• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. OLEH : Reza Pepayosa NIM :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. OLEH : Reza Pepayosa NIM :"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MENURUT UNDANG-UNDANG YANG BERLAKU DI INDONESIA (PUTUSAN

NOMOR 71/PID.B/2014/PN.CRP)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH : Reza Pepayosa NIM : 120200289

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)
(3)

ABSTRAK

*Reza Pepayosa

** Liza Erwina

***Mahmud Mulyadi

Kasus perdagangan anak atau perdagangan orang khususnya perempuan dan anak kembali ramai dibicarakan masyarakat. Keprihatinan kita menjadi sangat besar karena korban perdagangan orang mayoritas adalah perempuan dan anak.

Isu human trafficking yang marak dibicarakan saat ini sebaiknya jangan dipandang sebelah mata. Permasalahan ini muncul akibat dari beberapa aspek salah satunya yang mendasari adalah aspek ekonomi seperti banyaknya tingkat pengangguran dan kemiskinan yang semakin meluas di Indonesia. Oleh karena itulah banyak juga masyarakat yang menghalalkan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya salah satunya dengan menghalalkan perdagangan anak

Adapun Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah Bagaimana pengaturan hukum terhadap perlindungan anak yang menjadi korban perdagangan orang menurut peraturan di Indonesia dan Bagaimana pertimbangan hakim dalam kasus tindak pidana perdagangan anak (Putusan Nomor 71/Pid.B/2014/PN.Crp)

Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normative) yang dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data-data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer seperti menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Dan bahan hukum sekunder seperti buku-buku, serta berbagai majalah, literatur, artikel, dan internet yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.

Perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang adalah melindungi hak setiap orang yang menjadi korban kejahatan perdagangan orang untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan undang-undang, oleh karena itu untuk setiap pelanggaran hukum yang telah terjadi atas korban serta dampak yang diderita oleh korban, maka korban tersebut berhak untuk mendapat bantuan dan perlindungan yang diperlukan sesuai dengan asas hokum. Majelis Hakim dalam putusan Putusan Nomor 71/Pid.B/2014/PN.Crp telah mempertimbangkan kesesuaian Dakwaan Penunut Umum yaitu yang menyatakan para terdakwa telah melanggar ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 17 Undang-Undang R.I. Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

Kata Kunci : Perlindungan hukum, Anak, Tindak Pidana Perdagangan Orang

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**Dosen Pembimbing I/ Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***Dosen Pembimbing II / Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(4)

KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Rahmat dan BerkatNya , sehingga penulis mampu menyusun skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi ini merupakan tugas wajib mahasiswa dalam rangka melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini diberi judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut Undang- Undang Yang Berlaku Di Indonesia (Putusan Nomor 71/Pid.B/2014/PN.Crp)”

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, baik berupa dorongan semangat maupun sumbangan pemikiran.

Oleh sebab itu, penulis dalam kesempatan ini ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang memberikan bantuan, yaitu kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., M.H selaku ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu memberikan inspirasi beserta dorongan kepada saya dalam penyusunan skripsi ini.

7. Kepada Ibu Liza Erwina, S.H, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Dosen Pembimbing 1 saya di Universitas Sumatera Utara, yang selalu memberikan inspirasi beserta dorongan kepada saya dalam penyusunan skripsi ini.

8. Kepada Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum selaku Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sebagai Dosen Pembimbing II penulis, yang telah sabar dan ikhlas memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

9. Kepada Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum sebagai Penasehat Akademik yang telah banyak membantu Penulis selama ini dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

10. Seluruh Staf Dosen dan Staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pembelajaran dan membimbing Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Kepada Ayahanda Marsellinus Karo-Karo dan Ibunda Rosmala Dewi br.Tarigan yang selalu memberikan motivasi, bimbingan moril, serta inspirasi kepada penulis, dan yang telah sabar dan ikhlas membesarkan penulis, sehingga penulis dapat menjadi seperti sekarang ini, dan orang yang selalu menjadi penyemangat bagi penulis.

(6)

12. Kepada abang dan adikku tercinta Aloy Rananta, Agatha Muroisa, Agitha Ezra, Kukuh Baretha dan Alvon Alvero yang menjadi penyemangat penulis.

13. Kepada Sukma Sari br.Ginting, orang yang telah menjadi penyemangat bagi penulis, dan orang yang selalu mendorong dan memberikan motivasi kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

14. Kepada Sahabat-sahabat terbaik saya William Hutabarat, Satria, Jonatan, Ricky Adrian, Putra, Redianta, Morando, Michael, Dimas, Een Hasibuan, bg Barita dan teman-teman lain yang selalu memberikan dorongan kepada penulis.

15. Kepada sahabat terbaik penulis di Grup G Stambuk 2012, yang sebagai teman seperjuangan dan grup terhebat sepanjang masa.

16. Kepada Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Hukum Pidana (IMADANA).

17. Kepada Keluarga Besar AMPI Fakultas Hukum USU.

18. Kepada seluruh teman-teman stambuk 2012 dan teman-teman Jurusan Hukum Pidana 2010.

Akhir kata Penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama bagi kemajuan ilmu pengetahuan ilmu hukum.

Medan, Juli 2018 Hormat Penulis

Reza Pepayosa NIM : 120200289

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar belakang ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 10

F. Metode Penelitian ... 20

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II : PENGATURAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN ANAK YANG MENJADI KORBAN PERDAGANGAN ORANG MENURUT PERATURAN DI INDONESIA A. Pengaturan Hukum Terhadap Perlindungan Anak Yang Menjadi Korban Perdagangan Orang Menurut Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak ... 25 B. Pengaturan Hukum Terhadap Perlindungan Anak Yang Menjadi Korban Perdagangan Orang Menurut Undang Undang

(8)

Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang ... 33

C. Pengaturan Hukum Terhadap Perlindungan Anak Yang Menjadi Korban Perdagangan Orang Menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ... 44

BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM KASUS TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK PADA PUTUSAN NOMOR PUTUSAN NOMOR 71/PID.B/2014/PN.CRP A. Kasus Posisi ... 57

1. Kronologis ... 57

2. Dakwaan ... 61

3. Tuntutan ... 61

4. Fakta-fakta Hukum ... 62

5. Pertimbangan Hakim ... 76

6. Putusan ... 81

B. Analisa Kasus ... 82

BAB IV : PENUTUP ... 87

A. Kesimpulan ... 87

B. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perdagangan orang (khususnya anak) adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan anak juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan anak di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Perempuan dan anak (seseorang yang berusia di bawah 18 tahun) adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau

(10)

memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.1

Kasus perdagangan anak atau perdagangan orang khususnya perempuan dan anak kembali ramai dibicarakan masyarakat. Keprihatinan kita menjadi sangat besar karena korban perdagangan orang mayoritas adalah perempuan dan anak.

Isu human trafficking yang marak dibicarakan saat ini sebaiknya jangan dipandang sebelah mata. Permasalahan ini muncul akibat dari beberapa aspek salah satunya yang mendasari adalah aspek ekonomi seperti banyaknya tingkat pengangguran dan kemiskinan yang semakin meluas di Indonesia. Oleh karena itulah banyak juga masyarakat yang menghalalkan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya salah satunya dengan menghalalkan perdagangan anak.2

Krisis moneter berkepanjangan dan lesunya perekonomian menyebabkan banyak keluarga kehilangan sumber pendapatannnya dalam kondisi ini, pelacuran dianggap memberi kesempatan yang lebih baik kepada anak dan perempuan mendapatkan uang. Banyak anak-anak dan perempuan dari desa yang mau meninggalkan kampung halamannya karena tergiur oleh janji-janji yang diberikan oleh para trafficker (orang yang memperdagangkan) untuk bekerja di kota dengan gaji yang besar, tetapi sesampainya di kota, diperdaya atau dipaksa untuk menjadi pekerja seks.

1Penjelasan dari UU RI NO. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

2 Hesti Armiwulan, http:/www.surya.co.id/2009/08/03/tuntaskan-Trafficking.html diakses pada tanggal 4 Maret 2018

(11)

Tindak pidana perdagangan anak telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan anak bahkan melibatkan tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan anak memiliki jangkauan operasi tidak hanya antarwilayah dalam negeri tetapi juga antarnegara.

Perdagangan anak di Indonesia sangat memprihatinkan. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) terjadi peningkatan sindikat pedagangan bayi yang angkanya lebih dari 400 bayi. Mereka diperdagangkan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Selanjutnya khusus wilayah Jawa Timur, jumlah anak yang diperdagangkan untuk tujuan seksual komersial diperkirakan 14 ribu orang.

Diketahui pula sedikitnya 100 ribu anak dan perempuan setiap tahun menjadi korban perdagangan manusia. Tujuan perdagangan anak selain untuk prostitusi, juga perbudakan, adopsi illegal, narkoba, dan penjualan organ tubuh. Mereka bukan hanya dijual di dalam negeri tapi juga keluar negeri seperti Singapura, Malaysia, Taiwan, Hongkong, Inggris, Brunei Darussalam, Jerman, dan Kanada.3

Banyak ahli mengatakan, perdagangan anak merupakan masalah yang gampang–gampang susah. Salah satunya penanggulangan perdagangan anak itu harus dilakukan dengan cara pendekatan komprehensif, yaitu penegakan hukum dan penguatan kapasitas masyarakat. Cara penanggulangan ini juga diakui oleh Drs. Ulaen yang mengatakan bahwa penanggulangan perdagangan anak harus

3 Republika, 23-12-2005, Kekerasan Terhadap Anak Makin Meningkat, Sumber : http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=227786&kat_id=6&kat_id1=&kat_id2=, diakses pada tanggal 4 Maret 2018

(12)

dihentikan dengan pendekatan yang tepat melalui pemberian informasi akan bahayanya perdagangan anak kepada masyarakat dan aparataparat desa, serta penegakan hukumnya yang harus dilakukan tanpa pandang bulu dengan pengertian aparat negara yang terkait dengan tindak pidana ini diberi sanksi yang tegas agar timbul rasa jera dan untuk mengentaskan persoalan perdagangan anak itu sendiri harus ada campur tangan antara masyarakat dan pemerintah, karena yang memegang peranan penting adalah kedua belah pihak itu sendiri. Karena kasus perdagangan perempuan dan anak biasanya baru terbongkar jika ada laporan dari keluarga korban yang merasa kehilangan kontak maupun meninggal dunia.4

Masalah perdagangan anak merupakan masalah serius yang harus ditangani secara sungguh-sungguh. Pasalnya, persoalan perdagangan anak di Indonesia sedang mendapat banyak sorotan. Bahkan Indonesia dinyatakan menempati urutan terburuk di dunia bersama dengan beberapa negara lain di Asia dalam hal perdagangan anak. Bahkan beberapa lembaga donor telah memberi warning dengan menyatakan akan menghentikan bantuannya ke Indonesia jika tidak dapat segera memperbaiki keadaan tersebut, hal tersebut kemudian direspon oleh pemerintah dengan merumuskan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Pelindungan Anak yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

4 Lapian Gandhi L.M dan Geru Hetty A, Trafficking Perempuan dan Anak, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2010, hal.169

(13)

Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah sebuah undang-undang yang dirumuskan oleh pemerintah untuk menjamin hak anak yang mengacu pada prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak. Undang-undang ini mengartikan anak sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun dan melarang eksploitasi ekonomi atau seksual serta kekerasan dan pelecehan terhadap anak. Anak mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam bangsa, negara, masyarakat maupun keluarga. Anak merupakan tumpuan harapan masa depan bagi bangsa, negara, masyarakat maupun keluarga. Oleh karena itu kondisi anak perlu diperlakukan secara khusus agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental maupun rohaninya. Karenanya, dibutuhkan perlindungan khusus untuk menyelamatkan mereka.5

Namun, ketentuan KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan anak yang tegas secara hukum. Di samping itu, Pasal 297 KUHP memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. Oleh karena itu, diperlukan undang-undang khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum materiil dan formil sekaligus. Maka disusunlah UU RI NO. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Untuk tujuan tersebut, undang-undang khusus ini mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi

5 Rika Saraswati,Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2009, hal.1

(14)

dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan antarwilayah dalam negeri maupun secara antarnegara, dan baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi.

Perlindungan anak sebenarnya bagian yang terintegral dengan penegakan hak asasi manusia. Namun di Indonesia penegakan HAM nampaknya tidak begitu memperhatikan aspek perlindungan anak. Tingginya angka kejahatan perdagangan anak menunjukkan belum seriusnya upaya pemerintah terhadap pelaksanaan perlindungan anak. Hal tersebut sama artinya negara juga belum serius dalam menegakkan hak asasi manusia.

Salah satu kasus trafficking yang paling menonjol di Sulawesi Selatan adalah dipulangkannya 17 perempuan belia yang berasal dari Tana Toraja yang dipekerjakan di tempat karaoke di Sandakan, Malaysia. Lembaga Perlindungan Anak Sulawesi Selatan dan Koalisi Perempuan Parepare bekerja sama untuk proses pemulangan ke daerah asal mereka. Kasus-kasus trafficking anak belia yang serupa kemungkinan besar merupakan fenomena gunung es di mana kasuskasus yang tidak/belum muncul ke permukaan jauh lebih banyak.6

Provinsi Sumbar khususnya Kota Padang termasuk satu daerah sumber perdagangan anak, karena banyak penduduknya masih berstatus miskin dan dominan orangtua terpaksa harus mempekerjakan anak-anaknya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. "Sumbar khususnya kota-kota besar seperti Padang, termasuk satu sumber perdagangan anak dan kondisi itu harus diwaspadai masyarakat, terutama orangnya serta pemda setempat," kata anggota Komisi

6 www.stoptrafiking.or.id. Design & Support by Ontrack Media Indonesia. diakses pada tanggal 5 Maret 2018

(15)

Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Kasus tersebut kini marak terjadi dengan motif adanya keinginan mengadopsi anak di kota-kota dan negara maju, karena kebanyakan dari mereka (kaum wanita) tidak mau melahirkan anak sendiri. Motif berikutnya mempekerjakan anak di bawah umur karena upahnya jauh lebih murah, selain juga untuk dieksploitasi secara seksual.7

Salah satu peranan penting pemerintah dalam menghentikan masalah perdagangan anak adalah mengatasi masalah-masalah yang mendasar seperti penanggulangan masalah kemiskinan. Dan satu kata kunci yang penting adalah

“pemberdayaan”. Hal ini sangat penting bagi para individu yang menjadi korban perdagangan anak. Banyak para korban perdagangan anak yang mengalami kebingungan akan berbuat apa dan akan berkerja apa setelah dipulangkan. Maka disini peranan pemerintah sangatlah penting dengan menciptakan lapangan perkerjaan bagi para korban perdagangan anak agar mereka tidak terjerat lagi dalam permasalahan yang sama. Perdagangan anak bukanlah suatu fenomena baru lagi di Indonesia, dan meskipun perdagangan orang ini dapat terkait dengan siapa saja, namun korban perdagangan orang lebih identik dengan perdagangan perempuan dan anak, hal ini cukup beralasan karena pada banyak kasus, perdagangan perempuan dan anak lebih menojol ke permukaan misalnya, melaporkan bahwa jumlah anak yang dilacurkan berkisar antara 40.000 dan 70.000 yang tersebar di seluruh Indonesia.

7 KBI Gemari : redaksikbi@gemari.or.id, 11 December 2007, diakses pada tanggal 5 Maret 2018

(16)

Dari pemaparan di atas tidak dapat dibayangkan begitu besar kerugian mental maupun moral yang ditimbulkan oleh kejahatan perdagangan anak tersebut. Bagaimana tidak, anak adalah aset penting dari generasi sebuah bangsa, artinya masa depan sebuah bangsa di masa mendatang sangat ditentukan oleh keberadaan mereka yang sekarang masih menjadi anak-anak. Maka aset ini perlu untuk mendapat perlindungan yang sepantasnya.

Berdasarkan pemaparan diatas, penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul: “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut Undang-Undang Yang Berlaku Di Indonesia (Putusan Nomor 71/Pid.B/2014/PN.Crp)”

B. Permasalahan

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan hukum terhadap perlindungan anak yang menjadi korban perdagangan orang menurut peraturan di Indonesia

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam kasus tindak pidana perdagangan anak (Putusan Nomor 71/Pid.B/2014/PN.Crp)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan skripsi yang hendak dicapai oleh peneliti, yaitu : 1. Untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap perlindungan anak yang

menjadi korban perdagangan orang menurut peraturan di Indonesia

2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam kasus tindak pidana perdagangan anak (Putusan Nomor 71/Pid.B/2014/PN.Crp)

(17)

Manfaat penulisan merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama, maka dengan demikian, dari penulisan ini diharapkan akan dapat memberi manfaat, antara lain :

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi para akademisi dalam perkembangan ilmu pengetahuan tentang perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang menurut undang-undang yang berlaku di indonesia bagi para akademisi dan masyarakat umum serta kiranya dapat memberi manfaat guna menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam ilmu hukum pidana.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan masukan kepada masyarakat dan bagi para praktisi hukum, khususnya bagi para orangtua, anak dan aktivis hukum agar lebih mengetahui mengenai langkah-langkah yang harus diperhatikan berupa bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang menurut undang-undang yang berlaku di indonesia

D. Keaslian Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mencoba menyajikan sesuai dengan fakta-fakta yang akurat dan dari sumber yang terpercaya, sehingga skripsi ini tidak jauh dari kebenarannya. Penulisan Skripsi yang berjudul “Perlindungan

(18)

Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut Undang-Undang Yang Berlaku Di Indonesia (Putusan Nomor 71/Pid.B/2014/PN.Crp” adalah hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini menurut sepengetahuan penulis belum pernah ada yang mengangkatnya ataupun membuatnya.

Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan, pemikiran, dan usaha penulis sendiridengan adanya bantuan dan bimbingan dari dosen pembimbing penulis tanpa adanya unsur penipuan, penjiplakan, atau hal-hal lain yang dapat merugikan pihak tertentu. Dan untuk itu Penulis dapat mempertanggungjawabkan atas semua isi yang terdapat di dalam skripsi ini dan keaslian penulisan skripsi ini.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Perlindungan Hukum

Menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip Satjipto Raharjo awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.8

8 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.53.

(19)

Fitzgerald menjelaskan teori pelindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.9

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak- hak yang diberikan oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.10

Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang

9 Ibid, hal.54.

10 Ibid

(20)

tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.11

Perlindungan hukum bila dijelaskan harfiah dapat menimbulkan banyak persepsi. Sebelum mengurai perlindungan hukum dalam makna yang sebenarnya dalam ilmu hukum, menarik pula untuk mengurai sedikit mengenai pengertian- pengertian yang dapat timbul dari penggunaan istilah perlindungan hukum, yakni Perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu.12

Pengertian perlindungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 6 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menentukan bahwa perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Keadilan dibentuk oleh pemikiran yang benar, dilakukan secara adil dan jujur serta bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Rasa keadilan dan hukum harus ditegakkan berdasarkan Hukum Positif untuk menegakkan keadilan dalam hukum sesuai dengan realitas masyarakat yang menghendaki tercapainya masyarakat yang aman dan damai. Keadilan harus dibangun sesuai dengan cita hukum (Rechtidee) dalam negara hukum

11 Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2004. hal. 3

12 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009. hal. 38

(21)

(Rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (Machtsstaat). Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur :13

a. Kepastian hukum (Rechtssicherkeit) b. Kemanfaat hukum (Zeweckmassigkeit) c. Keadilan hukum (Gerechtigkeit) d. Jaminan hukum (Doelmatigkeit)

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa perlindungan hukum adalah segala bentuk upaya pengayoman terhadap harkat dan martabat manusia serta pengakuan terhadahak asasi manusia di bidang hukum. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia bersumber pada Pancasila dan konsep Negara Hukum, kedua sumber tersebut mengutamakan pengakuan serta penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Sarana perlindungan hukum ada dua bentuk, yaitu sarana perlindungan hukum preventif dan represif.

2. Pengertian Anak

Defenisi anak secara umum belum dapat kita tentukan secara pasti karena setiap peraturan ataupun undang-undang mengatur defenisi anak tersebut secara berbeda-beda menurut batasan usianya. Secara nasional defenisi anak menurut perundang-undangan, diantaranya menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum menikah.

13 Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, Hal, 43

(22)

Pengertian ataupun defenisi secara umum atau nasional di Indonesia didasarkan pada batasan usia anak menurut hukum yang ada di Indonesia seperti:

hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum islam. Secara Internasional defenisi anak tertuang dala, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United Nation Convention on The Right of The Child tahun 1989, aturan Standar Minimum Perserikatan Baangsa-Bangsa mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nation StandardMinimum Rules for The Administrationof Juvenile Justice (“The Beijing Rules”) Tahun 1985 dan

Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948.14

Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 tahun 1973,pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah.

Sebaliknya , dalam Convention on The Right Of the Child tahun 1989 yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah.

Sementara itu, UNICEF mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun. Maka, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun.

Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan

14 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, hal 33

(23)

kepentingan usaha kesejahteraan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun.15

Dalam peraturan perundang-undangan terdapat beberapa batasan usia dewasa yaitu :16

a. Menurut Pasal 45 KUHP dinyatakan 16 tahun

b. Dalam KUHPerdata dibedakan dalam Pasal 421 dan Pasal 426 yang membedakan antara syarat pendewasaan penuh, minimal berusia 20 tahun, dan syarat pendewasaan terbatas, minimal berusia 18 tahun. Untuk usia dewasa sendiri ditentukan dalam Pasal 330 KUHPerdata yaitu 21 tahun.

c. Menurut UU No 1 Tahun 1974 batas yang tidak perlu ijin adalah 21 tahun.

d. Menurut UU No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dinyatakan bahwa dewasa adalah 21 tahun

e. Menurut UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka batasan usia dewasa adalah 18 Tahun

f. Beberapa UU lain juga mengatur dengan lebih rumit, misalnya UU Kependudukan, UU Pemilu, UU Lalu Lintas, dan UU Kewarganegaraan dengan model yang berbeda-beda

15(http://www.landasanteori.com/2015/08/pengertian-anak-menurut-definisi-ahli.html), diakses pada tanggal 05 Maret 2018

16( http://anggara.org/2013/08/21/anak-di-bawah-umur-dan-dewasa/), diakses pada tanggal 05 Maret 2018

(24)

Jadi terdapat beberapa batasan usia dewasa dalam peraturan perundang- undangan ini. Namun sayangnya MA tidak menjawab pertanyaan ini dengan cukup baik selain hanya umur dibawah dewasa. Tak ada petunjuk bagaimana Mahkamah Agung menafsirkan belum dewasa dalam perbuatan yang diatur dalam Pasal 332 ayat (1) KUHP.

Pada saat KUHP dibuat tentu rujukan untuk melihat anak, dibawah umur, dan dewasa adalah merujuk pada KUHPerdata, namun dengan diundangkannya peraturan-peraturan terakhir khususnya UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak apakah rujukan kepada KUHPerdata masih cukup tepat mengingat ada prinsip peraturan yang baru mengalahkan peraturan yang lama.Premis yang dibangun oleh Jaksa Penuntut Umum bahwa 18 tahun dalam UU Perlindungan Anak merujuk pada soal hukum pidana anak dan hukum acara pidana anak justru relevan untuk dipertanyakan ulang karena mengingat pertanggungjawaban pidana yang akan dikenakan terhadap seseorang dan sejauh mana seseorang dapat dianggap memiliki pengetahuan yang cukup berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang matang.Untuk masalah ini juga wajib dilihat apakah Indonesia masih menganut pola pemisahan berdasarkan anak, belum dewasa (di bawah umur), dan dewasa.17

Menurut Undang-Undang Nomor.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, defenisi anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan masih di dalam kandungan, sedangkan Undang-Undang Nomor.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak telah

17 Ibid.

(25)

mencapai usia 8 tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah menikah. Defenisi anak yang ditetapkan perundang-undangan berbeda dengan defenisi menurut hukum Islam dan hukum Adat. Menurut hukum Islam dan hukum Adat sama-sama menentukan seseorang masih ank-anak atau sudah dewasa bukan dari usia anak, karena masing-masing anak berbeda usia untuk mencapai tingkat kedewasaan. Hukum Islam menentukan defenisi anak dilihat dari tanda-tanda pada seseorang apakah seseorang itu sudah dewasa atau belum.

Artinya seseorang dinyatakan sebagai anak apabila anak tersebut belum memiliki tanda-tanda yang dimiliki oeleh orang dewasa sebagaimana ditentukan dalam hukum Islam. Ter Haar, seorang tokoh adat mengatakan bahwa hukum Adat memberikan dasar untuk menentukan apakah seseorang itu anak-anak atau orang dewasa yaitu melihat unsur yang dipenuhi seseorang, yaitu apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan rumah orangtua atau rumah mertua dan mendirikan kehidupan keluarga sendiri.18

3. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib

18 Marlina, Op.Cit, hal.34

(26)

dicantumkan dalam undangundang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.19

Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana (strafbaar feit) dengan tindakan/perbuatan (gedraging/handeling) memiliki makna yang berbeda. Sudarto mengemukakan, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titik penghubung dan dasar untuki pemberian pidana. Perbuatan (gedraging), meliputi berbuat dan tidak berbuat. Van Hattum dalam Sudarto, tidak menyetujui untuk memberi defenisi tentang gedraging, sebab defenisi harus dapat meliputi pengertian berbuat dan tidak berbuat, sehingga defenisi itu tetap akan kurang lengkap atau berbelit- belit dan tidak jelas.20

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang- undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.21

Pendapat para ahli hukum seperti yang dikemukakan oleh Simons, yang merumuskan bahwa strafbaar feit ialah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan

19P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti, Bandung. 1996. Hal. 7.

20Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bag.1, Jakarta, Raja Grafindo, 2002, hal.64

21Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia Jakarta, 2001. hal. 22

(27)

oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Jonkers dan Utrecht memandang rumusan Simons merupakan rumusan yang lengkap yang meliputi :22

a. Diancam dengan pidana oleh hukum, b. Bertentangan dengan Hukum,

c. Dilakukan oleh orang yang bersalah,

d. Orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.

Tindak Pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan yang bisa diartikan secara yuridis atau kriminologis. Menurut Sudarto, perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat perbuatan jahat yang merupakan objek ilmu pengetahuan hukum pidana adalah perbuatan jahat dalam arti hukum pidana (strafrechtelijk misdaadbegrip), yang terwujud secara in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana. Sedangkan perbuatan jahat sebagai gejala mayarakat yang dipandang secara concreet sebagaimana terwujud dalam masyarakat (sociaal verschijnsel, erecheinung, phenomena), adalah perbuatan manusia yang memperkosa/menyalahi norma-

norma dasar dari masyarakat dalam arti konkrit. Ini adalah pengertian “perbuatan jahat” dalam arti kriminolgis (criminologisch misdaadsbegrip).

Ada beberapa pendapat para penulis mengenai pengertian tindak pidana (strafbaar feit), dan disebutkan mengenai unsur-unsurnya. Golongan pertama

adalah mereka yang bisa dimasukkan ke dalam golongan “monistis” dan golongan kedua mereka yang disebut sebagai golongan “dualistis”.

22Jur.Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya ,Jakarta, Sofmedia, 2012, hal.120

(28)

Yang termasuk dalam aliran monistis (tidak adanya pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility) adalah:23

a) Van Hamel mengemukakan definisi strafbaar feit adalah “een wettelijk omschreven menschelijke gedraging, onrechtmatig, strafwaardig en aan schuld te witjen”. Jadi unsur-unsurnya ialah:

1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam Undang-undang;

2) Melawan hukum;

3) Dilakukan dengan kesalahan dan;

4) Patut dipidana.

b) E.Mezger mengemukakan Die straftat ist der inbegriff dervoraussetzungender strafe (tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana). Selanjutnya dikatakan “die straftat ist demnachtatbestandlich-rechtwidrige, pers onlich-zurechenbare strafbedrohte handlung”.

Tindak Pidana terjadi karena adanya perbuatan yang melanggar larangan yang diancam dengan hukuman. Larangan dan ancaman tersebut terdapat hubungan yangt erat, oleh karena itu antara peristiwa dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada suatu kemungkinan hubungan yang erat dimana satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Guna menyatukan hubungan yang erat itu maka digunakan perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit yaitu :

a. Adanya kejadian yang tertentu serta

b. Adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

23(http://prasko17.blogspot.co.id/2011/05/pengertian-tindak-pidana-menurut-para.html) yang diakses pada tanggal 6 Maret 2018

(29)

Penulis sangat memerlukan data dan keterangan yang akan dijadikan bahan analisis dalam menyelesaikan masalah. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skrispsi ini adalah metode yuridis normatif.

Metode yuridis normatif24 yaitu dalam menjawab permasalahan digunakan sudut pandang hukum berdasarkan peraturan hukum yang berlaku, untuk selanjutnya dihubungkan dengan kenyataan di lapangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Serta mencari bahan dan informasi yang berhubungan dengan materi penelitian ini melalui berbagai peraturan perundang-undangan Karya Tulis Ilmiah yang berupa makalah, skripsi, buku-buku, koran, majalah, situs internet yang menyajikan informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.25

2. Sumber data

a. Sumber data primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, seperti peraturan perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang- Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang HAM yang berkaitan dengan permasalahan perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.

b. Sumber data sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti makalah-makalah, jurnal-jurnal hukum, pendapat dari para ahli hukum pidana tentang perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.

24 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum., Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Cetakan Keempat, 2002, hal. 43.

25 Zaimul Bahri, Struktur dalam Metode Penelitian Hukum., Bandung, Angkasa, 1996, hal.68.

(30)

c. Sumber hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Inggris-Indonesia dan Kamus Hukum.

3. Metode pengumpulan data

Prosedur pengumpulan dan pengambilan data yang digunakan penulis dalam penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagi literatur yang relevan dengan permasalahan skripsi ini seperti buku-buku, makalah, artikel dan berita yang diperoleh penukis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh teori-teori atau bahan-bahan yang berkenaan dengan perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.

4. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan penulis dalam penulisan skripsi ini dengan cara kualitatif, yaitu menganalisis melalui data lalu diolah dalam pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan permasalahannya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Penulisan ini disusun secara sistematis dalam bentuk skripsi yang terdiri dari 5 (lima) bab yaitu :

(31)

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bagian awal berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN ANAK YANG MENJADI KORBAN PERDAGANGAN ORANG MENURUT PERATURAN DI INDONESIA

Bab ini berisikan Pengaturan Hukum Terhadap Perlindungan Anak Yang Menjadi Korban Perdagangan Orang Menurut Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Pengaturan Hukum Terhadap Perlindungan Anak Yang Menjadi Korban Perdagangan Orang Menurut Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Pengaturan Hukum Terhadap Perlindungan Anak Yang Menjadi Korban Perdagangan Orang Menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM KASUS TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK PADA PUTUSAN NOMOR PUTUSAN NOMOR 71/PID.B/2014/PN.CRP

Bab ini berisikan Kasus Posisi yang terdiri dari Kronologis, Dakwaan, Tuntutan, Fakta-fakta Hukum, Pertimbangan HakimPutusan dan Analisa Kasus

(32)

BAB IV PENUTUP

Bab ini menguraikan tentang kesimpulan dan saran, yaitu sebagai bab yang berisikan kesimpulan mengenai permasalahan yang dibahas terhadap permasalahan tersebut.

(33)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN ANAK YANG MENJADI KORBAN PERDAGANGAN ORANG MENURUT

PERATURAN DI INDONESIA

A. Pengaturan Hukum Terhadap Perlindungan Anak Yang Menjadi Korban Perdagangan Orang Menurut Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 tahun 1973, pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah.

Sebaliknya , dalam Convention on The Right Of the Child tahun 1989 yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah.

Sementara itu, UNICEF mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun. Maka, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun.

Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, kematangan pribadi dan kematangan

(34)

mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun.26

Dalam peraturan perundang-undangan terdapat beberapa batasan usia dewasa yaitu :27

a. Menurut Pasal 45 KUHP dinyatakan 16 tahun

b. Dalam KUHPerdata dibedakan dalam Pasal 421 dan Pasal 426 yang membedakan antara syarat pendewasaan penuh, minimal berusia 20 tahun, dan syarat pendewasaan terbatas, minimal berusia 18 tahun. Untuk usia dewasa sendiri ditentukan dalam Pasal 330 KUHPerdata yaitu 21 tahun.

c. Menurut UU No 1 Tahun 1974 batas yang tidak perlu ijin adalah 21 tahun.

d. Menurut UU No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dinyatakan bahwa dewasa adalah 21 tahun

e. Menurut UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak maka batasan usia dewasa adalah 18 Tahun

f. Beberapa UU lain juga mengatur dengan lebih rumit, misalnya UU Kependudukan, UU Pemilu, UU Lalu Lintas, dan UU Kewarganegaraan dengan model yang berbeda-beda

26(http://www.landasanteori.com/2015/08/pengertian-anak-menurut-definisi-ahli.html), diakses pada tanggal 15 Maret 2018 mengutip “Pengertian Anak Menurut Definisi Ahli danUndang Undang Kesejahteraan Anak”

27( http://anggara.org/2013/08/21/anak-di-bawah-umur-dan-dewasa/), diakses pada tanggal 15 Maret 2018, mengutip “Anak di bawah umur dan dewasa”

(35)

Jadi terdapat beberapa batasan usia dewasa dalam peraturan perundang- undangan ini. Namun sayangnya MA tidak menjawab pertanyaan ini dengan cukup baik selain hanya umur dibawah dewasa. Tak ada petunjuk bagaimana Mahkamah Agung menafsirkan belum dewasa dalam perbuatan yang diatur dalam Pasal 332 ayat (1) KUHP.

Pada saat KUHP dibuat tentu rujukan untuk melihat anak, dibawah umur, dan dewasa adalah merujuk pada KUHPerdata, namun dengan diundangkannya peraturan-peraturan terakhir khususnya UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak apakah rujukan kepada KUHPerdata masih cukup tepat mengingat ada prinsip peraturan yang baru mengalahkan peraturan yang lama.

Premis yang dibangun oleh Jaksa Penuntut Umum bahwa 18 tahun dalam UU Perlindungan Anak merujuk pada soal hukum pidana anak dan hukum acara pidana anak justru relevan untuk dipertanyakan ulang karena mengingat pertanggungjawaban pidana yang akan dikenakan terhadap seseorang dan sejauh mana seseorang dapat dianggap memiliki pengetahuan yang cukup berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang matang.Untuk masalah ini juga wajib dilihat apakah Indonesia masih menganut pola pemisahan berdasarkan anak, belum dewasa (di bawah umur), dan dewasa.28

Menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, defenisi anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan masih di dalam kandungan, sedangkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak telah

28 Ibid.

(36)

mencapai usia 8 tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah menikah. Defenisi anak yang ditetapkan perundang-undangan berbeda dengan defenisi menurut hukum Islam dan hukum Adat. Menurut hukum Islam dan hukum Adat sama-sama menentukan seseorang masih ank-anak atau sudah dewasa bukan dari usia anak, karena masing-masing anak berbeda usia untuk mencapai tingkat kedewasaan. Hukum Islam menentukan defenisi anak dilihat dari tanda-tanda pada seseorang apakah seseorang itu sudah dewasa atau belum.

Artinya seseorang dinyatakan sebagai anak apabila anak tersebut belum memiliki tanda-tanda yang dimiliki oeleh orang dewasa sebagaimana ditentukan dalam hukum Islam. Ter Haar, seorang tokoh adat mengatakan bahwa hukum Adat memberikan dasar untuk menentukan apakah seseorang itu anak-anak atau orang dewasa yaitu melihat unsur yang dipenuhi seseorang, yaitu apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan rumah orangtua atau rumah mertua dan mendirikan kehidupan keluarga sendiri.29

Perbedaan usia anak yang di pakai oleh peraturan perundang undangan di atas menyulitkan upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak, termasuk anak anak yang membutuhkan perlindungan khusus. dalam perspektif hak dan perlindungan anak, anak harus mendapatkan perlindungan, tanpa ada diskriminasi. Undang undang perlindungan anak dan undang undang hak asasi manusia selaras dengan konvensi hukum anak dalam memberi batasan usia anak, yakni di bawah 18 tahun.kedua undang undang tersebut juga telah memberi perlindungan bagi anak sejak didalam kandungan. Batasan ini sesuai dengan

29 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, hal 34

(37)

ketentuan ketentuan dalam kitab undang undang hukum perdata yang menyatakan bahwa “anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir apabila kepentingan anak memerlukan untuk itu, sebaliknya di anggap tidak pernah ada apabila anak meninggal pada waktu di lahirkan.” (pasal 2).

Berbicara mengenai anak, perlu digaris bawahi bahwa Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, sesuai dengan Undang- undang Perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014 mengenai Hak dan Kewajiban Anak. Berikut merupakan hak- hak anak yang terkandung didalamnya:

1. Berhak atas suatu nama sebagai identitas diri;

2. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbungan orangtua

3. Setiap anak berhak untuk mengetahui orangtuanya, dibesarkan, dan diasuh orangtuanya sendiri.

4. Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuia dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

5. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

(38)

6. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasannya dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

7. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, berfaul dengan anak sebaya, bermain, berrekrasi, dan berkreasi seesuia dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasanny ademi pengembangan diri.

8. Setiap anak yang menyandang cacat berhak untuk mmperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

9. Setiap anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan;

diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, kekejaman, kekearasan, dan penganiayaan serta dan ketidak adilan dan perlakuan salah lainnya.

10. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orangtuanya sendiri.

11. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan apapun dan penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

12. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

13. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Dan dalam Konvensi PBB tentang Hak- hak Anak yang ditanda tangani oleh Pemerintah RI tanggal 26 Januari 1990 batasan umur anak adalah dibawah umur

(39)

18 tahun. Sekarang mengenai hak- hak anak dapat dilihat dalam Konvensi PBB tersebut, sebagai berikut : Hak- hak Anak dalam Konvensi PBB: 30

1. Memperoleh perlindungan dari bentuk diskriminasi dan hukuman.

2. Memperoleh perlindungan dan perawatan seperti untuk kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan.

3. Tugas negara untuk menghormati tanggung jawab, hak dan kewajiban orangtua serta keluarga.

4. Negara mengakui hak hidup anak, serta kewajiban negara menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup anak.

5. Hak memperoleh kebangsaan, nama serta hak untuk mengetahui dan diasuh orangtuanya.

6. Hak memelihara jati diri termasuk kebangsaan, nama dan hubungan keluarga

7. Kebebasan menyatakan pendapat atau pandangan.

8. Kebebasan untuk menghimpun, berkumpul dan berserikat.

9. Memperoleh informasi dan aneka ragam yang diperlukan.

10. Memperoleh perlindungan akibat kekerasan fisik, mental, penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah (eksplisit) serta penyalahgunaan seksual.

11. Memperoleh perllindungan hukum terhadap gangguan (kehidupan pribadi, keluarga, surat menyurat atas serangan yang tidak sah).

30 Konvensi Hak Anak Di PBB

(40)

12. Perlindungan anak yang tidak mempunyai orangtua menjadi kewajiban negara.

13. Perlindungan anak yang berstatus pengungsi.

14. Hak perawatan khusus bagi anak cacat.

15. Memperoleh pelayanan kesehatan.

16. Hak memperoleh manfaat jaminan sosial (asuransi sosial).

17. Hak anak atas taraf hidup yang layak bagi pengembangan fisik, mental dan sisoal.

18. Hak anak atas pendidikan.

19. Hak anak untuk beristirahat dan bersenang- senang untuk terlibat dalam kegiatan bermain, berekreasi dan seni budaya.

20. Hak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi.

21. Perlindungan dari penggunaan obat terlarang.

22. Melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi seksual.

23. Perlindungan terhadap penculikan dan penjualan atau perdagangan anak.

24. Melindungi anak terhadap semua bentuk eksploitasi terhadap segala aspek kesejahteraan anak.

25. Larangan penyiksaan, hukuman yang tidak manusiawi.

26. Hukum acara peradilan anak.

27. Hak memperoleh bantuan hukum baik didalam atau diluar pengadilan.

(41)

B. Pengaturan Hukum Terhadap Perlindungan Anak Yang Menjadi Korban Perdagangan Orang Menurut Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Tindak pidana perdagangan orang(TPPO) merupakan tindak pidana yang dianggap baru dalam sistem hukum Indonesia, sekalipun bentuk perbuatan sudah sejak lama ada. Hal ini di karenakan undang undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, baru muncul dan di sahkan oleh pemerintah yaitu melalui undang undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, dan di undangkan pada tanggal 19 april 2007 dalam lembaran Negara tahun 2007 nomor 58.31

Undang undang nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, merupakan upaya memberikan perlindungan hukum baik langsung maupun tidak langsung, kepada korban ataupun calon korban agar tidak menjadi korban di kemudian hari. Selain itu pemerintah Indonesia dewasa ini sudah meratifikasi United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Menentang Tindak

Pidana Transnasional yang Terorganisasi) menjadi undang undang nomor 5 tahun 2009. Dengan di ratifikasinya konvensi PBB tersebut, berarti Indonesia sudah benar benar berupaya untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan tindak pidana perdagangan orang.32

31 Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hal.

237

32 Ibid

(42)

Peraturan tentang perdagangan orang merupakan adanya pengakuan dari hukum, dan bukan semata mata di dasarkan pada perlindungan hukum. Pengakuan dari segi hukum lebih penting dari perlindungan hukum, karena dalam pengakuan muncul adanya sikap bersama yang melekat dan bertujuan untuk keteraturan/ketertiban, sebagai salah satu sarana untuk mencapai keadilan. Atas dasar itu hak terkait dengan status, dan berakibat apabila berinteraksi dengan sesamanya.33

Para pelaku perdagangan orang bekerja sangat rapi dan terorganisasi.

Umumnya mereka melakukan pencarian korban dengan berbagai cara, seperti mengiming-imingi calon korban dengan berbagai daya upaya. Di anatara para pelaku tersebut ada yang langsung menghubungi calon korban, atau menggunakan cara lain dengan modus pengiriman tenaga kerja, baik antar daerah, antar negara, pemindah tanganan atau transfer, pemberangkatan, penerimaan, penampungan yang dilakukan sangat rapih, dan tidak terdeteksi oleh sistem hukum yang berlaku, bahkan di antaranya ada yang dilindungi oleh aparat (pemerintah dan penegak hukum). Cara kerja pelaku ada yang bekerja sendirian ataupun secara terorganisasi yang bekerja dengan jaringan yang menggunakan berbagai cara, dari yang sederhana dengan cara mencari dan menjebak korban ke daerah daerah mulai dari membujuk, menipu, dan memanfaatkan kerentanan calon korban dan orang tuanya, bahkan sampai pada kekerasan, menggunakan teknologi canggih

33 Ibid

(43)

dengan cara memasang iklan, menghubungi dengan telepon genggam yang dapat di akses dimana saja, sampai dengan menggunakan internet.34

Selain itu salah satu sumber penyebab dari perdagangan orang adalah adanya diskriminasi gender; praktik budaya yang berkembang di masyarakat Indonesia, pernikahan dini, kawin siri, konflik dan bencana alam, putus sekolah, pengaruh globalisasi, sistem hukum dan penegakan hukum yang lemah, keluarga yang tidak harmonis, rendahnya nilai nilai moral agama, dan sebagainya. Tetapi lebih dari itu karena ada faktor eksternal yang secara terorganisasi dan sistematik memaksa korban menuruti kehendaknya. Mereka ini adalah para pengusaha hiburan, cukong, lelaki hidung belang, penganut seks bebas, manusia berkelainan jiwa, perubahan perilaku manusia modern, dan sebagainya. Dari berbagai kejadian dalam tindak pidana perdagangan orang, kerugian dan penderitaan korban disebabkan oleh adanya proses:35

1. Perekrutan

Pada umumnya perekrutan di lakukan oleh “penghubung/calo”. Mereka mendekati keluarga ataupun orang tua calon korban. Calon korban umumnya perempuan berusia mulai dari 11 tahun, yang di bayangkan dan di gambarkan kepada calon korban atau orang tuanya adalah pekerjaan yang baik dan gaji yang menggiurkan. Ada orang tua yang memberi persetujuan dan kepada anaknya, kemudian orang tua di berikan sejumlah uang (yang pada umumnya di perhitungkan oleh trafficker sebagai utang calon korban). Namun ada pula

34 Ibid, Hal.111

35 Ibid. Hal.112-114

(44)

orang tua yang menolak memberikan izin;dalam hal demikian, jika calon korban berhasil dibujuk, maka trafficker akan membawanya pergi secara diam diam. Calon korban yang di bawa dari desa ke kota (dengan atau tanpa izin orang tua) tersebut “diculik atau dipaksa” untuk di berangkatkan ke tempat tujuan di Indonesia ataupun ke luar negeri. Banyak di antaranya yang tidak di ketahui lagi keberadaanya dengan kata lain hubungan mereka sama sekali terputus, ada yang sudah sampai beberapa tahun lamanya. Bagi pekerja migran (dalam dan luar negeri) yang meninggalkan tempat tinggalnya dengan menandatangani kontrak kerja, ada yang benar, ada yang di manipulasi, ada pula yang berdasarkan penipuan. Banyak juga di antara mereka yang berhasil meningkatkan ekonomi keluarga, dan mereka pula yang dijadikan contoh dan pendorong bagi perempuan meninggalkan tempat tinggalnya untuk perbaikan ekonomi. Tidak kecil jumlah di antara mereka yang terjerumus menjadi korban perdagangan orang.

2. Pemalsuan dokumen

Para korban perdagangan orang pada umumnya (mungkin semua) di berikan tanda pengenal (KTP atau paspor) yang nama, umur, alamat, dan sebagainya telah di manipulasi. Di beberapa daerah perbatasan Indonesia, banyak terdapat calo atau agen yang membawa koper berisi setumpu, KTP, akta kelahiran, papor, dan formulir lainnya, lengkap dengan nama, umur dewasa, dan alamat tertentu, yang belum terisi hanyalah pas photo dan tanda tangan yang akan di isi (calon) korban.

(45)

Beberapa informan dari beberapa instansi mengutarakan bahwa jumlah paspor yang di daftarkan secara resmi jauh lebih kecil dari jumlah orang yang secara nyata ke luar negeri. Dari segi keuangan, Negara di rugikan anggaran sekian jumlah papor yang tidak masuk kas Negara, tetapi dari segi kemanusiaan mereka yang keluar negeri dan tidak terdaftar menjadi “tidak ada ataupun stateless”.

3. Penyekapan sebelum berangkat

Para trafficker/calo/sponsor umumnya tidak segera memberangkatkan calon korban perdagangan orang, sehingga sering pula terjadi penyekapan dan kekerasan, bahkan di tempat penampungan sering korban mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi.

4. Pengangkutan dalam perjalanan

Dalam perjalanan tidak sedikit korban mengalami kekerasan lainnya (perkosaan), sehingga korban mengalami kerugian dalam kehidupan (social).

5. Di tempat kerja

Korban yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga ataupun pekerja seks komersial (PSK) sering mengalami perlakuan yang tidak manusiawi atau mengalami perlakuan yang mirip perbudakan.

Modus operandi di luar negeri umumnya korban di berikan visa yang relative sebentar dan visa di pegang oleh panyalur (trafficker), sehingga apabila visa sudah kadaluarsa para trafficker lebih leluasa untuk melakukan pemerasan kepada korban, dan korban akan kesulitan umtuk kembali ke Indonesia.

Keadaan ini akan semakin menjerat korban, sehingga mereka tidak berdaya

(46)

untuk menuruti kehendak trafficker. Apabila korban berusaha untuk melarikan diri, maka itu berarti sama dengan menantang maut (kematian). Ancaman lain bagi korban adalah penganiayaan, hukuman cambuk, pelecehan seksual, perkosaan, penelantaran, pemerasan, dan kekerasan lainnya, yang semuanya diderita tanpa asuransi.

6. Perjalanan pulang

Ada pula korban yang berhasil melarikan diri ke Indonesia, namun pelarian dirinya tidak berjalan mulus, karena dalam perjalanan tidak sedikit yang mengalami kekerasan, penipuan, pemerasan dan bahkan pelecehan seksual.

7. Pemulihan/rehabilitasi

Setelah sampai ketempat asalnya, korban juga tidak langsung di terima oleh masyarakat dan lingkungannya. Tidak sedikit yang di cemoohkan, bahkan di tolak kedatangannya karena keluarga merasa malu.

Perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang adalah melindungi hak setiap orang yang menjadi korban kejahatan perdagangan orang untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan undang-undang, oleh karena itu untuk setiap pelanggaran hukum yang telah terjadi atas korban serta dampak yang diderita oleh korban, maka korban tersebut berhak untuk mendapat bantuan dan perlindungan yang diperlukan sesuai dengan asas hukum. Sedangkan yang dimaksudkan bantuan dan perlindungan terhadap korban adalah berkaitan dengan hak-hak asasi korban seperti hak mendapatkan bantuan fisik, hak mendapatkan bantuan penyelesaian permasalahan, hak mendapatkan kembali haknya, hak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi, hak

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun Koperasi Kredit Harapan Kita Kota Medan adalah Koperasi yang masih menimbulkan faktor kekeluargaan, Koperasi Harapan Kita Kota Medan lebih ,mengambil

Dakwaan tesebut merupakan rujukan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa yang menyatakan tindak pidana pencurian dengan kekerasan “(2) Diancam dengan

Kata mendistribusikan atau mentransmisikan sehingga dapat diaksesnya dokumen elektronik yeng memiliki muatan yang melanggar kesusilaan ialah perbuatan yang dilarang dan apabila

Kelemahan dalam pasal ini adalah, tidak disebutkannya bentuk perjudian apa yang diperbolehkan tersebut, ataukah sama bentuk perjudian sebagaimana yang

Hal ini terbukti dari banyaknya kasus penarikan paksa yang dilakukan oleh pihak perusahaan pembiayaan atas objek pembiayaan milik debitur, terlebih lagi pada saat ini

memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita maka konsumen dapat menuntut pertanggungjawaban secara perdata kepada pelaku usaha. Terdapat dua bentuk pertanggungjawaban

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian kredit yang mengalami kemacetan pada Kredit Usaha Rakyat di PT.Bank Rakyat Indonesia Cabang Kota Binjai

Menurut pendapat Saya, tentang Peranan Keterangan Ahli yang dapat Mempengaruhi Keyakinan Hakim untuk Mengambil Keputusan dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana