• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: JIMMI PRATAMA LUMBAN GAOL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: JIMMI PRATAMA LUMBAN GAOL"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM (Studi Pada Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

JIMMI PRATAMA LUMBAN GAOL 160200229

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

ABSTRAK

Jimmi Pratama Lumban Gaol1 Dr. Edy Yunara2

Rafiqoh Lubis3

Jaksa penuntut umum mempunyai kedudukan sentral dalam sistem peradilan pidana, sebab hanya Jaksa Penuntut Umum yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat atau tidak dilanjutkan ke pengadilan untuk dilakukan penuntutan. Dikarenakan KUHAP tidak mengatur lebih lanjut mengenai waktu penyidikan, maka Jaksa Agung Republik Indonesia mengeluarkan sebuah peraturan yang dikenal dengan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No:

Per-036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum yang mengatur mengenai waktu penyidikan oleh penyidik. Hal tersebut bertujuan untuk mewujudkan tujuan hukum itu sendiri yaitu kepastian. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk merumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana pengaturan tugas dan kewenangan kejaksaan dalam hukum acara pidana di Indonesia? Bagaimana implementasi Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No:Per-036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Pidana Umum dalam proses penyidikan tindak pidana umum pada Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai?

Adapun metode penelitian yang digunakan ialah gabungan antara penelitian hukum normative dan yuridis sosiologis, dengan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen (bahan pustaka) dan wawancara. Data yang diperoleh dari data primer bersumber dari wawancara dan data sekunder yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, internet yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.

Dalam penelitian ditemukan bahwa Jaksa Penuntut Umum ada mengembalikan berkas perkara kepada penyidik dikarenakan penyidik tidak memenuhi waktu dalam implementasi peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia ini. Kendala yang terdapat dalam implementasi berupa ketika tidak ditahannya seorang tersangka dalam tahap penyidikan, tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan, hasil laboratorium forensik pada perkara narkotika yang lama keluar. Untuk mengatasi kendala tersebut Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai melakukan rapat CJS (Criminal Justice System) dengan memberi informasi mengenai perkara tindak pidana ringan kepada penyidik, memberikan kesempatan kepada penyidik menyerahkan berkas perkara dahulu sebelum hasil laboratorium keluar bagi kasus narkotika, melampirkan kepada atasan penyidik dan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) atas pengembalian berkas perkara untuk diketahui.

Kata Kunci : Jaksa Penuntun Umum, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No:Per-036/A/JA/09/2011, Prapenuntutan

1 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2 Dosen/Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3 Dosen/Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Implementasi Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No: Per- 036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Umum (Studi Pada Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai)”.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulisan skripsi ini juga tidak lepas dari bantuan pihak lain. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Mama ku tersayang Suharny Pakpahan yang telah memberikan segala kasih sayang dan dukungan kepada penulis yang tak henti-hentinya sampai dengan selesainya penulisan skripsi ini. Begitu juga kepada Papa penulis Alm. Sagar Lumban Gaol, S.H. yang dimana semasa hidupnya selalu memberikan nasihat dan ilmu kepada penulis sehingga penulis mulai tertarik kepada dunia hukum dan kejaksaan. Semoga Papa senang di surga sana. Jika melihat masa lalu, Papa meninggalkan ku saat duduk di kelas 2 SMA, namun kini anak mu ini akan menyandang gelar Sarjana Hukum dari almamater mu dahulu. Satu kalimat yang pernah kau tanamkan pada ku yang menjadi

(5)

penyemangat bagi anak mu ini, yaitu jujung goarhi amang ( angkat nama bapak mu ini ).

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Bapak Dr. Edy Yunara, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

10. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

(6)

11. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis selama perkuliahan.

12. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan.

13. Abang penulis Andi Hakim Parlindungan Lumban Gaol, S.H. dan kakak Indah Hutagaol yang selalu memberikan dukungan kepada penulis sampai selesainya penulisan skripsi ini.

14. Ito penulis Reny Elisa Lumban Gaol, S.H., M.Kn dan lae Franky Tambunan, S.H., M.Kn. yang selalu memberikan dukungan kepada penulis sampai selesainya penulisan skripsi ini. Begitu juga kepada bere penulis Shena MP Tambunan yang selalu membuat rasa capek penulis dalam menyelesaikan skripsi ini menjadi hilang karena tingkah lucunya.

15. Kepada teman-teman penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di SMA Santo Thomas 3 Medan, di SMP Frater Padang, di SD Free Methodist 1 Medan dan di HKBP Desa Teladan.

16. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu yang ikut membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran sehingga dapat dijadikan pedoman di masa yang akan datang. Penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membacanya.

(7)

Medan, Januari 2020 Penulis

Jimmi Pratama Lumban Gaol

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………...i

KATA PENGANTAR.………...ii

DAFTAR ISI.………...vi

DAFTAR SKEMA...………...ix

DAFTAR TABEL………...x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang.………..………....1

B. Perumusan Masalah.………..9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.………...9

D. Keaslian Penulisan.………..10

E. Tinjauan Kepustakaan.………...11

1. Penyidik dan Penyidikan Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia.………...11

2. Tindak Pidana Umum………20

3. Jaksa dan Sejarah Kejaksaan di Indonesia……….23

4. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No: PER- 036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum………29

F. Metode Penelitian……….30

(9)

2. Data dan Sumber Data………...31

3. Teknik Pengumpulan Data…..………….………...32

4. Analisis Data……..………...………...33

G. Sistematika Penulisan……….………...33

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG KEJAKSAAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA A. Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana……….………...36

B. Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia………...40

C. Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi……….…47

D. Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia………....49

BAB III IMPLEMENTASI PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO: PER-036/A/JA/09/2011 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI SERDANG BEDAGAI

(10)

A. Implementasi Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No:

PER-036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Pekara Tindak Pidana Umum Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Umum Pada Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai………...53 B. Kendala Penyidik Dalam Memenuhi Implementasi Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No: PER-036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Pekara Tindak Pidana Umum Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Umum Pada Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai……...…83 C. Upaya Untuk Mengatasi Kendala Penyidik Dalam Memenuhi

Implementasi Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No:

PER-036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Pekara Tindak Pidana Umum Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Umum Pada Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai………..…….88

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………..………91 B. Saran………...……….92

DAFTAR PUSTAKA

(11)

DAFTAR SKEMA

Skema 1 : Struktur Organisasi Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai...54

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Perkara yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai………...56 Tabel 2 : Perkara Pidana Umum (Pidum) pada Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai……….56

Tabel 3 : Pengembalian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penyidik………74

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi “negara Indonesia adalah negara hukum”. Indonesia sebagai salah satu negara mempunyai ciri yaitu memiliki masyarakat yang hidup di dalamnya.

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”.1 Mengingat dalam menjalankan kehidupan bernegara terdapat interaksi-interaksi dalam masyarakat tersebut, maka diperlukan hukum yang dapat menjamin keseimbangan dalam interaksi itu agar tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat. Hal ini menjadi dasar bahwa dalam menjalankan seluruh aspek kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menjadikan hukum sebagai panglima.

Panglima dalam hal ini bermaksud bahwa hukum tersebut diberikan posisi yang tertinggi yang berlaku bagi seluruh masyarakat yang ada di Indonesia dan harus ditaati termasuk pemerintah yang ada di dalam negara tersebut. Hukum tersebut berguna sebagai koridor yang membatasi suatu perbuatan yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah untuk mencapai suatu ketertiban dalam bernegara. Oleh karena itu negara Indonesia dikatakan sebagai negara hukum.

1 Koentjaraningrat, 2009, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, hal.116.

(14)

Untuk mencapai Indonesia sebagai negara hukum seperti yang diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, diciptakanlah aturan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, salah satunya ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Selanjutnya disebut dengan KUHAP) yang merupakan hasil koordinasi antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif.

KUHAP mengatur seluruh proses pidana dari awal sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai meliputi peninjauan kembali. Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut : “ Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”2 Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa hukum acara pidana merupakan hukum pidana formil yang bertujuan untuk mempertahankan dan melaksanakan hukum pidana materil.

(15)

Menurut sistem yang dianut oleh KUHAP maka tahapan-tahapan yang harus dilalui secara sistematis dalam peradilan pidana adalah : 3

1. Tahap penyidikan oleh kepolisian 2. Tahap penuntutan oleh kejaksaan

3. Tahap pemeriksaan di pengadilan oleh hakim

4. Tahap pelaksanaan putusan (eksekusi) oleh kejaksaan dan lembaga pemasyarakatan

Kepolisian sebagai garda terdepan dalam proses peradilan pidana mempunyai peran yang sangat penting, terlebih terhadap penanganan perkara tindak pidana umum. Sebab dalam sebuah peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat yang diduga sebagai peristiwa pidana maka disitu peran kepolisian sudah ada. Peran kepolisian tersebut ialah melakukan penyelidikan yang berguna untuk mencari dan menemukan apakah sebuah peristiwa yang terjadi dalam masyarakat tersebut merupakan tindak pidana atau tidak. Jika dalam penyelidikan kepolisian menemukan bahwa peristiwa tersebut merupakan tindak pidana, maka kepolisian melakukan penyidikan terhadap peristiwa tersebut.

Dalam hal kepolisian melakukan penyidikan terdapat hubungan antara polisi sebagai penyidik dengan jaksa sebagai penuntut umum yang tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi : “Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum”.

3 Nursal, Muhammad. “Proses Peradilan Pidana”. Diakses dari http://www.negarahukum.com/hukum/proses-peradilan-pidana html. Pada tanggal 12 September 2019. Pukul 10.40 Wib.

(16)

Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa pada saat penyidik mulai melakukan penyidikan, disaat yang bersamaan penyidik tersebut juga segera memberitahukan hal tersebut kepada jaksa penuntut umum. Pemberitahuan tersebut dibuat dalam bentuk surat yang disampaikan kepada jaksa penuntut umum yang dikenal dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).

Lebih lanjut dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-XV/2017 disebutkan bahwa paling lama waktu penyerahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh penyidik kepada jaksa penuntut umum ialah 7 (tujuh) hari dan selain diserahkan kepada jaksa penuntut umum Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tersebut juga diserahkan kepada terlapor dan korban/pelapor.4

Setelah jaksa penuntut umum menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari penyidik, maka jaksa penuntut umum mulai mengikuti perkembangan penyidikan yang dilakukan penyidik. Dalam tahap ini jaksa penuntut umum hanya bersifat mengikuti dan proses penyidikan tetap dilakukan oleh penyidik secara murni. Hasil dari penyidikan yang dilakukan penyidik akan dibuat dalam sebuah berkas perkara yang akan diserahkan kepada jaksa penuntut umum untuk diperiksa atau diteliti oleh jaksa penuntut umum yang dikenal dengan istilah tahap 1 (satu). Setelah jaksa penuntut umum menerima berkas perkara dan memeriksa atau meneliti berkas perkara tersebut, maka jaksa penuntut umum akan menentukan sikap terhadap berkas perkara tersebut. Jika jaksa penuntut umum berpendapat bahwa berkas perkara tersebut telah lengkap atau

4 https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt58763386dea5a/mk-tetapkan-7-hari-

(17)

disebut dengan istilah P-21, maka akan diberitahukan kepada penyidik yang akan dilanjutkan dengan tahap 2 (dua) yaitu penyerahan tersangka dan barang bukti.

Namun jika jaksa penuntut umum berpendapat bahwa berkas perkara tersebut belum lengkap, maka jaksa penuntut umum akan memberitahukan kepada penyidik bahwa berkas perkara tersebut belum lengkap atau disebut dengan istilah P-18 dan jaksa penuntut umum akan mengembalikan berkas perkara tersebut beserta petunjuk kepada penyidik untuk dilengkapi atau dikenal dengan P-19.

Kejaksaan merupakan satu-satunya lembaga penegak hukum yang di dalam sistem peradilan pidana Indonesia mempunyai hak untuk melakukan penuntutan melalui para penegak hukumnya, yaitu jaksa sebagai pemegang tunggal kuasa penuntutan. Selain itu kejaksaan juga sebagai pengendali proses perkara (dominus litis) yang mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat atau tidak dilanjutkan ke pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana menurut hukum acara pidana.5 Berdasarkan hal tersebut kejaksaan memiliki peran yang sangat strategis dalam proses peradilan pidana sehingga tidak salah disaat penyidik memulai penyidikan, penyidik disaat bersamaan memberitahukan hal tersebut kepada jaksa penuntut umum agar dalam proses penyidikan tersebut penyidik dapat berkoordinasi dengan jaksa penuntut umum yang bertujuan untuk menghindari bolak-baliknya berkas perkara diwaktu penyidik telah selesai melakukan penyidikan dengan menyerahkan hasil penyidikan berupa berkas perkara kepada jaksa penuntut umum.

5 Marwan Effendi, 2005, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.105.

(18)

Akan tetapi di dalam prakteknya ada ditemukan peristiwa dimana jaksa penuntut umum mengembalikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penyidik dan mengembalian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) beserta berkas perkara kepada penyidik. Seperti pengembalian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mengembalikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari penyidik pada Bareskrim Polri terkait kasus pengusaha gula GJ. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Mukri mengatakan, pihaknya mengembalikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus GJ lantaran SPDP tersebut dikirim pada 2017, namun hingga 2018 penyerahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tersebut tidak diikuti dengan pengiriman berkas perkara sehingga sesuai SOP, SPDP kita kembalikan ke penyidik. Menurutnya prosedur ini diatur di dalam Peraturan Jaksa Agung RI No. 036/A/JA/09/2011 tentang SOP Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum.6

Begitu juga yang terjadi pada Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai, ada terdapat pengembalian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan pengembalian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) beserta berkas perkara kepada penyidik pada Polres Serdang Bedagai dan penyidik pada Polres Tebing Tinggi oleh jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai. Seperti contoh, jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Serdang

6 https://metro .sindonews.com/read/1362784/170/alasan-kejaksaan-mengembalikan- spdp-kasus-yang-menjerat-bos-gula-1544776622, “Alasan Kejaksaan Mengembalikan SPDP

(19)

Bedagai mengembalikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari penyidik pada Polsek Sipispis yang berada dibawah daerah hukum Polres Serdang Bedagai atas nama Darwis Berutu yang disangka Melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHPidana dan pengembalikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) beserta berkas perkara atas nama Meston Utoyo yang disangka melanggar pasal 480 ayat (1) KUHPidana dari penyidik Polres Tebing Tinggi.

Merujuk pada Pasal 110 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan “Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum”, dan pada penjelasan Pasal 110 ayat (1) KUHAP dikatakan cukup jelas, sehingga dengan demikian bahwa penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tidak ditentukan waktunya oleh KUHAP. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan keadlian (Gerechtigkeit).7 Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat terjadi ketidakpastian hukum dalam hal lamanya waktu penyidikan yang diatur oleh KUHAP.

Mengingat hal tersebut, Jaksa Agung Republik Indonesia sebagai pimpinan tertinggi kejaksaan yang ada di Indonesia yang mempunyai peran sebagai pengendali proses perkara (dominus litis) membuat suatu peraturan Jaksa Agung untuk menjawab ketidakpastian dalam waktu penyidikan yang diatur dalam KUHAP tersebut. Hal ini bertujuan untuk mencapai tujuan hukum itu

7 Sudikno Mertukusumo, 2013, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.1.

(20)

sendiri yaitu kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.8 Oleh karenanya, Jaksa Agung Republik Indonesia pada tahun 2011 mengeluarkan sebuah peraturan yang berupa Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No : PER-036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No : PER-036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum atau yang dikenal dengan istilah PERJA SOP Pidum ini yang menjadi dasar dalam pengembalian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh jaksa penuntut umum kepada penyidik dan pengembalihan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) beserta berkas perkara kepada penyidik pada beberapa contoh diatas.

Dalam artian bahwa penyidik diberikan waktu untuk melakukan penyidikan berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Repubik Indonesia No : PER- 036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penangan Perkara Tindak Pidana Umum yang dimana dalam KUHAP tidak diatur waktu penyidikan tersebut, hal ini bertujuan untuk mencapai tujuan hukum yaitu kepastian hukum.

Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian terhadap peraturan jaksa agung tersebut dalam proses penyidikan untuk penulisan skripsi dengan judul:

8

(21)

“IMPLEMENTASI PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER-036/A/JA/09/2011 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM (Studi Pada Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dibatasi perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan tugas dan kewenangan kejaksaaan dalam hukum acara pidana di Indonesia?

2. Bagaimana implementasi Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum dalam proses penyidikan tindak pidana umum pada Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai dan kendala yang dihadapi serta upaya untuk mengatasi kendala tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui Pengaturan tugas dan kewenangan kejaksaan dalam hukum acara pidana di Indonesia.

2. Untuk mengetahui implementasi Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum dalam proses

(22)

penyidikan tindak pidana umum pada Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai dan kendala yang dihadapi serta upaya untuk mengatasi kendala tersebut.

Dengan melaksanakan penelitian ini, terdapat beberapa manfaat yang akan diperoleh, antara lain :

1. Manfaat Teoritis

a. Melatih kemampuan dan keterampilan penelitian ilmiah sekaligus setelah itu dapat menjabarkannya dalam hasil berbentuk skripsi.

b. Untuk menambah pengetahuan bagi penulis sendiri, terutama untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang dikemukan dalam perumusan masalah di atas.

c. Untuk memberi pengetahuan bagi pihak lain mengenai implementasi Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum dalam proses penyidikan.

2. Manfaat Praktis

Dapat dimanfaatkan sebagai penambah pengetahuan para pembaca yang membaca hasil penelitian ini.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER-036/A/JA/09/2011 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

(23)

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM (Studi Pada Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai)”, ini diangkat karena terdapat ketertarikan untuk mengetahui bagaimana implementasi Peraturan jaksa Agung Republik Indonesia tersebut dalam proses penyidikan tindak pidana umum yang penelitian penulis lakukan di Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai sebagai salah satu pelaksana fungsi Kejaksaan Republik Indonesia di Kabupaten Serdang Bedagai. Sepanjang penelusuran di perpustakaan fakultas hukum USU maupun di perpustakaan fakultas hukum lain melalui internet, tidak ada ditemukan judul dan pembahasan yang sama dengan tulisan ini. Penulisan ini disusun berdasarkan literatur-literatur yang telah ada, baik melalui literature di perpustakaan ataupun media elektronik.

Oleh karena itu, penulisan ini merupakan karya asli. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Penyidik dan Penyidikan Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia 1.1. Penyidik Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia

KUHAP memberikan definisi penyidik yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1), yang berbunyi :“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang untuk melakukan penyidikan.”

Terdapat dua jenis badan yang dibebani wewenang untuk bertindak sebagai penyidik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP, yaitu:

“Penyidik adalah :

a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia

(24)

b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang. “

Dalam proses peradilan pidana, penyidik polisi negara Republik Indonesia memiliki posisi yang utama sebagai penyidik, karena merupakan penyidik umum yang dapat melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun undang-undang lain dibandingkan dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Hal ini dikarenakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) hanya penyidik delik-delik yang tersebut dalam perundang-undangan pidana khusus atau perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana (non-penal code offences).9 Disamping hal tersebut pada pasal 7 ayat (1) dan (2) KUHAP mengenai wewenang penyidik berbunyi :

“ (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d. melakukan penangkapan,penahanan,penggeledahan dan penyitaan;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

i. mengadakan penghentian penyidikan;

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a.”

(25)

Selanjutnya pada pasal 107 ayat (1) (2) (3) KUHAP, berbunyi :

(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.

(2) Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) hurif b dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf a.

(3) Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf a.”

Hal ini berarti bahwa penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik polisi negara Republik Indonesia sehingga dapat dikatakan penyidik polisi negara Republik Indonesia merupakan penyidik yang utama. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) adalah pegawai negeri sipil yang diangkat menjadi penyidik oleh Menteri Hukum dan HAM atas usul dari kementerian yang membawahi pegawai negeri sipil tersebut setelah mendapat pertimbangan dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) antara lain dapat berupa :

1. PPNS pada Kementerian Perhubungan atau Dinas Perhubungan di tingkat Provinsi (Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan)

2. PPNS pada Kementerian Kehutanan (Berdasarkan ketentuan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan)

(26)

3. PPNS pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Berdasarkan Undnag-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi)

4. PPNS pada Pemerintah Daerah (Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah)

5. PPNS pada Kementerian Kesehatan (Berdasarkan ketentuan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan)10

Selain pembagian penyidik diatas, terdapat pula pembagian penyidik lain yang disebut pada undang-undang khusus atau tertentu namun tidak sama hal nya dengan penyidik pegawai negeri sipil. Hal ini dikarenakan tidak disebut dalam KUHAP dan tidak berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik polisi negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik, yaitu penyidik kejaksaan dan penyidik badan narkotika nasional. Lebih lanjut terdapat syarat kepangkatan bagi pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berwenang melakukan penyidikan. Hal tersebut termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada Pasal 2A ayat (1) dan Pasal 3A ayat (1), yang berbunyi :

“2A ayat (1)

Untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, calon harus memenuhi persyaratan :

10 Hadi, Ilman. “Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)”. Diakses dari

(27)

a. berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara;

b. bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;

c. mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse criminal;

d. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan

e. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi;

3A ayat (1)

Untuk dapat diangkat sebagai penyidik PPNS, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 (dua) tahun;

b. berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a;

c. pendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara;

d. bertugas dibidang teknis operasional penegakan hukum;

e. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter pada rumah sakit pemerintah;

f. setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Pelaksanaan Pekerjaan pegawai negeri sipil paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan

g. mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan dibidang penyidikan;”

Suatu kekecualian, jika suatu tempat tidak ada pejabat penyidik berpangkat Inspektur Dua Polisi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2A ayat (1), maka komandan sektor kepolisian yang berpangkat bintara dibawah Inspektur Dua Polisi karena jabatannya adalah penyidik. Hal ini sesuai dengan Pasal 2C Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Dalam hal membantu tugas penyidik, di dalam KUHAP dikenal istilah penyidik pembantu. Namun penyidik pembantu ini hanya dikenal dalam penyidik polisi negara Republik Indonesia, yang dimana karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan. Lalu untuk syarat kepangkatan dalam

(28)

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ditentukan bahwa penyidik pembantu Kepolisian negara Republik Indonesia minimal berpangkat brigadir polisi dua. Mengenai wewenang penyidik pembantu sama halnya dengan wewenang penyidik, hanya terdapat beberapa hal yang membedakan, yaitu pada Pasal 11 KUHAP, mengatakan :

“Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.” Serta Pasal 12 KUHAP, mengatakan : “Penyidik pembantu membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada penuntut umum.”

1.2. Penyidikan Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia

Pengertian penyidikan terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP yang berbunyi :“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Sebelum penyidikan dilakukan terlebih dahulu dapat dilakukan penyelidikan untuk menemukan apakah suatu peristiwa yang terjadi tersebut merupakan tindak pidana atau tidak dan selanjutnya dilakukan penyidikan terhadap peristiwa tersebut jika merupakan tindak pidana. Penyelidikan ini merupakan sub fungsi dan bagian yang tidak

(29)

terpisahkan dari fungsi penyidikan.11 Sasaran penyidikan adalah pengumpulan bukti-bukti guna membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan pelakunya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyidik ialah orang yang kepadanya diberikan tugas sebagai penyidik dan penyidikan ialah perbuatan yang dilakukan orang tersebut dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik.

Dalam hal penyidikan terdapat proses dari rangkaian tindakan yang dilakukan penyidik, proses itu terdiri dari :

1. Tindakan pertama di tempat kejadian.

Dapat berupa penyelamatan korban, menangkap pelaku, menutup tempat kejadian agar tetap asli seperti saat terjadi tindak pidana, mengumpulkan barang bukti, mencari saksi yang dapat membantu penyidikan.

2. Penangkapan

Penangkapan merupakan wewenang penyidik, namun bukan berarti penyidik dengan sesuka hati dapat melakukan penangkapan. Terdapat syarat untuk melakukan penangkapan, syarat tersebut adalah adanya bukti permulaan yang cukup dan atas dasar bukti permulaan yang cukup itulah seseorang yang diduga keras telah melakukan suatu tindak pidana dapat ditangkap.

3. Penahanan

Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang. Oleh karena itu, penahanan seharusnya dilakukan jika perlu sekali karena dapat mengakibatkan hal yang fatal bagi penahanan itu sendiri. Masa waktu penahanan oleh penyidik ialah 20 hari dan jika dirasa kurang oleh

11 H.M.A KUFFAL, 2010, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang, hal.43.

(30)

penyidik dapat diminta perpanjangan kepada jaksa penuntut umum selama 40 hari.

4. Penggeledahan

Penggeledahan sendiri dapat dibagi atas penggeledahan rumah dan penggeledahan badan. Penyidik dalam melakukan penggeledahan harus terlebih dahulu meminta ijin kepada Ketua Pengadilan Negeri dan jika dalam keadaan tertangkap tangan penggeledahan dapat dilakuan tanpa ijin dari Ketua Pengadilan Negeri namun setelah selesai melakukan pengeledahan penyidik melaporkan hal tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri.

5. Penyitaan

Penyitaan merupakan serangkaian tindak penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan proses persidangan. Benda yang dikenakan penyitaan ialah :

- Benda yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana

- Benda yang telah digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya

- Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana

- Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana

(31)

- Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana 6. Pemeriksaan surat

Penyidik dapat memeriksa surat yang dikirim melalui kantor pos, jawatan atau pengangkutan. Pada saat pemeriksaan surat, penyidik harus meminta izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Setelah memperoleh izin tersebut, penyidik dapat membuka, memeriksa, bahkan menyita surat yang dicurigai sebagai barang yang dapat membuat terang suatu tindak pidana. Apabila pemeriksaan surat telah selesai, penyidik harus menutup surat dengan rapi dengan dibubuhi cap yang berbunyi “telah dibuka oleh penyidik” dan tanggal, tanda tangan, serta identitas penyidik.12

Dalam melakukan penyidikan adakalanya penyidikan itu dihentikan atau tidak dilanjutkan oleh penyidik. Hal ini dilakukan dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh penyidik yang akan diberitahukan kepada penuntut umum. Namum hal tersebut hanya berlaku bagi penyidik polisi negara Republik Indonesia. Apabila Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan pada penyidik polisi negara Republik Indonesia, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik polisi negara Republik Indonesia dan penuntut umum.13 Penghentian penyidikan tersebut hanya bisa terjadi dikarenakan beberapa alasan. Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP penyidik berwenang menghentikan penyidikan atas dasar alasan karena :

12 Mahmud Mulyadi, 2009, Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana, USU Press, Medan, hal.18-28.

13 M.Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hal.114.

(32)

1. Tidak terdapat cukup alat bukti, yaitu setelah penyidik melakukan kegiatan penyidikan secara optimal ternyata tidak berhasil menemukan/

mengumpulkan alat bukti minimal sebagaimana disyaratkan oleh pasal 183 jo 184 KUHAP.

2. Peristiwa yang disidik ternyata bukan merupakan tindak pidana, yaitu setelah penyidik secara cermat melakukan penyidikan, ternyata peristiwa yang ditangani tersebut adalah peristiwa perdata. Misalnya semula diduga peristiwa penipuan, setelah disidik terbukti merupakan peristiwa hutang piutang (pasal 1 butir 2 KUHAP)

3. Penyidikan dihentikan demi hukum, yaitu setelah penyidik melakukan penyidikan secara seksama, ternyata peristiwa pidana tersebut tergolong sebagai perkara ne bis in idem (pasal 76 KUHP), atau tersangkanya telah meninggal dunia (pasal 77 KUHP) atau peristiwa pidana tersebut telah gugur karena kadaluwarsa/ lewat waktu/ verjaring/ lost by limitation (pasal 78 KUHP).14

2. Tindak Pidana Umum

Secara harafiah tindak pidana umum berasal dari kata “tindak pidana” dan

“umum”. Tindak pidana merupakan istilah teknis-yuridis dari bahasa belanda

“stafbaar feit” atau “delict”, dengan pengertian sebagai sebuah perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum dan tentu saja dikenakan sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya.15 Perkataan Feit sendiri berarti “Sebahagian dari suatu kenyataan” atau “Een gedeeltie van de werkelijkheid”, sedangkan Strafbaar

14

(33)

berarti “dapat dihukum”. Sehingga perkataan Strafbaar Feit dapat diterjemahkan sebagai sebahagian dari suatu kenyataan yang dapat di hukum.16 Disamping itu dapat diartikan juga bahwa tindak pidana merupakan perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.17 Tindak pidana terdiri dari dua unsur, yaitu :18

1. Unsur yang bersifat objektif Unsur objektif itu meliputi :

a. Perbuatan manusia yaitu perbuatan yang positif atau suatu perbuatan yang negatif yang menyebabkan pidana

b. Akibat perbuatan manusia yaitu akibat yang terdiri atas merusakkan atau membahayakan kepeningan-kepentingan hukum, yang menurut norma hukum itu perlu ada supaya dapat dihukum c. Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan-keadaan ini bias

jadi terdapat pada waktu melakukan perbuatan.

d. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan itu melawan hukum, jika bertentangan dengan undang-undang

2. Unsur yang bersifat subjektif.

Unsur subjektif : Unsur yang ada dalam diri si pelaku itu sendiri yaitu kesalahan dari orang yang melanggar aturan-aturan pidana artinya

16 P.A.F Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal.181.

17 M. Hamdan, 2005, Tindak Pidana Suap dan Money Politics, Pustaka Bangsa Press, Medan, hal.8.

18 Ibid., hal.10

(34)

pelanggaran itu harus dapat dipertanggung jawabkan kepada pelanggar.

Dari apa yang disebutkan diatas kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu perbuatan akan menjadi tindak pidana apabila perbuatan :

1. Melawan hukum 2. Merugikan masyarakat 3. Dilarang oleh aturan pidana

4. Pelakunya diancam dengan hukuman pidana

Secara umum tindak pidana itu terbagi menjadi dua, yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Perbedaan tindak pidana ini terdapat pada hukum yang mengaturnya. Tindak pidana umum merupakan tindak pidana yang pengaturannya terdapat dalam hukum pidana umum, begitu juga dengan tindak pidana khusus yang pengaturannya terdapat dalam hukum pidana khusus.

Menurut Sudarto, hukum pidana umum ialah hukum pidana yang dapat diperlakukan terhadap setiap orang pada umumnya, sedangkan hukum pidana khusus diperuntukkan bagi orang-orang tertentu saja misalnya anggota angkatan perang, hukum yang mengatur delik-delik tertentu saja seperti hukum fiscal (pajak), hukum pidana ekonomi, dan lain-lain.19 Berdasarkan hal tersebut hukum pidana umum merupakan hukum yang pengaturan deliknya berada didalam KUHP, dan hukum pidana khusus merupakan hukum yang pengaturan deliknya selain atau diluar KUHP.

19

(35)

Tindak pidana umum sendiri merupakan segala perbuatan atau tindakan yang dilarang oleh hukum yang diatur dalam KUHP. Dengan demikian maka seluruh perbuatan yang dilarang dalam KUHP (kejahatan dan pelanggaran) merupakan tindak pidana umum. Namun di dalam praktek ada ditemukan perbedaan antara tindak pidana umum yang ada di dalam teori. Seperti hal kejahatan narkotika, dalam teori narkotika merupakan tindak pidana khusus yang dikarenakan hukum yang mengatur tentang narkotika berada diluar KUHP, yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun pada praktek di dalam lingkup institusi kejaksaan, narkotika merupakan tindak pidana umum yang dimana hal ini buktikan dengan diprosesnya perkara narkotika oleh Bidang Tindak Pidana Umum (Pidum) bukan oleh Bidang Tindak Pidana Khusus (Pidsus).

3. Jaksa dan Sejarah Kejaksaan di Indonesia 3.1. Jaksa

Kata jaksa adalah istilah Indonesia asli (Hindu-Jawa) yang telah dikenal sejak zaman Majapahit sebagai nama pejabat negara yang melaksanakan peradilan, kemudian di dalam Pepakem Cirebon dipakai istilah Jaksa Pepitu untuk menyatakan susunan pengadilan. Di zaman Mataram (abad 17) istilah jaksa dipakai sebagai nama pejabat yang melaksanakan peradilan terhadap perkara padu, yaitu perkara mengenai kepentingan perseorangan yang tidak dapat lagi didamaikan secara kekeluargaan oleh Hakim desa setempat.20 Dalam proses peradilan pidana jaksa lebih sering kita dengar dengan sebutan Jaksa Penuntut

20 Hilma Hadikusuma, 1983, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung, hal.169.

(36)

Umum atau yang di singkat dengan istilah JPU. Namun di dalam kalimat tersebut terdapat dua unsur yang berbeda antara jaksa dan penuntut umum, hal ini dapat dilihat pada pasal 1 angka (6) huruf a KUHAP yang berbunyi: “Jaksa adalah pejabat yang diberikan wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Lalu pada pasal 1 angka (6) huruf b berbunyi: “Penuntut umum adalah jaksa yang diberikan wewenang oleh undang- undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”

Dari batasan tersebut diatas dapat disebutkan bahwa pengertian “jaksa”

dihubungkan dengan aspek jabatan, sedangkan pengertian “penuntut umum”

berhubungan dengan aspek “fungsi” dalam melakukan suatu penuntutan dalam persidangan.21 Jika jaksa melaksanakan fungsi sebagai penuntut umum, maka disebut sebagai jaksa penuntut umum, dan jika jaksa melaksanakan fungsi sebagai pelaksaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka disebut sebagai jaksa eksekutor (eksekusi).

Dalam tubuh kejaksaan terdapat suatu istilah yang dikenal dengan “ EEN EN ONDEELRBAAR” yaitu kejaksaan satu dan tidak terpisahkan. Hal ini berarti

bahwa dimana pun jaksa berada, baik jaksa yang ditugaskan di daerah di seluruh Indonesia maupun jaksa yang dikaryakan di intansi lain seperti komisi pemberantasan korupsi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kejaksaan Republik Indonesia. Lebih lanjut maksud dari istilah kejaksaan satu dan tidak terpisahkan adalah jika seorang jaksa berhalangan untuk melaksanakan tugas nya

21

(37)

maka dapat digantikan sementara oleh jaksa lain tanpa ada surat kuasa dari jaksa yang terdahulu, hal ini menunjukkan dalam bertindak jaksa itu satu. Selain itu penjabaran kejaksaan satu dan tak terpisahkan ialah dalam melaksanakan tugas dan kewenangan, seorang jaksa dapat melimpahkan tugas dan kewenangannya tersebut kepada staf tata usaha (TU) pada kejaksaan untuk membantu jaksa melaksanakannya tanpa secara langsung dilakukan oleh jaksa yang bersangkutan.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer fungsi jaksa dalam peradilan umum ini sama dengan fungsi oditur pada peradilan militer, yang dimana pada pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dikatakan : “ Oditur militer dan oditur militer tinggi yang selanjutnya disebut oditur adalah pejabat yang diberikan wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.” Namun oditur dalam pasal ini tidak berada dibawah Kejaksaan Republik Indonesia melainkan berada dibawah Mahkamah Agung (untuk pengawasan) dan Tentara Nasional Indonesia (untuk pembinaan), serta hal ini hanya berlaku bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI).

3.2. Sejarah Kejaksaan di Indonesia

Kejaksaan Republik Indonesia lahir pada tanggal 22 juli 1960 yang dimana diperingati sebagai hari kejaksaan yang dikenal dengan hari bhakti adhyaksa. Jika berbicara tentang sejarah kejaksaan di Indonesia maka kita akan membicarakan tentang kejaksaan setelah kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 19

(38)

Agustus 1945, rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan mengenai kedudukan kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia dalam lingkungan Departemen Kehakiman. Secara yuridis formal Kejaksaan Republik Indonesia sudah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. 22

Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), sejak bulan januari 1950 Jaksa Agung RIS telah aktif melaksanakan tugasnya, walaupun perihal Jaksa Agung baru diatur kemudian dalam KRIS dan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan serta Jalanya Peradilan Mahkamah Agung (UUMA).23 Walaupun pada saat itu negara Indonesia berbentuk serikat dengan memiliki daerah bagian, namun hanya ada satu kejaksaan yang berada di pusat sedangkan daerah bagian tidak mempunyai kejaksaan.

Pada masa setelah Dekrit Presiden 5 Juli terjadi perubahan dalam status kejaksaan dari lembaga nondepartemen dibawah Departemen Kehakiman menjadi lembaga yang berdiri sendiri, yang dilandaskan pada Putusan Kabinet Kerja I Tanggal 22 Juli 1960, yang kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden No.

204 Tahun 1960 Tanggal 15 Agustus 1960 yang berlaku surut terhitung mulai tanggal 22 Juli 1960.24 Lalu pada demokrasi terpimpin inilah pertama kali di sahkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, sekaligus menjadi undang-undang pertama bagi kejaksaan.

22 Marwan Effendy, op. cit., hal.67.

23

(39)

Pada masa orde baru terjadi perubahan dan pembaruhan mengenai pokok- pokok organisasi Kementrian Kejaksaan. Hal tersebut bersamaan dengan dibubarkan Kabinet Dwikora yang kemudian dibentuk Kabinet Ampera, dimana Jaksa Agung tidak dicantumkan sebagai menteri. Dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 status kejaksaan sebagai departemen ditiadakan dan Kejaksaan Agung dinyatakan sebagai Lembaga Kejaksaan Tinggi Pusat dan Jaksa Agung tidak diberi kedudukan Menteri. Lalu pada masa Kabinet Pembangunan IV, kedudukan Jaksa Agung setingkat dengan Menteri Negara yang tercantum dalam Keppres No. 48/M Tahun 1983 Tanggal 16 Maret 1983.25

Pada tahun 1991 terjadi pergantian undang-undang kejaksaan yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1991 susunan organisasi kejaksaan lebih disempurnakan yang terdiri atas :

1. Jaksa Agung 2. Wakil Jaksa Agung

3. Jaksa Agung Muda Pembinaan 4. Jaksa Agung Muda Intelijen

5. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum 6. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus

7. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara 8. Jaksa Agung Muda Pengawasan

25 Ibid., hal.70-71.

(40)

9. Pusat Penelitian dan Pengembangan, Pusat Pendidikan dan Latihan, Pusat Penyuluhan Hukum

10. Kejaksaan di daerah : Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri

Situasi kejaksaan pada periode Orde Reformasi tidak jauh beda dengan periode Orde Baru, hanya terdapat sedikit perubahan pada struktur organisasi kejaksaan yaitu penamaan Pusat Penelitian dan Pengembangan, Pusat Pendidikan dan Latihan, Pusat Penyuluhan Hukum diubah menjadi Badan Pendidikan dan Pelatihan. Pada tahun 2004 terjadi lagi pergantian undang-undang kejaksaan yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Kejaksaan Republik Indonesia sebagai wadah dari para jaksa di Indonesia bernaung memiliki kantor perwakilan disetiap tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Di tingkat provinsi dikenal dengan kejaksaan tinggi yang berkedudukan di ibukota provinsi tersebut. Ditingkat kabupaten/kota dikenal dengan kejaksaan negeri yang berkedudukan di ibukota kabupaten/kota tersebut.

Di beberapa kabupaten/kota yang memiliki jarak antara satu kecamatan dengan kecamatan lain yang berjauhan, kejaksaan juga memiliki kantor perwakilan yang berguna untuk membantu memberikan pelayanan hukum bagi kecamatan yang jaraknya jauh dari ibukota kabupaten/kota tersebut. Hal ini biasanya terjadi di kabupaten/kota yang berbentuk kepulauan dan atau yang daerahnya luas. Untuk memberi pelayanan hukum maka dikecamatan itu dibentuk kantor perwakilan kejaksaan yang dikenal dengan cabang kejaksaan negeri. Kejaksaan Republik

(41)

Indonesia memiliki doktrin yang dikenal dengan sebutan “Tri Krama Adhyaksa”

yaitu Satya, Adhi, Wicaksana. Adapun pengertian Satya, Adhi, Wicaksana ialah : 1. SATYA, yaitu kesetian yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap

Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesame manusia.

2. ADHI, yaitu kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pemilikan rasa tangging jawab, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga maupun terhadap sesama manusia.

3. WICAKSANA, yaitu bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya dalam pengetrapan kekuasaan dan kewenangannya.

4. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No : PER-036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum

Dalam rangka pelaksaan program reformasi birokrasi Kejaksaan Republik Indonesia diperlukan standar operasional prosedur tentang penanganan perkara tindak pidana umum. Penanganan perkara tindak pidana umum dilaksanakan berdasarkan hukum acara pidana, dan berbagai peraturan perundang-undangan yang dilengkapi petunjuk teknis penanganan perkara tindak pidana umum.

Standar operasional prosedur dimaksud sebagai panduan kinerja jajaran tindak pidana umum umum dalam menangani perkara tindak pidana umum dengan tetap memperhatikan perkembangan hukum dan masyarakat dengan penuh kearifan.

Berdasarkan hal tersebut Jaksa Agung Republik Indonesia pada tahun 2011 mengelurkan peraturan yang berupa “ Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia

(42)

Nomor : PER-036/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum “.

Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia ini terdiri atas beberapa bab, yaitu:

1. Bab I : Ketentuan Umum 2. Bab II : Asas dan Tujuan

a. Bagian 1 : Asas b. Bagian 2 : Tujuan

3. Bab III : Ruang Lingkup 4. Bab IV : Jenis Tindak Pidana

a. Bagian 1 : Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda b. Bagian 2 : Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara dan

Ketertiban Umum

c. Bagian 3 : Tindak Pidana Umum Lain 5. Bab V : Prapenuntutan

a. Bagian 1 : Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) b. Bagian 2 : Koordinasi Penanganan Perkara

c. Bagian 3 : Penelitian Berkas Perkara

d. Bagian 4 : Jangka Waktu SPDP dan Penelitian Berkas Perkara 6. Bab VI : Penuntutan

a. Bagian 1 : Penunjukan Penuntut Umum

b. Bagian 2 : Penerimaan Tersangka dan Barang Bukti F. Metode Penelitian

(43)

Metode penelitian sangat penting guna untuk mendukung dalam mendapatkan data dan segala yang dibutuhkan dalam penelitian hukum ini. Dalam penelitian ini digunakan metode-metode sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah gabungan antara penelitian hukum normatif dan yuridis sosiologis. Penelitian hukum normatif, menurut Peter Mahmud Marzuki adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.26 Penelitian yuridis sosiologis yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana implementasi peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Agung Republik Indonesia Nomor : PER- 036/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum dalam proses penyidikan tindak pidana umum.

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dlam penulisan skripsi ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan yang meliputi wawancara terhadap narasumber di Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka yang meliputi bahan dokumen-dokumen, buku-buku

26 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Metode Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, hal.35.

(44)

dan berbagai sumber lainnya yang berkaitan dengan judul skripsi. Data sekunder diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat secara langsung dalam objek penelitian, yaitu Undang-Undang No.

8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No.

16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaaan Republik Indonesia, Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksaaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, serta Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.27

3. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Soerjono Soekanto, dalam penelitian dikenal tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka,

27

(45)

pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview.28 Di dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan cara : a. Studi Dokumen (Bahan Pustaka)

Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum, karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif.29 Studi dokumen merupakan tahap awal untuk menganalisa pokok penelitian yang akan dibahas.

b. Wawancara (Interview)

Wawancara merupakan proses pengumpulan data dengan cara tanya jawab antara dua orang atau lebih yang berhadapan langsung secara fisik. Sebelum melakukan wawancara, penulis membuat daftar pertanyaan yang tidak berstruktur dan bersifat focused (berfokus) agar tetap pada pokok permasalahan.

4. Analisis Data

Data dianalisa secara kualitatif, yaitu menghubungkan permasalahan yang dikemukakan dengan teori yang relevan, sehingga diperoleh data yang tersusun secara sistematis dalam bentuk kalimat sebagai gambaran dari apa yang telah diteliti dan dibahas untuk mendapatkan kesimpulan.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan masalah-masalah dalam studi ini, dan dapat dipahami permasalahannya secara sistematis dan lebih terarah, maka

28 Ibid., hal.67.

29 Ibid., hal.68.

(46)

pembahasannya dibentuk dalam bab-bab yang masing-masing bab mengandung sub-bab, sehingga tergambar keterkaitan yang sistematis. Untuk selanjutnya sistematika pembahasannya disusun sebagai berikut :

BAB I bab ini merupakan awal yang merupakan pendahuluan skripsi yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. Pada bab ini akan mendukung untuk memasuki bab-bab selanjutnya.

BAB II yang berjudul pengaturan tugas dan kewenangan kejaksaan dalam hukum acara pidana di Indonesia. Bab ini membahas tentang pengaturan tugas dan kewenangan kejaksaan menurut KUHAP, pengaturan tugas dan kewenagan kejaksaan menurut UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pengaturan tugas dan kewenangan kejaksaan menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengaturan tugas dan kewenangan kejaksaan menurut UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

BAB III yang berjudul implementasi peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-036/A//JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum dalam proses penyidikan tindak pidana umum pada Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai dan kendala yang dihadapi serta Upaya untuk mengatasi kendala tersebut. Bab ini membahas tentang implementasi Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP)

(47)

Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum dalam proses penyidikan pada Kejaksaan Negeri Sedang Bedagai, Kendala yang dihadapi, dan upaya untuk mengatasi kendala tersebut.

BAB IV yang berjudul kesimpulan dan saran. Bab ini merupakan bab terakhir yang membahas tentang kesimpulan dan saran berdasarkan pembahasan dari permasalahan yang ada dan alternatif pemecahan masalah.

(48)

BAB II

PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG KEJAKSAAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

A. Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Tugas dan wewenang kejaksaan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHAP) dapat langsung dilihat pada pengertian jaksa pada Pasal 1 angka (6) huruf a dan b yaitu sebagai penuntut umum, melaksanakan penetapan hakim dan melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Lebih lanjut tugas dan wewenang tersebut dapat dilihat pada Pasal 14, yang berbunyi :

“Penuntut umum mempunyai wewenang :

a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;

b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

d. membuat surat dakwaan;

e. melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

g. melakukan penuntutan;

Referensi

Dokumen terkait

Dari data hasil penelitian pada siklus I pertemuan ke 2 dapat dijelaskan bahwa dengan menerapkan metode pengajaran berbasis proyek/tugas diperoleh nilai rata-rata

Dalam perkara ini, perbuatan terdakwa didakwa dengan dakwaan pertama yaitu dalam Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang

Pengertian lainnya dari eksekusi dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat 10 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER – 036/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur

Perumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah bagaimana pengawasan sebagai sarana penegakan hukum dalam Hukum Administrasi Negara, Bagaimana tugas pokok dan

73 Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi Revisi , Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2004, hal 77.. regulasi-regulasi yang relevan untuk

Kelemahan dalam pasal ini adalah, tidak disebutkannya bentuk perjudian apa yang diperbolehkan tersebut, ataukah sama bentuk perjudian sebagaimana yang

memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita maka konsumen dapat menuntut pertanggungjawaban secara perdata kepada pelaku usaha. Terdapat dua bentuk pertanggungjawaban

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian kredit yang mengalami kemacetan pada Kredit Usaha Rakyat di PT.Bank Rakyat Indonesia Cabang Kota Binjai