• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dalam Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dalam Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh :"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

TERHADAP HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN NOMOR 878/PID.SUS-TPPU/2016/PN.SRG)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dalam Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

DEBY FARILLA RAZ SINGARIMBUN NIM 150200476

DEPARTEMEN PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

NAMA : DEBY FARILLA RAZ SINGARIMBUN

NIM : 150200476

DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA

JUDUL SKRIPSI : ANALISIS YURIDIS PENERAPAN UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG TERHADAP HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN NOMOR 878/PID.SUS-TPPU/2016/PN.SRG)

Dengan ini menyatakan:

1. Skripsi yang saya tulis ini adalah benar tidak merupakan jiplakan dari skripsi atau karya orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah jiplakan,maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya tanpa paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Oktober 2019

DEBY FARILLA RAZ SINGARIMBUN NIM: 150200264

(4)

ABSTRAK

Deby Farilla Raz Singarimbun*

Liza Erwina**

Mahmud Mulyadi***

Skripsi ini berbicara mengenai analisis yuridis penerapan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap hasil tindak pidana narkotika dalam putusan Nomor. 878/Pid.Sus- TPPU/2016/PN.Srg. adapun permasalahan dalam skripsi ini yaitu bagaimanakah peran Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam upaya menjerat pelaku tindak pidana narkotika?, Bagaimanakah penerapan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam studi putusan Nomor. 878/Pid.Sus-TPPU/2016/PN.Srg?.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder melalui pendekatan perundang-undangan.dalam perkembangan dewasa ini, pemberantasan tindak pidana narkotika tidak hanya melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika saja melainkan diarahkan pada upaya pemberantasan hasil tindak pidana narkotika melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

Adapun kesimpulan yang dapat penulis tarik adalah penerapan Undang- Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam studi putusan Nomor. 878/Pid.Sus-TPPU/2016/PN.Srg atas terpidana Muhammad Adam telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah turut serta melakukan tindak pidana: “Pencucian Uang” melalui hasil narkotika yaitu dengan melanggar Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dari segi penerapan sanksi pidana, penulis merasa sanksi yang diberikan Hakim sudah tepat dikarenakan terdakwa dalam perkara pokok telah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemukafakatan jahat menerima dan menyerahkan narkotika golongan I yang kemudian dijatuhi pidana mati, namun berhubung terdakwa masih melakukan upaya hukum dan sampai sekarang belum mempunyai kekuatan hukum tetap maka terdakwa harus tetap dimintai pertanggungjawabannya.

Kata kunci : Tindak Pidana Pencucian Uang, Tindak Pidana Narkotika

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**) Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***) Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(5)

ABSTRACT

Deby Farilla Raz Singarimbun * Liza Erwina **

Mahmud Mulyadi ***

This thesis talks about the juridical analysis of the application of Law Number 8 of 2010 concerning Money Laundering Criminal Acts against the results of narcotics crime in the decision of Number. 878 / Pid.Sus-TPPU / 2016 / PN.Srg.

As for the problems in this thesis, what is the role of the Republic of Indonesia Law No. 8 of 2010 concerning Money Laundering in an attempt to ensnare narcotics offenders ?, How is the application of RI Law No. 8 of 2010 concerning Money Laundering in the Study of Number decisions. 878 / Pid.Sus-TPPU / 2016 / PN.Srg ?.

The research method used in this paper is normative juridical research using secondary data through a legislative approach. In current developments, the eradication of narcotics crime is not only through Law Number 35 Year 2009 concerning narcotics but is directed at efforts to eradicate the results of acts narcotics crime through Law Number 8 of 2010 concerning the prevention and eradication of money laundering.

The conclusion that the author can draw is the application of RI Law No. 8 of 2010 concerning Money Laundering in the study of decision Number. 878 / Pid.Sus-TPPU / 2016 / PN.Srg for the convict Muhammad Adam has been proven legally and convincingly guilty of participating in the criminal offense: "Money Laundering" through narcotics proceeds by violating Article 3 of Law No. 8 of 2010 concerning Prevention and Eradication of Money Laundering Crimes. In terms of the application of criminal sanctions, the authors feel that the sanctions given by the Judges are appropriate because the defendant in the main case has been proven legally proven and convincingly guilty of committing a criminal act of accepting evil and submitting class I narcotics which was then sentenced to death, but because the defendant is still making efforts the law and until now has no permanent legal force, the defendant must be held accountable.

Keywords: Money Laundering, Narcotics Crime

*) University of North Sumatra University Faculty of Law students

**) First Advisor of the Faculty of Law, University of North Sumatra

***) Advisor II of the Faculty of Law, University of North Sumatra

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu wata’ala atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini ditulis dalam rangka melengkapi tugas akhir dan memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah : “ANALISIS YURIDIS PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG TERHADAP HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA(STUDI PUTUSAN NOMOR 878/PID.SUS- TPPU/2016/PN.SRG).” Penulis menyadari di dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan dan penyempurnaan penulisan skripsi.

Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis juga mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan dan ucapan terimakasih terhadap semua dukungan dan bantuan yang telah diberikan, saya menyampaikan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., DFM., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. OK Saidin,S.H.,M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H.,M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(7)

4. Bapak Dr. Jelly Leviza,S.H.,M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana

6. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan mengarahkan penulis dalam proses penulisan skripsi.

8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan mengarahkan penulis dalam proses penulisan skripsi.

9. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasehat Akademik dari penulis, yang setiap semesternya selalu menanyakan dan memperhatikan serta memberikan nasihat terhadap penulis tentang perkembangan IP dan IPK penulis.

10. Kepada seluruh Dosen dan Pegawai Fakultas Hukum USU yang selama ini telah banyak memberikan pengetahuan dan membantu penulis selama menjalani proses perkuliahan.

11. Kepada para sahabat yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis.

12. Keluarga Besar Mahasiswa Pecinta Alam Natural Justice FH USU.

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut memberikan bantuan dan dukungan selama penulisan skripsi ini.

(8)

Penghargaan dan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya penulis berikan kepada orang tua penulis, Ayahanda Zakarya Singarimbun dan Ibunda Riza Rasmida br. Purba yang telah senantiasa mendoakan, menasihati, memberi semangat, motivasi, dan semua pengorbanannya tanpa mengenal kata lelah untuk senantiasa memberikan yang terbaik bagi penulis hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kepada kakak penulis Fany Sefana Raz Singarimbun, adik penulis Nazla Agi Feby Raz Singarimbun Tulang penulis Andrians Purba yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

Penulis mohon maaf kepada Bapak/Ibu Dosen pembimbing atas sikap dan kata – kata penulis yang tidak berkenan selama masa penulisan skripsi.

Akhir kata sembari penulis berharap semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Medan, Oktober 2019

Penulis

Deby Farilla Raz Singarimbun

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... v

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 8

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan... 8

D. Keaslian Penelitian... 10

E. Tinjauan Kepustakaan... 10

1. Pengertian Penerapan Hukum ...……….. 10

2. Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 ... 14

3. Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ... 18

F. Metode Penelitian... 21

G. Sistematika Penulisan... 23

BAB II. PERAN UNDANG-UNDANG RI NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM UPAYA MENJERAT PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(10)

A. Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia ... 32

B. Modus Tindak Pidana Pencucian Uang ... 38

C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Undang- Undang No. 8 Tahun 2010 ... 44

D. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Pencucian Uang ... 51

E. Sanksi Tindak Pidana Pencucian Uang ... 60

BAB III. PENERAPAN UNDANG-UNDANG RI NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM PUTUSAN NOMOR 878/PID.SUS-TPPU/2016/PN.SRG A. Posisi Kasus Putusan Nomor 878/Pid.Sus-TPPU/2016/Pn.Srg ...63

1) Kronologi Kasus ... 63

2) Dakwaan ... 65

3) Fakta-Fakta Hukum ... 66

4) Tuntutan Pidana ... 79

5) Pertimbangan Hakim ... 81

6) Putusan ... 85

B. Analisis Yuridis Terhadap Putusan Nomor 878/Pid.Sus TPPU/2016/ Pn.Srg ... 87

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 96

B. Saran... 97

DAFTAR PUSTAKA... 99

(11)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini kejahatan yang menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang besar baik yang dilakukan secara perseorangan maupun oleh koorporasi telah semakin meningkat, baik kejahatan yang dilakukan dalam batas wilayah Negara Republik Indonesia maupun melintasi batas wilayah negara. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan (bribery), penyeludupan barang, penyeludupan tenaga kerja, perbankan, pasar modal, asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, perpajakan, dan berbagai kejahatan kerah putih lainnya. Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar jumlahnya.

Pada umumnya hasil kejahatan tersebut tidak langsung digunakan oleh para pelakunya karena apabila langsung dipakai akan dengan mudah terlacak oleh aparat penegak hukum mengenai sumber diperolahnya harta tersebut. Biasaya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar harta kekayaan tersebut masuk kedalam sistem keuangan (financial sytem), terutama kedalam sistem perbankan (banking sytem). Dengan demikian asal-usul keuangan tersebut diharapkan tidak dapat terlacak oleh para penegak hukum. Oleh karena itu upaya

(12)

untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan tersebut dikenal dengan nama pencucian uang (money laundering).1

Perbuatan pencucian uang ini disamping sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan. Untuk itu perbuatan pencucian uang harus dicegah dan diberantas agar intensitas kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dan dapat diminimalisasi sehingga dapat menjaga stabilitas perekonomian nasional dan keamanan negara. Sebegitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negara- negara di dunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menarik perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini didorong karena kejahatan money laundering mempengaruhi sistem perekonomian khususnya menimbulkan dampak negatif baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana baru dalam sistem hukum pidana Indonesia. Kriminalisasi terhadap pencucian uang, baru dimulai sejak diundangkannya Undang -Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Setelah undang-undang ini berlaku sekitar setahun, kemudian undang-undang ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pertimbangan sehingga dilakukan

1 C.S.T. Kansil dkk, Tindak Pidana Dalam Undang Undang Nasional, (Jakarta : Jala Permata Aksara, 2009), hlm 94

(13)

perubahan adalah agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif, maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar internasional.

Dalam perkembangan selanjutnya, Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Undang- undang ini dibentuk dengan pertimbangan bahwa tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dipertimbangkan pula bahwa pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum, serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar internasional sehingga perlu diganti undang-undang baru.2

Heru Supratomo memberi contoh pratik money laundering melalui sistem perbankan: Suatu sindikat kejahatan internasional melakukan transfer uang dari bank di suatu negara ke bank di negara lain dengan dokumen palsu dengan cara memalsukan “tested telex”. Uang tersebut di negara tujuan dimasukkan ke dalam beberapa rekening anggota. Kemudian, uang itu ditarik secara tunai dan

2 Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus, (Makassar : Prenadamedia Group, 2016), hlm 93

(14)

dimasukkan ke rekening anggota sindikat lainnya. Apabila di negara tersebut tidak ada kewajiban untuk meminta informasi mengenai asal usul uang itu, baik segi ekonomi maupun yuridis, maka uang tersebut aman dari pendeteksian, sehingga hal ini dapat dikategorikan sebagai uang yang sudah diputihkan.3

Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, Transaksi Keuangan Mencurigakan, adalah:

a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan;

b. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini;

c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan dengan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana; atau

d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Hasil tindak pidana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Pasal 2 ayat (1) adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana yang menjadi asal dari harta kekayaan tersebut. Tindak Pidana yang dimaksud, yaitu:

a. Korupsi;

b. Penyuapan;

3 Gerry A. Perguson dalam Alma Manuputty Pattileuw, Jurnal Ilmu Hukum Clavia:

Money Laundering Suatu Kejahatan yang Berdimensi Internasional, Makassar, Fakultas Hukum Universitas “45”, hal 78

(15)

c. Narkotika;

d. Psikotropika;

e. Penyeludupan tenaga kerja;

f. Penyeludupan migran;

g. Di bidang perbankan h. Di bidang pasar modal;

i. Di bidang perasuransian;

j. Kepabeanan;

k. Cukai;

l. Perdagangan orang;

m. Perdagangan senjata gelap;

n. Terorisme;

o. Penculikan;

p. Pencurian;

q. Penggelapan;

r. Penipuan;

s. Pemalsuan uang;

t. Perjudian;

u. Prostitusi;

v. Di bidang perpajakan;

w. Di bidang kehutanan;

x. Di bidang lingkungan hidup;

y. Di bidang kelautan dan perikanan; atau

(16)

z. Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara empat tahun atau kebih,

yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Seluruh tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2010 disebut sebagai tindak pidana asal. Artinya pada tindak pidana itulah, dapat terjadi pencucian uang, sehingga tidak hanya korupsi yang dapat memunculkan pencucian uang, akan tetapi juga pada tindak pidana lain misalnya tindak pidana narkotika. Hal ini mengindikasikan bahwa tindak pidana pencucian uang memiliki hubungan yang sangat erat dengan tindak pidana yang lainnya termasuk di dalamnya narkotika sebagai tindak pidana asal (predicate crime atau predicate offences). Semua harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil kejahatan yang disembunyikan atau disamarkan merupakan pidana pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang tidak berdiri sendiri karena harta kekayaan yang ditempatkan, ditransfer, atau dialihkan dengan cara integrasi itu diperoleh dari tindak pidana, berarti sudah ada tindak pidana lain yang mendahuluinya (predicate crime).

Sejarah mencatat bahwa latar belakang lahirnya ketentuan internasional tentang pencucian uang/ money laundering sebenarnya dimulai ketika masyarakat dunia merasa gagal dalam upaya pemberantasan kejahatan yang berkaitan dengan obat bius dengan segala jenisnya. Oleh karena itu masyarakat internasional maju selangkah lagi dengan strategi yang tidak diarahkan pada kejahatan berkaitan

(17)

dengan obat biusnya, tetapi diarahkan pada upaya memberantas hasil kejahatannya melalui ketentuan pencucian uang. Alasannya adalah kalau penjahat itu dihalangi untuk dapat menikmati hasil atau buah dari kejahatannya maka dapat diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan juga menjadi sirna.4

Walaupun tindak pidana narkotika dan tindak pidana pencucian memiliki keterkaitan, namun ada kasus narkotika yang hanya terjerat undang-undang narkotika saja atau kasus. Lalu bagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dalam upaya menjerat pelaku tindak pidana, Bagaimana pula keterkaitan antara tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana narkotika sebenarnya, dan bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap hasil tindak pidana narkotika.

Berdasarkan uraian permasalahan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, penulis merasa tertarik untuk melakukan suatu Analisis Yuridis terhadap Putusan Nomor 878/Pid.Sus-TPPU/2016/Pn.Srg di Pengadilan Negeri Serang, dengan terdakwa atas nama Suwandar alias Koko.

Berdasarkan Putusan 878/Pid.Sus-TPPU/2016/Pn.Srg tersebut terdakwa telah melanggar Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Dan diancam pidana dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

4 Dian Andriawan, Pengaturan Kejahatan Money Laundering (Pencucian Uang), (Jakarta : Jurnal Hukum Prioris Vol.1 No.1, 2006), Hal 51

(18)

Maka dengan melihat analisis yuridis atas Putusan Nomor 878/Pid.Sus- TPPU/2016/Pn.Srg, maka penulis mengangkat masalah tersebut ke dalam skripsi yang berjudul “ANALISIS YURIDIS PENERAPAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG TERHADAP HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Putusan Nomor 878/Pid.Sus- TPPU/2016/Pn.Srg)”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Peran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Upaya Menjerat Pelaku Tindak Pidana ?

2. Bagaimanakah Penerapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Studi Putusan Nomor 878/Pid.Sus- TPPU/2016/Pn.Srg ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dalam penulisan ini, ada beberapa hal yang menjadi tujuan guna menjawab permasalahan yang ada dalam skripsi ini, adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut :

(19)

1. Untuk mengetahui bagaimana peran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam upaya menjerat pelaku tindak pidana.

2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap hasil Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Nomor 878/Pid.Sus-TPPU/2016/Pn.Srg).

2. Manfaat Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

a. Secara Teoritis

Penulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yang dapat bermanfaat di bidang ilmu pengetahuan terutama di bidang ilmu hukum maupun ilmu yang berkaitan dengan hal tersebut dan dapat menjadi pengembangan ilmu hukum di Indonesia sehingga setiap kalangan baik akademis maupun masyarakat umum semakin memahami tentang ilmu pengetahuan hukum pidana, khususnya mengenai tindak pidana pencucian uang.

b. Secara Praktis

1. Agar masyarakat lebih mengetahui tentang tindak pidana pencucian uang.

2. Dengan adanya penelitian ini maka penulis dapat memberikan gambaran tentang tindak pidana pencucian uang dari hasi tindak pidana narkotika.

3. Agar masyarakat mengetahui bagaimana penerapan hukum di Indonesia terhadap kasus pencucian uang.

(20)

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini disusun berdasarkan literatur yang diperoleh dari perpustakaan dan dari media massa baik media cetak maupun elektronik. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari penelusuran studi literatur dan bahan-bahan kepustakaan lainnya, belum terdapat judul yang sama dengan skripsi yang diangkat pada judul skripsi ini. Judul-judul yang ada tentang pencucian uang tidak ada yang menyentuh materi pokok dalam bahasan skripsi ini yaitu tentang “Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Terhadap Hasil Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Nomor 878/Pid.Sus-TPPU/2016/Pn.Srg).” oleh sebab itu judul pada skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Penerapan Hukum

Hukum memiliki banyak dimensi dan segi, sehingga tidak mungkin memberikan defenisi hukum yang sungguh-sungguh dapat memadai keyataan.

Walaupun tidak ada defenisi yang sempurna mengenai pengertian hukum, defenisi dari beberapa sarjana tetap digunakan yakni sebagai pedoman dan batasan melakukan kajian terhadap hukum. Meskipun tidak mungkin diadakan suatu batasan yang lengkap tentang apa itu hukum, namun Utrecht telah mencoba membuat suatu batasan yang dimaksud sebagai pegangan bagi orang yang hendak memepelajari ilmu hukum. Menurut Utrecht hukum adalah himpunan peraturan-

(21)

peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh msyarakat itu.5

Hans Kelsen mengartikan hukum adalah tata aturan (rule) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menumpukpada suatu aturan tunggal tetapi pada seperangkat aturan yang memiliki satu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem, konsekuwensinya adalah tidak mungkin memahami hukum juka hanya memperhatikan satu aturan saja.6

Pengertian lain mengenai hukum, disampaikan oleh Sudikno Mertokususmo, yang mengartikan hukum sebagai kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseuruhan peraturan tentang tingkahlaku yang berlaku dalam kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya sengan suatu sanksi. Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaidah mempunyai isi yang bersifat umum dan normative, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta bagaimana cara melaksanakan kepatuhan kepada kaedah-kaedah.7

EM. Mayers memberikan defenisi bahwa hukum merupakan semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditunjukkan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan sebagai pedoman bagi penguasa-penguasa Negara dalam melakukan tugasnya. Sedangkan Immanuel Kant menuturkan, menurut peraturan hukum tentang kemerdekaan, hukum adalah keseluruhan syarat-syarat

5 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Adtya Bakti, 2005), hal 38

6 Jimly Asshidiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta : Sekjen dan Kepaniteraan MK-RI, 2006), hal 13

7 Satjipto Raharjo, Op Cit., hal 45

(22)

yang dengan ini kehendak bebas dari orang-orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain. Dan SM. Amin memberikan pengertian bahwa hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi, yang mana tujuan hukum adalah mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terpelihara.

Dari ketiga definisi yang diungkapkan oleh pakar hukum tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum itu memiliki beberapa unsure, yaitu:8

1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan di masyarakat;

2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;

3. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.

Hukum terdapat dalam masyrakat, demikian juga sebaliknya, dalam masyarakat selalu ada sistem hukum. Jadi menurut pendapat ahli, hukum memiliki empat fungsi, yaitu:9

1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban;

2. Hukum sebagai sarana pembangunan;

3. Hukum sebagai sarana penegak keadilan; dan 4. Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat.

Penerapan hukum adalah aturan yang sangat resmi yang mengikat masyarakatnya berupa larangan-larangan dan peraturan-peraturan yang dibuat untuk mengatur masyarakat suatu negara. Hukum juga dapat di artikan sebagai perantara utama dalam hubungan social santara masyrakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana dan perdata dan juga sebagai perlindungan hak asasi

8 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Suatu Hukum Pengantar, Yogyakarta : liberty, 1999), hal 5

9 Sumartoro, Hukum Ekonomi, (Jakarta : UI-Press, 1986), hal 4

(23)

manusia dan secara umum juga untuk menertibkan dan mengatur masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul.10

Kehidupan dalam masyarakat yang sedikit banyak berjalan dengan tertib dan tertaur ini tidak lepas dari adanya dukungan oelh adanya suatu tatanan.

Karena dengan adanya tatanan inilah kehidupan menjadi tertib, hukum disini merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Hukum mengatur dan menguasai manusia dalam kehidupan bersama. Dan dari situlah, maka penerapan hukum sangatlah dibutuhkan bagi kehidupan bermasyarakat untuk memberikan suatu nilai keadilan bagi masyarakat.

Bagir manan mengatakan bahwa keberhasilan suatu Undang-Undang bergantung pada penerapan dan penegakannya. Apabila penerapan hukum tidak berjalan baik, peraturan perundang-undang bagaimanapun sempurnanya tidak atau kurang memberikan arti sesuai dengan tujuannya. Penerapan hukum merupakan dinamisator peratutan perundang-undangan. Penerapan hukum dan pelaksanaan hukum di Indoensia masih jauh dari sempurna. Kelemahan tidak saja hanya pada sistem huku dan produk hukum, tetapi pada penerapan hukum. Harapan masyarakat untuk memperoleh jamian dan kepastian hukum masih sangat terbatas. Penerapan dan pelaksanaan hukum belum berjalan sesuai dengan prisip- prinsip keadilan dan kebenaran.11

2. Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang – Undang No. 8 Tahun 2010

10 Abdul Hakim M, Ilmu Sosial Dasr Penerapan Hukum di Indonesia, (Makassar, 2014), hal 58

11 Bagir Manan, Pemahaman Sistem Hukum Nasiona, (Jakarta : Suara, 1994), hal 11

(24)

Secara historis, kejahatan pencucian uang tidak dapat dilepaskan dari peristiwa tahun 1920-an, kala itu pelaku kejahatan terorganisasi di Amerika Serikat, mencuci uang hitam dari usaha kejahatannya melalui usaha binatu (laundry) yang dipelopori oleh Al Capone, seorang gangster dan mafia pada zamannya. Mereka banyak mendirikan usaha binatu sebagai tempat persembunyian uang haram. Sejak saat itu, tindakan penyembunyian atau menyamarkan asal usul uang hasil kejahatan disebut money laundry atau pencucian uang. Sebetulnya masalah pencucian uang telah lama dikenal sejak 1930, akan tetapi istilah ini baru popular pada 1984 tatkala Interpol mengusut pemutihan uang mafia Amerika Serikat yang dikenal Pizza Connection yang menyangkut dana sekitar US$ 600 juta, yang ditransfer melalui serangkaian transaksi finansial yang rumit ke sejumlah Bank Swiss dan Italia. Transfer tersebut dengan menggunakan restoran-restoran pizza sebagai sarana usaha untuk mengelabui sumber dana.12

Istilah pencucian uang berasal dari bahasa Inggris, yakni money laundering. Money artinya uang dan laundering artinya pencucian. Sehingga secara harfiah, money laundering berarti pencucian uang atau pemutihan uang hasil kejahatan. Secara umum, istilah money laundering tidak memiliki defenisi yang universal karena baik negara negara maju maupun negara-negara berkembang masing-masing mempunyai defenisi tersendiri berdasarkan sudut pandang dan prioritas yang berbeda.Namun, bagi para ahli hukum Indonesia istilah money laundering disepakati dengan istilah pencucian uang. Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan

12 Hariman Satria, Anatomi Hukum Pidana Khusus, (Yogyakarta : UII Press, 2014), hal 1

(25)

atau menyamarkan asal usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh darihasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.13

Selain istilah tersebut diatas, ada beberapa definisi lain dari pencucian uang yang penulis himpun dari beberapa sumber. Namun, hakikatnya mengandung unsur-unsur pokok berupa tindakan yang sengaja dilakukan, berkaitan dengan kekayaan, dan kekayaan tersebut berasal dari kejahatan.

Beberapa definisi tersebut ialah sebagai berikut:

1. Black Law Dictionary mengemukakan bahwa “Money Laundering is term applied to taking money gotten illegally and washing or laundering it so it appers to have been gotten lagally.

2. Menurut Neil Jensen (Austrac) & Rick MC Donald dalam Edi Setiadi dan Rena Yulia Money laundering sebagai proses perubahan keuntungan dari yang melawan hukum menjadi aset keuangan yang terlihat berasal dari sumber yang sah.

3. Amin Sunaryadi merumuskan money laundering sebagai proses perubahan keuntungan yang didapat dari kegiatan melawan hokum menjadi asset keuangan yang berasal dari sumber yang tidak melawan hukum.

4. Sutan Remy Sjahdaeni, money loundering yaitu rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau meyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah

13 Adrian Sutedi, 2008, Tindak pidana pencucian uang, (Bandung : PT. Citra aditya bakti.) Hal 12

(26)

atau otoritas yang berwenang melakukan tindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan sehingga uang tersebut selanjutnya dapat dikeluarkan dari system keuangan itu sebagai uang yang halal.

5. Sarah N Welling (1992), menyatakan bahwa: “money loundering is the process by wich one conceals the existence, illegal source illegal application of income, and than disguises that income to make it appear legitimate” .

6. Pamela H Bucy (1992) mengartikan bahwa; “money loundering as concealment of the existence, nature or illegal source of illicit funds in such a manner that the funds will appear legitimate if discovered”.

7. Convention against Transnasional Organized Crime, Kejahatan pencucian uang (money loundering) merupakan salah satu bentuk Transnasional Organized Crime, di samping korupsi, penyelundupan orang asing (migrant), dan perdagangan wanita dan anak-anak.14

8. Menurut UU RI No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang:

tindakan pencucian uang dapat berupa tindakan orang yang sengaja melakukan percobaan bantuan atau permufakatan jahat untuk:

a. Menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana kedalam penyedia jasa keuangan, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

b. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke

14 Mas Ahmad Yani, Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) (Tinjauan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)”, ( Jakaeta : E-Journal WIDYA Yustisia, Vol. 1), hal 55

(27)

penyedia jasa keuangan lain, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

c. Membayar atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri atau atas nama pihak lain;

d. Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil dari tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

e. Menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

f. Membawa keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

g. Menukarkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya; atau

h. Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Selain dari definisi-definisi tersebut diatas, tindakan-tindakan dibawah ini juga merupakan praktik pencucian uang, yaitu:

1. Perubahan atau transfer kekayaan dengan maksud menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul kekayaan, demikian pula dengan maksud membantu seseorang agar dapat menghindar dari konsekuensi tindakannya;

(28)

2. Penyembunyian atau pengaburan sumber, lokasi, penarikan, pemindahan hak- hak yang berhubungan dengan kekayaan atau kepemilikan dari suatu kekayaan;

3. Akuisisi, pemilikan atau penggunaan kekayaan yang diketahui dari kejahatan dan keikutsertaan dalam kejahatan;

4. Keikutsertaan, kerjasama atau persekongkolan, percobaan untuk melakukan atau membantu, mempermudah dan menyuruh melakukan kejahatan tersebut. 15

3. Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009

Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakanya, yaitu dengan cara mamasukan kedalam tubuh. Istilah yang di pergunakan bukanlah narcotics pada farmacologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan drug yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh pemakai, yaitu: 16

a. Mempengaruhi kesadaran.

b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa;

1) Penenang.

2) Perangsang (bukan rangsangan sexsual).

3) Menimbulkan halusinasi (pemakaiannya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat)

15 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Diluar KUHP, (Jakarta : Raih Asa Sukses, 2014), hal 50

16 Taufik Makarao, Tindak pidana narkotika, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003), hal 17

(29)

Tindak pidana narkotika diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan antara lain, bahwa narkotika disatu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. Dipertimbangkan pula bahwa, tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan hidup masyarakat, bangsa dan negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika.17

Narkotika dalam undang-undang ini diartikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantuang, yang dibedakan kedalam golongan golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini. Juga diartikan pula tentang presekutor narkotika yaitu zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan

17 Ruslan Renggong, Op Cit., hal 120-121

(30)

dalam pembuatan narkotika yang dibedakan dalam table sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.18

Pembentukan Undang-Undang Narkotika memiliki empat tujuan, yakni:

a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika.

c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan precursor narkotika.

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan social.

Jenis narkotika didalam lampiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika pada bab II Ruang Lingkup dan Tujuan Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa Narkotika di golongkan menjadi:

a. Narkotika golongan I;

b. Narkotika golongan II, dan;

c. Narkotika golongan III.

Lampiran Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika menyebutkan hanya ada 3 golongan narkotika, untuk narkotika golongan I tidak digunakan untuk kepentingan pengobatan tetapi kegunaannya sama dengan psikotropika golongan I hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Narkotika terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

18 Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1dan 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

(31)

penggolongan narkotika/napza secara sederhana dapat di golongkan menjadi 3 kelompok yaitu:19

a. Golongan narkotika (golongan I); seperti, opium, morphin, heroin.

b. Golongan psikotropika (golongan II narkotika); seperti, ganja, ectacy, shabu-shabu, hashis

c. Golongan zat adiktif lain (golongan III); yaitu minuman yang mengandung alkohol seperti beer, wine, whisky, vodka.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap suatu pemecahan atas segala permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.20

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode atau jenis penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis normatif, artinya mengacu kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, yurisprudensi serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Metode

19 Ibid, hal 199

20 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986), hal 43

(32)

penelitian normatif ini dipilih untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana narkotika.

2. Data dan Sumber Data

Jenis data yang diperoleh adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka. Data sekunder ini mengacu pada 3 bahan:

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat sehubungan dengan masalah. Bahan hukum primer ini terdiri dari seluruh peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang mengatur masalah tindak pidana pencucian uang menurut undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia;

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam hal ini, bahan hukum sekunder yang diperoleh dari buku, jurnal, artikel, dokumen yang diperoleh dari internet, serta hasil-hasil penelitian dan tulisan-tulisan dari kalangan ahli hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini;

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya, ensiklopedia, kamus hukum dan sebagainya.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah; studi kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan yakni; buku-buku, pendapat sarjana, artikel dan juga

(33)

berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk memperoleh atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan bahan atau doktrin-doktrin yang berkenaan dengan Tindak Pidana Pencucian uang dan Tindak Pidana Narkotika.

4. Analisis Data

Adapun metode anailisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode kualitatif. Analisis kualitatif lebih menekankan kepada kebenaran berdasarkan sumber-sumber hukum serta doktrin yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

G. Sistematika Penulisan

Secara garis besar skripsi ini dibagi dalam 5 (lima) bab dan masing- masing bab dibagi lagi dalam beberapa sub bagian agar segala pembahasan yang berhubungan dengan pokok permasalahan dapat dijabarkan secara jelas dan mudah dipahami. Adapun susunan sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini menerangkan secara ringkas mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II PERAN UNDANG-UNDANG RI NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

(34)

PENCUCIAN UANG DALAM UPAYA MENJERAT PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Bab ini menjelaskan mengenai tindak pidana pencucian uang di Indonesia, modus tindak pidana pencucian uang, bentuk bentuk tindak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang No. 8 tahun 2010, pertanggungjawaban tindak pidana dalam tindak pidana pencucian uang, sanksi tindak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang No. 8 tahun 2010

BAB III PENERAPAN UNDANG-UNDANG RI NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM STUDI PUTUSAN NOMOR 878/Pid.Sus- TPPU/2016/Pn.Srg

Bab ini menjelaskan mengenai posisi kasus putusan Nomor 878/Pid.Sus- TPPU/2016/Pn.Srg yang menjelaskan tentang kronologi kasus, dakwaan, fakta- fakta hukum, tuntutan pidana, pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dan analisis yuridis atas putusan Pengadilan Pengadilan Negeri Serang Nomor 878/Pid.Sus-TPPU/2016/Pn.Srg.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini memuat kesimpulan dari bagian awal hingga akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi dari penulisan skripsi ini, dan juga disertai dengan saran yang diajukan dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(35)

BAB II

PERAN UNDANG-UNDANG RI NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANGDALAM UPAYA MENJERAT PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia

Sejarah mencatat bahwa latar belakang lahirnya ketentuan internasional tentang pencucian uang/ money laundering sebenarnya dimulai ketika masyarakat dunia merasa gagal dalam upaya pemberantasan kejahatan yang berkaitan dengan obat bius dengan segala jenisnya. Oleh karena itu masyarakat internasional maju selangkah lagi dengan strategi yang tidak diarahkan pada kejahatan berkaitan dengan obat biusnya, tetapi diarahkan pada upaya memberantas hasil kejahatannya melalui ketentuan pencucian uang. Alasannya adalah kalau penjahat itu dihalangi untuk dapat menikmati hasil atau buah dari kejahatannya maka dapat diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan juga menjadi sirna.21

Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana baru dalam sistem hukum pidana Indonesia. Kriminalisasi terhadap pencucian uang, baru dimulai sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Setelah undang-undang ini berlaku sekitar setahun, kemudian undang-undang ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pertimbangan sehingga dilakukan

21 Dian Andriawan, Op Cit., Hal 51

(36)

perubahan adalah agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif, maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar internasional.22

Dalam perkembangan selanjutnya, Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Undang- undang ini dibentuk dengan pertimbangan bahwa tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dipertimbangkan pula bahwa pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum, serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar internasional sehingga perlu diganti undang-undang baru.23

Secara khusus apa sebab sampai dibentuknya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tersebut dikarenakan pada tanggal 22 Juni 2001, Financial Action

22 Ruslan Renggong, Op Cit., hlm 93

23 Ibid, hal 93

(37)

Task Force on Money Laundering (FATF) telah memasukkan Indonesia ke daftar Non Cooperative Countries and Territories (NCCT’s), karena Indonesia:24

a. Tidak adanya ketentuan yang menempatkan money laundering sebagai tindak pidana;

b. Tidak ada ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer- KYC) untuk lembaga keuangan non bank;

c. Rendahnya kapasitas dalam penanganan kejahatan pencucian uang; dan d. Kurangnya kerja sama internasional dalam penanganan kejahatan

pencucian uang.

Dimasukkannya suatu Negara ke dalam daftar NCCT’s adalah merupakan dasar bagi FAFT untuk meminta kepada para anggotanya yang terdiri atas Negara-negara besar di dunia untuk melakukan counter-measures terhadap Negara tersebut dan menetapkan set date, yaitu tanggal mulai diberikannya sanksi kepada Negara Tersebut.25

Apabila suatu Negara terkena counter-measures dari negara-negara anggota FATF, maka Negara tersebut akan terisolisir dari kehidupan dunia, antara lain tidak dapat melakukan transaksi dagang dan transaksi keuangan dengan pengusaha-pengusaha dan lembaga-lembaga keuangan dari negara-negara yang melakukan counter-measures tersebut.

Negara yang masih memerlukan bantuan pinjaman dari luar negeri juga akan dapat pula mengalami kesulitan untuk memperoleh dana bantuan dan

24 Yunus Hussein, Negri Sang Pencuci Uang, (Jakarta : Pustaka Juanda Tiga Lima, 2008), hal 89

25 Sultan Remi Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta : Pustaka Utama Gafitri, 2004), hal 94

(38)

pinjaman dari negara-negara yang melakukan counter-measures tersebut.Negara tersebut juga akan mengalami kesulitan untuk memperoleh bantuan dan pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti World Bank, IMF, dan ADB.26

Atas dasar alasan khusus seperti tersebut, maka dibentuklah UU No. 15 tahun 2002. Ternyata oleh FATF, UU No. 15 Tahun 2002 terebut dinilai belum memenuhi standard internasional, sehingga perlu diadakan perubahan. Perubahan UU No. 15 Tahun 2002 dilakukan dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Meskipun UU No. 15 Tahun2002 telah dilakukan perubahan untuk disesuaikan denga standard internasional, FATF tidak serta merta mengeluarkan Indonesia dari daftar NCCT’s, karena FATF masih melihat bagaimana implementasinya dari UU No. 15 Tahun 2002 setelah dilakukan perubahan.27

Baru pada tanggal 11 Februari 2005 Indonesia dikeluarkan dari daftar NCCT’s, namun FATF tetap untuk meminta Indonesia untuk melanjutkan rezim anti pencucian uang dan akan dilakukan monitoring selama 1 (satu) tahun terhadap upaya-upaya yang dilakukan dalam memenuhi 40+9 rekomendasi.

Selanjutnya dalam Second Plenary Meeting FATF on Money Laudering di Cape Town, Afrika Selatan tanggal 13-17 Februari 2006 telah ditetapkan antara lain bahwa status Indonesia tidak lagi dalam monitoring FATF.28

26 Ibid, hal 112

27 Ibid, hal 113

28 Yunus Hussein, Op Cit., hal 91

(39)

Penangangan tindak pidana pencucian uang atas dasar UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003, meskipun sudah menunjukkan arah yang positif, tetapi dirasa masih belum optimal karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang tumbuhnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya penggeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana undang-undang ini.29

Sejak tanggal 22 oktober 2010 UU No.15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun 2003 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, disebutkan bahwa objek Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan harta kekayaan yang diperoleh dari 26 tindak pidana berupa: Korupsi, Penyuapan, Narkotika, Psikotropika, Penyeludupan tenaga kerja, Penyeludupan migran, Di bidang perbankan, Di bidang pasar modal, Di bidang perasuransian, Kepabeanan, Cukai, Perdagangan orang, Perdagangan senjata gelap, Terorisme, Penculikan, Pencurian, Penggelapan, Penipuan, Pemalsuan uang, Perjudian, Prostitusi, Di bidang perpajakan, Di bidang kehutanan, Di bidang lingkungan hidup, Di bidang kelautan dan perikanan, dan atau Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana

29 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010

(40)

penjara (4) empat tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau diluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang didalam muatan pengaturan memuat hal-hal yang baru jika dibandingkan dengan Undang-Undang No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Beberapa hal baru yang termuat dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu:30

1. Redefenisi Pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang;

2. Penyempurnaan Kriminalisasi tindak pidana Pencucian Uang;

3. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administrasi;

4. Pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa;

5. Perluasan Pihak Pelapor;

6. Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya;

7. Penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan;

8. Pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda Transaksi;

30 Penjelasan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

(41)

9. Perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean;

10. Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana Pencucian Uang;

11. Perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK;

12. Penataan kembali kelembagaan PPATK;

13. Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi;

14. Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana Pencucian Uang;

dan

15. Pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana.

B. Modus Tindak Pidana Pencucian Uang

Dalam praktik perbuatan tindak pidana pencucian uang terdapat pembagian atau pengkategorian beberapa modus yang didasarkan pada tipologinya. Pembagian akan berbeda pada setiap negara, daerah, karena dasar yang dijadikan landasan dalam membuat tipologi pencucian uang tidak sama, sehingga terdapat perbedaan.31

1. Modus secara Loan Back

31Irman, Hukum Pembukan Pembuktian Pencucian Uang, (Jakarta : 2006), hal 89

(42)

Yaitu dengan cara meminjam uangnya sendiri. Modus terinci lagi dalam bentu direct loan, yakni dengancara meminjam uang dari perusahaan luar negeri, yakni semacam perusahaan bayangan (immbolen investment company), yang direksi dan pemegang sahamnya ialah ia sendiri. Dalam bentuk back to loan, dimana si pelaku meminjam uang dari cabang bakn asing di negaranya. Peminjam dengan jaminan bank asing secara stand bay letter of credit atau certificate of deposit bahwa uang di dapat atas dasar uang dari kejahatan. Peminjam itu kemudian tidak dikembalikan, sehingga jaminan bank dicairkan. Bentuk lainnya dari modus ini ialah parallel loan, yakni pembiayaan internasional yang memperoleh asset dari luar negeri. Karena ada hambatan restriksi mata uang, maka dicari perusahaan di luar negeri untuk sama-sama mengambil loan dan dana dari loan itu di pertukarkan satu sama lain.32

2. Modus Operasi C-Chase

Modus ini cukup rumit karena memiliki sifat lika liku sebagai cara menghapus jejak. Contoh seperti kasus dalam BCCI, dimana kurir-kurir datang ke bank di Florida untuk menyimpan dana sebesar US $ 10.000, supaya lolos dari kewajiban lapor. Kemudian beberapa kali dilakukan transfer, yakni dari New York ke Luxemburg, dari Luxemburg ke cabang bank di Inggris, lalu disana dikonversi dalam bentuk Certificate of Deposit untuk menjamin loan dalam jumlah yang sama yang diambil oleh orang di Florida. Loan dibuat di Negara karabia yang terkenal dengan tax heaven-nya. Disini loan itu tidak pernah ditagih, namun hanya dengan mencairkan sertifikat deposito itu saja. Dari rekening Drug

32 Pathorang Halim, Penegakan Hukum terhadap Pencucian Uang di Era Globalisasi, (Yogyakart : Total Media, 2013), hal 36

(43)

Dealer dan disana uang itu di distribusikan menurut keperluan dan bisnis yang serba gelap. Hasil investasi ini dapat tercuci dan aman.33

3. Modus transaksi dagang internasional

Modus ini menggunakan sarana dokumen L/C. Karena yang menjadi focus urusan bank, baik bank koresponden maupun opening bank adalah dokumen bank itu sendiri dan tidak mengenai keadaan barang, maka hal ini dapat menjadi sasaran money laundering berupa invoice yang besar terhadap barang-barang yang kecil atau malahan barang itu tidak ada.

Modus penyeludupan uang tunai atau sisem bank pararel ke Negara Lain.

Modus ini menyelundupkan sejumlah uang fisik itu ke luar negeri. Berhubung dengan cara ini terdapat resiko-resiko seperti hilang dirampok atau tertangkap dalam pemeriksaan, dicari modus berupa electronic transfer, yakni mentransfer dari suatu negara ke negara lain tanpa perpindahan fisik uang itu.34

4. Modus Akusisi

Perusahaan yang diakusisi adalah perusahaan sendiri. Contohnya, seorang pemilik perusahaan di Indonesia yang memiliki perusahaan di Indonesia, yang memiliki perusahaan secara gelap pula di Cayman Island, negara tax heaven.

Hasil usaha di Cayman didepositkan atas nama perusahaan yang ada di Indonesia.

Kemudian perusahaan yang ada di Cayman membeli saham-saham dari perusahaan yang ada di Indonesia (secara akuisisi). Dengan cara ini pemilik

33 Ibid, hal 39

34 Joni Emirzon, Bentuk praktik dan modus tindak pidana pencucian uang, diunduh dari https://jurnal.kpk.go.id/. Pada 3 September 2019, hal 22

(44)

perusahaan di Indonesia memiliki dana sah, karena telah tercuci melalui hasil penjualan saham-sahamnya di perusahaan yang ada di Indonesia.35

5. Modus Investasi Tertentu

Investasi tertentu ini biasanya dalam bisnis transksi barang atau lukisan atau antik. Misalnya pelaku memberi barang lukisan dan kemudian menjualnya kepada seseorang yang sebenarnya adalah suruhan si pelaku itu sendiri dengan harga mahal. Lukisan dengan harga tidak terukur, dapat ditetapkan dengan harga setinggi-tingginya dan bersifat sah. Dana hasil penjualan lukisan tersebut dapat dikategorikan sebagai dana yang sudah sah.36

6. Modus Perdagangan Saham

Modus ini pernah terjadi di Belanda. Dalam suatu kasus di Bursa efek Amsterdam, dengan melibatkan perusahaan efek Nusse Brink, dimana beberapa nasabah perusahaan efek ini menjadi pelaku pencucian uang. Artinya dana dari nasabahnya yang diinvestigasi ini bersumber dari uang gelap. Nusse Brink membuat 2 (dua) buah rekening bagi nasabah-nasabah tersebut, yang satu untuk nasabah yang dirugi yang satu untuk nasabah yang keuntungan. Rekening diupayakan untuk dibuka di tempat yang terjamin proteksi kerahasiannya, suaya sulit untuk ditelusuri siapa beneficial owner dari rekening tersebut.37

7. Modus Deposit taking

35 Pathorang Halim, op cit., hal 23

36 Ahmad Reza, Money Laundering dan Modus Kejahatan Produk Perbankan, diunduh dari https://academia.edu/. Pada 3 September 2019, hal 3

37 Fathur Rachman, Tinjauan Yuridis Modus Operanding Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandar Lampung, Pranata Hukum Vol 11 No 1 : 2019), hal 58

(45)

Mendirikan perusahaan keuangan seperti Deposit Taking Institutions (DTI) di Canada. DTI ini terkenal dengan sarana pencucian uang seperti charatered banks, trust companie dan credit union. Kasus money laundering yang melibatkan DTI antara lain transfer melalui telex, surat berharga penukaran valuta asing, pembelian obligasi pemerintah dan treasury buills.38

8. Modus Identitas Palsu

Dengan cara memanfaatkan lembaga perbankan sebagai mesin pemutih uang, dengan cara mendepositokan secara nama palsu, menggunakan safe deposit

box untuk menyembunyikan hasil kejahatan menyediakan fasilitas transfer supaya dengan mudah di transfer ke tempat yang dikehendaki, atau menggunakan electronic fund transfer untuk melunasi kewajiban transaksi gelap. Menyimpan atau mendistribusikan transfer gelap itu.

Selanjutnya perlu diketahui bagaimana para pelaku money laundering melakukan money laundering, sehingga bisa dicapai hasil dari uang legal. Secara metodik dikenal 3 (tiga) metode dalam money laundering, antara lain:

1. Metode Buy and Sell Conversions

Metode ini dilakukan melalui jual barang-barang dan jasa. Sebagai contoh, real estate atau asset lainnya yang dapat dijual kepada co-conspirator yang menyetujui untuk membeli atau menjual dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga yang sebenarnya dengan tujuan untuk memperoleh fee atau discount.

Kelebihan harga dibayar dengan menggunakan uang illegal dan kemudian dicuci melalui transaksi bisnis. Dengan cara ini setiap aset barang atau jasa seolah-olah

38 Pathorang Halim, op cit., hal 23

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini adalah sistem dan prosedur persediaan yang ada pada rumah sakit islam unisma sudah cukup baik untuk mendukung dalam pengendalian intern hal ini

Tujuan utama dari terbentuknya organisasi Panglipur atau lebih dikenal dengan nama Himpunan Pencak Silat (HPS) Panglipur adalah melestarikan pencak silat sebagai

Ukuran dalam, lebar dan tempat galian untuk pemasangan pipa dan peralatannya, serta bangunan yang termasuk di dalam pekerjaan ini harus dibuat sesuai gambar rencana.. Patokan

Ada satu kegiatan esktrakurikuler pendidikan agama Islam yang diprogramkan pada SMAN 1 Pelaihari dan SMA PGRI yaitu kegiatan pengajian, meskipun

Tampilan informasi yang ditampilkan adalah dalam bentuk grafis maupun laporan, yang dapat mewakili hubungan atau pola-pola informasi yang penting yang terdapat

PT Kusumahadi Santosa adalah sebuah perusahaan manufaktur yang bergerak di bidang pertekstilan. Salah satu kegiatan yang paling pokok adalah pengadaan, baik

antara lain: (1) memberikan tanggung jawab secara penuh kepada guru yang diimbangi dengan kewenangan dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tugas pokok sebagai

terdapat hubungan yang signifikan antara stres dan gangguan insomnia pada peserta didik terhadap hasil belajar Mata Pelajaran Fisika MTs Negeri Model Makassar, sehingga dapat