• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH ; Yosua NIM :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH ; Yosua NIM :"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS PELAKU TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA (PEOPLE

SMUGGLING)

KE WILAYAH INDONESIA BERDASARKAN UU NO. 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

(Studi Putusan Nomor 602/Pid.Sus/2018/PN.Btm) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH ; Yosua NIM : 160200292

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2020

(2)
(3)
(4)

i

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat, karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini dengan judul

“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS PELAKU TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA (PEOPLE SMUGGLING) KE WILAYAH INDONESIA BERDASARKAN UU NO. 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN (Studi Putusan Nomor 602/Pid.Sus/2018/PN.Btm)”

sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan yang berbahagia ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mempersembahkan ucapan terimakasih terkhusus kepada kedua orang paling berharga dalam hidup penulis. Ayahanda Mangapul Manalu, SH., MH., dan Ibunda Sarmauli Gultom. Hidup menjadi begitu mudah dan lancar ketika kita memiliki orang tua yang lebih memahami kita daripada diri kita sendiri. Terima kasih telah menjadi orang tua yang terbaik.

Juga kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan oleh peneliti selama proses penyusunan skripsi ini serta yang telah memberikan dorongan dan dukungan moril maupun materil kepada penulis sehingga skripsi dapat terselesaikan. Maka pada kesempatan yang berbahagia ini penulis turut menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara

(5)

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. OK.Saidin, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan I sekaligus Dosen Pembimbing Akademik Penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Puspa Melati, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Liza Erwina, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. M.S, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran untuk memberikan masukan, bimbingan, saran, nasihat, arahan, serta ilmu yang bermanfaat dalam proses penelitian skripsi ini.

9. Bapak Dr. Edi Yunara, SH. M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran untuk memberikan masukan, bimbingan, saran, nasihat, arahan, serta ilmu yang bermanfaat dalam proses penelitian skripsi ini.

10. Seluruh staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan

di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

iii

penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12. Kepada saudara/i kandung penulis, yaitu Kakak Melisa Febriani, Kevin Daniel, Febri Yonathan, dan Chyntia Debora yang telah memberikan semangat dan dorongan baik dalam bentuk support dan perhatian kepada penulis dalam proses pengerjaan skripsi ini.

13. Kepada sahabat penulis semasa perkuliahan; Rio Landhy, Reynold, Andri, Jodi, dan lainnya yang telah menemani penulis melewati dunia perkuliahan dan dunia luar perkuliahan.

14. Kepada Cell Group (CG) Anchor, terimakasih untuk keseruan, kebersamaan, dan dukungan rohani yang selalu penulis dapatkan ketika berkumpul bersama.

15. Kepada rekan-rekan GROUP C FH USU 2016 yang menjadi keluarga pertama bagi penulis di Fakultas Hukum USU.

16. Kepada rekan-rekan Ikatan Mahasiswa Pekanbaru (usumulaktupku) yang telah menjadi tempat berkumpul ketika merindukan kota Pekanbaru tercinta.

17. Kepada rekan-rekan perjuangan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Terkhusus kepada rekan-rekan stambuk 2016, terimakasih atas kebersamaannya dalam perjuangan ini.

Universitas Sumatera Utara

(7)

18. Kepada Rekan-rekan Klinis Pidana, Perdata, dan PTUN, terimakasih atas kebersamaan melalui kesulitan untuk mendapatkan nilai yang terbukti memuaskan.

19. Kepada Teman-teman seperjuangan Stambuk 2016 terimakasih atas semangat dan dukungannya yang diberikan kepada penulis. See you on top guys!

Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun.Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan perkembangan hukum di Indonesia.

Terimakasih.

Medan, Mei 2020

Penulis

Yosua

160200292

(8)

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang………...………...……….. 1

B. Rumusan Masalah………...………...………. 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………...……….... 7

D. Keaslian Penulisan………...………...……… 9

E. Tinjauan Kepustakaan………...………...……….. 9

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana………...…….…... 9

2. Unsur-unsur Pertanggungjawaban Pidana ……….. 11

3. Pengertian Tindak Pidana………...………... 13

4. Pengertian Tindak Pidana Penyelundupan Manusia………… 15

F. Metode Penelitian………...………...…. 19

G. Sistematika Penulisan………...………...………... 21

BAB II: PENGATURAN HUKUM TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA DI INDONESIA A. Sejarah Pembentukan Undang-Undang tentang Keimigrasian di Indonesia……….…... 24

B. Pihak - Pihak Dalam Tindak Pidana Penyelundupan Manusia 1. Pelaku Penyelundupan Manusia……… 34

2. Korban Penyelundupan Manusia……….. 39

C. Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Penyelundupan Manusia... 40

D. Aturan Hukum Mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Penyelundupan Manusia di Indonesia 1. Undang-Undang Darurat No 8 Tahun 1995 Tentang Tindak Pidana Imigrasi………. 46

2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian 46 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2009 Tentang Pengesahan Protokol PBB……….. 50 4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian 51

Universitas Sumatera Utara

(9)

BAB III: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS PELAKU TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA (PEOPLE SMUGGLING) KE WILAYAH INDONESIA BERDASARKAN UU NO. 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

A Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Pidana

1. Unsur Kemampuan Bertanggungjawab ..……… 61

2. Unsur Kesalahan……….………... 64

3. Unsur Alasan Penghapus Pidana ………….………. 72

B. Pertanggungjawaban Pidana Atas Pelaku Tindak Pidana Menyelundupkan Manusia (People Smuggling) Ke Wilayah Indonesia Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian………... 77

BAB IV: PENERAPAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA (PEOPLE SMUGGLING) DALAM PUTUSAN NOMOR 602/ PID.SUS/ 2018/ PN BATAM A. Kasus Posisi (Nomor 602/Pid.Sus/2018/PN.Btm) 1. Kasus Posisi a. Kronologis………...………...……… 84

b. Dakwaan………...………...………... 85

c. Tuntutan………...………...……… 85

d. Fakta Hukum………...………...………… 87

e. Pertimbangan Hakim………...………...… 98

f. Putusan Hakim………... 102

B. Analisis Putusan……….. 104

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………...………...………... 113

B. Saran………...………...………...……….. 114

DAFTAR PUSTAKA

(10)

vii

ABSTRAK

Yosua* Alvi Syahrin**

Edi Yunara***

Praktek penyelundupan manusia (people smuggling) menjadi marak dalam beberapa tahun terakhir. Penyelundupan tersebut dilakukan melalui jejaring kejahatan internasional yang terorganisasi baik melalui jalur negara perantara maupun langsung. Praktek penyelundupan manusia merupakan kejahatan transnasional yang bukan hanya didorong oleh faktor perdagangan bebas yang terbuka lebar atau lemahnya penegakan hukum di Indonesia.

Akan tetapi juga didukung oleh wilayah geografis Indonesia itu sendiri.

Dalam penelitian ini, penulis mengkaji tentang Pengaturan Hukum tentang tindak pidana penyelundupan manusia, pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana tersebut, serta penerapan pertanggungjawaban pidana terhadap si pelaku. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode normatif dengan pendekatan studi kasus (case approach). Penulis mengumpulkan bahan hukum primer yakni Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2011 sebagai landasan peraturan hukum pidana tindak pidana ini. Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah studi kepustakaan dengan mengumpulkan, menganalisa, serta mempelajari literatur-literatur yang berhubungan dengan yang penulis bahas dalam skripsi ini.

Hasil yang didapat dari penelitian yang penulis lakukan adalah pertama, pengaturan hukum tentang pemberantasan tindak pidana penyelundupan manusia diatur dalam Undang-Undang Keimigrasian Nomor 6 Tahun 2011. Kedua, Pertanggungjawaban Pidana dalam tindak pidana ini harus memenuhi unsur-unsur pidana terhadap pelaku tindak pidana penyelundupan manusia. Ketiga, melalui studi putusan dalam Penelitian ini, bahwa terdakwa dalam Putusan Nomor 602/Pid.Sus/2018/ PN.Btm dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, serta dihukum dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

Kata kunci: Pertanggungjawaban pidana, penyelundupan manusia,tindak pidana

* Mahasiswa, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

(11)

** Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(12)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang secara geografis terletak pada posisi strategis, yakni di persilangan antara dua benua (Benua Asia dan Benua Australia), dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik). Karena letak geografisnya yang strategis dan besarnya luas perairan, Indonesia berbatasan langsung di laut dengan 10 (sepuluh) negara tetangga, yakni India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Timor-Leste, dan Australia.

1

Sesuai dengan amanat yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yakni dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia, maka Pemerintah Republik Indonesia wajib menjaga stabilitas nasional.

2

Indonesia sebagai salah satu negara di dunia juga memiliki potensi yang kuat untuk terjadinya praktek kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional bukan hanya didorong oleh faktor perdagangan bebas yang terbuka lebar atau lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Akan tetapi juga didukung oleh wilayah geografis Indonesia itu sendiri. Indonesia yang bentuk negaranya adalah

1 http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ1-20170619-094342-7273.pdf, diakses tanggal 8 Februari 2020

2 Ibid,.

Universitas Sumatera Utara

(13)

2

kepulauan secara geografis memiliki banyak pintu masuk: bandara, pelabuhan, batas darat dan perairan. Selain itu, Indonesia yang juga memiliki garis pantai yang sangat panjang, dan merupakan wilayah yang terletak pada posisi silang jalur lalu lintas dagang dunia, juga menjadi faktor utama yang menyebabkannya berpotensi kuat untuk terjadinya kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional di negeri ini juga dapat terjadi karena jumlah penduduk Indonesia yang terbilang besar.

3

Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara yang memiliki sumber tenaga kerja yang besar dan sebagai target untuk perkembangan pasar internasional. Berbagai kendala dihadapi oleh Indonesia dalam menghadapi persoalan kejahatan transnasional, seperti kurang sumber daya manusia yang kompeten, kendala dalam bidang teknologi, dan lemah secara yuridik dan diplomatik. Di tengah-tengah persoalan bangsa yang saat ini sangat banyak dan membutuhkan perhatian serius, bertambah lagi satu masalah baru yang harus ditempatkan dalam prioritas utama yaitu masalah People smuggling atau penyelundupan manusia.

Beberapa tahun terakhir penyelundupan manusia di Indonesia semakin marak. Berdasarkan data Kementrian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia, tercatat ada 5 (lima) kasus penyelundupan manusia dalam rentang Januari-April 2013 dengan jumlah manusia yang diselundupkan sebanyak 384 orang . Sedangkan menurut catatan Badan Reserse Kriminal Markas Besar

3 Darwan Prinst. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. (Jakarta: Djambatan, 1998), Hlm 27-28.

(14)

Kepolisian Republik Indonesia, imigran ilegal yang diamankan sebanyak 4525 orang pada tahun 2012. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, terjadi peningkatan hampir 100 persen. Tahun 2011 sebanyak 2470 orang imagran ilegal sedangkan tahun 2010 tercatat sebanyak 2352 orang.

4

Dalam rentang tahun 2014-2018 penyelundupan manusia ke wilayah Indonesia masih marak terjadi.

Dalam kasus tahun 2014, Petugas berhasil mencegah Imigran gelap asal Jawa Timur yang akan berangkat ke Australia. Dalam Putusan kasus tersebut pelaku BS dijatuhi pasal 120 ayat 1 UU No. 6 Tahun 2011 Jo Pasal 55 KUHP. Pada tahun 2016, gembong sindikat penyelundupan manusia di Indonesia, Abraham Louhenapessy alias Kapten Bram pada Jumat 23 September 2016 berhasil dibekuk tim gabungan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Intelkam dan juga Polda Nusa Tenggara Timur. Ia tercatat sudah menyelundupkan imigran gelap melalui perairan Indonesia sejak 1999. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung, Kapten Bram diduga sudah menyelundupkan ribuan imigran gelap ke Australia juga Selandia Baru.

5

Pada tahun 2018, Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri mengungkap kasus penyelundupan manusia berkedok pengungsi Rohingya. Ketiga tersangka itu adalah Muhammad Nur Hossain (WN Bangladesh), Muhammad Yamin Arif (Myanmar), dan Heri Sastra Firdaus (Indonesia). Ketiganya ditangkap pada Maret 2018. Mereka

4 Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolitian Republik Indonesia, Anev Penegakan Hukum Penyelundupan Manusia tahun 2013, makalah disampaikan pada Loka karya tentang Peningkatan Kerja Sama Teknis dalam Rangka Penegakan Hukum Penyelundupan manusia, Batam, Kepulauan Riau, pada tanggal 17-20 Juni 2013.

5 https://tirto.id/dia-otak-jaringan-penyelundupan-manusia-di-indonesia-bSGU . Diakses tanggal 20 April 2020

Universitas Sumatera Utara

(15)

4

ditangkap setelah mendapat laporan masyarakat bahwa ada 6 WNA yang diduga akan diselundupkan ke Australia melalui Merauke.

6

Penyebab dan latar belakang terjadinya penyelundupan manusia tidak terlepas dari kondisi, tatanan, bahkan sistem nilai yang dianggap tidak memungkinkan berkembangnya potensi dan harapan manusia di tanah airnya.

Berbagai tekanan dalam masalah kependudukan, masalah ketimpangan strategi atau tidak meratanya pembagian kesempatan dan pembangunan sosial-ekonomi, ataupun terjadinya berbagai konflik dengan alasan yang beranekaragam, telah lama dipahami sebagai pemicu terjadinya arus migrasi yang tidak sah.

7

Dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 Pasal 9 ayat 1 menyatakan

“Setiap orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi”. Walaupun peraturan telah berlaku, akan tetapi dari tahun ke tahun imigran gelap dan penyelundupan orang ke Indonensia dan transit melalui Indonesia semakin meningkat. Hal ini terbukti dari fakta yang diperoleh menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu, cara-cara ilegal justru lebih menjadi pilihan dalam proses migrasi.

Laporan dari Bureau of Public Affairs, US Department of State pada bulan Juni 2003 memaparkan bahwa tiap tahun sekitar 800.000 –900.000 orang telah

6 https:// news.detik.com/ berita/ d-3986894/ polri- ungkap- penyelundupan- manusia- berkedok-pengungsi- rohingya . Diakses tanggal 20 April 2020

7 Natalis Pigay, Migrasi Tenaga Kerja Internasional (Sejarah, Fenomena, Masalah dan Solusinya), (Jakarta :Pustaka Sinar Harapan, 2005), hlm. 120

(16)

diselundupkan dengan mengabaikan batas-batas internasional.

8

Di Indonesia sendiri hal ini terjadi rata-rata setiap tahun sampai dengan tahun 2011 lebih dari 10.000 orang imigran gelap baik yang menjadikan Indonesia sebagai tempat tujuan maupun sebagai transit.

Penyelundupan ini ditujukan untuk memasok pasar perdagangan seks internasional dan buruh. Penyelundupan tersebut dilakukan melalui jejaring kejahatan internasional yang terorganisasi baik melalui jalur negara perantara maupun langsung. Semakin meningkatnya secara signifikan aktivitas kelompok kejahatan terorganisasi dalam terjadinya penyelundupan migran, dapat membahayakan negara-negara dan kehidupan serta keselamatan para migran itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat internasional sepakat untuk mengatur dalam protokol tambahan mengenai penyelundupan migran. Praktek penyelundupan orang atau people smuggling telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir dan pada saat ini, laporan signifikan mengenai jumlah imigrasi tidak resmi terus meningkat di berbagai negara.

People smuggling umumnya dapat terjadi dengan persetujuan dari orang atau kelompok yang berkeinginan untuk diselundupkan, dan alasan yang paling umum dari mereka adalah peluang untuk mendapatkan pekerjaan atau memperbaiki status ekonomi, harapan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik bagi diri sendiri atau keluarga, dan juga untuk pergi menghindari konflik yang terjadi di negara asal. People smuggling sesungguhnya berangkat

8 http://www.interpol.int/public/thb/peoplesmuggling/default. Asp. Diakses pada tanggal 10 februari 2020.

Universitas Sumatera Utara

(17)

6

dari adanya dorongan untuk menjadi imigran gelap. Oleh karena itu, sebab-sebab yang memunculkan terjadinya imigran gelap dapat pula menjadi sebab-sebab munculnya tindakan penyelundupan manusia.

Penyelundupan Manusia (people smuggling), menurut definisi Pasal 3 Protokol PBB Tahun 2000 tentang Penyelundupan Manusia, berarti mencari untuk mendapat, langsung maupun tidak langsung, keuntungan finansial atau materi lainnya, dari masuknya seseorang secara illegal ke suatu bagian negara dimana orang tersebut bukanlah warga natau memiliki izin tinggal. Masuk secara illegal berarti melintasi batas negara tanpa mematuhi peraturan/perijinan yang diperlukan untuk memasuki wilayah suatu negara secara legal.

Dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2011 Pasal 120 Ayat 1 Menyatakan

“Setiap orang yang melakukan perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan,

baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang

lain dengan membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi

maupun tidak terorganisasi, atau memerintahkan orang lain untuk membawa

seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak

terorganisasi, yang tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki Wilayah

Indonesia atau keluar dari Wilayah Indonesia dan/ atau masuk wilayah negara

lain, yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut

secara sah, baik dengan menggunakan dokumen sah maupun dokumen palsu, atau

tanpa menggunakan Dokumen Perjalanan, baik melalui pemeriksaan imigrasi

maupun tidak, dipidana karena Penyelundupan Manusia dengan pidana penjara

paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana

(18)

denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”

Dalam Kasus Penyelundupan Manusia dalam Perkara Nomor:

602/Pid.sus/2018/PN Btm. Dengan Terdakwa ERPAN Bin MUKARIM, pada hari Rabu tanggal 02 Mei 2018 pada Pukul 17:00 Wib Terdakwa mendapat telfon dari Sdr.TUNGKANG (DPO) warga negara Malaysia memberitahukan kepada terdakwa, bahwa ada TKI ilegal yang akan pulang ke negara Indonesia berjumlah 71 (tujuh puluh satu) orang dan meminta Terdakwa mengirimkan Kapal untuk menjemput orang tersebut. Terdakwa menyanggupinya dan langsung menyuruh Sdr.DUL Als ZUL (DPO) untuk menjemput orang tersebut.

Maka berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk menganalisis pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana Penyelundupan Manusia (people smuggling) ke wilayah Indonesia berdasarkan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dalam Putusan Nomor 602/Pid.Sus/2018/PN.Btm.

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan oleh penulis maka yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini, yaitu :

1. Bagaimana Pengaturan Hukum tentang Pemberantasan Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (people smuggling) di Indonesia ? 2. Bagaimana Pertanggungjawaban Pidana atas Pelaku tindak pidana

Penyelundupan manusia (people smuggling) ke wilayah Indonesia berdasarkan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

Universitas Sumatera Utara

(19)

8

3. Bagaimana Penerapan Pertanggungjawaban Pidana dalam tindak pidana Penyelundupan Manusia (people smuggling) dalam Putusan Nomor 602/Pid.Sus/2018/PN.Btm

B. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang pertanggungjawaban pidana atas pelaku tindak pidana penyelundupan manusia (people smuggling) di Indonesia serta perkembangannnya.

2. Untuk mengetahui Pertanggungjawaban Pidana atas Pelaku tindak pidana Penyelundupan manusia (people smuggling) ke wilayah Indonesia berdasarkan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana atas pelaku tindak pidana yang melakukan tindak pidana penyelundupan manusia (people smuggling) dalam Putusan Putusan Nomor 602/Pid.Sus/2018/PN.Btm berdasarkan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini berdasarkan rumusan masalah serta tujuan penulisan yang diuraikan adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Dengan adanya penulisan tentang pertanggungjawaban pidana atas pelaku

tindak pidana penyelundupan manusia dalam skripsi ini diharapkan dapat

(20)

menjadi bahan bahan bacaaan yang menambah wawasan mengenai pertanggungjawaban pidana atas pelaku tindak pidana penyelundupan manusia dan tata cara penanganan perkaranya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Manfaat Praktis

Dengan adanya penulisan skripsi ini diharapkan dapat membantu aparat penegak hukum untuk menyelesaikan perkara tindak pidana yang berkaitan dengan penyelundupan manusia.

C. Keaslian Penulisan

Judul skripsi ini adalah Pertanggungjawaban Pidana Atas Pelaku Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (people smuggling) Ke Wilayah Indonesia Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian (Studi Putusan Nomor 602/Pid.Sus/2018/Pn.Btm). Judul skripsi ini belum pernah ditulis oleh siapapun dan juga diteliti dalam bentuk yang sama, namun objek kajian mengenai putusan dalam skripsi ini sudah ada diteliti namun dengan judul dan tinjauan permasalahan yang berbeda sehingga tulisan ini asli dalam hal tidak ada judul yang sama.

Dengan demikian isi keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.

D. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Perbuatan pidana tidak hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan

Universitas Sumatera Utara

(21)

10

kemudian juga dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sist rea).

Asas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tidak tertulis yang juga di Indonesia berlaku. Hukum pidana fiskal tidak memakai kesalahan. Di sana kalau orang telah melanggar ketentuan, dia diberi pidana denda atau rampas.

9

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggung jawabkan perbuatan yang tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah si pembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana.

10

Menurut Chairul Huda bahwa dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dapat dipidananya pembuat adalah atas dasar kesalahan, hal ini berarti bahwa seseorang akan mempunya pertanggungjawaban pidana bila ia telah melakukan perbuatan yang salah dan bertentangan dengan hukum. Pada hakikatnya pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk mekanisme yang

9 Moeljatno. Asas–Asas Hukum Pidana. (Bandung: Rineka Cipta, 2008), hlm. 165.

10 Roeslan Saleh. Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 75-76

(22)

diciptakan untuk berekasi atas pelanggaran suatu perbuatan tertentu yang telah disepakati.

11

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana.

12

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab, maka hanya seseorang yang yang “mampu bertanggung-jawab yang dapat dipertanggung-jawabkan. Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar), bilamana pada umumnya.

13

2. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana

11 Chairul Huda. Tindak Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggung jawab Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan ke-2, (Jakarta, Kencana, 2006), hlm. 68

12 Ibid., hlm. 62

13 Kanter E.Y & S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapanya.

(Jakarta : Storia Grafika, 2002), Hlm. 249

Universitas Sumatera Utara

(23)

12

Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah :

1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana.

Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan melawan hukum sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap melakukan perbuatan pidana. Jika sifat melawan hukum perbuatan pidana tersebut tidak dilakukan. Sifat melawan hukum dari tindak pidana yang terdapat pada KUHP merumuskan delik tersebut secara tertulis dan juga tidak tertulis. Jika rumusan delik tidak mencantumkan adanya sifat melawan hukum suatu perbuatan pidana, maka unsur delik tersebut dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika pelaku perbuatan dapat membuktikan tidak adanya sifat melawan hukum tersebut.

2. Untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur yang diwajibkan guna memenuhi pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana . Menurut Moeljatno, yang menjadi dasar adanya kemampuan bertanggungjawab adalah:

a. kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.

b. kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

3. Mempunyai bentuk kesalahan.

(24)

Perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan merupakan bagian dari unsur pertanggungjawaban pidana. Asas yang digunakan dalam pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld).

Bentuk perbuatan manusia mempunyai kesalahan terdapat dua sifat dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu kesengajaan dan kelalaian perbuatan dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran .

Bentuk kesengajaan ada 3 macam yaitu : a. kesengajaan dengan maksud

b. kesengajaan sebagai kepastian , keharusan, dan c. kesengajaan sebagai kemungkinan

4. Tidak adanya alasan pemaaf.

Mengenai alasan pembenar dan pemaaf, sebenarnya pembedaan ini tidak penting bagi si pembuat sendiri, karena jika ternyata ada alassan pengahupusan pidana, maka teranglah ia tidak akan dipidana. Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada ketentuan KUHP adalah sebagai berikut:

a. mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu

b. mengenai daya memaksa c. mengenai pembelaan terpaksa

d. mengenai melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah.

Universitas Sumatera Utara

(25)

14

Jika memenuhi dari salah satu ketentuan tersebut di atas, maka perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana, namun harus dibebaslan dari segala tuntutan hukum atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

3. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaarfeit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wvs Belanda maupun berdasarkan asas konkordasi istilah tersebut juga berlaku pada WvS Hindia Belanda (KUHP). Tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan istilah itu, namun hingga saat ini belum ada keseragaman pendapat tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit.

14

S.R Sianturi menggunakan delik sebagai tindak pidana. Jelasnya, Sianturi memberikan rumusan sebagai berikut: “Tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang- undang bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang bertanggungjawab)”.

15

Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa

14 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007).

hlm. 67

15 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta : Rangkang Education Yogyakarta &

PuKAP-Indonesia, 2012), hlm. 18-19

(26)

pidana.

16

Moeljatno berpendapat bahwa, “Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, asal saja dalam pidana itu diingat bahwa larangan tersebut ditujukan pada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelalaian orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut”.

17

Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga mempunyai hubungan yang erat pula.

Sementara perumusan strafbaarfeit, menurut Van Hammel, adalah sebagai berikut : “Strafbaarfeit” adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang- undang, bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Maka sifat-sifat yang ada dalam setiap tindak pidana adalah sifat melanggar hukum (wederrectelijkheid, onrechtmatigheid).

Menurut Soedarto

18

, perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat perbuatan jahat yang merupakan objek ilmu pengetahuan hukum pidana adalah perbuatan jahat dalam arti hukum pidana (strafrechtlijk misdaadsbegrip), yang terwujud secara in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana. Sedangkan

16 C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004, hlm. 54.

17 Ibid.

18 Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hlm 38

Universitas Sumatera Utara

(27)

16

perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat yang dipandang secara concrete sebagaimana terwujud dalam masyarakat (social verschijnsel, erecheinung, phenomena), adalah perbuatan manusia yang memperkosa/menyalahi norma- norma dasar dari masyarakat dalam konkrito. Ini adalah pengertian “perbuatan jahat” dalam arti kriminologis (criminologisch misdaadsbegrip).

4. Pengertian Tindak Pidana Penyelundupan Manusia

Penyelundupan manusia (people smuggling) menurut Undang-Undang

Nomor 6 tentang Keimigrasian adalah “Perbuatan yang bertujuan mencari

keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau

untuk orang lain yang membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara

terorganisasi maupun tidak terorganisasi, atau memerintahkan orang lain untuk

membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak

terorganisasi, yang tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki Wilayah

Indonesia atau keluar Wilayah Indonesia dan/atau masuk wilayah negara lain

yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut secara

sah, baik dengan menggunakan dokumen sah maupun dokumen palsu, atau tanpa

menggunakan dokumen perjalanan, baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun

tidak”. Jadi UU Nomor 6 tahun 2011 mendefinisikan penyelundupan manusia

sebagai perbuatan yang mencari keuntungan dengan membawa orang yang tidak

mempunyai hak masuk/keluar di Indonesia atau negara lain secara sah dengan

dokumen asli/palsu ataupun dengan melalui atau tidak melalui pemeriksaan

imigrasi.

(28)

Pada umumnya penyelundupan manusia dipahami sebagai usaha untuk mendapatkan keuntungan finansial atau material secara langsung maupun tidak langsung.

19

Namun semakin berkembang bahwa menyediakan fasilitas untuk masuk atau melintas sebuah negara secara ilegal termasuk pada konsep penyelundupan manusia tersebut. Penyelundupan seringkali melibatkan para korban yang telah setuju dengan kegiatan tersebut. Tanpa adanya paksaan sama sekali dari para penyedia fasilitas. Hal itulah yang membedakan dengan perdagangan manusia yang memaksa para migran untuk berpindah tempat.

Mary Crock-Ben Saul memberikan Pengertian tentang Penyelundupan manusia, dengan menyatakan :

“ People Smuggling is exploitative, criminal behaviour, it exists because of desperate demand among asylum seekers who do not have access to legal channels for fleeing persecution and seeking safety abroad”

Penyelundupan manusia itu bersifat eksploitatif dan criminal, yang dapat terjadi karena adanya pencari suaka yang tidak memiliki akses ke jalur hukum untuk menghindari penuntutan dan mencari suaka ke luar negeri.

Penyelundupan manusia yang dilakukan penyelundup diatas sangat berbeda dengan perdagangan orang. Jika perdagangan orang adalah korban sebagai orang yang diperjual-belikan tidak akan menyadari bahwa dirinya sedang diperdagangkan, atau bisa saja korban perdagangan orang telah ditipu atau

19 IOM, Pedoman Penegakkan Hukum dan Perlindungan Korban dalam Penanganan Tindak Pidana Perdaganan Orang, (Jakarta: IOM, 2012), hlm 12

Universitas Sumatera Utara

(29)

18

diancam dari pelaku perdagangan orang. Karena tujuan perdagangan orang yaitu eksploitasi manusia untuk dipekerjakan secara paksa dengan cara yang tidak layak.

20

Sedangkan perbedaan dengan penyelundupan manusia adalah, korban yang akan diselundupkan secara sadar mengikuti proses penyelundupan termasuk dengan segala konsekuensinya. Terdapat pula peran aktif dari manusia yang akan diselundupkan itu sendiri dengan membeli jasa penyelundupan dari pelaku penyelundupan manusia.

21

Penyelundupan manusia dapat menggunakan berbagai macam jalur. Yaitu jalur darat, jalur udara, atau jalur air. Untuk menempuh waktu yang singkat jika jarak negara tujuan jauh. Maka para penyelundup lebih sering menggunakan Pesawat. Namun resiko dalam menggunakan jalur udara lebih besar untuk tertangkap pihak imigrasi negara tujuan. Karena bisa saja terdapat kelalaian dari korban yang akan diselundupkan sehingga menimbulkan kecurigaan pada korban dan akan di periksan oleh Imigrasi setempat. Sedangkan untuk jalur air dan jalur darat lebih relatif aman untuk digunakan sebagai jalur penyelundupan.

Definisi penyelundupan migran menurut GAATW (Global Alliance Against Traffic in Women)

22

adalah “dimasukannya seseorang secara ilegal ke dalam suatu negara yang orang tersebut bukan merupakan warga negara atau penduduk tetapnya”. Tujuan penyelundupan migran tersebut adalah untuk mendapatkan keuntungan finansial atau material lainya.

20 IOM, Buku Petunjuk bagi Petugas, Dalam Rangka Penanganan Kegiatan Penyelundupan Manusia dan Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Penyelundupan Manusia, (Jakarta: IOM, 2012), hlm 5-6.

21 Ibid.

22 GAATW, Smuggling and Trafficking: Rights and Intersection, (Bangkok: GAATW, 2011), hlm 20-21

(30)

Berdasarkan dari beberapa definisi tersebut, karakteristik dari penyelundupan manusia dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

23

a. Dibangun oleh suatu kelompok kejahatan beberapa dengan struktur erat, seluler dan hirarkis, serta jangkauan global;

b. Jaringan kriminal atau asosiasi, termasuk perantara dan pemecah masalah yang mengatur kontak antara pemecah masalah dengan imigram gelap prospektif;

c. Pidana kelompok dan individu tidak semata-mata berkaitan dengan penyelundupan manusia;

d. Kejahatan dengan skala risiko yang kecil.

E. Metode Penelitian

Nasir menjelaskan bahwa metode penelitian ialah cara utama yang dipergunakan peneliti untuk mencapai tujuan dan menentukan jawaban atas masalah yang diajukan. Penelitian juga merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Melalui proses tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.

24

1. Jenis Penelitian

23 Organized Crime, http://www.soca.gov.uk/about-soca, diunduh pada 15 februari 2020

24 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Sutu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo, Jakarta, 2001, hlm. 1

Universitas Sumatera Utara

(31)

20

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Ronny Hanitjo Soemitro mengemukakan bahwa penelitian hukum normatif yang juga bisa disebut dengan penelitian hukum doktrinal biasanya hanya dipergunakan sumber-sumber data sekunder saja, yaitu peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan pengadilan, teori hukum, dan pendapat para sarjana terkemuka.

25

Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan. Pendekatan yang dipandang dari sudut penerapannya yang menggunakan penelitian murni (atau disebut juga penelitian dasar atau fundamental), penelitian murni biasanya ditujukan untuk untuk kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri atau teori maupun pengembangan metodologi penelitian.

26

2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, dan Putusan-Putusan Pengadilan.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku, jurnal, surat kabar, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya.

25 Soejonno, Abdurrahman, Metodologi Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999), hlm. 56

26 Soerjono, Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2012) hlm. 10

(32)

c. Bahan hukum tersier, yaitu berupa bahan-bahan yang memberi petunjuk apapun maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, berupa kamus dan sebagainya.

Adapun cara yang dilakukan oleh penulis guna mendapatkan data sekunder yakni dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Instrumen yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah dengan mengkaji beberapa buku dan juga dengan melakukan studi putusan untuk kemudian dianalisis dengan data dan fakta yang didapat dari riset kepustakaan yang dijadikan sebagai patokan penulisan dan kemudian disusun secara sistematis lalu dianalisis untuk mendapatkan jawaban atas masalah yang telah dirumuskan sesuai data-data yang telah disusun.

3. Analisis Data

Data –data serta fakta yang didapatkan dalam penyusunan skripsi ini kemudian dianalisis untuk kemudian dipelajari secara kualitatif untuk mendapatkan jawaban atas rumusan masalah yang telah diuraikan.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 (lima) bab, dimana tiap bab terbagi atas beberapa sub bab, guna mempermudah pemahaman akan skripsi ini maka dapat dirumuskan sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah/Permasalahan, Keaslian

Universitas Sumatera Utara

(33)

22

Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematikan Penulisan.

BAB II : Pengaturan Hukum Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Penyelundupan Manusia di Indonesia. Bab ini berisi pembahasan tentang Sejarah Pembentukan Undang-undang tentang tindak pidana penyelundupan manusia di Indonesia kemudian dilanjutkan dengan pembahasan Pihak-pihak dalam Tindak Pidana Penyelundupan Manusia, Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Penyelundupam Manusia, dan Aturan Hukum Mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Penyelundupan Manusia.

BAB III : Pertanggungjawaban Pidana Atas Pelaku Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (people smuggling) Ke Wilayah Indonesia Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. Bab ini berisi Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Pidana, dan Pertanggungjawaban Pidana atas Pelaku Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (people smuggling).

BAB IV : Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana

Penyelundupan Manusia, berisi Kasus Posisi yang menyajikan

Kronologis, Dakwaan, Tuntutan, Fakta Hukum, Pertimbangan

Hakim, dan Putusan Hakim, dan dilanjutkan dengan Analisis

Putusan.

(34)

BAB V : Kesimpulan dan Saran. Merupakan bab penutup dari penulisan skripsi yang mana didahului dengan pembasahan yang dimuat dalam rangkaian bab bab. Kesimpulan merupakan intisari dari penyusunan skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran-saran terkait penulisan skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara

(35)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA (PEOPLE SMUGGLING)

DI INDONESIA

A. Sejarah Pembentukan Undang-Undang tentang Keimigrasian di Indonesia

Suatu imigrasi adalah perpindahan secara geografis, baik perorangan maupun secara berkelompok dari suatu tempat atau negara asal ke tempat atau negara lain dengan tujuan untuk menetap.

25

Sekalipun pada mulanya imigrasi berarti perpindahan orang atau kelompok orang dari tempat asal ke tempat baru untuk tujuan menetap, namun dewasa ini mempunyai arti yang lebih luas.

Mengacu pada lalu lintas orang antar negara, baik bersifat permanen maupun temporer. Perkembangan kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi yang makin cepat dan kompleks, semakin memungkinkan hubungan antar negara dalam jangkauan waktu yang relatif singkat.

Di Indonesia pemeriksaan keimigrasian telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Pada saat itu terdapat badan pemerintah kolonial bernama Immigratie Dients yang bertugas menangani masalah keimigrasian untuk seluruh kawasan Hindia Belanda.

26

Pada zaman Pemerintahan kolonial itu, dikeluarkan beberapa keputusan tentang Keimigrasian, antara lain :

27

25 Adjat Sudrajat Hafid, Formalitas Keimigrasian, Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM tahun 2008, hlm. 175, (Jakarta: PT. Tamita Utama, 2012), hlm. 122

26 M.Iman Santoso, Perspektif Imigrasi dalam Pembangunan Ekonomi dan ketahanan Nasional, (Jakarta: UI Press, 2004), hlm. 17

27 Sihar Sihombing, Hukum Imigrasi, (Bandung : Nuansa Aulia, 2013), hlm. 5-6

(36)

a. Staatsblad 1913 Nomor 105 tentang Pengangkatan Sekretaris Komisi Keimigrasian di tiap ibukota pemerintahan, yaitu : Batavia (Jakarta), Surabaya, dan Semarang.

b. Staatsblad 1916 Nomor 142 Tahun 1916 diangkat seorang Sekretaris Komisi Imigrasi di Pontianak dan pengangkatan seorang juru Bahasa China untuk keperluan Dinas Imigrasi di Jakarta.

c. Staatsblad 1921 Nomor 33 Tanggal 13 Januari 1921 dijelaskan bahwa Imigrasi sudah berdiri sendiri dengan nama Dinas Imigrasi.

Selanjutnya, Pada Zaman Penjajahan Jepang diperkenalkan pendaftaran orang asing dengan surat pernyataan berdiam orang asing yang memuat identitas orang asing. Namun, hal ini tidak jelas, apakah menggantikan dokumen keimigrasian zaman penjajahan Belanda atau bukan. Dokumen keimigrasian produk Belanda yang ada masih tetap dipakai dan dalam hal ini perlu dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan saja.

28

Setelah bangsa Indonesia menjadi negara merdeka yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 dan tanggal 27 Desember 1949 penyerahan kedaulatan negara dari pemerintahan Hindia Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia maka pada tanggal 26 Januari 1950 secara resmi Kantor Imigrasi sebagai kantor penting pada zaman penjajahan Hindia Belanda diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia dan sekaligus menjadi Jawatan Imigrasi yang dipimpin oleh putra Indonesia Mr.H.Jusuf Adiwinata sebagai Kepala Jawatan Imigrasi. Sejak adanya Jawatan Imigrasi maka negara Indonesia sebagai negara yang berdaulat mempunyai hak dan kewenangan untuk menentukan sistim hukum yang berlaku

28 Ibid,.

Universitas Sumatera Utara

(37)

26

termasuk merumuskan masalah Hukum Keimigrasian diantaranya perubahan kebijakan Keimigrasian dari open deur policy untuk kepentingan pemerintah Kolonial, menjadi politik hukum keimigrasian yang bersifat selective policy yang didasarkan pada, kepentingan nasional pemerintah Indonesia.

29

Artinya hanya bagi mereka yang benar - benar menguntungkan kesejahteraan rakyat dan tidak membahayakan keselamatan bangsa dan negara Republik Indonesia diizinkan masuk ke Indonesia.

Sebagai tindak lanjut dari penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Hindia Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia (Serikat) pada tanggal 27 Desember 1949, maka masalah keimigrasian di Indonesia diserahkan dari Pemerintah Hindia Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 26 Januari 1950, yang selanjutnya diambil langkah-langkah untuk mengatur masalah keimigrasian di Indonesia sebagai berikut:

30

1. Sesuai dengan Pasal II Ketentuan Peralihan Undang - Undang Dasar 1945, maka Penetapan Izin Masuk (toelatingsbesluit) dan Ordonansi Izin Masuk (toelatingsordonnantie) masih diberlakukan dengan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan kepentingan Negara Republik Indonesia.

2. Menciptakan Peraturan Perundang-undangan yang baru berupa:

a. Undang-undang (Darurat) Nomor 40 Tahun 1950 tentang Surat Perjalanan Republik Indonesia (Paspor) sebagai pengganti

29 M.Iman Santoso, Loc.cit.

30 M.Arif, Keimigrasian di Indonesia Suatu Pengantar, (Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Departemen Kehakiman, 1997), hlm. 16-17

(38)

Ordonnantie tahun 1937 tentang Surat Perjalanan ke luar negeri yang tidak sesuai lagi dengan kebijaksanaan Pemerintah Indonesia;

b. Undang-undang (Darurat) Nomor 42 Tahun 1950 tentang Bea-bea Imigrasi;

c. Undang-undang (Darurat) Nomor 9 Tahun 1953 tentang Pengawasan Orang Asing;

d. Undang-undang (Darurat) Nomor 8 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi;

e. Undang-undang (Darurat) Nomor 9 Tahun 1955 tentang Kependudukan Orang Asing;

f. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1959 tentang Paspor Republik Indonesia sebagai pengganti Undang-undang (Darurat) Nomor 40 Tahun 1950 tentang Surat Perjalanan Republik Indonesia;

g. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pendaftaran Orang Asing;

h. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1954 tentang Pelaksanaan Pengawasan Orang Asing;

i. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1983 tentang Bebas Visa;

j. Peraturan Menteri Kehakiman Nomor J.M.2/ 17/2 Tahun 1954 tentang Cara Pendaftaran Orang Asing;

k. Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.03.UM.09.01 Tahun 1981 tentang Pencegahan dan Penangkalan.

Universitas Sumatera Utara

(39)

28

l. Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Luar Negeri tentang Petunjuk Visa bagi orang asing yang akan masuk ke wilayah Negara Republik Indonesia.

Fungsi dan kewenangan keimigrasian di Indonesia dilaksanakan oleh Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia, yang secara khusus dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. Penjabaran dari sistem hukum Keimigrasian yang dijalankan oleh pemerintah secara operasional dituangkan ke dalam trifungsi imigrasi yaitu Pertama; fungsi pelayanan masyarakat, Kedua; penegakan hukum, Ketiga; fungsi keamanan.

31

Selanjutnya, Pada Tahun 1992 disahkan Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan dinyatakan mulai berlaku sejak tanggal 31 Maret 1992, dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1992, dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3473.

32

Sebagai tindak lanjutnya telah dikeluarkan berbagai peraturan pelaksanaannya seperti:

33

1) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1994 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan.

2) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1994 tentang Pengawasan Orang Asing dan Tindakan Keimigrasian.

3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk, dan Izin Keimigrasian.

4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

31 Penjelasan Umum UU Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian

32 Sihar Sihombing, Op.cit., hlm. 10

33 Ibid., hlm. 11

(40)

Nomor 32 Tahun 1992 tentang Visa, Izin Masuk, dan Izin Keimigrasian, Tanggal 1 Mei 2005.

5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2005 tentang Visa, Izin Masuk, dan Izin Keimigrasian, Tanggal 12 Oktober 2005.

6) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1994 tentang Surat Perjalanan Republik Indonesia (SPRI).

7) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan bagi Pribadi yang akan bertolak ke Luar Negeri.

8) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1999, tentang Perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan bagi Pribadi yang akan bertolak ke Luar Negeri.

9) Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1993 tentang Pemberian Surat Keterangan Fiskal.

10) Keputusan Presiden Nomor 100 Tahun 1993 tentang Izin Penelitian orang asing dan lain – lainnya.

11) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Bebas Visa Kunjungan Wisata.

12) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Bebas Visa Kunjungan Singkat, Tanggal 17 Desember 2003.

Universitas Sumatera Utara

(41)

30

Sebagai tindak lanjut dari ketentuan perundang-undangan diatas telah dikeluarkan berbagai macam produk hukum sebagai peraturan pelaksanaan teknisnya, seperti Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Surat Edaran atau yang lainnya dari Menteri Hukum dan HAM, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Pendidikan Nasional, serta Menteri-menteri lain atau pejabat tinggi lainnya yang terkait dengan peraturan perundang-undangan ini.

34

Semua pengaturan hukum keimigrasian termasuk dalam hukum yang memaksa, hukum keimigrasian, termasuk hukum publik biasanya hukum yang memaksa, karena mengatur tentang kepentingan-kepentingan umum. Dengan demikian, menurut UU No. 9 Tahun 1992 terdapat dua unsur pengaturan yang penting, yaitu :

35

a. Pengaturan tentang berbagai hal mengenai lalu-lintas orang keluar, masuk, dan tinggal dari dan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.

b. Pengaturan tentang berbagai hal mengenai pengawasan orang asing di wilayah Republik Indonesia.

Berdasarkan hukum Internasional, pengaturan hal ini merupakan hak dan wewenang suatu negara serta merupakan salah satu perwujudan dan kedaulatan sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. UU No. 9 Tahun 1992 tidak membedakan antara emigrasi dan imigrasi. Selanjutnya, pengaturan lalu lintas keluar-masuk wilayah Indonesia ditetapkan harus melewati Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) yaitu di pelabuhan laut, bandar udara, atau

34 Ibid., hlm. 12

35 Penjelasan Umum UU No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian

(42)

tempat tertentu atau daratan lain yang ditetapkan Menteri Kehakiman sebagai tempat masuk atau keluar wilayah Indonesia (entry point).

36

Dalam rangka melakukan perlintasan atau perjalanan dari atau ke wilayah Indonesia, bagi orang asing akan menyangkut keimigrasian sejak dari negaranya, memasuki wilayah Indonesia melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi dan izin keberadaanya di wilayah Indonesia serta kegiatannya selama berada di wilayah Indonesia. Bagi orang asing tersebut selain harus memiliki surat perjalanan dari negaranya, diperlukan visa untuk masuk ke wilayah Indonesia, yang bersangkutan akan melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pajabat Imigrasi ditempat yang ditetapkan yaitu Tempat Pemeriksaan Imigrasi dan setelah diizinkan masuk akan diberikan izin untuk berada di wilayah Indonesia.

37

Pesatnya Perkembangan arus lalu lintas orang dan pengaruh tuntutan era globalisasi yang tidak dapat dibendung masalah keimigrasian perlu menyikapinya dengan cara mengubah atau merevisi undang-undang lama dengan pembaharuan yang dapat mengantisipasi kemungkinan dampak dari perkembangan tersebut melalui perangkat hukum yang lebih komprehensif. Sejak Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 sampai tahun 2011 masalah terkait keimigrasian terus berkembang dan dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan kebutuhan zaman saat ini sehingga dirasakan perlu ditinjau dan disempurnakan. Akhirnya pada tanggal 5 Mei 2011 ditandatangani Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan menyatakan mencabut dan dinyatakan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 sudah tidak berlaku lagi. Sedangkan Peraturan

36 M.Imam Santoso, Op.cit., hlm. 19

37 M.Arif, Op.cit, hlm. 9

Universitas Sumatera Utara

(43)

32

Pelaksanaannya masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 atau belum diganti dengan yang baru.

38

Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasiaan terdapat 2 (dua) unsur pengaturan yang penting, yaitu :

a) Pengaturan tentang berbagai hal mengenai lalu lintas orang yang masuk, keluar dan tinggal dari dan dalam wilayah Negara Republik Indonesia.

b) Pengaturan tentang berbagai pengawasan tidak hanya orang asing saja, namun juga warga Negara Indonesia di wilayah Indonesia, guna tegaknya kedaulatan negara.

Unsur pertama, pengaturan lalu lintas keluar masuk wilayah Indonesia.

Berdasarkan hukum internasional pengaturan hal ini merupakan hak dan wewenang suatu negara serta merupakan salah satu perwujudan dan kedaulatan sebagai Negara hukum yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Republik Indonesia dasar 1945, Undang-Undang Republik 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian membedakan antara emigrasi dan imigrasi. Selanjutnya, berdasarkan pasal 1 ayat 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 pengaturan lalu lintas keluar masuknya wilayah Indonesia ditetapkan harus melewati Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) yaitu di pelabuhan laut, Bandar Udara, Pos Lintas Batas atau tempat lain sebagai tempat masuk dan keluar wilayah Indonesia. Pelanggaran atas ketentuan ini dikategorikan sebagai tindakan memasuki wilayah Negara Indonesia secara tidak sah, artinya setiap lalu-lintas

38 Sihar Sihombing, Op.cit., hlm. 12-13

(44)

keluar masuk wilayah tidak melalui tempat pemeriksaan imigrasi, ditetapkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Pasal 113.

Unsur kedua dari pengaturan Keimigrasian yaitu pengawasan orang asing di wilayah Indonesia. Dalam rangka ini "pengawasan" adalah keseluruhan proses kegiatan untuk mengontrol atau mengawasi apakah proses pelaksanaan tugas telah sesuai dengan rencana atau aturan yang ditentukan.

39

Maka pengertian pengawasan orang asing adalah seluruh rangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mengontrol masuk dan keluarnya serta keberadaan orang asing di Indonesia telah atau tidak sesuai maksud dan tujuan orang asing tersebut masuk ke Indonesia dengan visa yang diberikan sesuai dengan ketentuan Keimigrasian yang berlaku.

40

Pengawasan orang asing meliputi masuk dan keluarnya orang asing dan dari wilayah Indonesia, dan keberadaan serta kegiatan orang asing di wilayah Indonesia. Pengawasan orang asing sebagai suatu rangkaian kegiatan pada dasarnya telah dimulai dan dilakukan oleh perwakilan Republik Indonesia diluar negeri ketika menerima permohonan pengajuan visa. Pengawasan selanjutnya dilaksanakan oleh Pejabat imigrasi di Tempat Pemeriksaan imigrasi ketika Pejabat imigrasi dengan kewenangannya yang otonom memutuskan menolak atau memberikan izin tinggal yang sesuai dengan visa yang dimilikinya sesuai dengan maksud dan tujuan orang asing tersebut masuk ke Indonesia, selanjutnya pengawasan beralih ke Kantor imigrasi yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal warga asing tersebut guna mengawasi lebih lanjut kegiatan yang

39 Imam Santoso, Op.cit, hlm. 20

40 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

(45)

34

dilakukan. Dari keseluruhan prosedur Keimigrasian yang ditetapkan, perlu dipahami bahwa operasionalisasinya dilaksanakan berdasarkan politik Hukum Keimigrasian yang bersifat selektif.

41

B. Pihak - Pihak Dalam Tindak Pidana Penyelundupan Manusia

1. Pelaku Penyelundupan Manusia

Penyelundupan manusia (people smuggling), menurut definisi pasal 3 Protokol PBB Tahun 2000 tentang penyelundupan Manusia, berarti mencari untuk mendapat, langsung maupun tidak langsung, keuntungan finansial atau materi lainnya, dari masuknya seseorang secara illegal ke suatu bagian negara dimana orang tersebut bukanlah warga atau memiliki izin tinggal. Para Penyelundup (smuggler) bekerja dengan berbagai cara tergantung dengan besarnya uang yang mereka terima, dengan mengatur rute, lama perjalanan, dan fasilitas imigram gelap tersebut. Lemahnya kontrol di perbatasan beberapa negara mendukung kemudahan untuk arus imigram gelap di era globalisasi.

42

Pelaku penyelundupan manusia terdiri dari para calo, perantara, dan pengirim imigram gelap, atau perencana perjalanan adalah mereka yang berkerja dengan jaringan yang terlah berpengalaman mengetahui seluk beluk rutre perjalanan dan kelemahan penjagaannya, baik di negara transit maupun tujuan.

Mereka juga mengetahui hokum nasional yang berlaku dan segala sanksinya, berikut kelemahan-kelemahannya (loopholes) yang bisa dimanfaatkan untuk disalahgunakan. Sementara, para sopir pengangkut para imigran gelap itu di darat

41 Ibid.

42 Partogi Nainggolan, dkk, Masalah Penyelundupan dan Perdagangan Orang, (Jakarta: Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), 2009), hlm 163

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Kelemahan dalam pasal ini adalah, tidak disebutkannya bentuk perjudian apa yang diperbolehkan tersebut, ataukah sama bentuk perjudian sebagaimana yang

Hal ini terbukti dari banyaknya kasus penarikan paksa yang dilakukan oleh pihak perusahaan pembiayaan atas objek pembiayaan milik debitur, terlebih lagi pada saat ini

memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita maka konsumen dapat menuntut pertanggungjawaban secara perdata kepada pelaku usaha. Terdapat dua bentuk pertanggungjawaban

Menurut pendapat Saya, tentang Peranan Keterangan Ahli yang dapat Mempengaruhi Keyakinan Hakim untuk Mengambil Keputusan dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana

DEDI menjemput 2 (dua) orang cewek TIARA dan SARI untuk dibawa ke lokalisasi Pulau Bay Bengkulu. b) Terdakwa III menjelaskan, benar orang yang menjadi korban dalam

Meskipun Koperasi Kredit Harapan Kita Kota Medan adalah Koperasi yang masih menimbulkan faktor kekeluargaan, Koperasi Harapan Kita Kota Medan lebih ,mengambil

Dakwaan tesebut merupakan rujukan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa yang menyatakan tindak pidana pencurian dengan kekerasan “(2) Diancam dengan

Kata mendistribusikan atau mentransmisikan sehingga dapat diaksesnya dokumen elektronik yeng memiliki muatan yang melanggar kesusilaan ialah perbuatan yang dilarang dan apabila