• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Tinjauan Kepustakaan

3. Jaksa dan Sejarah Kejaksaan di Indonesia

Kata jaksa adalah istilah Indonesia asli (Hindu-Jawa) yang telah dikenal sejak zaman Majapahit sebagai nama pejabat negara yang melaksanakan peradilan, kemudian di dalam Pepakem Cirebon dipakai istilah Jaksa Pepitu untuk menyatakan susunan pengadilan. Di zaman Mataram (abad 17) istilah jaksa dipakai sebagai nama pejabat yang melaksanakan peradilan terhadap perkara padu, yaitu perkara mengenai kepentingan perseorangan yang tidak dapat lagi didamaikan secara kekeluargaan oleh Hakim desa setempat.20 Dalam proses peradilan pidana jaksa lebih sering kita dengar dengan sebutan Jaksa Penuntut

20 Hilma Hadikusuma, 1983, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung, hal.169.

Umum atau yang di singkat dengan istilah JPU. Namun di dalam kalimat tersebut terdapat dua unsur yang berbeda antara jaksa dan penuntut umum, hal ini dapat dilihat pada pasal 1 angka (6) huruf a KUHAP yang berbunyi: “Jaksa adalah pejabat yang diberikan wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Lalu pada pasal 1 angka (6) huruf b berbunyi: “Penuntut umum adalah jaksa yang diberikan wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”

Dari batasan tersebut diatas dapat disebutkan bahwa pengertian “jaksa”

dihubungkan dengan aspek jabatan, sedangkan pengertian “penuntut umum”

berhubungan dengan aspek “fungsi” dalam melakukan suatu penuntutan dalam persidangan.21 Jika jaksa melaksanakan fungsi sebagai penuntut umum, maka disebut sebagai jaksa penuntut umum, dan jika jaksa melaksanakan fungsi sebagai pelaksaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka disebut sebagai jaksa eksekutor (eksekusi).

Dalam tubuh kejaksaan terdapat suatu istilah yang dikenal dengan “ EEN EN ONDEELRBAAR” yaitu kejaksaan satu dan tidak terpisahkan. Hal ini berarti

bahwa dimana pun jaksa berada, baik jaksa yang ditugaskan di daerah di seluruh Indonesia maupun jaksa yang dikaryakan di intansi lain seperti komisi pemberantasan korupsi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kejaksaan Republik Indonesia. Lebih lanjut maksud dari istilah kejaksaan satu dan tidak terpisahkan adalah jika seorang jaksa berhalangan untuk melaksanakan tugas nya

21

maka dapat digantikan sementara oleh jaksa lain tanpa ada surat kuasa dari jaksa yang terdahulu, hal ini menunjukkan dalam bertindak jaksa itu satu. Selain itu penjabaran kejaksaan satu dan tak terpisahkan ialah dalam melaksanakan tugas dan kewenangan, seorang jaksa dapat melimpahkan tugas dan kewenangannya tersebut kepada staf tata usaha (TU) pada kejaksaan untuk membantu jaksa melaksanakannya tanpa secara langsung dilakukan oleh jaksa yang bersangkutan.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer fungsi jaksa dalam peradilan umum ini sama dengan fungsi oditur pada peradilan militer, yang dimana pada pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dikatakan : “ Oditur militer dan oditur militer tinggi yang selanjutnya disebut oditur adalah pejabat yang diberikan wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.” Namun oditur dalam pasal ini tidak berada dibawah Kejaksaan Republik Indonesia melainkan berada dibawah Mahkamah Agung (untuk pengawasan) dan Tentara Nasional Indonesia (untuk pembinaan), serta hal ini hanya berlaku bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI).

3.2. Sejarah Kejaksaan di Indonesia

Kejaksaan Republik Indonesia lahir pada tanggal 22 juli 1960 yang dimana diperingati sebagai hari kejaksaan yang dikenal dengan hari bhakti adhyaksa. Jika berbicara tentang sejarah kejaksaan di Indonesia maka kita akan membicarakan tentang kejaksaan setelah kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 19

Agustus 1945, rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan mengenai kedudukan kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia dalam lingkungan Departemen Kehakiman. Secara yuridis formal Kejaksaan Republik Indonesia sudah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. 22

Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), sejak bulan januari 1950 Jaksa Agung RIS telah aktif melaksanakan tugasnya, walaupun perihal Jaksa Agung baru diatur kemudian dalam KRIS dan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan serta Jalanya Peradilan Mahkamah Agung (UUMA).23 Walaupun pada saat itu negara Indonesia berbentuk serikat dengan memiliki daerah bagian, namun hanya ada satu kejaksaan yang berada di pusat sedangkan daerah bagian tidak mempunyai kejaksaan.

Pada masa setelah Dekrit Presiden 5 Juli terjadi perubahan dalam status kejaksaan dari lembaga nondepartemen dibawah Departemen Kehakiman menjadi lembaga yang berdiri sendiri, yang dilandaskan pada Putusan Kabinet Kerja I Tanggal 22 Juli 1960, yang kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden No.

204 Tahun 1960 Tanggal 15 Agustus 1960 yang berlaku surut terhitung mulai tanggal 22 Juli 1960.24 Lalu pada demokrasi terpimpin inilah pertama kali di sahkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, sekaligus menjadi undang-undang pertama bagi kejaksaan.

22 Marwan Effendy, op. cit., hal.67.

23

Pada masa orde baru terjadi perubahan dan pembaruhan mengenai pokok-pokok organisasi Kementrian Kejaksaan. Hal tersebut bersamaan dengan dibubarkan Kabinet Dwikora yang kemudian dibentuk Kabinet Ampera, dimana Jaksa Agung tidak dicantumkan sebagai menteri. Dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 status kejaksaan sebagai departemen ditiadakan dan Kejaksaan Agung dinyatakan sebagai Lembaga Kejaksaan Tinggi Pusat dan Jaksa Agung tidak diberi kedudukan Menteri. Lalu pada masa Kabinet Pembangunan IV, kedudukan Jaksa Agung setingkat dengan Menteri Negara yang tercantum dalam Keppres No. 48/M Tahun 1983 Tanggal 16 Maret 1983.25

Pada tahun 1991 terjadi pergantian undang-undang kejaksaan yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1991 susunan organisasi kejaksaan lebih disempurnakan yang terdiri atas :

1. Jaksa Agung 2. Wakil Jaksa Agung

3. Jaksa Agung Muda Pembinaan 4. Jaksa Agung Muda Intelijen

5. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum 6. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus

7. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara 8. Jaksa Agung Muda Pengawasan

25 Ibid., hal.70-71.

9. Pusat Penelitian dan Pengembangan, Pusat Pendidikan dan Latihan, Pusat Penyuluhan Hukum

10. Kejaksaan di daerah : Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri

Situasi kejaksaan pada periode Orde Reformasi tidak jauh beda dengan periode Orde Baru, hanya terdapat sedikit perubahan pada struktur organisasi kejaksaan yaitu penamaan Pusat Penelitian dan Pengembangan, Pusat Pendidikan dan Latihan, Pusat Penyuluhan Hukum diubah menjadi Badan Pendidikan dan Pelatihan. Pada tahun 2004 terjadi lagi pergantian undang-undang kejaksaan yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Kejaksaan Republik Indonesia sebagai wadah dari para jaksa di Indonesia bernaung memiliki kantor perwakilan disetiap tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Di tingkat provinsi dikenal dengan kejaksaan tinggi yang berkedudukan di ibukota provinsi tersebut. Ditingkat kabupaten/kota dikenal dengan kejaksaan negeri yang berkedudukan di ibukota kabupaten/kota tersebut.

Di beberapa kabupaten/kota yang memiliki jarak antara satu kecamatan dengan kecamatan lain yang berjauhan, kejaksaan juga memiliki kantor perwakilan yang berguna untuk membantu memberikan pelayanan hukum bagi kecamatan yang jaraknya jauh dari ibukota kabupaten/kota tersebut. Hal ini biasanya terjadi di kabupaten/kota yang berbentuk kepulauan dan atau yang daerahnya luas. Untuk memberi pelayanan hukum maka dikecamatan itu dibentuk kantor perwakilan kejaksaan yang dikenal dengan cabang kejaksaan negeri. Kejaksaan Republik

Indonesia memiliki doktrin yang dikenal dengan sebutan “Tri Krama Adhyaksa”

yaitu Satya, Adhi, Wicaksana. Adapun pengertian Satya, Adhi, Wicaksana ialah : 1. SATYA, yaitu kesetian yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap

Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesame manusia.

2. ADHI, yaitu kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pemilikan rasa tangging jawab, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga maupun terhadap sesama manusia.

3. WICAKSANA, yaitu bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya dalam pengetrapan kekuasaan dan kewenangannya.

4. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No : PER-036/A/JA/09/2011

Dokumen terkait