diakui, tidak bisa meredam potensi yang pertama, tapi kita tetap bisa meredam potensi yang kedua. Caranya adalah dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan, ini memang menjadi tugas berat pemerintah untuk mengangkat 32,5 juta rakyat indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan menuju kehidupan yang layak. Apabila tidak dilakukan maka aksi terorisme belum tentu selesai, bila urusan ekonomi sudah terpenuhi namun tetap terjadi paling tidak salah satu potensinya sudah diminimalkan.16

Terorisme sebagai suatu fenomena kehidupan, nampaknya tidak dapat begitu saja ditanggulangi dengan kebijakan penal.Hal ini karena, terorisme terkait dengan kepercayaan/ideology, latar belakang pemahaman politik dan pemaknaan atas ketidak adilan sosio-ekonomik baik local maupun internasional.Oleh karena itu, perlu sebuah pendekatan kebijakan criminal yang integral dalam arti baik penal maupun nonpenal sekaligus.Oleh karena itu, tertangkapnya para teroris tersebut maka telah terungkap fakta yang jelas dimana terorisme local telah mempunyai hubungan erat dengan jaringan terorisme global.Timbul kesadaran dan keyakinan kita bahwa perang melawan teroris mengharuskan kita untuk melakukan sinergi upaya secara komprehensif dengan pendekatan multiagency, multi internasional dan multi nasional.Untuk itu perlu ditetapkan suatu strategi nasional dalam rangka perang melawan terorisme.17

16http://Randi Kurniawan.Blogspot.com/2009/08/, Meminimalisasi aksi Terorisme dalam Masyarakat, html, diakses Tanggal, 03 februari 2010 Pukul 22.33 WIB

17Moch. Faisal Salam, Motivasi Tindakan Terorisme, Mandar Maju, Bandung, 2006, hlm. 2.

(20)

Dari uraian-uraian diatas mendorong penulis untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana pada pelaku teroris serta kebijakan hukum pidana maupun pemerintah dalam penanggulangan terorisme di Indonesia, serta factor- faktor apa saja yang menyebabkan terjdinya tindak Pidana terorisme di Indonesia.

dengan demikian penulis membuat judul yang bertulisan “Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Terorisme serta Upaya Penanggulangannya ditinjau dari Perspektif Kriminologi”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, ada beberapa permasalahan yang akan dibahas mengenai Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Teroris serta upaya penanggulangannya ditinjau dari perspektif Kriminologi (Study Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur). Adapun yang menjadi permasalahan yang nantinya akan dibahas penulis dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Pengaturan Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum di Indonesia ?

2. Faktor-faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana Terorisme serta Penanggulangannya dalam Perspektif Kriminologi ?

3. Penerapan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme pada Putusan Nomor.79/Pid.Sus/2014/PN.Jkt.Timur ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Dalam penulisan ini, ada beberapa hal menjadi tujuan dalam rangka pencapain atas pengkajian permasalahan yang ada dalam skripsi ini, adapun tujuannya adalah sebagai berikut:

(21)

a. Untuk mengetahui Pengaturan Tindak Pidana Terorisme menurut Hukum di Indonesia.

b. Untuk mengetahui factor-faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana Terorisme serta penanggulangannya dalam perspektif Kriminologi.

c. Untuk mengetahui Penerapan Hukum terhadap pelaku Tindak Pidana Terorisme.

Manfaat Penulisan :

Penulisan Skripsi ini juga memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penulisan ini diharapkan member manfaat yang sangat besar untuk ilmu pengetahuan dan menambah literature dan referensi mengenai pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku Teroris, faktor-faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana Terorisme serta penanggulangannya dan penerapan hukum pada pelaku teroris.

2. Manfaat Praktis

Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk aparat penegak hukum dan pemerintah sehingga dapat menerapkannya dalam masyarakat serta penanggulangan yang dapat dilakukan pemerintah sebagai upaya meminimalisir upaya tindak Pidana Terorisme.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul “Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Teroris serta Upaya Penanggulangannya ditinjau dari Perspektif

(22)

Kriminologi (Study Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur) merupakan hasil pemikiran penulis sendiri tanpa adanya suatu proses penjiplakan atas karya tulis manapun. Tulisan dengan judul : “Pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku teroris serta upaya penanggulangannya ditinjau dari perpektif Kriminologi (Study Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur)” belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya bukti uji bersih dari pihak fakultas.Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan oleh penulis, terutama secara ilmiah atau secara akademik.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pertanggung Jawaban Pidana

Dalam Hukum Pidana dijelaskan bahwa hanya perbuatan yang mengandung unsur kesalahan yang dapat dimintai pertanggungjawaban Pidana kepada pelakunya atau dikenal dengan asas Geen Straf Zonder Schuld. Menurut para ahli hukum pidana, seperti yang dikutip oleh Frans Maramis, untuk dapat dikatakan seorang pelaku Tindak Pidana memiliki kesalahan, maka seorang tersebut harus memahami unsur kemampuan bertanggung jawab (Toerekeningsvatbaar), kesengajaan (Dolus), dan kealpaan (Culpa), dan tidak adanya alasan penghapusan kesalahan (dasar pemaaf).18

Pertanggungjawaban pidana (Criminal Responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka

18 Frans Maramis, Hukum pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm 116.

(23)

dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang- undang.Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.19

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana, memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa hukum pidana harus digunakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil.Hukum pidana tersebut digunakan untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki.Selain itu penggunaan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya

19Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm 41.

(24)

kerja dari insitusi terkait, sehingga jangan sampai ada kelampauan beban tugas (Overbelasting) dalam melaksanakannya.20

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, sipelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, sipelaku pantas dikenakan hukuman pidana, karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti sipelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

Perbuatan agar dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, harus mengandung kesalahan.Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (Opzet) dan kelalaian (Culpa).

1. Kesengajaan (Opzet).

Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian kesengajaan ini ada apabila sipelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan kesengajaan ini yang terang- terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka

20 Ibid , hlm 23

(25)

akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya.21

2. Kelalaian (culpa).

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa.Culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.22

Masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP yang mengatur: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal

Sesuai dengan uraian diatas maka diketahui bahwa terdapat dua unsur kesalahan sehingga seseorang patut mempertanggungjawabkan perbuatannya didepan hukum, yaitu kesengajaan dan kelalaian.

21 Ibid, hal 46

22 Ibid, hal 48

(26)

dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan. Apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu syarat psikiatris dan syarat psikologis. Penjelasan mengenai kedua syarat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

2. Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu sipelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.23

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (Intelektual Factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak.Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (Volitional Factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.Sebagai konsekuensi dari dua hal tersebut maka orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.Berdasarkan

23 Ibid, hal 55

(27)

uraian diatas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya.

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut. Hal yang mendasari pertangungjawaban tindak pidana adalah pemahaman bahwa setiap manusia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya, Selain untuk mengimbangi kebebasan, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab atas semua tindakan yang dilakukannya.Bersamaan dengan hal tersebut pelaku terorisme dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindakan yang dilakukan, karena terdapat kesalahan dalam diri pelaku. Hal tersebut terbukti karena telah memenuhi 3 syarat adanya kesalahan oleh pelaku teroris, yakni memiliki kemampuan bertanggungjawab (Toerekeningsvatbaarheid) pelaku dalam hal terorisme ini memiliki kesadaran untuk melakukan perbuatannya, dan pelaku teroris pada perbuatan pidananya

(28)

tidak memiliki asalan penghapus pertanggung jawaban pidana (kesalahan), atau dasar pemaaf.

2. Terorisme

a. Pelaku Terorisme

Pelaku terorisme disebut teroris yang dapat diartikan sebagai seorang atau biasanya anggota suatu kelompok yang menggunakan atau membela terorisme, atau seorang yang meneror atau menakuti orang lain.24Sedangkan menurut Stanislaus Riyanta, teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan Politik.25Meksi jika dikaji dengan ilmu kriminologi, maka dapat disimpulkan bahwa pelaku dalam kejahatan ini dapat dibedakan antara individu dengan organisasi.Secara kualitatif, Rage of Teror (rasa takut yang mendalam akibat teror) yang disebabkan oleh pelaku individu tak kalah menggatarkan dibanding pelaku-pelaku lain yang terjadi dari kelompok-kelompok terorganisir. Misalnya Theodore John Kacynski yang melakukan serangkaian teror bom yang selama hamper 15 tahun hanya seorang diri atau Timothy Mc. Veight yang berhasil menghancurkan gedung bertingkat delapan belas di Okhaloma City pada atahun 1995 dan dicatat oleh pers sebagai

“The Worst Domestic Terorism in American History”.26

Pelaku terorisme individual tersebut secara konseptual akan mempengaruhi defenisi terorisme, batasan untuk menekan terorisme hanya untuk

24 Abdulrahman Pribadi dan Abu Rayyan, Membongkar Jaringan Terorisme, Abdika Press, Jakarta, 2009, hlm 17

25 Ibid, hal 19

26Tb. Ronny R. Nitibaskara, Terorisme sebagai kejahatan Penuh Wajah: Suatu Tinjauan Kriminologi dan Hukum Pidana, Jurnal Kriminologi Indonesia, Volume 2, Desember, 2002, hal 14

(29)

mencapai tujuan politik tampanya perlu ditinjau kembali. hal ini diakibatkan semakin beragamnya motif yang mendasari dilakukannya kejahatan itu sendiri.

Istilah teroris oleh para ahli kontra terorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut.Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serangan-serangan teroris yang dilakukan tidak berperi kemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya (teroris) layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan

"terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terorisme , makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang, padahal terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama. Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (State Terorism), misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu.Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, disisi lain liputan media menunjukkan fakta

(30)

bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.27

Sedangkan Tb.Ronny R.Nitibaskara B. Motif Terorisme

Terorisme merupakan salah satu diantara banyak tindakan pidana lainnya.US Army Training and Doctrine Command pada tahun 2007 mengemukakan bebepara alasan yang memunculkan beberapa motif terjadinya pergerakan terorisme, antara lain: separatism, etnosentrisme, nasionalisme, dan revolusioner.

28

1. Motif politik

dalam jurnalnya menyatakan bahwa berbagai corak ragam motif-motif dilancarkannya aksi terorisme timbul akibat banyaknya ragam pelaku. Adapun ragam-ragam tersebut sebagai berikut :

Secara umum terorisme mengandung motif politik, demikian kira-kira pandangan klasik mengenai terorisme.selangkapnya pandangan tersebut sebagai berikut : “terrorism has been defined as the sub-stateapplication of violence or threatened violence intended to show panic in society, to weaken or ever overthrow the incumbents, and to bring about political change. It shades on occasion into guerrilla warfare (although unlike guerrillas, terrorists are unable or unwilling to take or hold territory) and even a substitude for war between state. Defenisi tersebut sesuai dengan kelompok organisasi yang merupakan gerakan perlawanan yang sering

27ttps://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:U12KGKTAF0MJ:https://id.wi kipedia.org/wiki/Terorisme+&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id, diakses pada tanggal 30 januari 2016 pukul 20.15 WIB.

28 Tb.Ronny R Nitibakara, op.cit hal 16-18

(31)

dituduh melaksanakan terorisme, seperti liberation front (front pembebasan) atau disebut dengan FMLN-Salvador.

2. Motif Ekonomi

Terorisme yang bermotifkan ekonomi, yakni dengan mencari keuntungan secara milenial sebanyak-banyaknya, biasanya dilakukan oleh organisasi- organisasi kejahatan (Crime Organizations) seperti mafia, yakuza, kartel- kartel perdagangan obat terlarang dan sejenisnya.

3. Motif Penyelamatan (Salvation).

Motif penyelamatan erat dengan ajaran-ajaran atau sekte aliran kepercayaan, Contoh terorisme dengan motif salvation yang paling menggetarkan adalah yang dilakukan oleh sekte Aum Shinrikyo di Jepang pimpinan Shoko Asahara. Kelompok sekte ini pada bulan maret 1995 melaukan teror dengan gas sarin di stasiun bawah tanah Tokyo yang menewaskan 10 orang dan melukai 5000 orang lainnya. Pelaku terorisme sama sekali tindakan tersebut sebagai tindakan teror. Dalam keyakinan mereka, manusia hidup selalu dalam keadaan terpenjara dan sengsara, karena itu diperlukan suatu kematian yang cepat untuk penyelamatan nyawa orang lain sebagai tindakan mulia, jauh dari maksud menakut- nakuti, apalagi menebar rage of teror. Oleh karena itu dibutuhkan adanya suatu kematian yang cepat untuk penyelamatan.

4. Motif Balas Dendam

Terorisme dengan motif ini biasanya dilakukan pelaku Individual, atau kelompok-kelompok kecil terorganisir maupun organisasi-organisasi

(32)

kejahatan. Pelaku individual dengan motif balas dendam salah satu contoh adalah Unabomber. Pelaku yang nama sebenarnya adalah Theodore John Kecynski ini merasa kecewa dengan lembaga riset universitas tertentu yang telah memperlakukannya secara kurang layak. Selanjutnya, ia merasa terdorong untuk menumpahkan kemarahannya berupa terorisme berantai.

5. Kegilaan (madnes).

Pelaku dengan motif ini biasanya melakukan tindak pidana terorisme dengan berakar dari adanya penyimpangan psikologis. Teroris dari spanyol, carlos, yang sempat merajalela ditahun-tahun 1970-an diduga memiliki motif ini.

C. Bentuk Terorisme

Dalam melakukan aksinya para teroris menggunakan model atau bentuk aksi gerakan yang tidak sama dan berubah-ubah, dalam kenyataannya paling tidak terdapat sepuluh bentuk aksi teror, yaitu:

1) Peledakan Bom

Taktik ini merupakan model yang paling banyak digunakan para teroris, karena pekerjaanya yang tersembunyi, tidak membutuhkan orang yang banyak, bahannya yang mudah diperoleh dan biaya yang relatif murah, ini tidak membutuhkan keahlian yang tinggi, mempunyai daya ledak yang dahsyat dan dengan korban yang lumayan banyak. Bom yang digumakan dalam terorisme sudah dikenal pada era Napoleon, untuk memperluas kekuasaan yang melebihi sasarannya sendiri.Pada tahun 1858

(33)

Orsini berusaha membunuh Napoleon III, menyebabkan delapan orang yang tidak bersalah ikut mati terbunuh.29

2) Bom Waktu dan Bom Buku

Bentuk ini menggunakan getaran sesuai dengan waku yang dikehendaki/timer, ada pula yang menggunakan bom bunuh diri dengan cara melilitkan bom pada bagian badan yang siap diledakkan baik oleh pemakainya maupun pihak lain sesuai dengan scenario dan yang terakhir ini berkembang adalah bom buku, yaitu bom yang dimasukkan kedalam kotak berbentuk buku yang dikirim ke alamat yang dituju sesuai dengan target. Dalam dekade terakhir ini hamper semua dikaitkan dengan bom, bahkan hampir 65% dari tindakan terorisme.30

3) Bom Bunuh Diri (Suicide Bomb).

Menurut Institude For Counter-terrorism (ICT), peledakan bom bunuh diri adalah sebuah “metode operasi dengan penyerangan bergantung pada kamatian pelaku, pelaku sepenuhnya menyadari bahwa jika ia akan tewas, rencana penyeranngan tidak akan dilaksanakan. Terorisme bunuh diri merupakan terorisme yang sangat agresif, dalam terorisme bunuh diri dengan menggunakan bom, pelaku teroris mengharapkan tidak akan selamat dari maut, dan pelaku sudah pasti akan mati. Bom bunuh diri sudah mulai ada sejak abad ke-11, dan cara serupa dipergunakan pada saat pecah revolusi Belgia tahun 1830 pada saat perang dunia ke-II serangan

29 A.M. Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, Buku Kompas, Jakarta,2009, hal 45.

30Ibid, hlm 45.

(34)

bom bunuh diri menjadi metode terutama digunakan oleh pilot-pilot Jepang. Mereka menggunakan kamikaze dengan menjadikan diri mereka sebagai peluru kendali manusia.Mereka menerbangkan pesawat yang sarat dengan bahan peledak dan menabrak pesawat pada kapal-kapal musuh dan yang spektakuler adalah bom bunuh diri yang dilakukan dengan menabrak menara kembar WCT dan Pentangon pada 11 September 2001.

Di Indonesia, bom bunuh diri marak dipergunakan mulai dari bom bunuh diri di Bali 12 Oktober 200, berlanjut 5 Agustus 2003 dihotel J.W.Marriot dan Rize Carlton Jakarta yang mengakibatkan Sembilan orang tewas dan puluhan orang mengalami luka-luka. Cara ini digunakan karena selain biaya yang sangat rendah, juga tidak membutuhkan teknologi yang tinggi dan menimbukan korban yang cukup besar.31

4) Pembajakan

Aksi pembajaka popular digunakan sejak tahun 1960 yang sampai sekarang masi ditemukan, dalam kurun waktu 1960 sampai dengan 1975 tercatat 439 peristiwa pembajakan diseluh dunia. Umumnya aksi ini dilakukan atas pesawat terbang, kapal laut, kereta api, dan mobil.

Pembajakan kereta api yang cukup terkenal terjadi di Belanda oleh sekelompok warga yang menamakan diri Republik Maluku Selatan (RMS), pertama kali terjadi pada tanggal 21 Desember 1975, pemerintah Belanda menyatakan sebagai Kidnappings Around the World (krisis

31Ibid, hlm 46.

(35)

sandera di dunia). Dalam insiden tersebut, kelompok ini menembak masinis kereta api, namun seluruh pembajak berhasil ditangkap.32

5) Penembakan

Taktik penembakan banyak ditemukan di dearah-daerah konflik seperti Aceh, maluku, poso, dan papua seperti yang baru saja terjadi, penembakan terhadap pesawat Twin Otter PK-YRF Trigana di pegunungan Mulia Jayawijaya Papua pada Minggu, 8 A pril 2012 tujuannya menhabisi para pihak yang dipandang sebagai lawannya dan menimbulkan rasa takut di kalangan rakyat atau orang-orang yang menjadi target. Para penembak merupakan kelompok terlatih/snipper seperti yang banyak terjadi didaerah konflik di Maluku, poso, aceh, dengan senjata yang canggih.33

6) Perampokan

Aksi perampokan biasanya dilakukan para teroris dengan merampas uang dalam jumlah yang besar untuk mendukung kegiatan operasi kaum teroris.Dalam aksi ini tidak segan-segan mereka meghabisi orang-orang yang berhubungan dengan perampokan tersebut. Perampokan umumnya dilakukan atas mobil pembawa uang, atau barang berharga dan took-toko emas, bank, atau tempat-tempat yang dipandang memiliki dana yang besar.34

7) Pembunuhan

32 Ibid, hlm 46

33 Ibid, hlm 47

34Ibid, hlm 47.

(36)

Aksi teror pembunuhan merupakan bentuk teror yang paling tua, menurut catatan sejarah sudah berlangsung pada jaman Kain dan Habel ribuan tahun sebelum masehi.Taktik tersebut masih ditemukan sampai saat ini. Sasaran pembunuhan biasanya sudah direncanakan terlebih dahulu, setelah terjadi pembunuhan, para teroris akan mengumumkan bertanggungjawab atas insiden pembunuhan tersebut.

Pembunuhan umumnya dilakukan secara terpilih/selektif terhadap target atas figur yang dikenal dalam mayarkat seperti pejabat pemerintahan, pejabat diplomat, aparat kepolisian, tokoh agama, tokoh mayarakat, aparat keamanan, politisi, atau para pengusaha. Apabila aksi terlaksana akan membawa dampak bemberitaan yang sangat luas, sehingga aksi teroris akan semkain dikenang dan diketahui mesyarakat luas.

Semikin tinggi tingkatan target pembunuhan, akan semakain tinggi efek siosial bagi kehidupan masyarakat. Menurut catatan, dalam sepuluh tahun terakhir ini terjadi 246 insiden pembunuhan diseluruh dunia.35

8) Penyandraan

Penyandraan merupakan salah satu taktik dan metode tradisional yang dipergunakan kaum teroris menangkap, mengurung target yang menjadi korban, baik pribadi atau kelompok disuatu atau beberapa tempat yang dirahasiakan dengan sejumlah tuntutan kepada pemerintah, lembaga, organisasi, ataupun perorangan.Pembebasan dapat diberikan apabila

35 Abdurrahman Pribadi dan Abu Rayyan ,Membongkar Jaringan Terorisme, Abdika Press, Jakarta, 2009, hlm 17.

(37)

terjadi kesepakatan.Penyandera dapat berkomunikasi melalui media yang tersedia, sambil mengajuakan berbagai tuntutan, sekaligus menyampaikan ancaman yang dilakukan bila tidak memenuhi tuntutan penyandera.36 9) Penculikan

Penculikan ini merupakan taktik yang dilakukan para teroris dengan melakukan penghadangan terhadap orang atau kelompok tertentu, diikuti dengan tuntutan tebusan berupa uang, benda, atau tuntutan politik seperti yang dilakukan oleh kelompok gerilia Abusayaf di Filipina.37Aksi penculikan di Indonesia banyak dilakukan oleh kelompok kecil dengan motif ekonomi, tebusan uang, atau balas denda, tidak berkaitan dengan jaringan Internasional seperti Al-Qaeda.38

10) Penghadangan

Penghadangan merupakan salah satu bentuk teror yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok perorangan terhadap orang attau kelompok orang dengan menggunakan senjata tajam, senjata api, atau benda-benda lain yang membuat calon korban atau korban terjebak, tertembak. Aksi penghadangan biasanya dipersipakan dengan matang melalui perencanaan medan dan waktu, penggunaan sarana, dan latihan, sehingga hasilnya lebih terjamin. Tujuan mencederai, menakut-nakuti, atau membunuh.Biasanya

36 Ibid, hlm 17

37 A.C. Manullang, Menguak Tabu Intelejen: Teror, Motif, dan Rezim, CMB Press, Jakarta, 2001, Hlm 180.

38Abdurrahman Pribadi dan Abu Rayyan, hlm 48.

(38)

penghadangan dilakukan karena tidak puas terhadap suatu kebijakan atau suatu protes terhadap penguasa.39

Dalam hukum pidana terdapat pengertian tindak pidana yang mangandung arti sebagai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang sehingga telah melanggar ketentuan hukum.Dalam hal ini perbuatan yang dilakukan sebelumnya telah diatur oleh hukum atau undang-undang sehingga adanya sanksi yang diberlakukan bagi setiap orang yang melanggar tindak pidana tersebut. Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan yakni :

D. Tindak Pidana Terorisme

40

a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana

b. Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat oleh karena kejadian dengan akibat yang ditimbulkan kejadian ada saling berkaitan.

Kejadian tidak dapat dilarang jika tidak dilakukan oleh orang, dan orang tidak akan dipidana tidak tidak katena kejadian yang ditimbulkan olehnya.

Dalam hal ini jika dikatakan tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur (Strafbaarfeit) yang ada yaitu:

39A.C. Manullang, op.cit, hlm 182.

40Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta , 2015 Hlm 13.

(39)

a. Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat, membiarkan)

b. Diacam dengan pidana (starbaar gesteld) c. Melawan hukum (onrechtmatig)

d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand) e. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar verson)

Sehingga tindak pidana terorisme merupakan suatu perbuatan yang menimbulkan keresahan dalam masyarakat, negara dengan menimbulkan teror baik dalam bentuk kepanikan dalam masyarakat itu sendiri.Ancaman-ancaman yang timbul akibat bentuk protes pada pemerintahan dengan melakukan teror diberbagai wilayah.Tindak pidana terorisme dapat juga berupa aksi intimidasi yang dilakukan terhadap seseorang, kerugian berat terhadap harta benda, menciptakan resiko serius bagi kesehatan publik. Penggunaan ancaman ditujukan untuk mengintimidasi pemerintahan dari segi politik, penggunaan atau ancaman masuk dalam subtasi senjata api atau bahan peledak. Ketika semua unsur yang ada terpenuhi maka dapat dianggap sebagai tindak pidana terorisme.41Terorisme secara factual menimbulkan bahaya bagi nyawa dan perekonomian. Secara lebih luas, Abdullah Sumrahadi mengemukakan bahwa terorisme dapat menimbulkan bahaya yang kompleks, antara lain:42

1. Kehidupan masyarakat menjadi tertekan, tidak aman, dan selalu dihantui oleh kekhawatiran dalam melakukan aktivitas. Hal ini dapat

41 Indriyanto Seno Adji, Terorisme dan HAM dalam Terorisme, Tragedi Umat Manusia, Jakarta , O.C.Kaligis & Associates, 2001, H1m 8

42Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, Graha Ilmu, Yokyakarta, 2012, hlm 76

(40)

mengakibatkan terlanggarnya hak individu maupun kelompok dalam masyarakat.

2. Merusak sendi-sendi politik, karena politik dijadikan sebagai alat atau sarana untuk melakukan kejahatan atau kesewenangan penguasa.

3. Kehidupan ekonomi menjadi carut marut karena sentiment pasar cenderung mengikuti perilaku dan kejadian politik nasional maupun internasinal.

4. Kehidupan agama menjadi berada dalam baying-bayang kekuasaan dan ketertindasan.

3. Ruang Lingkup Kriminologi

Kriminologi merupakan sarana ilmiah bagi study kejahatan dan penjahat (crime and criminal). Dalam wujud ilmu pengetahuan, kriminologi merupakan the body of knowledge (tubuh pengetahuan) yang ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan hasil penelitian dari berbagai disiplin, sehingga aspek pendekatan terhadap objek study sangat luas sekali, dan secara inter disipliner dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta dalam pengertian yang luas mencakup pula kontribusi dari ilmu eksakta. 43

a. Orang yang melakukan kejahatan

Kriminologi dengan cakupan kajiannya sebagai berikut :

b. Penyebab melakukan kejahatan c. Mencegah tindak pidana kejahatan

d. Cara-cara menyembuhkan orang yang melakukan kejahatan44

43 Abintoro Prakoso, Krriminologi dan Hukum Pidana, laksbang Grafika, Yokyakarta, 2013, Hlm 14.

44Ibid, hal. 2

(41)

Seperti yang dikemukakan oleh beberapa sarjana tentang defenisi kriminologi yaitu:

a. Bonger memberikan defenisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya

b. Michael dan Alder berpendapat bahwa kriminologi adalah keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, lingkungan mereka dan cara mereka secara resmi diperlakukan oleh lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh para anggota masyarakat.

c. Wood berpendirian bahwa kriminologi meliputi keseluruhan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman, yang bertalian dengan perbuatan jahat atau penjahat, termasuk didalamnya reaksi dari masyarkat terhadap perbuatan jahat dan para penjahat.

d. Frij merumuskan bahwa kriminologi ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan, bentuk, sebab-sebabnya, serta upaya penanggulangan dari kejahatan tersebut.45

Disamping itu kriminologi juga membahas tentang usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan, politik kriminal yang membahas tentang usaha penanggulangan kejahatan dimana suatu kejahatan telah terjadi, menyangkut sebab-sebab seseorang melakukan kejahatan serta adanya kriminalistik (Police Scientific) yang merupakan ilmu tentang pelaksanaan penyidikan, tehnik kejahatan dan pengusutan kejahatan. 46

45 H.M.Ridwan dan Ediwarman, Azas-Azas Kriminologi, USU Press, Medan, 1994, hlm 1

46 Topo santoso dan Achjani Zulfa, op.cit, Hal 9

(42)

F. Metode Penulisan 1. Jenis Penelitian

Penulisan Skripsi ini dilakukan dengan melalui penelitian hukum Normatif yaitu dengan melakukan kajian terhadap norma hukum dan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

2. Jenis Data

Data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah jenis data sekunder.Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian.Dalam penulisan ini memakai berbagai bahan hukum, mulai dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

3. Teknik Pengumpulan Data

Data yang ada dalam penulisan skripsi ini dikumpulkan melalui cara study kepustakaan yang berarti mempelajari dan menganalisa buku-buku, peraturan perundang-undangan, serta putusan Perkara Nomor 79/Pid.Sus/2014/PN.Jkt Timur, juga sumber-sumber bacaan lain yang terkait dengan permasalahan dalam penulisan ini.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan metode kualitatif, yang berarti dengan menganalisa data-data dan diuraikan melalui kalimat-kalimat yang merupakan penjelasan atas hal-hal yang terkait dalam penulisan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sitematika Penulisan ini adalah terbagi dalam beberapa bab sebagai berikut :

(43)

Bab I : Bab ini terdiri dari sub-sub yang dimulai dari latar belakang masalah, permasalahan, tujuan, dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, serta sistematika penulisan.

Bab II: Dalam bab ini terdiri dari sub-bab yang membahas tentang pengaturan tindak Pidana terorisme menurut undang-undang nomor 15 tahun 2003, ketentuan sanksi pidana dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme, ketentuan revisi undang-undang nomor 15 tahun 2003 menjadi undang-undang nomor 5 tahun 2018, serta kekuasaan undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme dalam hal pengecualian hkum acara pidana.

Bab III: Dalam bab ini dibahas mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana terorisme,factor internal dan factor eksternal serta upaya penanggulangan tindak pidana terorisme yakni upaya preventif dan upaya represif.

Bab IV: Bab ini terdiri dari bab yang terdiri dari beberapa sub bab yang berisi tentang upaya penal, upaya non penal, surat tuntutan, surat dakwaan, serta putusan Hakim dan menganalisa kasus tindak pidana terorisme dengan Nomor register perkara :79/Pid.Sus/2014/PN.Jkt.Timur.

Bab V: Bab penutup ini berisi 2 (dua) sub-bab yaitu mengenai kesimpulan dan saran.

(44)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT HUKUM INDONESIA

A. Pengaturan Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia.

Dalam hal upaya mencegah terjadinya tindak pidana terorisme dalam berbagai tragedi yang terjadi akhir-akhir ini, pemerintah mengeluarkan peraturan nomor 1 tahun 2002 yang kemudian diundangkan menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.47Kemudian pada tanggal 25 Mei 2018 dilakukan revisi hingga berubah menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 dengan beberapa ketentuan dan pasal yang direvisi. Namun Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) merupakan produk hukum Indonesia yang isinya dibuat oleh pemerintah Belanda sehingga KUHP yang saat ini tidak lain adalah hasil alih terjemahan yang dilakukan oleh beberapa sarjana.48

47Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU PTPT).

48Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, cet 21, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm 10.

Simons merumuskan strafbaar feit (tindak pidana) yaitu, strafbaar feit adalah hendeling (tindakan atau perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh Undang-undang, bertentangan dengan hukum dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seorang yang mampu bertaggungjawab.

(45)

Profesor van Hattum berpendapat bahwa Strafbaar feit adalah tindakan yang dapat membuat seseorang dapat dihukum.Kedua pendapat tersebut merujuk kepada istilah tindak pidana yang merumuskan strafbaar feit.Dengan demikian dapat diambil kesimpulan mengenai tindak pidana yaitu :

1. Suatu perbuatan yang melawan hukum

2. Orang yang dikenai sanksi harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa kesalahan)

3. Subject dapat dipidana apabila ia dapat bertanggungjawab atas perbuatannya/waras.

Terorisme diklasifikasikan sebagai tindak pidana, maka harus melekat dalam terorisme yaitu unsur melawan hukum dalam arti melawan hukum secara formil maupun materil.49

49S.R. Sianturi., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta:

Alumni Ahaem Petehaem, 1989, hal. 205

Pencantuman unsur melawan hukum dalam suatu tindak pidana berpengaruh pada proses pembuktian. Misalnya dalam suatu pasal secara nyata terdapat unsur melawan hukum, maka penuntut umum harus membuktikan unsur tersebut, jika unsur tersebut tidak terbukti maka putusannya vrijspraak atau putusan bebas.Sedangkan, jika unsur melawan hukum tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu tindak pidana maka tidak terbuktinya unsur tersebut menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum.Unsur yang kedua yaitu unsur kesalahan (Schuld) dipersamakan dengan kesengajaan (Opzet) atau kehendak (Voornawen).Geen straf zonder schuld (tiada hukuman tanpa kesalahan) berarti orang yang dihukum harus terbukti bersalah.Kesalahan mengandung dua

(46)

pengertian, dalam arti sempit yang berarti kesengajaan (Dolus/Opzet) yakni berbuat dengan hendak dan maksud atau dengan menghendaki dan mengetahui atau Willen en Wetens, sedangkan dalam arti luas berarti dolus dan culpa.

Culpa sendiri berarti kealpaan, dimana pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan, dan unsur yang ketiga yaitu pertanggungjawaban subjek.Sesuatu dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila ada subjek (pelaku) dari tindak pidana itu sendiri, agar dapat dipidana, dalam diri subjek atau pelaku pidana tidak terdapat dasar penghapus pidana, baik dasar pembenar maupun dasar pemaaf, kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan.50

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara Terdapat suatu istilah dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme yang menunjukan peristiwa terorisme merupakan kejahatan, yakni istilah tindak pidana.Istilah tersebut telah digunakan oleh masing-masing penerjemah atau yang menggunakan dan telah memberikan sandaran perumusan dari istilah strafbaar feit dalam hukum pidana sebagaimana telah dijelaskan di atas. Istilah strabaar feit sendiri telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana.

Didalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme Bab III Pasal 6 tertulis :

50 J.M. van Bemmelen., Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum, Diterjemahkan oleh Hasan tanpa tempat: Bina Cipta, 1984, hlm 47-49

(47)

meluas atau menimbulkan korban yang bersifat missal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas Internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”51

Selain tentang terorisme, undang-undang yang juga mengatur tindak pidana terorisme adalah pembuatan bahan kimia yang tertulis pada Undang-

Dari ketentuan tersebut penulis berpendapat bahwa kerusakan atau kehancuan lingkungan hidup adalah tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan, dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya, termasuk merusak atau menghancurkan adalah dengan sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, atau komponen lain yang berbahaya atau beracun ke dalam tanah, udara maupun air permukaan yang membahayakan terhadap mahluk hidup atau barang sekalipun.

Pasal ini termasuk dalam delik materil yaitu yang ditekankan pada akibat yang dilarang yaitu dengan hilangnya nyawa, hilangnya harta benda atau hancurnya lingkungan hidup, adalah tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, dan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kesejahteraan manusia serta mahluk lainnya.

51 Ermansjah Djaja, KUHP Khusus, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003, Sinar Grafika, Jakarta 2009, hlm 744.

(48)

Undang Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia Dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia.52

1. Mengembangkan, memproduksi, memperoleh, dan/atau menyimpan senjata kimia

Pasal 14, Setiap orang dilarang;

2. Mentransfer, baik langsung maupun tidak langsung, senjata kimia kepada siapa pun

3. Menggunakan senjata kimia

4. Melibatkan diri pada persiapan militer untuk menggunakan senjata kimia 5. Melibatkan diri, membantu dan/atau membujuk orang lain dengan cara apa

pun dalam kegiatan yang dilarang undang-undang ini.

Dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, mengkualifikasikan tindak pidana terorisme sebagai berikut :

1. Delik materil yang terdapat pada Pasal 6,

2. Delik formil yang terdapat pada Pasal 7 sampai dengan Pasal 12, 3. Delik pembantuan Pasal 6 huruf g,

4. Delik penyertaan Pasal 13 dan Pasal 15, 5. Delik perencanaan terdapat dalam Pasal 14.

Subjek hukum yang dapat digolongkan menjadi pelaku tindak pidana terorisme menurut Pasal 1 butir 2 dan Pasal 3 Undang-undang pemberantasan terorisme, didalam melakukan tindak pidana terorisme dapat perilakunya berupa

52 http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_9_2008.htm, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia Dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia.

Gambar

Tabel :   Jenis, bobot dan system perumusan sanksi pidana dalam Undang-Undang  pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Referensi

Dokumen terkait

Pada umumnya, bahan yang dapat menghantar arus listrik dengan sempurna (logam) merupakan penghantar yang baik juga untuk kalor dan sebaliknya. Selanjutnya bila

Rumusan masalah tersebut dikaji dengan menggunakan data-data kepustakaan atau sekunder atau dengan metode penelitian normatif yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan dan

Kelemahan dalam pasal ini adalah, tidak disebutkannya bentuk perjudian apa yang diperbolehkan tersebut, ataukah sama bentuk perjudian sebagaimana yang

Tujuan penelitian ini adalah memperkenalkan metoda uji small punch untuk studi awal sifat-sifat mekanik material meliputi kuat luluh, kuat tarik, temperatur transisi ulet ke

Meskipun hak ulayat diatur dalam UUPA, pihak Keraton tidak memilih status hak ulayat sebab melalui hak ulayat Keraton hanya bisa memberikan tanah dalam jangka waktu tertentu

Perumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah bagaimana pengawasan sebagai sarana penegakan hukum dalam Hukum Administrasi Negara, Bagaimana tugas pokok dan

73 Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi Revisi , Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2004, hal 77.. regulasi-regulasi yang relevan untuk

Pengertian Bilyet Giro seperti tercantum dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Bank Indonesia No. 18/41/PBI/2016 adalah sebagai berikut: “Bilyet Giro adalah surat