• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT HUKUM INDONESIA

A. Pengaturan Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme di Indonesia.

Dalam hal upaya mencegah terjadinya tindak pidana terorisme dalam berbagai tragedi yang terjadi akhir-akhir ini, pemerintah mengeluarkan peraturan nomor 1 tahun 2002 yang kemudian diundangkan menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.47Kemudian pada tanggal 25 Mei 2018 dilakukan revisi hingga berubah menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 dengan beberapa ketentuan dan pasal yang direvisi. Namun Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) merupakan produk hukum Indonesia yang isinya dibuat oleh pemerintah Belanda sehingga KUHP yang saat ini tidak lain adalah hasil alih terjemahan yang dilakukan oleh beberapa sarjana.48

47Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU PTPT).

48Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, cet 21, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm 10.

Simons merumuskan strafbaar feit (tindak pidana) yaitu, strafbaar feit adalah hendeling (tindakan atau perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh Undang-undang, bertentangan dengan hukum dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seorang yang mampu bertaggungjawab.

Profesor van Hattum berpendapat bahwa Strafbaar feit adalah tindakan yang dapat membuat seseorang dapat dihukum.Kedua pendapat tersebut merujuk kepada istilah tindak pidana yang merumuskan strafbaar feit.Dengan demikian dapat diambil kesimpulan mengenai tindak pidana yaitu :

1. Suatu perbuatan yang melawan hukum

2. Orang yang dikenai sanksi harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa kesalahan)

3. Subject dapat dipidana apabila ia dapat bertanggungjawab atas perbuatannya/waras.

Terorisme diklasifikasikan sebagai tindak pidana, maka harus melekat dalam terorisme yaitu unsur melawan hukum dalam arti melawan hukum secara formil maupun materil.49

49S.R. Sianturi., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta:

Alumni Ahaem Petehaem, 1989, hal. 205

Pencantuman unsur melawan hukum dalam suatu tindak pidana berpengaruh pada proses pembuktian. Misalnya dalam suatu pasal secara nyata terdapat unsur melawan hukum, maka penuntut umum harus membuktikan unsur tersebut, jika unsur tersebut tidak terbukti maka putusannya vrijspraak atau putusan bebas.Sedangkan, jika unsur melawan hukum tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu tindak pidana maka tidak terbuktinya unsur tersebut menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum.Unsur yang kedua yaitu unsur kesalahan (Schuld) dipersamakan dengan kesengajaan (Opzet) atau kehendak (Voornawen).Geen straf zonder schuld (tiada hukuman tanpa kesalahan) berarti orang yang dihukum harus terbukti bersalah.Kesalahan mengandung dua

pengertian, dalam arti sempit yang berarti kesengajaan (Dolus/Opzet) yakni berbuat dengan hendak dan maksud atau dengan menghendaki dan mengetahui atau Willen en Wetens, sedangkan dalam arti luas berarti dolus dan culpa.

Culpa sendiri berarti kealpaan, dimana pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan, dan unsur yang ketiga yaitu pertanggungjawaban subjek.Sesuatu dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila ada subjek (pelaku) dari tindak pidana itu sendiri, agar dapat dipidana, dalam diri subjek atau pelaku pidana tidak terdapat dasar penghapus pidana, baik dasar pembenar maupun dasar pemaaf, kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan.50

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara Terdapat suatu istilah dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme yang menunjukan peristiwa terorisme merupakan kejahatan, yakni istilah tindak pidana.Istilah tersebut telah digunakan oleh masing-masing penerjemah atau yang menggunakan dan telah memberikan sandaran perumusan dari istilah strafbaar feit dalam hukum pidana sebagaimana telah dijelaskan di atas. Istilah strabaar feit sendiri telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana.

Didalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme Bab III Pasal 6 tertulis :

50 J.M. van Bemmelen., Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum, Diterjemahkan oleh Hasan tanpa tempat: Bina Cipta, 1984, hlm 47-49

meluas atau menimbulkan korban yang bersifat missal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas Internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”51

Selain tentang terorisme, undang-undang yang juga mengatur tindak pidana terorisme adalah pembuatan bahan kimia yang tertulis pada

Undang-Dari ketentuan tersebut penulis berpendapat bahwa kerusakan atau kehancuan lingkungan hidup adalah tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan, dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya, termasuk merusak atau menghancurkan adalah dengan sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, atau komponen lain yang berbahaya atau beracun ke dalam tanah, udara maupun air permukaan yang membahayakan terhadap mahluk hidup atau barang sekalipun.

Pasal ini termasuk dalam delik materil yaitu yang ditekankan pada akibat yang dilarang yaitu dengan hilangnya nyawa, hilangnya harta benda atau hancurnya lingkungan hidup, adalah tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, dan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kesejahteraan manusia serta mahluk lainnya.

51 Ermansjah Djaja, KUHP Khusus, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003, Sinar Grafika, Jakarta 2009, hlm 744.

Undang Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia Dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia.52

1. Mengembangkan, memproduksi, memperoleh, dan/atau menyimpan senjata kimia

Pasal 14, Setiap orang dilarang;

2. Mentransfer, baik langsung maupun tidak langsung, senjata kimia kepada siapa pun

3. Menggunakan senjata kimia

4. Melibatkan diri pada persiapan militer untuk menggunakan senjata kimia 5. Melibatkan diri, membantu dan/atau membujuk orang lain dengan cara apa

pun dalam kegiatan yang dilarang undang-undang ini.

Dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, mengkualifikasikan tindak pidana terorisme sebagai berikut :

1. Delik materil yang terdapat pada Pasal 6,

2. Delik formil yang terdapat pada Pasal 7 sampai dengan Pasal 12, 3. Delik pembantuan Pasal 6 huruf g,

4. Delik penyertaan Pasal 13 dan Pasal 15, 5. Delik perencanaan terdapat dalam Pasal 14.

Subjek hukum yang dapat digolongkan menjadi pelaku tindak pidana terorisme menurut Pasal 1 butir 2 dan Pasal 3 Undang-undang pemberantasan terorisme, didalam melakukan tindak pidana terorisme dapat perilakunya berupa

52 http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_9_2008.htm, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia Dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia.

manusia atau perseorangan. Dalam rumusan pasal tersebut menyatakan bahwa subjek pelaku dalam tindak pidana terorisme merupakan setiap orang yang didefenisikan sebagai seseorang, beberapa orang atau koorporasi dan kelompok tersebut yang terdiri dari sipil maupun militer ataupun polisi, perseroan, yayasan, dan organisasi lainnya.

B. Kententuan-ketentuan Sanksi Pidana Didalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memilki 2 (dua) jenis hukuman pidana yang diatur dalam Pasal 6 sampai dengan pasal 15 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Terorisme yakni;53

1. Mati a. Pidana Pokok

2. Penjara b. Pidana Tambahan

1) Pencabutan hak-hak tertentu 2) Perampasan barang-barang tertentu 3) Pengumuman putusan hakim 4) Pembekuan korporasi

5) Pencabutan izin korporasi 6) Pelanggaran korporasi

53Abdul Kholiq, Hukum Pidana Terorisme, Graha Ilmu, Yokyakarta, 2012, hlm 137

Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 1 ayat 1 adalah perbuatan melawan hukum dengan penjatuhan hukuman pidana dalam penjelasan Pasal 6 sebagai berikut;

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas Internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.54

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau Pasal 6 ini termasuk dalam delik materil yaitu yang ditekankan pada akibat menimbulkan hilangnya nyawa, hilangnya harta, atau keruksakan dan kehancuran sehingga harus dibuktikan akibat dari perbuatan berupa munculnya suasana teror atau rasa takut yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal.Sedangkan mengenai delik formil tindak pidana terorisme terdapat pada pasal 7 sampai Pasal sampai pasal 16 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Bunyi rumusan Pasal 7 adalah ;

54 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetatapan PERPPU No 1 Tahun 2002, lihat http://.go.id/perpu/nomor-15-tahun-2003, diakses : 8 agustus 2017.

untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup”. 55

1. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain.

Perbuatan yang dilarang dan dikategorikan sebagai kegiatan setiap terorisme adalah bermaksud untuk melakukan perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dimana perbuatan tersebut dapat menimbulkan suasana teror ditengah-tengah masyarakat.

Pasal 7 merupakan delik formil sehingga yang harus dibuktikan adalah adanya maksud untuk Pengetahuan Hukum menimbulkan suasana teror atau rasa takut yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, walaupun ancaman kekerasan atau kekerasannya belum dilakukan.

Rumusan Pasal 6 dan Pasal 7, masing-masing bisa ditafsirkan, yaitu meliputi dua macam tindak pidana bila dilihat dari akibatnya, yaitu:

2. Rumusan tindak pidana ini menitikberatkan pada munculnya akibat, yaitu suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dan cara yang digunakan yaitu:

merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain dalam Pasal 7 harus dibuktikan maksud untuk mencapai akibat tersebut.

55 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetatapan PERPPU No 1 Tahun 2002, lihat http://.go.id/perpu/nomor-15-tahun-2003, diakses : 8 agustus 2017.

Yang perlu diperjelas dari rumusan ini adalah apa yang dimaksud dengan suasana teror, kalau yang dimaksud adalah ketakutan atau korban secara massal, seharusnya suasana teror‖ tidak dimasukkan lagi karena bisa ditafsirkan sepihak.

3. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas Internasional.

4. Rumusan ini dapat ditafsirkan menjadi tindakan sendiri karena sama-sama merupakan akibat yang ditimbulkan seperti ketakutan dan korban massal sehingga kedudukannya sejajar dalam struktur kalimat, dan tidak bisa disejajarkan dengan unsur dengan cara. Hal ini sangat berbahaya karena mengandung ketidak jelasan tentang perbuatan kekerasan apa sebagai caranya, serta apa yang dimaksud dengan objek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, dan fasilitas Internasional.56

Berdasarkan ketentuan pasal ini bahwa adanya unsur batin dari pembuat kehendak yaitu dengan rumusan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror, delik formil lainnya, yang mengatur tentang suatu kejahatan yang dilakukan terhadap dan di dalam pesawat udara, yang menyebutkan bahwa;

Pasal 8 dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang;

56 Wahyu Wiriadinata., Peranan Aparat Penegak Hukum Dalam Pelanggulangan Terorisme Di Indonesia.,Dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan Juni 2015, hlm 212.

a. Menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut

b. Menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut

c. Dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru;

d. Karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru

e. Dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain

f. Dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara

g. Karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak

h. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan

i. Dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan

j. Dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan k. Melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat,

dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang

l. Dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut

m. Dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak terbang atau membahayakan keamanan penerbangan

n. Dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan

o. Melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n

p. Memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan membahayakan keamanan pesawat udara dalampenerbangan

q. Dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan

r. Dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan.

Selanjutnya tindak pidana terorisme, dalam BAB III Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga diatur mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan konsep percobaan dan penyertaan bantuan. Hal ini terlihat dalam pasal 13 dan 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sebagai berikut;

Pasal 13 berbunyi: Setiap orang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan:

1. Memberikan atau meminjamkanuang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme

2. Menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme

3. Menyembunykan informasi tentang tindak pidana terorisme

Pasal 15: Setiap orang yang melakukan pemufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan, untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagimana dimaksud pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11, dan pasal 12, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.57

Tabel : Jenis, bobot dan system perumusan sanksi pidana dalam Undang-Undang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Dibawah ini akan dijelaskan sistem perumusan sanksi pidana dalam Undang-Undang pemberantasan tindak pidana terorisme.

58

pasal Jenis sanksi Bobot sanksi System perumusan

sanksi pidana 6, 8, 10 Pidana Mati

Pidana Penjara

Pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 ( dua puluh ) tahun

Alternatif

7 Pidana Penjara Pidana penjara paling lama seumur hidup

Tunggal/impresif 9, 20, 21 Pidana Mati

Pidana Penjara

Pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3(tiga) tahun dan paling lama 20(dua puluh) tahun

Alternatif

11, 12, 13 Pidana Penjara Pidana penjara paling singkat 3(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun

Tunggal/impresif

14 Pidana mati Pidana Penjara

Pidana mati atau pidana penjara seumur hidup

Alternatif 22 Pidana Penjara Pidana penjara paling singkat

2(dua) tahun dan paling singkat 7(tujuh) tahun

Tunggal/impresif

23 Pidana Kurungan Pidana kurungan paling lama 1(satu) tahun

Tunggal/impresif

57 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetatapan PERPPU No 1 Tahun 2002, lihat: http://.go.id/perpu/nomor-15-tahun-2003, diakses : 8 agustus 2017

58Abdul Kholiq, op.cit, hlm 136

C. Beberapa ketentuan Revisi Undang-undang Pemberantasan Tindak